10. Kaulah segalanya
Keira mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara seseorang memanggil-manggil namanya dengan lirih. Dipandangnya jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah empat pagi. Kemudian ia menatap Kaisa yang masih tertidur lelap di sampingnya, mendekap salah satu boneka kesayangannya. Tatapannya beralih ke sebelah Kaisa. Raykarian pun tampak tenang dalam tidurnya. Hingga gumaman kecil Raykarian terdengar,dan membuatnya terbangun.
"Kei," gumam Raykarian lirih, "Kei."
Keira beranjak dari tempat tidur, lantas menghampiri Raykarian dan duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya terulur, menyentuh kening Raykarian. Keira menarik tangan kanannya kembali, ketika merasakan panas dari tubuh Raykarian.
"Kei," gumam Raykarian kembali.
Keira terdiam. Menatap wajah pucat Raykarian dengan tatapan sendunya. Tangan kanannya tertahan di udara saat ingin menyentuh wajah Raykarian.
"Keira di sini, Mas," sahut Keira menahan rasa takut dan cemasnya, "Mas Raki, bangun!"
Keira berusaha membangunkan Raykarian yang masih meracau memanggil-manggil namanya. Perlahan, kedua mata Raykarian terbuka. Ia terdiam saat melihat Keira sudah berada di hadapannya.
"Minum obat dulu ya, Mas! Badan Mas Raki panas lagi," tutur Keira takut.
Raykarian mencoba terbangun. Namun, ia merebahkan tubuhnya kembali kala merasakan pusing hebat di kepalanya. Rintihan kecilnya terdengar bersamaan dengan tangan kanannya yang berusaha memijat pelipis untuk mengurangi rasa pusing. Keira pun memberanikan diri untuk membantu Raykarian duduk.
"Keira bantu ya, Mas," ujar Keira waswas.
Raykarian menyandarkan kepalanya di kepala ranjang, setelah Keira berhasil membantunya untuk duduk. Ia membuka matanya dengan terpaksa. Menahan rasa pusing yang teramat sangat. Ia masih tetap terdiam, memerhatikan Keira yang sedang mengambil obat untuknya.
"Ini obatnya, Mas." Keira menyodorkan obat penurun demam dan sakit kepala kepada suaminya, Raykarian.
Dengan lemas, Raykarian mengambil obat itu dan langsung meminumnya. Ia memandang Keira yang hanya terdiam meninggalkan kamar setelah membantunya meminum obat. Helaan napas hangatnya berembus, sebelum kembali merebahkan tubuh lemahnya. Kedua matanya memejam sesaat sebelum suara lirih Keira mengusiknya.
"Keira kompres dulu ya, Mas. Biar cepat turun demamnya," tutur Keira sebelum meletakkan handuk basah di dahi Raykarian.
Jantung Keira berdegup kencang saat Raykarian menatapnya dengan lekat tanpa suara. Ia menggigit bibir bagian bawahnya. Menahan rasa sesak di dadanya.
"Kenapa kamu melakukan itu, Kei?" tanya Raykarian tanpa melepas tatapan tajamnya.
Keira tersentak mendengar pertanyaan ambigu dari Raykarian, "Apa maksud Mas Raki?" tanya Keira bingung.
"Kertas yang sudah kamu remas, tidak akan pernah kembali menjadi utuh seperti semula."
Air mata Keira menetes setelah mendengar perumpamaan yang diucapkan oleh suaminya, Raykarian. Ia tak tahu apa yang sedang dimaksudkan Raykarian saat ini. Entah kesalahan apa yang sudah membuat suaminya menjadi murka kepadanya. Namun, perumpamaan itu mengingatkannya akan kesalahan-kesalahannya terdahulu. Kesalahan yang mungkin tak akan bisa termaafkan kembali. Kesalahan yang membuat dirinya harus menjauh dari keluarganya sendiri.
Napas Raykarian tertahan. Melihat Keira menangis dalam diam sembari menatapnya dengan tatapan penuh kesakitan. Perlahan, kedua matanya memejam. Hatinya sakit ketika melihat Keira menangis kembali. Pesan dari Kenzi pun masih terngiang jelas hingga detik ini. Rasanya, ia telah gagal membuat Keira bisa tersenyum kembali seperti dulu.
Keira segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi, sembari menyeka air matanya dengan serabutan. Tubuhnya merosot jatuh ke bawah setelah menutup pintu kamar mandi, diiringi derasnya air mata yang tak mampu lagi untuk dibendung. Salah satu tangan Raykarian mengepal dengan kuat. Meremas bed cover yang menutupi tubuhnya. Menahan dirinya untuk tidak mendobrak pintu kamar mandi dan memeluk istrinya, Keira.
Keira kembali menyeka air matanya, setelah selesai berdoa di akhir salat sunah malamnya. Rasa sesak di dadanya mulai terasa mereda. Meski kesedihan masih terlihat jelas di wajah sayunya. Ia tak sadar jika sedari tadi suaminya, Raykarian, selalu memerhatikannya di setiap gerakan salatnya. Raykarian pun mengetahui kala Keira menangis dalam setiap sujudnya. Membuat hatinya merasa nyeri saat mendengar isakan tangis dari istrinya, Keira.
Raykarian memejamkan matanya. Berpura-pura tertidur, ketika Keira kembali menghampirinya. Ia tetap terdiam kala Keira mengecek suhu tubuhnya dan mengompresnya. Kedua mata Keira kembali merebak, menatap Raykarian setelah selesai mengompres. Ia terdiam sejenak, sebelum mengungkapkan isi hatinya yang sedari tadi tertahan.
"Cepat sembuh ya, Mas! Maafkan Keira. Karena Keira belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Kaisa. Keira juga belum bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Raki," tutur Keira menahan sesak di dadanya, begitu juga Raykarian.
"Mas Raki benar, kertas yang sudah diremas tidak akan pernah kembali ke bentuk semula," tambah Keira dengan kedua matanya yang sudah merebak, "haruskah remasan kertas itu dibuang? Adakah orang yang mau memungut remasan kertas itu dan berusaha untuk memperbaikinya hingga tak lusuh kembali?!"
Keira menghela napasnya sebelum melanjutkan ucapannya, "Semoga, Mas Raki mau menjadi orang itu. Orang yang mau memungut remasan kertas itu, dan mau bersabar untuk membuatnya tidak terlihat lusuh kembali."
Tangan kanan Keira menghalau setitik air matanya yang akan menetes. Ia pun segera beranjak dari sisi Raykarian untuk mengambil wudu kembali. Melanjutkan salat subuh sebelum waktunya usai. Mendekatkan diri kepada Sang Penciptanya adalah salah satu cara Keira untuk menguatkan dirinya sendiri.
Raykarian membuka matanya yang terpejam sesaat setelah mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Helaan napas beratnya berembus. Lidahnya seakan kelu untuk menyahuti ucapan Keira. Ia yakin, jika perumpamaan yang dipakai Keira mempunyai makna berbeda dari perumpamaan miliknya. Meski rasa kesal masih mendominasi karena video kiriman ibunya, namun hati kecilnya sama sekali tak bisa membenci Keira. Kedua matanya kembali memejam, kala menyadari jika apa yang telah dilakukannya telah menyakiti hati Keira.
---
Perlahan, Keira mengeluarkan macaroni schotel tuna panggang dari oven dan meletakkannya di atas meja. Kemudian mengambilnya satu per satu dan menaruhnya di atas piring datar. Suara kekehan Kaisa dan gurauan Raykarian pun telah terdengar dengan jelas di kedua telinganya. Membuatnya segera menyiapkan dua gelas susu coklat hangat untuk suami dan putrinya.
Senyum simpul Keira tersungging. Melihat Raykarian yang sedang menciumi Kaisa dengan gemas di atas ranjang. Hingga membuat Kaisa kegeliaan bukan main. Keduanya terlihat sangat gembira, walau sebelumnya sama-sama merintih kesakitan dalam kurun waktu yang berbeda.
"Sudah pada bangun ya," ujar Keira menghampiri Raykarian dan Kaisa, "mau sarapan dulu atau mandi dulu?"
"Ibu! Tolong Kaisa," jerit Kaisa saat Raykarian menggelitiki perutnya.
"Sayang Ayah atau sayang Ibu?" tanya Raykarian yang membuat Keira terperanjat.
"Dua-dua," sahut Kaisa ditengah kekehannya.
Raykarian kembali mencium pipi Kaisa setelah selesai menggelitiki, "Ayo makan!" ajak Raykarian yang tak acuh kepada Keira.
"Cuci muka dan gosok gigi dulu!" perintah Keira menasehati.
"Ibu pun," sahut Kaisa sebelum memeluk Keira.
Keira tersenyum, lantas mencium Kaisa dengan penuh sayang, "Ibu sudah mandi tadi," ujar Keira.
"Jom Ayah!" seru Kaisa sembari mengangkat kedua tangannya ke atas, meminta untuk digendong ayahnya.
"Jom?!" tanya Raykarian tak paham.
"Jalan sendiri, Sayang! Ayah masih sakit," tutur Keira.
"Nak gendong Ayah," rengek Kaisa sambil mengerucutkan bibir kecilnya.
Raykarian tersenyum, lantas mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong Kaisa. Kaisa pun segera beranjak dari dekapan ibunya, dan beralih memeluk leher jenjang ayahnya dengan erat. Kedua mata Keira menatap kepergian Raykarian dan Kaisa yang berjalan menuju kamar mandi. Sebelum merapikan tempat tidur yang sangat berantakan karena ulah Raykarian dan Kaisa.
Raykarian dan Kaisa segera meminum susunya sesaat setelah keduanya duduk di mini bar. Mereka pun memakan macaroni schotel buatan Keira dengan santai dan saling menyuapi satu sama lain. Membuat kedua sisi bibir Keira tersungging kembali. Bibirnya masih mampu untuk tersenyum, namun hatinya merintih nyeri hingga detik ini. Sedari tadi, ia pun hanya terdiam memakan sarapannya. Ia merasa sepi dan sendiri, walau kekehan Raykarian dan Kaisa terdengar jelas di kedua telinganya.
"Ibu," panggil Kaisa yang mulai menyadari jika Keira sedari tadi hanya terdiam, "kenapa Ibu diam je? Ibu sakit ke? Atau Kaisa nakal lagi?" berondong Kaisa yang membuat Raykarian menjadi kesulitan menelan makanannya.
Keira tersenyum, "Ibu nggak kenapa-kenapa. Kaisa nggak pernah nakal sama Ibu. Sekarang, habiskan makanannya! Setelah itu minum obat," tutur Keira yang langsung dibalas anggukan kepala dari Kaisa.
"Ibu pun. Kaisa tak nak Ibu sakit," ucap Kaisa yang membuat hati Keira dan Raykarian tersentuh.
"In syaa Allah," sahut Keira lirih sebelum menatap Raykarian yang sedang melanjutkan memakan sarapannya, "Mas, Keira mau meminta ijin berangkat ke kantor sebentar."
"Terserah. Lakukan apa yang mau kamu lakukan. Nggak perlu meminta ijin dariku," sahut Raykarian tak acuh sebelum menyuapkan sesendok macaroni schotel ke mulutnya.
Tubuh Keira menegang mendengar jawaban Raykarian. Ia segera mengontrol dirinya sendiri agar tak menangis atau pun bersedih di hadapan Kaisa. Diminumnya jus jeruk sebelum beranjak dari tempat duduknya.
"Hari ini, Ibu mau ke kantor sebentar. Kaisa sama Ayah dulu ya! Nggak papa kan?" pamit Keira meminta ijin kepada Kaisa.
Kaisa mengangguk, "Tak ape lah. Ibu pergi je. Kaisa janji, tak kan nakal sama Ayah," tutur Kaisa menenangkan dan disambut ciuman singkat dari Keira di pipinya.
Keira segera melangkah pergi meninggalkan Raykarian dan Kaisa. Ia menghela napasnya dalam-dalam sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Mencoba menahan diri agar tak menangis kembali. Raykarian meletakkan sendoknya. Kemudian ia beranjak dari tempat duduknya.
"Ayah nak kemana?" tanya Kaisa bingung, "Kaisa ikut!"
"Ayah mau ambil handphone," dusta Raykarian, "Kaisa tunggu di sini saja ya!"
Kaisa mengangguk, "Kaisa boleh pinjam tak nanti?"
"Boleh," sahut Raykarian sebelum menyusul Keira.
Keira menatap jalanan di depan rumah kontrakannya dari balik jendela kamar. Tangan kanannya memegang smartphone yang diletakkan di telinga kanannya. Ia terdiam mendengarkan nada tunggu kala panggilannya belum terangkat.
"Assalamualaikum," salam Fiya setelah mengangkat panggilan dari Keira.
"Wa'alaikumsalam Fi," sahut Keira, "kamu baru bangun?! Maaf, Fi. Aku mau ketemu kamu sekarang, di kantor. Bisa?" pinta Keira.
"Ganggu banget tahu!" sahut Fiya berpura-pura kesal, hingga kekehan kecil Keira terdengar, "ada apa, Kei? Bukannya siang ini kita memang akan bertemu? Kamu nggak lupa bukan?"
"Alhamdulillah, aku nggak lupa. Aku harus bertemu kamu sekarang, Fi. Penting!"
"Ada apa, Kei?!"
"Aku mau resign, Fi."
"What?! What are you talking about, Keira?"
"Sebentar lagi, aku on the way ke kantor. Kita bertemu di sana. Pulsaku habis. Assalamualaikum, Fiya."
"Oke! Kamu harus memberikan alasan yang bisa membuatku mengabulkan keinginanmu itu, Kei! Wa'alaikumsalam."
Keira menitikkan air matanya setelah menutup panggilan. Ia berharap pilihannya ini adalah pilihan terbaik untuk dirinya dan juga keluarga kecilnya. Walau hatinya masih bertanya-tanya tentang apa yang menjadi kemarahan Raykarian, namun inilah pilihan hatinya. Berhenti dari pekerjaan dan mengikuti kemana pun suaminya berada.
"Kamu yakin mau resign?" tanya Raykarian yang sedari tadi sudah berada di dalam kamar.
Keira segera menyeka air matanya, sebelum berbalik menghadap Raykarian. Ia menatap Raykarian yang sedang berdiri tegap di sebelah ranjang. Keduanya saling terdiam dan saling menatap satu sama lain.
"Aku nggak keberatan kamu bekerja. Aku keberatan kalau kamu mengambil keputusan bukan karena keinginan kamu sendiri. Jangan sampai kamu menyesal dengan keputusan itu!" tandas Raykarian tegas.
"Keira sudah lama memikirkannya. Sudah saatnya Keira mengganti waktu kebersamaan dengan Kaisa yang telah hilang selama ini. Keira akan resign dan ikut Mas Raki ke Amerika. Itu keinginan Keira sekarang," jelas Keira.
"Kamu masih bisa bekerja. Soal Kaisa, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membawa Kaisa. Kamu bisa bekerja seperti biasa, dan juga bisa bertemu dengan Ferry sesuka hati kamu," ujar Raykarian yang membuat Keira mematung di tempatnya.
Keira pun akhirnya mulai mengerti, apa yang menjadi kemarahan Raykarian. Ia mulai menebak penyebab Raykarian menjadi marah kepadanya. Ferry, nama yang membuat sifat posesif Raykarian muncul kembali dan membabi buta. Perlahan, kedua kakinya melangkah menghampiri Raykarian tanpa melepaskan pandangannya. Kepalanya mendongak ke atas, menatap wajah Raykarian dengan lekat. Membuang jauh ketakutannya dan kecemasannya kala mendapatkan tatapan mengintimidasi dari Raykarian.
"Seharusnya, Mas Raki berterima kasih kepada Fiya dan Bang Ferry. Mereka berdua yang sudah menolong Keira dan Kaisa selama ini. Kalau tidak ada mereka, Mas nggak akan pernah bisa bertemu kembali dengan Keira atau pun Kaisa," tutur Keira, "Fiya yang selalu ada saat Keira membutuhkan pertolongan. Fiya yang selalu sabar menemani Keira saat hamil. Fiya juga yang menemani Keira saat melahirkan dan juga membesarkan Kaisa sampai sekarang. Sedangkan Bang Ferry, dia adalah orang yang memberikan kesempatan Keira untuk bisa bekerja. Walau dia tahu, jika pekerjaan itu bukanlah keahlian Keira."
"Dan semua itu, karena Ferry mencintai kamu. Apa kamu tidak menyadarinya?!" geram Raykarian.
"Bang Ferry memiliki hak untuk mencintai siapa pun yang dia mau. Begitu pula dengan Keira. Keira mempunyai hak untuk selalu mencintai Mas Raki sampai napas Keira terhenti. Dan Mas Raki, tidak mempunyai hak untuk melarangnya!" Keira menegaskan, siapa yang selalu berada di hatinya.
"Kaisa itu nyawaku, Mas. Kalau Mas Raki ingin membawa Kaisa dan memonopoli Kaisa sepenuhnya, Mas harus membunuhku terlebih dahulu!" ujar Keira yang membuat Raykarian tertegun.
"Semua yang Keira lakukan selama ini, hanya untuk Kaisa. Keira hanya ingin melihat Kaisa bahagia. Kaisa ingin seperti teman-temannya, bisa hidup bersama dengan kedua orang tuanya. Dan Keira akan mewujudkan keinginan Kaisa itu, dengan atau tanpa seijin Mas Raki!" tegas Keira lugas dengan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca sebelum pergi meninggalkan Raykarian.
Raykarian pun bungkam di tempatnya. Semua ucapan Keira seakan mampu membuat lidahnya menjadi kelu untuk berucap. Ia terdiam menatap Keira yang sedang mengambil baju ganti dan berjalan menuju kamar mandi.
"Mas akan mengantar kamu ke kantor," ucap Raykarian sebelum Keira menutup pintu kamar mandi.
Keira kembali menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamar mandi. Air matanya kembali menetes. Ia ingin merasakan kebahagian kembali, namun mengapa hanya rasa sakit yang dirasakannya selama ini. Kebahagiaannya sangatlah sederhana. Memeluk kedua orang tuanya setiap saat, dan hidup bersama dengan Raykarian dan Kaisa. Hanya sesederhana itu.
---
Kaisa melongok ke arah smartphone Raykarian. Ia sangat ingin tahu apa yang sedang dikerjakan ayahnya. Banyak deretan huruf dan angka yang tak dimengerti olehnya. Rangkaian huruf-huruf di sana tak bisa dibaca atau pun diejanya dengan baik. Ia tak tahu jika ayahnya sedang mengecek jumlah tabungan dalam bahasa inggris. Raykarian pun tersenyum melihat Kaisa mengerutkan dahinya karena bingung. Jemarinya segera mengunci kembali smartphone-nya dan memasuknya ke dalam saku jaketnya.
"Ayah, tadi tu ape? Kenapa Kaisa tak bisa baca tulisan tu?" tanya Kaisa yang membuat Raykarian terkekeh.
"Memangnya Kaisa sudah bisa membaca?" tanya Raykarian meledek.
"Bisalah," sahut Kaisa sembari membuka sebuah aplikasi belajar membaca dari iPad ibunya.
"Tengok ni!" seru Kaisa sebelum mengeja deratan huruf di layar datar iPad ibunya, membuat Raykarian mengulum senyumnya, "bola Budi," ucap Kaisa lancar.
"Coba yang lain!" pinta Raykarian mengetes.
"Buku baru," eja Kaisa mengikuti tulisan yang tertera di iPad ibunya.
Raykarian mengambil koran yang berada di atas meja, lantas meminta Kaisa untuk membaca tulisan yang ditunjuk olehnya, "Coba baca yang ini!" perintah Raykarian yang masih belum percaya dengan kemampuan membaca Kaisa.
Kaisa berusaha mengeja deretan huruf itu dengan perlahan. Mulut kecilnya berkomat-kamit melafalkan setiap huruf yang diejanya, "Hubungan," eja Kaisa, "Indonesia dan Aus ..., Aus ape ni?! Susahnye!" pekik Kaisa kesal.
"Australia," ujar Raykarian membantu.
"Hubungan Indonesia dan Australia," ulang Kaisa sebelum mengeja kalimat selanjutnya, "memanas. Benar tak, Yah?"
"Benar, Sayang. Kaisa pintar," puji Raykarian.
"Kaisa pandailah, macam Ayah dan Ibu." Kaisa memuji dirinya sendiri, membuat Raykarian terkekeh mendengarnya.
"Iyalah, anak Ayah dan Ibu pandai," tambah Raykarian sebelum mencium pipi Kaisa dengan gemas.
Ferry tersenyum melihat kebersamaan Kaisa dan ayahnya di ujung lobby kantornya. Ia pun menghampiri keduanya untuk sekedar menyapa. Walau hatinya sedikit merasa ngilu ketika mengingat kembali bahwa Raykarian adalah suami dari Keira.
"Kaisa, Mas Raykarian, kenapa nggak menunggu di atas saja?" tanya Ferry sopan, membuat Raykarian menghentikan gurauannya kepada Kaisa.
"Uncle Ferry," panggil Kaisa sebelum menjabat tangan Ferry dan mencium punggung tangannya, "kenapa Uncle tak tengok Kaisa lagi di rumah sakit? Ibu cakap, Uncle di Malaysia."
Ferry tersenyum, "Iya, Uncle sibuk kemarin di kantor Malaysia. Maaf ya! Nah, ini buat Kaisa!" Ferry memberikan sebuah paper bag berukuran sedang kepada Kaisa.
"Banyaknye!" seru Kaisa melihat beberapa makanan kesukaannya di dalam paper bag itu, cadbury fingers original, vegetable cookies, digestive biscuit dan delafee chocolate truffles.
"Bilang apa sama Uncle?" tutur Raykarian mengingatkan sembari berdiri di samping Kaisa.
Kaisa tersenyum, "Terima kasih, Uncle Ferry," ucap Kaisa.
"Sama-sama," sahut Ferry.
"Ferry, terima kasih," ucap Raykarian seraya mengulurkan tangan kanannya, membuat Ferry kebingungan.
"Terima kasih untuk apa Mas Raykarian?" tanya Ferry, "saya memang biasa membelikan makanan kesukaan Kaisa. Makanan kesukaan Kaisa sama seperti makanan kesukaan adik saya, Fiya."
Raykarian menganggukkan kepalanya pertanda mengerti, "Terima kasih karena telah membantu Keira dan Kaisa selama saya tidak ada," ujar Raykarian dan segera disambut dengan senyuman beserta jabat tangan hangat dari Ferry.
"Sama-sama, Mas. Keira sudah saya anggap seperti adik saya sendiri, sama seperti Fiya." Ferry berusaha menutupi kegugupannya di depan Raykarian.
"Sekali lagi terima kasih," pungkas Raykarian tulus.
Ferry tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Saya ke atas dulu, Mas. Ada briefing sama anak-anak," pamit Ferry sebelum melangkah pergi.
"Silakan," sahut Raykarian.
Raykarian tersenyum melihat Kaisa yang sedang berusaha membuka pembungkus cadbury fingers. Ia pun kembali meledek putrinya karena sedari tadi tak bisa membuka pembungkus makanan itu. Membuat Kaisa merajuk dan merengek dengan mimik wajah yang sangat menggemaskan. Wajah cantik Kaisa yang menggemaskan itu, selalu menjadi obat penenang bagi hati Raykarian.
Di ruangan Ferry, Keira menatap Fiya yang sedang menyibukkan diri karena ingin tak acuh dengan kedatangannya. Ia menghela napasnya, sebelum kembali meminta persetujuan Fiya agar dirinya bisa resign hari ini juga.
"Fiya, please!" ulang Keira untuk kesekian kalinya.
"Kamu nggak bisa resign begitu saja, Kei. Masih ada dua royal wedding yang harus kita selesaikan. Dan selama kamu belum mendapatkan pengganti, kamu belum bisa resign dari sini," terang Fiya mencoba menahan Keira untuk resign, "kalau alasannya cuma karena kamu ingin mengikuti Mas Raki ke Amerika, aku akan meminta ijin kepada Mas Raki agar kamu tetap di sini sampai dua event besar itu selesai."
Keira menunduk, lantas memainkan kedua jemari tangannya. Ia tak mungkin menceritakan apa yang sedang terjadi kepada dirinya dan Raykarian.
"Apa Mas Raki melarang kamu bekerja?" tanya Fiya yang masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
"Nggak! Mas Raki nggak pernah melarangku untuk bekerja. Dia selalu memberikanku kebebasan untuk melakukan apa pun yang aku suka," jelas Keira, "kamu tahu bukan, kenapa aku menerima pekerjaan dari Bang Ferry dulu. Semuanya aku lakukan untuk Kaisa. Hanya untuk Kaisa, Fi. Kaisa nggak bisa dipisahkan lagi dari Mas Raki. Aku nggak mampu lagi untuk selalu mengarang cerita setiap kali Kaisa bertanya tentang keluargaku atau pun keluarga Mas Raki. Aku juga membutuhkan Mas Raki, Fi. Aku juga ingin hidup normal seperti keluarga-keluarga yang lain. Aku mohon, Fiya. Kamu terima surat pengunduran diriku," ujar Keira diiringi setitik air matanya yang menetes.
Fiya menghentikan kegiatannya kala mendengar suara Keira yang mulai sengau. Ia menatap Keira yang sedang menunduk, lantas memandang sebuah amplop putih di hadapannya. Diambilnya amplop itu, kemudian menyobeknya dengan kasar. Membuat Keira mendongak dan meneteskan air matanya. Melihat surat pengunduran dirinya dirobek dan dibuang di hadapannya.
"Aku nggak butuh surat ini. Kamu itu bukan karyawanku, Kei! Kamu itu keluargaku. Karena keluarga itu tidak membutuhkan sebuah surat atau pun sebuah pengakuan," ucap Fiya dengan kedua matanya yang merebak, membuat Keira menangis tergugu di tempatnya.
Fiya segera menghampiri Keira. Ia memeluk Keira dengan erat. Keduanya menangis dan saling memeluk erat satu sama lain. Membuat Ferry hanya terdiam di ambang pintu ruangannya kala melihat Fiya dan Keira sedang berpelukan sembari menangis.
"Kamu itu saudaraku, Kei. Kamu bukan karyawan di sini. Kamu bisa bebas keluar masuk di sini sesuka hati kamu. Ini kantor kita, Kei. Kantor kita!" bisik Fiya menahan sesak di dadanya, "Aku cuma takut, gimana kalau kamu nggak ada di sini. Siapa yang akan menemaniku nanti? Siapa yang akan aku ajak berdebat tentang klien kita? Gimana kalau nanti aku kangen sama kamu? Kamu nggak akan lupa sama aku kan, Kei?!" tanya Fiya yang membuat isakan tangis Keira semakin terdengar dengan jelas.
"Aku nggak akan pernah melupakan kamu, Fi. Nggak akan!" sahut Keira ditengah isak tangisnya.
"Kamu harus janji sama aku. Kamu harus bahagia di sana! Kalau Mas Raki menyakiti kamu, aku akan datang dan menjemput kamu pulang!"
"In syaa Allah, aku akan selalu bahagia bersama Mas Raki dan Kaisa di mana pun itu."
"Harus!!! Kamu harus bahagia, Kei!"
Ferry tersenyum simpul mendengar ucapan Fiya dan Keira. Ia pun mulai menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Sesuai prediksinya, cepat atau lambat Keira pasti akan mengikuti suaminya suatu saat nanti. Dan hari ini, hari dimana dirinya harus tetap terus berjalan untuk melupakan Keira dan mencari penggantinya. Pengganti yang mengisi hatinya, dan juga pengganti sebagai wedding planner di WO-nya.
---
Raykarian menatap beberapa tumpukan buku kecil dan lembaran kertas di tangannya dengan lekat, sebelum memberikannya kepada Keira. Langkahnya terlihat ragu sebelum memasuki kamar di apartemennya. Ia menghentikan langkahnya kala melihat Keira sedang membereskan beberapa barang-barang milik Kaisa yang akan dibawa besok. Hampir seharian ini, Keira tak banyak mengeluarkan suaranya. Kecuali jika dirinya dan Kaisa bertanya, maka Keira akan menjawabnya dengan singkat.
Raykarian pun mengingat kembali kejadian di masjid keluarga besar Keira siang tadi. Usahanya untuk mempertemukan Keira dan beberapa keluarganya ternyata tak sesuai dengan harapan. Hal itu membuat Keira semakin terpuruk di hadapannya.
"Ayo turun!" perintah Raykarian seraya membuka seat belt.
Keira terdiam, menatap bangunan masjid besar di hadapannya. Entah mengapa jantungnya tiba-tiba saja berdetak tak menentu kala menatap Masjid Agung milik keluarga besar ayahnya. Hingga suara Kaisa menyadarkannya dari lamunan yang ingin tak diinginkannya.
"Ibu, jom!" ajak Kaisa kala ayahnya sudah membukakan pintu mobil.
"Kaisa turun dulu ya!" sahut Keira sebelum membuka seat belt.
Kaisa menerima uluran tangan ayahnya. Ia menggenggam erat tangan Raykarian yang menggandengnya, seraya memandang suasana sekitar masjid yang sangat ramai saat ini. Setelah turun dari mobil, Keira menatap Raykarian sekilas sebelum pandangannya beralih menatap beberapa mobil mewah yang dikenalnya.
"Kita salat zuhur dulu di sini. Setelah itu, kita makan. Ayo!" tutur Raykarian sebelum berjalan terlebih dahulu.
Keira menganggukkan kepalanya, lantas mengikuti Raykarian dan Kaisa yang berjalan di depannya. Degup jantungnya semakin berdetak kencang kala kedua kakinya mulai menapaki lantai marmer masjid yang terasa begitu dingin. Langkahnya terhenti dengan mendadak ketika melihat adiknya sedang berjalan menghampirinya. Raykarian pun menghentikan langkahnya, berdiri di samping Keira sembari menggandeng Kaisa.
"Kanza," ucap Keira lirih.
Kanza mendongakkan kepalanya, sesaat setelah menemukan smartphone-nya di dalam tas. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Kedua matanya mulai memanas, melihat Keira berada di hadapannya. Ia menyunggingkan senyumnya. Melihat penampilan kakaknya, Keira, yang telah berubah dan semakin cantik dengan hijabnya.
"Kak Keira," panggil Kanza diiringi air matanya yang menetes, membuat Keira tak mampu lagi membendung air matanya.
Kanza segera berlari dan berhambur pelukan kepada Keira. Ia mendekap Keira dengan erat sembari terisak. Keduanya menangis dalam diam. Saling mencurahkan rasa rindu yang selama ini tak tersampaikan. Kaisa dan Raykarian pun hanya terdiam di tempatnya. Keduanya menatap Keira dan Kanza dengan lekat.
"Ayah, siapa tu? Kenapa Aunty tu peluk Ibu dan menangis?" tanya Kaisa ingin tahu.
Raykarian tersenyum simpul sebelum menggendong Kaisa, "Itu adik Ibu, Aunty Kanza. Aunty-nya Kaisa," jelas Raykarian.
"Jadi, Aunty tu Aunty Kaisa?" tanya Kaisa yang dibalas anggukan kepala dari Raykarian.
"Kanza kangen banget sama Kakak," ucap Kanza yang tak ingin melepaskan pelukannya.
"Aunty Kanza," panggil Kaisa yang membuat Kanza melepas pelukannya.
Kanza menatap Kaisa, lantas bergantian menatap Raykarian. Tangan kanannya menyeka air matanya. Tatapannya pun beralih kepada Keira, seakan meminta penjelasan siapa yang baru saja memanggilnya dengan panggilan 'aunty'.
"Itu Kaisa, putri Kakak dan Mas Raki," terang Keira yang membuat Kanza terperanjat bukan main.
"Kaisa? Putri Kak Keira dan Bang Raki? How can?!" tanya Kanza memberondong.
"Keira," panggil Gadis tak percaya kala bertemu dengan Keira.
Keira kembali meneteskan air matanya, saat melihat bundanya, Gadis, berjalan cepat menghampirinya. Ia segera memeluk bundanya dengan erat tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang masih ramai. Tak peduli orang-orang memandangnya aneh karena menangis di tempat umum. Gadis dan Keira saling mendekap dengan erat, diiringi isakan tangis mereka.
"Bunda! Ayo kita pulang!" pekik Keenan yang baru saja muncul bersama dengan Kenzi.
Gadis yang terperanjat mendengar suara keras suaminya, Keenan, segera melepaskan pelukannya. Ia menoleh ke belakang, menatap suaminya yang sedang memberikan tatapan tajam kepadanya. Tatapan yang membuat Keira mematung di tempatnya. Membuat Raykarian memandang Keira dengan iba.
"Kita pulang sekarang!!!" Titah Keenan keras, sebelum berjalan melewati Gadis, Kanza, Keira, Raykarian dan Kaisa.
"Bunda, ayo!" ajak Kenzi yang sudah menggandeng tangan bundanya.
"Maaf Kak," tutur Kenzi yang membuat Keira menangis.
Gadis hanya terdiam, saat Kenzi menggandengnya dan berjalan menjauhi Keira. Sedangkan Kanza bergeming memandang bundanya dan kakaknya bergantian.
"Kakak, ayo kita pulang!" ajak Kanza yang tak tahu menahu dengan kejadian di hadapannya.
Keira menggelengkan kepalanya, "Kakak belum bisa pulang sekarang. Kamu jaga Ayah dan Bunda ya, Kanza!" tutur Keira.
"Kanza! Ayo!" pekik Kenzi memanggil adiknya.
"Pergilah! Ayah sama Bunda pasti sudah menunggu kamu. Kakak salat dulu ya!" ucap Keira sebelum berjalan meninggalkan adiknya yang masih bergeming karena bingung.
"Pulanglah Kanza! Abang janji, Abang akan membawa pulang Kak Keira nanti," tutur Raykarian mengusap pucuk kepala Kanza sebelum menyusul Keira.
Raykarian kembali melirik istrinya, Keira, yang sedari tadi masih terdiam. Ia mengunyah makanannya yang seakan sulit untuk ditelan. Kaisa pun memandang Keira dengan tatapan sendunya. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan kepada ibunya, Keira. Namun melihat raut kesedihan di wajah ibunya, ia pun mengurungkan niatnya untuk bertanya apa pun.
Tangan kanan Kaisa menggenggam tangan Keira yang sedang mengaduk makanan, "Ibu," panggil Kaisa tanpa melepas pandangannya kepada ibunya.
"Iya Sayang, ada apa? Makanannya nggak enak?" tanya Keira kala melihat makanan Kaisa masih utuh tak tersentuh.
Kaisa menggelengkan kepalanya, "Ibu, jangan bersedih macam tu! Ada Kaisa dan Ayah di sini," ucap Kaisa yang membuat mata Keira dan Raykarian berkaca-kaca.
Keira tersenyum, lantas memeluk dan mencium pucuk kepala Kaisa dengan penuh sayang. Menahan air matanya yang akan menetes, "Terima kasih, Sayang. Ibu nggak akan sedih, selama Kaisa dan Ayah selalu ada untuk Ibu."
Raykarian menyendokkan makanannya, "Ibu, makan dulu!" titah Raykarian tegas seraya menyodorkan sendok makannya yang sudah berisi makanan kepada Keira.
Keira melepaskan pelukannya kepada Kaisa. Ia menatap Raykarian yang ingin menyuapinya dengan memberikan tatapan tajam mengintimidasi. Perlahan mulutnya terbuka, menerima suapan Raykarian yang sangat memaksa itu. Namun, hal itu membuat Kaisa tersenyum bahagia.
"Kaisa nak disuapi," rengek Kaisa yang tak mau kalah dengan ibunya.
"Tak nak! Ayah nak suapi Ibu je," ledek Raykarian meniru logat bicara Kaisa.
Kaisa mengerucutkan mulutnya. Menatap ayahnya dengan kesal namun terkesan memohon. Kedua sisi bibir Keira pun tersungging, melihat Raykarian dan Kaisa yang mulai berulah kembali. Baik Keira maupun Raykarian berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan Kaisa. Keduanya tak ingin melihat kesedihan di wajah cantik putrinya, Kaisa.
"Sudah selesai?" tanya Raykarian berbasa-basi.
"Belum Mas," sahut Keira singkat.
"Kamu simpan ini!" ujar Raykarian seraya memberikan tumpukan buku kecil dan lembaran kertas kepada Keira.
Keira menerimanya dan mengecek apa saja yang diberikan oleh suaminya, Raykarian. Paspor, visa, tiket pesawat, dan kartu debit.
"Mas mengambil uang tabungan itu sedikit. Uang Mas nggak cukup untuk membeli tiket pesawat kita bertiga. Nanti kalau ada rezeki, Mas akan ganti," tutur Raykarian lugas.
Keira mendongakkan kepalanya. Ia memberanikan diri untuk menatap Raykarian yang berdiri tegap di hadapannya, "Nggak perlu diganti Mas. Uang ini, uang Mas Raki juga."
"Nggak, Kei. Uang itu milik kamu. Mas sudah memberikannya kepada kamu, untuk keperluan kamu. Mas akan tetap menggantinya nanti," jelas Raykarian yang membuat Keira tertegun, "bisa kita bicara sebentar? Di luar," pinta Raykarian sesaat setelah memandang Kaisa yang sedang tertidur lelap di ranjang king size-nya.
Keira mengangguk. Kemudian ia mengekori Raykarian yang berjalan keluar meninggalkan kamar. Dengan ragu, ia pun duduk di samping Raykarian di sofa bed, di ruang tengah apartemen.
"Mas mau bicara apa?" tanya Keira kala memandang Raykarian yang sedang menatapnya dengan lekat.
"Mas mau membicarakan tentang kita," sahut Raykarian tanpa mengalihkan pandangannya.
Jantung Keira kembali berdegup kencang mendapat tatapan tajam Raykarian yang selalu mampu membuatnya hilang kendali, "Maksud Mas?" tanya Keira bingung.
"Besok sebelum kita berangkat ke Amerika, Mas ingin mengajak kamu ke rumah Ayah dan Bunda." Raykarian mengungkapkan keinginannya yang sedari dulu ingin diwujudkannya.
"Untuk apa?" tanya Keira di tengah keterkejutannya.
"Untuk berpamitan. Dan juga untuk meminta maaf kepada Ayah Bunda, sekaligus untuk meminta restu mereka kembali."
"Nggak perlu, Mas. Keira nggak mau, Kaisa melihat Keira menangis kembali saat bertemu dengan Ayah dan Bunda. Lagi pula Ayah pernah bilang, semuanya telah berubah dan nggak akan pernah kembali sama seperti dulu. Sama seperti yang Mas Raki ucapkan kemarin, kertas yang sudah diremas nggak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula," ujar Keira yang membuat Raykarian terperanjat.
"Sekarang, keluarga Keira hanya Mas Raki dan Kaisa. Jadi Keira mohon, jangan pernah meninggalkan Keira sendirian lagi, Mas!" pinta Keira diiringi air matanya yang menetes tanpa ijin, membuat tubuh Raykarian serasa membeku, "Keira nggak bisa hidup sendiri. Keira nggak bisa!"
Raykarian segera memeluk Keira dengan erat. Diciumnya pucuk kepala Keira dengan penuh sayang, "Mas nggak akan pernah meninggalkan Keira. Mas janji!" janji Raykarian.
Keira memeluk Raykarian dengan sama eratnya. Menumpahkan segala kesakitannya melalui air matanya yang mengalir. Hanya dekapan hangat Raykarian-lah yang dibutuhkannya saat ini. Dekapan yang mampu memberikannya kekuatan dan ketabahan untuk tetap berdiri tegar menjalankan takdirnya tanpa keluarga. Ia tahu dengan pasti, ketetapan Allah jauh lebih indah dari apa yang sudah direncanakan dan diharapkan.
Tbc.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top