27. Silhouettes of You
Karena ini panjang banget, harap bacanya sambil duduk. Kalau bisa sambil dengerin lagu ini >> Silhouettes of you by Isaac Gracie. Biar lebih ngena aja hoho 🤘🏻
"Bab dua selain buku, ambil jurnal berapa?"
"Dua ... kan, Kak?" Jisoo bertanya seraya menatap Kak Dio, pembimbing skalanya, ragu-ragu. Lupa sebetulnya berapa maksimal jurnal penilitian yang boleh dia ambil untuk bab dua skala, belakangan memang pikirannya sedang ambyar.
Kak Dio membolak-balik lembaran hasil print dalam jumlah banyak itu dengan seksama. "Sumbernya?"
"Sebentar," membongkar isi map sedikit tergesa-gesa demi menemukan fotokopian buku sumber dari teorinya, "ini, Kak." Jisoo menyerahkan tiga fotokopian sekaligus yang langsung diperiksa si kakak pembimbing sedangkan empat orang di belakang tengah menunggu sambil mencuri tahu proses pembimbingannya sekalian lagi kuatin mental, soalnya Kak Dio kadang galak kalau urusan bimbingan gini.
Kak Dio memutar dokumen ke arahnya terus membubuhkan tinta pen merah di atas kertanya lumayan banyak. Menggarisi bagian-bagian yang menurut beliau perlu diganti segera sebelum lanjut ke bab tiga. Jisoo menelan ludah selama mengikuti ujung tinta merah yang memanjang seiring akhir penutup paragraf.
Huhu, ini baru bimbingan skala sama asisten laboratorium bagaimana nanti kalau sama dosen beneran. Banyak coretan di mana-mana kali.
"Faktor yang kamu ambil ini salah," jelasnya menunjuk pada salah satu faktor teori bab duanya, "coba dicek lagi faktor-faktornya, terus teori kamu kurang satu kalau bisa ambil dari jurnal internasional satu. Selebihnya udah baik."
Akhir dari penderitaan skalanya, lega mendengarnya.
"Berarti jurnalnya tiga, Kak?"
"Dua bahasa, satu internasional. Kemarin saya udah sampaiin 'kan?"
Jisoo meringis malu. Dia lupa padahal sudah mewanti-wanti sejak awal kalau dia harus cari satu jurnal internasional sampai sekarang malah nggak pegang. Ini termasuk tidak wajar karena tingkat kefokusannya belakangan sedang ingin main-main. Jisoo jengkel luar biasa bila harus bersikap demikian menyebalkan bagi dirinya sendiri.
Setelah itu, dia pindah ke kursi belakang join bareng kelompok kecil bimbingan Kak Dio. Ada Ravn yang kelihatan santai banget sehabis bimbingan soalnya bab dua enggak ada revisi dan dia bisa mulai membuat bab tiga. Terus kalau minggu depan bab tiganya enggak dapat revisi lagi, fix urusan skala Ravn selesai awal daripada teman-temannya.
"Gue mau ke kantin nih, ikut gak?" tanya Ravn membuyarkan lamunannya ke depan.
Jisoo meringis malu tatkala barusan melamun—lagi—entah keberapa kalinya. Selain kurang fokus, belakangan juga dia sering melamun. "Iya deh, mau beli es kopi biar gak ngantuk kuliah sore nanti." Gara-gara Senin kemarin Psikologi Klinis kosong sebagai pengganti mata kuliahnya dijadwalkan hari ini dari pukul 3 sore sampai malam jam 7nan lewat 30 menitan karena jumlah sksnya sendiri ada 6. Sks mata kuliah wajih emang paling serakah.
Udah sks paling banyak, termasuk mata kuliah penting yang nilainya jangan sampai berada di bawah nilai C. Kadang dapat nilai C saja masih harus ketar-ketir kalau matkul 6 sks karena pengaruh ke nilai lain itu lumayan gede.
"Gituan mah mending ngafe aja, Jis," kata Ravn mulai berdiri duluan baru Jisoo menyusul kemudian. "Kafe atas aja sekalian ngadem."
Nggak perlu jauh-jauh keluar dari kampus buat ngopi di kafe biar kayak anak kekinian gitu, toh di lantai empat gedung kantin sendiri ada kafe yang enggak kalah menarik dari inovasi kafe jaman sekarang. Selama semester lima ini, Jisoo baru dua kali pernah ke kafe kampus dan sekarang jadi tiga kali karena ajakan Ravn. Tipe orang yang jarang mengunjungi tempat kayak kafe-kafe gitu, kalau lagi nggak pengen banget dia nggak bakalan ke situ.
Mereka naik lift biar lebih cepat sampai ke lantai empat. Obrolan mereka pun masih seputar penelitian skala dan keluhan Jisoo soal revisi bab dua, terus Ravn menanggapi sedikit santai kalau Jisoo enggak perlu sepaneng selama mengerjakan skala malahan menyuruhnya buat cari hiburan karena menurut cowok ini dia terlihat banyak pikiran. Mendengar itu kontan dia tertawa sangsi, agak heran segala lantaran dugaan Ravn tepat sasaran.
"Cari hiburan juga nggak perlu yang heboh-heboh apalagi mewah." Ravn mendorong pintu kafe dan menyuruhnya buat masuk duluan. "Cukup pergi ke tempat beginian aja beban lo akan sedikit berkurang."
Senyumnya menggulum sempurna di bibir. "Kafe ramai, Rav. Kadang bikin tambah pusing."
"Sepi, nih." Dari dulu kafe kampus memang selalu begini, keramaiannya ada di titik normal enggak kayak kafe kekinian yang selalu sesak khalayak. Sepinya pas; ramainya pun tenang. Toh, pelanggan kafe ini lebih sering berasal dari dosen sama staff kampus, sedangkan mahasiswa jarang kemari kecuali lagi pengen banget saja. Nggak kayak kantin selalu ramai, sepinya tuh jarang.
"Sofa aja dekat jendela." Ravn menggiringnya ke sofa single dekat jendela dengan panorama balkon kafe dan gedung-gedung fakultas. Di luar ruangan tepatnya balkon kafe ada tempat buat duduk juga, sama kayak di dalam cuma bedanya siang-siang begini di balkon kurang nyaman alias panas ditambah sebagian dari orang di luar itu merokok. Untung saja Ravn bukan cowok perokok, jadi dia aman di dalam ruangan ber-AC. "Sekalian mau pesan apa biar gue antriin di kasir."
"Kopi layang." Bukan jenis kopi dengan nama yang sukar dilafalkan, sekadar kopi susu bagian dari menu paling laris kafe. Jisoo masih hapal namanya, selebih itu dia kurang tahu apa-apa soal nama kopi. Bukan maniak, sih. "Itu deh, frensh fies. Lainnya belakangan aja kalau pengen."
"Gak makan sekalian?"
Dia menggeleng. "Enggak dulu."
"Oke, gue ke sana."
"Rav," menahan kepergiannya, "uangnya."
Ravn senyum lalu menggeleng. "Gak perlu biar sekalian aja gue bayarin."
"Kok malah jadi dibayarin?"
"Sekali-kali," kata cowok ini sudah menyelonong antri di belakang tiga orang.
Selama menunggu Ravn, gedung-gedung fakultas yang saling menjulang tinggi itu jadi tontonan menarik sendiri baginya. Sesekali gantian melihat ke arah sekelompok mahasiswa yang nampak seru saling bertukar guyonan atau kadangkala telinganya menangkap gosipan tiga mahasiswi di bangku belakangnya secara diam-diam. Meskipun sedang bergosip, suara mereka terdengar cukup jelas buat disimak oleh Jisoo ataupun pengunjung kafe lainnya.
Jisoo menggeleng tahu-tahu rindu suasana kumpul bersama Hwasa, Nayeon, dan Bona. Pasti seru kalau kumpul berempat lagi di taman kampus dan obrolan mereka termasuk paling random banget. Pernah sekali mereka gosipin soal dosen yang hobinya makan salak di kelas atau dosen ilkom yang rupawan karena punya garis turunan dari arabian tapi lebih seringnya mereka ngomongij soal hidung mancung si dosen tersebut bukan perawakan tampannya.
Jisoo rindu kebersamaan mereka. Namun, untuk saat ini mereka terpaksa belum bisa kumpul lagi karena suatu hal belum tertuntaskan. Entah mau sampai kapan harus begini.
"Tuh, lihat mereka jalan berdua," kata si cewek rambut setengah merah sambil meletakkan ponselnya di tengah meja sedangkan kedua temannya langsung menonton apa pun yang sedang dia tunjukan.
"Dulu bukannya udah pernah jalan, ya?" tanya si cewek berkacamata putih, penasaran.
Jisoo diam-diam menoleh demi mengamati ketiganya sesaat.
"Iya," lanjut si rambut keriting, "Taeyong brengsek aja makanya udahan sama Seolhyun terus baru kemarin juga mereka kelihatan pdkt lagi."
Membuatnya terdiam, mencerna baik-baik obrolan itu dengan tak nyaman.
"Padahal Seolhyun pinter, mau-mau aja sama buaya," timpal si rambut merah bernada tak senang atau mungkin cemburu karena bukan dia saja yang menjalin hubungan asmara sama si buaya ekonomi itu. Kelihatan banget dia suka sama cowok itu.
"Alaah ... paling bentaran doang, besok gue jamin Taeyong punya baru lagi!"
Lalu Jisoo mengeluarkan earphone dan memasangkan pada kedua di telinganya. Upayanya ini semata untuk meredamkan obrolan ketiga cewek di belakang yang tiada henti ngomongin Taeyong dan perjalanannya sebagai si buaya se-Fakultas Ekonomi.
"Heh. Ngalamun lagi!" tegur Ravn begitu kembali dari antrian. "Jangan kebiasaan gitu, Jis, nanti kesambet. Siang-siang begini kesurupan enggak lucu, tahu. Nanti siapa yang repot? Gue, lah. Harus mondar-mondar cari ustad, iya kalau ada yang mau ngurus lo kalau gak ada yang mau, gimana?"
Jisoo melepas earphone dan tersenyum geli berkat lelucon konyol Ravn. "Setan bakalan kepanasan muncul jam segini, Rav."
"Jaman sekarang setan nggak perlu muncul malam doang, di luar sana sudah banyak kejadian setan muncul di siang bolong." Sorot setengah geli itu perlahan menatapnya serius. "Saran gue sebagai teman kuliah nih, lo enggak usah peduliin omongan orang soal foto lo sama si buaya. Mau mereka ngomong sampai berbusa pun abaikan, terlepas hubungan kalian beneran atau sementara lo cukup nggak perlu jadiin itu sebagai beban hidup."
"Ohh ... jadi kita ke sini sekalian mau gosipin gue, nih?" godanya lalu tertawa lepas walau pelan.
Ravn pun menyusul dengan tawa sembari menggeleng. Jelas bukan karena mau mengajaknya bergosip yang menyeret nama temannya ini, dia mengajaknya kemari murni atas kemauan sendiri sama kebetulan cuma ada Jisoo di ruang tunggu pas bimbingan Kak Dio. Lagian mengajak orang lain belum tentu mau, mana lagi Ravn jarang nongkrong sama teman cewek sefakultas lain kalau orang-orang itu bukan Jisoo, Sowon, atau Kei.
"Bukan gosipin, tepatnya ngasih saran." Lalu melanjutkan, "Gue paham lo orangnya tertutup, selalu terlindungi di zona nyaman. Giliran mau beradaptasi dengan kehidupan orang lain, lo harus punya rencana matang sebelum beranjak ke sana. Kalau rencana lo berhasil barangkali adaptasi itu akan jadi rumah buat ditinggali, bisa juga sebatas singgah lalu pergi. Karena menyesuaikan diri ke dunia baru bukan cuma butuh planning matang, dukungan sosial bahkan person dari dunia itu sendiri pengaruh penting dan itu enggak gampang."
Boleh saja Ravn kelihatan seperti bocah kuliah selengean yang kadang jadi bahan tawaan orang, satu frekuensi sama Ong. Namun, kedua pemuda itu selalu punya cara tersendiri untuk menjadi si Mr. Right. Mereka berdua selalu tahu apa yang dibutuhkan untuk menyenangkan banyak orang; selalu tahu kapan harus bersifat demikian kekanak-kenakan, jahil, nakal, dan serius terhadap seseorang; dan sebisanya memahami karakter orang-orang itu untuk menyesuaikan diri.
"Ngawur ya, omongan gue?" Kekeh pemuda ini, malu. "Enggak perlu dengerin juga gak apa-apa kok."
"Enggak, Rav. Gue dengerin," katanya mengangguk serius. "Makasih, ya." Dia tulus mengatakan ini karena tak ada yang salah atas pernyataan Ravn tentang dirinya. Pemuda ini sedemikian baik mampu mengenalinya tanpa perlu mengorek lebih jauh di balik tirai siapa-dia-sesungguhnya. Malahan dia harus berterima kasih sama Ravn yang selalu tetap begini adanya tanpa bermaksud menganggu kenyamannya.
Jisoo sekarang mulai tenang karena dengan adanya Ravn di sini, mereka akan selalu punya banyak topik buat dibicarakan sehingga tidak perlu baginya untuk tertarik menguping obrolan tiga cewek di belakang. Sudah cukup buat yang tadi, sekarang Jisoo tak minat lagi mendengar topik tentang cowok itu. Toh, semua sudah jelas kalau ini telah berakhir.
Karena pada akhirnya, Jisoo akan selalu memegang janji sementara Taeyong tak akan pernah berubah.
• s h a m e l e s s •
Sepulang dari kampus jam setengah delapan malam keadaan paviliun sepi tak ada penghuni selain dia yang baru sampai ini. Hwasa lagi main ke kosan Yuta; Johnny barusan pamit waktu mereka papasan di gerbang, cowok itu mau ke mini market terdekat buat beli galon yang ternyata sudah habis.
Tubuhnya lantas jatuh di sofa akibat penat berlebihan disamping karena kuliah sore hari ternyata sama menguras tenaga seperti kuliah pagi atau siang, cuma bedanya keadaan kelas pada sore hari lebih adem dan nggak perlu pula ada drama AC kedinginan atau panas; pun isi kepalanya yang masih mendebatkan keadaan sekarang. Dia masih belum merasa tenang belakangan dan belum mampu melepas sesuatu yang sudah telanjur dia rasa.
Upayanya masih setengah-setengah akibatnya Jisoo selalu ragu untuk beranjak dari rasa itu. Membuat perilakunya sedikit kurang konsisten sehingga lebih gampang baginya untuk melamun daripada fokus pada waktu tak terduga itu, dan menciptakan sebuah skenario kehidupan yang justru akan menimbulkan kecemasan luar biasa untuk diri sendiri.
Jisoo menghela napas lelah, kemudian sorotnya berhenti tatkala mendapati sebuah ransel tergeletak di atas meja. Barang itu bukan miliknya apalagi milik kedua temannya dan Jisoo cukup tahu siapa pemilik itu sehingga tanpa pikir panjang lagi langsung menghubungi kontak yang bersangkutan. Meskipun sosok itu telah keluar dari rumah namun eksistensinya masih terasa nyata seakan-akan dia selalu bersama dirinya. Mengisi ruang kosong ini dengan wujud tak kasat matanya dan hanya Jisoo yang merasakan ini.
Teleponnya belum diangkat yang kedua ini, nyaris Jisoo akan mengakhiri dan mengabaikan tepat sebelum panggilan ketiga mendapatkan respon.
"Hallo."
Suara cowok terdengar menyahuti, Jisoo tak yakin kalau ini suara milik si pemilik ponsel. "Hmm ... Taeyong?"
"Bukan," balas si penerima cepat, "yang punya hape pergi barusan, hapenya ketinggalan."
"Ini Jimin, ya?" tanyanya setengah ragu.
"Ho-oh," balas cowok ini, ternyata dia Jimin, "ini siapa?"
Mendadak keningnya mengernyit bingung, agak aneh karena Jimin lupa atau memang tidak baca kontak nama di layar ponsel. Ah, kan, bukan namanya. Ingin berpikiran demikian sebelum kemudian buyar berkat ucapan Jimin. Membuat lidahnya kelu begitu mencerna informasi itu dengan mentah-mentah.
"Hehe. Gak ada nama kontaknya jadi gue gak tahu lo siapa. Nyari Taeyong, ya? Pastilah. Ini hape dia kok. Eh, lo kenal gue berarti kita kenal? Hmm ... bentar gue tebak-tebak dulu dari suaranya sih gak asing. Hmm ... ini Jisoo?"
Jisoo diam semata-mata enggan memberitahu identitasnya. Meski begini Jimin cukup pintar buat mengenali seseorang lewat suara sehingga dia langsung memberikan informasi tambahan lagi. "Sorry, Jis, Taeyong lagi pergi. Baru banget sama Seolhyun terus hapenya ketinggalan di sofa. Lo kalau ada pesan atau apa gitu sampain aja ke gue, nanti gue—"
"Nggak. Malah bagus yang angkat lo," kilahnya terus mendadak kaku seperti kanebo kering. "Soal itu ... tas Taeyong masih ada di tempat gue. Hmm, gue gosendin aja gak apa-apa, ya?"
"Lo anterin ke sini juga gak apa-apa kalau mau hehe sekalian main, lah."
"Yah .. nggak bisa sorry, Jim." Dia meringis sedikit sesal. "Gue gosend, lo tinggal terima aja. Oke, Jim. Makasih. Byee."
Begitu telpon dia putuskan sepihak, Jisoo baru kemudian dapat bernapas lega lalu cepat-cepat membuka aplikasi Gojek buat mengantarkan barang Taeyong yang masih tertinggal di tempatnya. Walau ragu Jisoo tetap melakukan itu demi membalikkan barangnya sembari mengabaikan beberapa informasi remehan yang pernah Jimin sampaikan dan entah bagaimana informasi tersebut langsung jadi boomerang sehingga Jisoo tak bisa tidur malam ini.
Dia terjaga seperti orang sinting. Dengan segenap rasa gelisah yang berlebihan hingga membuatnya tak sadar kalau sekarang sudah pukul dua pagi dan dia masih bertahan hidup dengan pikiran setengah tak waras. Seolah mendukung suasana keruh pada batinnya, AC kamar pun terasa panas campur dingin sampai-sampai dia harus menyingkirkan selimut akibat gelisah, dan malam pun tak seperti biasa. Jisoo menebak malam ini akan terasa panjang dan menyesatkan bagi akal warasnya.
Untuk mengantisipasi agar tetap waras pada malam ini, dia mengambil benda pipih dari nakas samping ranjang. Membuka fitur chat lalu baca pesan terakhir kerabat dekat sang ibu.
Tante Dara: udah semester lima begini buat pindah eman-eman banget, Jis. Sekalipun ada kampus dekat, akreditasi jurusannya gak sebagus kampus kamu sekarang. Mendingan gak usah, kamu bertahan dulu sementara toh bentar lagi semester 6 terus semester 7 ambil skripsi kalau lancar tahun depan udah lulus. Itu nggak akan lama, kok.
Tante melarangnya pindah mau bagaimanapun keadaannya, dia belum pernah cerita. Pesan balasan siang ini belum dia balas sampai sekarang karena Jisoo belum punya alibi kuat untuk menyakinkan sang tante, segala alasan sudah dia keluarkan dan larangan tetap jadi balasan. Sekarang Jisoo cuma bisa membaca ulang pesan itu tanpa berniat membalas atau barangkali menghubungi kontak Tante Dara.
Jisoo bimbang, selalu saja begini. Muak. Terus terang saja kalau jadi orang yang gampang bimbang demikian kurang menyenangkan. Serba salah dalam mengambil keputusan, kadang malah butuh waktu lama buat tahu apa sebenarnya yang dia butuhkan. Kadang malahan orang beranggapan kalau orang-orang seperti Jisoo ini freak, enggak punya pendirian kuat atau si payah yang labil. Atau julukan buruknya si naif dan munafik.
Terserah mau dikata apa, memang beginilah adanya. Mencoba keluar dari zona nyaman pun perlu memikirkan matang-matang segalanya, perihal runtutan perubahan demikian cerdik sebelum tersesat dan sebelum menjadi sosok baru dengan rutinitas asing. Jisoo sedang mencoba menjadi demikian namun semua itu tak gampang dilakukan. Tak semudah saat membalikkan kedua tangan atau melangkah ke depan dan mundur.
Yah, orang pandai bicara namun tak pandai merasa. Orang pandai merencana namun tak pandai berbuat.
Jisoo lelah sekali. Dia ingin tidur dan menyudahi perdebatan batin yang tiada kelar ini. Untuk sesaat berharap jika andaikan dia mati rasa, berharap sebagai orang bodoh, dan berharap pula tak tahu apa-apa. Jisoo ingin memiliki ketiganya dengan seluruh keegoisannya hanya untuk semalam ini belaka. Biarkan dia tenang dulu tanpa harus berpikir.
Getar ponsel tiba-tiba menarik segenap perhatiannya kala satu nama kontak muncul di waktu tidak terduga. Jisoo ingin mengabaikan dengan beranggapan mungkin orang ini sedang jahil, toh namanya sudah tak ada di kontaknya buat apa dia mencoba lagi? Namun, sebagian dari dirinya merayu agar Jisoo menerima panggilan itu. Jika memang ingin berdamai bukankah dia harus menerima dan melepaskan realita?
Keputusannya bulat. Telepon dia terima sebelum detik-detik panggilannya berakhir.
"Hei. Masih melek, ya? Tumben." Getar pada suaranya terkesan ragu dan lega bersamaan karena panggilannya diterima pada waktu tak terduga. Kendati demikian, cowok ini lumayan pandai mengatur diri supaya tetap tenang. Seolah tak ada konflik sungguhan di antara mereka atau mungkin baginya masalah itu telah berlalu dan berakhir segitu gampangnya, sementara Jisoo masih terjebak pada kegelisahan memuakkan. "Kirain nggak akan ada yang angkat. Hehe."
Jelas sosoknya sedang meringis dengan rupa tampannya di sebrang sana, tanpa perlu bersamanya buat tahu itu pun Jisoo sudah bisa melihat bagaimana persis citra tersebut.
"Hmm ... ya ... kenapa?" tanyanya balik ragu-ragu.
Taeyong terkekeh samar di sebrang. "Gue kangen."
Tolong, berhenti omong kosong! Alih-alih menyampaikan jeritan permohonannya, Jisoo hanya menyimak dengan segudang rasa kecewa bukan pada pemuda itu melainkan pada diri sendiri.
Paham kalau Taeyong tidak akan dapat balasan, dia bicara lagi. "Mau denger sesuatu?" Dia terus bicara tanpa perlu menunggu responnya. "Gue bisa tidur malam, yah, nggak lama, sih. Ini baru kebangun. Hebatnya enggak takut hmm ... sedikit."
Jisoo menggulum senyum samar. Turut senang kalau Taeyong bisa merasakan lagi tidur malam walau hanya sebentar. "Bagus dong, begitu?" katanya.
"Soalnya gue mikirin lo."
Kata-kata itu melunturkan senyuman. Rasa kecewa sama menggeluti batinnya. Tanpa sadar dia berdecak merasa kurang senang atas perasaan ini, yang justru ditangkap lain oleh Taeyong kala mendengarnya.
"Gitu sih," gumamnya. "Ya udah, gue tutup, ya. Maaf kalau gang—"
"Taeyong." Sosoknya menyimak penuh kala namanya terlafalkan. "Boleh nanya?"
"Ya-ya?" Sedikit lucu karena sosoknya tiba-tiba gugup begini. "A—apa?"
"Kenapa lo takut tidur malam?" Alasan ini masih terus jadi benalu dalam pertanyaan tanpa jawaban, Jisoo ingin tahu meski tak tahu kapan lagi bisa seakrab ini dengannya.
"Oh." Walaupun kecewa dengan pertanyaannya karena bukan pertanyaan ini yang Taeyong harapkan darinya, dia tetap memberitahu tanpa ragu sedikitpun. "Orang-orang selalu bilang gue takut tidur malam karena merasa bersalah. Meski awalnya nggak setuju, pada akhirnya gue pun setuju."
"Kenapa?"
"Awal dari kebiasaan ngalong parah setelah adik gue meninggal. Lo nggak perlu merasa bersalah udah nanya gini, toh ini udah berlalu lama." Taeyong melanjutkan lagi walau sesak akan sesal masih menarik ulur rasanya, "Adik gue meninggal di malam seharusnya gue jagain dia, malah ketiduran pulas di kamarnya. Alasan kenapa gue sulit tidur pada malam hari karena takut saat bangun dan sadar kalau malam itu gue tidur lagi alih-alih jagain saudara gue."
Jisoo mengigit bibir bawah kini ragu dengan segala tekadnya dan turut prihatin atas meninggalnya sang adik yang baru beberapa detik ini dia ketahui. Ternyata masih banyak hal yang tidak dia ketahui tentang cowok ini, masih banyak dan kesempatan itu sudah tak ada lagi. Dia sendiri yang membuatnya tak ada.
"Tapi lo bisa tidur barusan?"
Guraunya terdengar hidup akhirnya. "Udah gue bilang alasannya kalau gue mikirin lo bukan rasa bersalah gue. Lucu, ya?"
Dia terdiam lagi tak menanggapi balasan terakhirnya, cukup lama sampai guraunya perlahan hilang dan pada akhirnya Taeyong mengakhiri panggilan pendek mereka dengan ucapan selamat malam dan terima kasih karena Jisoo walau masih terbangun berkenan menerima panggilannya.
Sehingga malam itu pun berubah dari biasanya, sekarang jadi Jisoo yang terbangun sampai pagi tanpa tidur hingga terpaksa paginya membolos. Johnny dan Hwasa mendukung keputusannya malah ikut-ikutan bolos kuliah, kecuali Johnny kebetulan hari itu nggak punya jadwal kuliah. Lalu sorenya mereka sepakat buat pergi bersenang-senang, lebih tepatnya menuruti permintaan Hwasa yang sejak lama ingin berenang bersama Yuta dan kedua temannya sekalian di salah satu tempat liburan di Bukit Kembang.
Ternyata Hwasa bersama Yuta sudah memesan sebuah tempat kemarin dan tempat kunjungan mereka tak seramai kolam renang biasa yang memang khusus buat umum, sementara tempat ini ada dua jenis: umum dan private. Hwasa sengaja memilih private kendati harus mengocek harga sedikit mahal daripada umum. Selain harganya lebih mahal yang setara dengan harga satu kamar hotel bintang tiga, mereka juga dapat fasilitas satu villa standar dan akhirnya sepakat menginap di sana untuk semalaman doang.
Walaupun lebih banyak tertawa berkat lelucon ketiganya ini, batinnya masih terus berdebat hingga terkadang dia melamun saat ketiganya tengah asyik menceburkan diri di kolam air sembari tertawa, bahkan jeritan Hwasa masuk ke telinga kanan lewat ke telinga kiri sementara dia senantiasa duduk melamun di kursi sambil memandang kosong air yang mengisi kolam sampai sedada Hwasa. Menandakan muatan air di dalam kolam itu begitu tinggi.
"Hayoloh." Yuta menegur Jisoo lewat sentakan dua tangan basah itu ke pundaknya. Sambil menyeringai jahil, cowok ini tiba-tiba menarik Jisoo kontan menjerit takut tak siap kena aksi jahilnya, tetapi Yuta tetap berhasil mendorongnya sampai tercebur ke dalam kolam renang.
Johnny berhasil menyelamatkan dirinya tepat waktu setelah masuk ke dalam kolam air tersebut. Lantas menepuk-nepuk punggungnya begitu Jisoo berhasil berdiri di dalam kolam air.
"Jangan ngelamun," tegur sang teman. Dia sekadar mengangguk paham tanpa benar-benar memahami karena sesudah itu dia tetap melamun lagi dan mengabaikan isi keseruan di sekitar.
Pikirannya penuh dengan perdebatan yang tak akan pernah rampung. Bayangan masa kecilnya tiba-tiba muncul pada dasar bawah kolam renang, membuat Jisoo tertarik untuk tenggelam lebih ke dasar demi menyaksikan dirinya di masa lalu. Saat di mana dia merasa tak pernah tahu apa-apa, menganggap bahwa perdebatan serius orang tuanya di dapur hanyalah lelucon orang dewasa mana kala waktu itu dia sering mengintip dari dinding demi menyaksikan segalanya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Rutinitas tersebut sering terjadi bukan hanya sekali namun berulang sampai pada puncaknya saat meja makan tak ada lagi topik yang menarik buat dibicarakan.
Jisoo selalu ingat bahwa ibu sering berkata padanya sesudah perdebatan bersama ayah berakhir, "Ingat, Jisoo. It's okay to not be okay. Kamu ini kuat. Kamu pasti menang." Yang selalu jadi kata-kata andalannya kala ketenangan sedang menjauh darinya.
Dia perlahan sadar bahwa sejak lama dia tahu ini tentang kebiasaan sang ayah menghubungi seseorang waktu ibu tak ada di rumah. Jisoo mendengar semua obrolan bernada manis itu, namun dia selalu melakukan sugesti pada diri sendiri bahwa suara perempuan tersebut adalah ibunya sehingga dia tak perlu merasa khawatir. Mana kala ayah selalu merespon pertanyaannya tentang keberadaan sang ibu, yang menguatkan dugaannya bahwa perempuan barusan memang ibunya karena ayah tahu di mana ibu pergi.
Selalu begini. Dia tahu demikian baik daripada orang lain namun Jisoo selalu berlagak pura-pura tak tahu apa-apa bersama sugestinya yang semakin berlanjut sampai dia sendiri lupa bahwa ibu mulai jarang pulang dan kini hanya tinggal ayah bersamanya. Kepura-puraannya hanyalah pengganti lara yang tak pernah dia bayangkan wujudnya hingga tahun berlanjut ke tahun. Lara itu kian berwujud saat dia sendiri mulai merasakan sendiri perasaan yang sering digembar-gemborkan para orang dewasa.
Jisoo ingin segera lepas dari belenggu kegelisahan ini, ingin tak merasakan apa-apa, ingin memiliki kehidupan tenang tanpa perlu merasa sesal apalagi kecewa, ya dia hanya ingin tenggelam pada dasar kubangan buatannya. Telanjur lelah berdebat dengan batin sampai rasanya seluruh akses berpikirnya mengalami buntu yang melelahkan. Jisoo hanya ingin meninggalkan realita yang selalu dia kecewakan dengan semua sugesti dan kecemasannya hingga dia enggan lagi merasakan semua rasa itu.
Hiks panjangnya kisah ini ternyata 😭🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top