28. Silhouettes of you (2)

"Jis. Jis. Jisoo!" Johnny bisa terlambat andaikan tak menghitung berapa lama cewek itu dengan sengaja menenggelamkan diri ke dasar kolam dan tak kunjung jua bangkit. Segera begitu tersentak dia menariknya, gerakan itu nyaris terkesan kasar kala menyeretnya keluar dari kolam pun setengah marah atas perbuatan tak berakalnya.

"Sinting lo!" Johnny marah karena tegurannya sebelum ini kurang diindahkan kalau dia tak perlu melamun dan berkat lamunannya tersebut cewek ini nyaris ingin mencelakai dirinya sendiri.

"Ada apa? Ada apa?" tanya Hwasa disusul Yuta kemudian yang belum menyadari perbuatan sintinh teman mereka ini, efek telanjur asyik bersama kemesraan hingga melupakan sekitar. "Jisoo kenapa?"

Johnny tahu dia sedang marah karena hal ini, namun enggan memberitahu sehingga terpaksa berbohong kepada sepasang ini buat jaga-jaga supaya liburan mereka tetap jalan sesuai rencana tanpa harus ada drama. Menyeret Jisoo bersamanya dengan dalih ingin menemani cewek ini ke dalam walaupun ragu keduanya tetap percaya, lantas membungkus tubuh basah dan dinginnya dengan handuk kering. Menyuruhnya duduk di kursi sementara Johnny berlalu ke dapur villa sesaat, tak lama kembali sambil membawakan segelas air putih dingin terus dia berikan ke Jisoo yang menerimanya penuh terima kasih.

Tatapan mereka saling bertemu. Ada kekecewaan tersendiri pada raut sang adam; pun ada penyesalan demikian besar tersurat pada raut sang hawa. Johnny meremas kedua tangan tersebut, mengusap punggungnya perlahan guna menghilangkan lara yang sedang dirasa sang teman.

Keduanya masih enggan bicara, masing-masing saling tahu bahwa mereka sedang saling menguatkan diri. Tak peduli mau seberapa marahnya cowok ini terhadapnya, dia mencoba untuk tetap tenang tanpa harus menghakimi perilaku Jisoo sebelum ini yang membuatnya begitu kesal. Tak harus juga dia berteriak atau menyalahkan sosoknya kala emosi masih bergelut, cukup tenang sementara dan tunggu sampai keadaan membaik bagi mereka bicara.

"Udah balik warasnya?" guraunya menggulum senyum dengan pengertian. Tangan kirinya beranjak dari genggaman itu, memangkas udara demi menyingkirkan helaian rambut yang jatuh dan menutupi wajahnya. "Kalau udah mendingan baiknya mandi, ganti pakaian, terus istirahat aja."

"Maaf ya, John?"

"Iya. Gue maafin," lanjutnya, "lain kali enggak akan kalau lo sinting kayak barusan." Johnny mengusak rambut basahnya setengah gemas, setengah lagi masih berusaha mencerna keadaan sambil menggulum senyum lalu mengajaknya berdiri dan menggiring Jisoo ke kamar mandi.

"Jangan lagi, okay?" ucapnya menekan janji diakhir yang langsung mendapatkan anggukan setuju. "Gue tungguin di luar. Awas kalau sampai aneh-aneh, gue tungguin di dalam ntar." Johnny tertawa geli, merasa lega karena ancaman guyonannya bisa membuat raut itu berubah.

"Nah, gini enak ngelihatnya." Lagi, kepalanya jadi sasaran empuk. "Gih, buruan mandi keburu diserobot sama Hwasa."

"Iya."

Jisoo sinting kalau sampai berniat melanjutkan tindakannya di kolam renang tadi. Seharusnya dia merasa lega karena masih ada Johnny yang terus menjaganya tanpa harus meminta cowok itu bertindak demikian peduli padanya.

Astaga, setan-setan di kepalanya ini sungguh mengerikan dan sama seramnya dengan setan dalam wujud manusia. Jisoo harap untuk ke depannya akan lebih berhati-hati dan jangan sampai lagi termakan oleh bujuk rayu tak warasnya itu.

•  s h a m e l e  s s •


"Sial. Ong ini bukan makalah gue!"

Cowok dengan hoodie kuning itu ngakak di depan fakultas, setengah terpingkal-pingkal berkat ekspresi cemberut Jisoo yang barusan kena tipu. Ngakunya di dalam flashdisk dengan judul "tugas 24/7" itu miliknya yang langsung dia percaya dan tanpa cewek itu cek dulu kebenarannya, dia langsung asal tancap gas ke fotokopian fakultas buat ngeprint. Baru sadar kalau hasil print-printan barusan bukan miliknya pas Mbak Yuna meneriakan nama pena si pembuat makalah.

"Emang bukan," sahutnya lalu merebut hasil print makalah yang sebenarnya punyanya. "Ini punya gue. Hahaha. Thanks ya, udah dibantu print."

"Rese!" dengusnya mendorong bahu cowok jangkung ini kesal. "Mana ini jam dua belas fotokopiannya tutup. Malesi banget ah, masa ngeprint di luar."

Khusus buat hari Jum'at doang, emang aktivitas fotokopian berhenti sebentar dan baru buka kembali pas sesudah sholat jum'at, antara jam 1 atau setengah 2nan.

Ong nyengir lalu mengeluarkan satu lembar 50 ribu terus dikasih ke Jisoo. "Nih, gue kasih goban tapi tetap ada kembaliannya."

Jisoo mencibir sebal, bisa-bisanya dia kena tipu sama temannya ini. Lagian kenapa juga dia bodoh amat, masa gituan doang enggak mau ngecek nama pena si penulis saking percayanya sama cowok satu ini.

"Anterin gue ke depan. Tanggungjawab lo!"

"Mana bisa, gue mau ke masjid."

Lagi, dia mencibir. Giliran begini saja sok-sokan jadi anak alim enggak mau ketinggalan sama panggilan yang bersua mengingatkan lewat toak masjid kampus, giliran enggak ada permintaan langsung jadi setan keliaran di kantin atau parkiran fakultas.

"Jalan kaki aja. Deket kok."

Matanya kontan melotot sinis. Bagian mana yang bisa dibilang deket, sih? Iya, deket kalau pakai sepeda atau motor. Kalau jalan kaki begini mana ada kata dekat yang ada lempoh duluan saking jauh karena gedung fakultasnya letaknya di pojok bagian kampus dan lebih dekat sama gerbang belakang sedangkan fokokopian bukan fakultas berada di luar kampus. Dikira sejarak sama jantung dan hati.

"Bye. Jis. Muaaaah!" Ong lalu kabur setelah bersama flying kiss sebagai perpisahannya. Meninggalkan Jisoo yang masih setengah dongkol ingin maki-maki, tapi karena dia jarang maki orang akhirnya mendesah pasrah kemudian melihat sekitar barangkali ada teman atau orang dari fakultas gitu hendak pulang dan lewat gerbang depan, dia bisa nebeng bareng.

Tentu saja mana ada orang siang-siang begini apalagi Jum'at siang di fakultas. Semua mahasiswa jelas sudah pulang ke rumah atau kos-kosan masing-masing atau bisa juga ngelayap ke suatu tempat ramai-ramai dan kalaupun ada paling sekadar adik tingkat yang lebih pilih buat ngadem di ruangan ber-AC kayak perpustakaan atau lantai dua yang selalu adem gara-gara kena AC dari ruangan laboratorium. Fakultas ramai pas pagi doang, ini banyak jam kelas sampai pukul sepuluh pagi.

Akhirnya Jisoo pilih buat jalan kaki sementara, sambil menebak-nebak barangkali fotokopian fakultas lain ada yang masih buka dan melayani customer daripada nekat ke warnet kampus yang nggak mungkin buka kalau Jum'at, dan mungkin saja ada kenalan lewat terus dia bisa minta tolong buat nebeng sampai ke depan.

Siapa tahu kan, rejeki orang?

Doanya pun terkabulkan cepat. Baru melangkah sedikit menjauh dari fakultas, seseorang memanggil namanya kencang-kencang. Mungkin orang itu takut dia tidak mendengar panggilannya. Jisoo kontan menoleh tertegun tatkala menemui Nayeon dengan beat kebanggaannya itu melaju perlahan mendekat kemudian berhenti di sampingnya.

Cewek rambut pendek itu menyeringai lebar seperti biasa kala mereka bertemu. Seakan sebelum ini mereka tak pernah ada konflik apa pun, semua terkesan alami seperti awal di perkenalan mereka berkat Hwasa, dan masing-masing tampak jelas sudah tak punya beban dipikul demikian halnya dengan Jisoo yang perlahan mulai menata lagi kehidupan kampusnya.

Ngomong-ngomong, sudah cukup lama bagi mereka tak saling bertegur sapa. Sampai mendekati akhir bulan dan baru ini kedua cewek ini saling bertatap muka. Hwasa pun di paviliun sudah jarang membicarakan mereka.

"Mau ke mana?" tanya Nayeon terlihat begitu antusias karena berhasil mengajak bicara Jisoo.

"Gerbang depan, Nay."

"Jalan kaki?" Dia berdecak ragu sama keputusannya jalan kaki buat sampai ke gerbang utama kampus. Yang bener saja pakai jalan kaki. Nayeon sih, mana sudi begitu. "Bareng gue aja. Ayok!"

Jisoo ragu meski sebenarnya sama antusiasnya kayak Nayeon karena akhirnya mereka bisa berteman kembali. "Lo gak pulang?" Seingatnya juga kosan dia sangat dekat kampus, lokasinya saja dekat sama gedung fakultasnya dan gerbang belakang kampus.

"Iya, ini mau pulang lewat depan soalnya mau mampir ke distro," jelasnya terus menyuruhnya supaya segera naik daripada keburu jalan utama penghubung ke gerbang depan ditutup gara-gara mau ada sholat Jum'at.

Perjalanan ke gerbang depan mereka isi dengan obrolan ringan yang lebih cocok diartikan sebagai tanya-jawab tentang kabar masing-masing. Terus baru kemudian mereka menyinggung persoalan kuliah yang sama-sama punya kesibukkan, kadangpula disertai keluhan masalah beban tugas kuliah yang enggak selesai-selesai walaupun sudah dikerjakan dan mereka sependapat tentang ini.

Begitu sampai di depan salah satu fokopian, barulah Nayeon menyinggung persoalan lalu.

"Jis. Soal dulu itu ... gue minta maaf kalau udah kasar sama lo, terus ngira lo tuh—"

"Kalian udah gue maafin. Gue pun sama pulanya minta maaf ke kalian. Harusnya gue bilang aja soal—"

"Kalau dipikir-pikir bukan salah gue atau lo," seru Nayeon lantas tersenyum sinis. "Salahnya dia, tuh." Menunjuk dengan dagunya setengah terangkat ke depan, ke arah sosok pemuda yang kebetulan tengah menyebrangi jalan bersama cewek berbeda lagi, kali ini bukan cewek yang digembar-gemborkan bersamanya sejak pekan lalu.

Jisoo mengamati dua orang itu sedikit tak acuh.

"Ngerusak pertemanan orang, ck!" Cewek itu sepertinya dongkol bukan main, tapi langsung cepat senyum kala menoleh ke Jisoo. "Eh, bukan berarti gue enggak tulus minta maafnya ke lo, Jis. Gue beneran tulus minta maaf. Terus soal Bona ... gue rasa lo nggak perlu ngerasa bersalah sama doi. Biarin aja orangnya begitu, nanti lama-kelamaan juga bakalan ngomong lagi sama lo kok. Doi butuh waktu aja buat sadar kalau semua ini cuma salah paham."

Jisoo mengangguk mengerti. Mereka semua sedang butuh waktu buat memahami keadaan; pun memaafkan kejadian yang sudah telanjur terjadi.

"Ya udah, Jis, gue mau ke distro dulu keburu ditunggu orang. Gue tinggal gak apa-apa 'kan?"

"Gak apa-apa, Nay. Malah gue makasih udah ditebengin ke depan."

"Halah, santai sama teman kok." Nayeon mulai menstarter motornya. "Cabut dulu, ya. Daaah ... Jis."

"Hati-hati, Nay." Setelah mengantar temannya itu pergi bersama beat hitamnya, Jisoo melongos ketika tahu kalau ternyata Taeyong yang ada di ujung sana diam-diam sedang mengamati dirinya. Manik keduanya berserobok pendek karena sesudahnya Jisoo membuang muka dan bergegas masuk ke fotokopian alih-alih bertahan di luar demi membalas perhatian cowok yang sudah tak pernah lagi dia sebut namanya.

Andai saja pemuda itu tahu bahwasannya sang pemilik kontak "si Zombie" sudah tak tersedia lagi pada daftar kenalan. Jisoo telah menghapus satu per satu jejak digital Taeyong di ponselnya. Apa pun yang berhubungan pemuda tersebut, seluruh jejak yang menghubungkan dirinya bersama sosoknya perlahan-lahan telah dia lepaskan, dan menggantinya dengan lembaran kehidupan baru.

Ini adalah pilihan yang harus mereka jalani masing-masing sendirian.

Ini belum aku baca ulang, jadi kalau ada typo atau apalah—maaf yaa 🙏🏻 Akan segera diperbaiki begitu cerita selesai 😁

Ngomong-ngomong, yuk temanan di Twitter hoho mau aktifin akun ini sih. Lebih tepatnya buat next story sehabis ini kayaknya bakalan ada nyambung di updatean Twitter—aslinya coba-coba dulu 🤣🤘🏻

T-tapi aku banyakan bacot film atau series huhu gak jauh beda sama bacotan IG 🤧

Mengingatkan kalau ternyata tinggal dua part lagi wkwk bukan tiga 🦦

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top