22. Romantic Streams (3)
Taeyong menjauh dari kerumunan setengah jam lalu setelah pamit ke teman-temannya itu untuk sekadar merokok di depan gedung basket, lokasinya lumayan sepi dibandingkan tempat itu yang semakin larut keadaan semakin ricuh—dalam artian baik. Hanya ada segelintir orang dengan seragam panitia berlalu-lalang melewati Taeyong yang berjongkok bersama sebatang rokok menyala di tangan kanannya.
Sudah lama rasanya tidak menyesap tembakau, kapan coba terakhir kali dia merokok? Hmm, kalau enggak salah sih, dua bulanan lalu. Cukup lama untuk ukuran orang yang suka merokok namun bukan berarti si perokok aktif seperti Bobby, justru sebaliknya Taeyong ini pasif dan jarang melibatkan diri sama sebatang rokok kecuali dalam keadaam tertentu.
Tinggal sedikit batang rokoknya akan tandas lalu terbuang ke tong sampah di sampingnya berjongkok ini. Memang senjaga dia memilih tempat merokok sebelah tong sampah supaya dia tidak perlu repot bolak-balik jalan demi buang rokok bekasnya. Selebihnya lagi, pilihan tempat ini lumayan strategis, memudahkan Taeyong guna mengamati interaksi gadis di ujung sana bersama kedua temannya.
Syukurlah. Dia lumayan lega selama mendapati gadis itu yang samar-samar mulai kembali bisa tertawa; pun bicara bersama kedua temannya itu setelah apa yang diucapkan padanya satu jam lalu. Taeyong merasa dirinya agak kurang keren malam ini karena telah mengucapkan beberapa kata omong kosong kepada Jisoo di saat dirinya sendiri masih belum cukup baik.
Tak salah orang-orang menyebutnya bajingan sialan. Taeyong tak akan pernah mendebat apalagi sampai membela diri atas olok-olokan itu karena demikianlah faktanya sebagai seorang pemuda yang penuh cela.
Atensinya semata-mata hanya menjadikan gadis itu sebagai objek tontonan paling menarik di antara lautan manusia. Ke mana pun sepasang tungkainya bergerak, sang manik senantiasa menguntitnya sepanjang malam ini begitu enggan untuk melepas presensi sang dara barang sedetik. Kadang membawanya ke depan, sedetik lagi pindah ke samping Johnny yang bertubuh tinggi sehingga menempatkan cowok itu sebagai dinding penghalang teleskop matanya, kadang pula si gadis bergeser ke samping Hwasa lalu keduanya sama-sama menjerit kompakan dan menyoraki si vokalis band rupawan di atas panggung. Bukannya turut senang atas kegembiraannya kala ini, dia malah merasa sedikit kurang suka lebih-lebih saat raut gembiranya secara alami muncul berkat pria dewasa yang sedang mengajak komunikasi fansnya dari atas panggung.
Ia berdecak setengah dongkol. Andaikan posisi Taeyong ada pada Johnny, pasti dia akan berpaling cepat ke depan gadis itu guna menyabotase tatapan memujanya pada orang lain dan menyuruhnya supaya hanya melihat dirinya seorang. Decakannya kian bergemuruh jengkel hingga timbul suara tatkala seseorang dengan percaya diri berdiri di depannya itu tanpa takut kena dampratan.
Orang tersebut kontan tertawa geli melihat kejengkelannya. Puas telah membuat sosok ini marah dalam hitungan sekejap tanpa perlu berbuat aneh-aneh, cukup menghalangi perhatiannya dia sudah sukses menganggu. Atau bisa jadi cewek ini beranggapan bahwa dirinya sekarang cukup keren telah menyita setengah dari perhatiannya. Setelah cewek itu menyingir, Taeyong bisa melihat gadis di ujung sana lagi.
"Tumben sendirian." Cewek ini mampir sementara mendekat ke arahnya, tapi dia masih berdiri sementara Taeyong tetap duduk dan enggan mendongak padanya. "Wah ... rumor tentang lo yang lagi 'puasa' ini berarti beneran, dong?" Sama sekali tak peduli atas ucapan yang bernada sok manis dan meledek ini, eksistensinya benar-benar tak ada istimewanya, toh buat apa dia harus peduli.
Cewek tersebut lantas ikut berjongkok di sebelah, dengan sok akrab dia menyenggol lengan Taeyong. "Ngelihatin siapa sih, fokus amat."
"Yang jelas bukan lo."
"Itu pun gue tahu," mengikuti arah pandangnya, anggukan di kepala terlihat samar, "calon baru, ya?"
Mendadak Taeyong tertawa sarat akan sindiran yang cukup jelas bagi si cewek ini untuk mengerti. Karakternya masih tetap sama begitu brengsek, belum berubah walaupun belakangan senter terdenger rumor kalau orangnya sedang rehat dari perilaku buayanya itu, dan memang demikianlah cowok ini tak pernah repot-repot untuk bersikap baik terhadap cewek yang sebelumnya pernah berkencan bersamanya.
Akhirnya Taeyong berpaling pada cewek di samping. Tatapan itu langsung menusuk ke dalam bola matanya. Serem, nggak kesan bercandanya sekali. "Nggak usah sinting, pakai segala menyamakan posisinya sama lo. Posisi kalian jelas beda. Lo bukan apa-apa ... di sini."
Dia memang bukan apa-apa di mata Taeyong—oh, bukan cuma dirinya saja, melainkan nyaris semua cewek yang pernah cowok ini kencani, di matanya ini mereka bukanlah apa-apa. Lantas sekarang, saat Taeyong mengakui sendiri bahwa ada satu cewek yang istimewa di matanya ini, lumayan membuatnya tertegun seolah tak menyangka saja akhir penantian dari si cowok brengsek ini tersampaikan juga—barangkali—dan ini beneran akan jadi kejutkan bagi semua mantan-mantan gebetannya.
Cewek tersebut kontan tersenyum membalas. "Terus kenapa lo sembunyi di sini, bukannya sama cewek lo itu?"
Perlahan rautnya kini berubah putus asa dan mudah baginya untuk memahaminya.
"Doi benci gue."
Tawanya timbul, enggan percaya. "Nggak mungkin, kecuali doi pernah lo ajak kencan terus lo ghosting-in kayak gue ... contohnya?"
Mungkin tak ada yang tahu tentang ini, tapi dialah korban ghosting pertama Taeyong. Cewek pertama yang dia kencani, tapi masih ingat namanya demikian baik. Cewek pertama yang pernah dia kencani dan nomer telponnya dia simpan di kontak nama ponsel. Mungkin juga cewek pertama yang pernah dia kencani, tapi masih berkenan untuk menyapa kalau-kalau mereka bertemu di jalan atau sekadar papasan belaka, pun cewek pertama yang punya hubungan lumayan dekat sebagai teman setelah menjadi korban php.
"Hmm, pernah sekali."
"Pantes," katanya tertawa lirih. "Lagian benci itu wajar apalagi sama lo."
Taeyong hanya berdehem menyahut sekenanya karena atensinya berpaling pada Jisoo.
"Cewek kayak dia paling senang tinggal di zona aman, sementara lo kebalikannya. Dia nggak suka terlibat masalah, sebaliknya lo suka buat masalah dengan sikap blak-blakan lo ini yang kadang nyebelin."
Dia bergumam seadanya lagi namun kali ini disertai anggukan samar yang membenarkan argumentasi tentang perbedaan itu. "Tahu dari mana lo soal doi?"
Eunbi memutar bola mata malas. Walau tahu siapa namanya, saling menyapa dan mengolok-olok, dan bahkan mereka berteman lumayan dekat namun Taeyong tetap akan melupakan presensi sejatinya ini.
"Gue sering ketemu doi di perpus pusat setiap waktu."
"Bukan berarti ketemu bisa langsung menilai 'kan?"
Eunbi tertawa pendek. "Nggak perlu kenalan dulu buat tahu gambaran mendetailnya. Dari luar aja udah kelihatan banget orangnya gimana, apalagi setiap ke perpus doi sering bareng temannya terus ngobrolin banyak hal yang kadang-kadang gue curi denger, hehe, ini nggak sengaja, lho. Nah, asumsi gue berdasarkan menguping, doi emang tipe paling aman kalau tetap berada di zona nyaman."
"Menurut lo ... gimana?"
"Bukan benci tepatnya ...," gumamnya berpikir sedikit serius. Lagaknya kayak cenayang saja tengah menerawang keperibadian seseorang. Memang lucunya beginilah Eunbi kadang-kadang sok tahu, tapi kadang-kadang kesoktahuannya ini tepat sasaran. "Doi punya batas-batasan tertentu, kalau sama lo berarti harus keluar dari zona nyaman yang artinya bagi orang-orang kayak dia tuh, bunuh diri."
"Gue pikir juga gitu," lanjutnya, "doi keseringan self defense yang cenderung bikin dia jadi cemas berlebihan gitu."
Eunbi manggut-manggut seakan mengerti sebagian dari cerita ini. Beginilah mereka setelah mendeklarisakan diri sebagai teman, sadar kalau keduanya juga sering bertukar pikiran dan berbagi kisah secara personal.
"Diam-diam gue pernah nanya ke temannya soal doi yang gampang banget cemas sampai ketakutan sendiri," mengingat beberapa kejadian saat sosoknya tak bisa berhenti menangis di kamar, "dari ceritanya kurang lebih doi anak broken home, tapi baru tahu keluarganya berantakan di hari kematian bokapnya. Jadinya dia kayak shock berat gitu."
Kepalanya menoleh, perlahan tatapan itu berubah jadi ancaman. "Awas aja lo ngomongin soal ini ke orang-orang."
"Ya elah, kayak gue pernah ngejelekin masalah lo aja ke orang." Dan terus terang Eunbi belum pernah menjelekkan ataupun membeberkan seluruh cerita-ceritanya, kendati dia pernah menyakitinya dulu. "Bukannya dengan begini sama aja kayak lo, Yong?"
"Apanya yang sama?"
"Kalian ... sama-sama shock," tuturnya kembali pada mode serius dan sok tahunya itu. "Gue kurang tahu efek ke doi seperti apa, bukan ranah gue, Coy. Sementara kalau lo efeknya ke jam tidur jadi berantakan."
"Udah deh, jangan bawa-bawa hal gituan lagi."
"Bukan bawa-bawa cuma ... lo nggak capek harus tidur pagi melulu?"
"Enggak."
"Halah. Bullshit banget!" cemoohnya. "Ortu lo udah paling bener nyuruh-nyuruh lo buat ikut terapi kelompok, barangkali dengan rutin ikut kegiatan positif itu, lo lebih bisa menerima diri dan berdamai sama kesalahan yang emang bukan salah lo."
"Bi, lo bisa diam enggak, sih?" selanya langsung tak senang jika topik sudah menyangkut masa lalunya. "Rasa-rasanya gue nyesel pernah cerita sama lo."
Eunbi terkekeh dan mengikuti berdirinya cowok ini dari posisi duduknya. Beginilah dia selalu menghindar setiap kali punya waktu untuk berbaikan dengan masa lalunya.
Sebelum cowok itu menjauh, Eunbi sekali ini menasehati. "Ingat kata-kata gue, ya. Sementara lo begini bersama rasa bersalah lo itu, adik lo yang harusnya udah tenang di surga jadi makin nggak tenang ngelihat saudaranya begini."
Selebihnya dia tidak mendengarkan apa-apa kelanjutan dari nasehatnya itu, Taeyong menggerutu luar biasa dongkol setiap kali bertemu Eunbi pasti selalu bawa-bawa masalah personal-nya, padahal cewek itu tahu sekali kalau Taeyong benci dinasehati masalah jadwal tidurnya yang berantakan, ditambah kalau sampai menghubungkan kebiasaannya itu dengan kematian sang adik. Bukan cuma Eunbi telah berbuat demikian, orang tuanya pun serupa.
"Pas-pasan lo kemari," sapa Johnny berbicara dengan suara sedikit lantang karena lagu berikut lebih kenceng dan suara vokali yang lebih banyak teriak daripada nyanyi. "Nitip dua anak, ya." Menyeret dua cewek di sebelah kanan-kirinya secara bersamaan lantas disodorkan kepada Taeyong yang berdiri sambil menatap mereka bergantian.
"Gue mau ngurus gawean, nggak bisa nemenin lama-lama lagi. Atau misal mau, boleh ajakin mereka balik toh acaranya setengah jam selesai."
"Nggak, nggak, gue mau nunggu Yuta," kata Hwasa sudah aktif mengotak-atik ponsel, menelpon sang kekasih.
Lalu Taeyong menatap Jisoo yang langsung membuang muka ke arah Johnny.
"Oh, berarti gue cuma nitip satu anak kalau gitu." Johnny mendorong Jisoo yang setengah hati ogah-ogahan berdekatan sama Taeyong walau memohon sekalipun toh ujung-ujungnya dia tetap harus di sebelah cowok ini. "Nitip anak yang paling kalem, biar anak paling bandel minggat sakkarepe dewek. Sementara gue, sebagai bapak mereka mau kerja dulu."
"Bapak? Papah, lah!" sahut Hwasa di sela-sela obrolannya bersama Yuta via telepon.
"Serah, deh. Gue pergi dulu."
"John, jangan lupa!" teriak Jisoo membuat Johnny sempat berhenti lalu mengangguk paham.
"Lupa apaan?" tanya Taeyong sekadar ingin tahu saja.
"Foto gantengnya mas vokalis yang eksklusif. Kalau sama Johnny pasti bisa minta foto sekali atau dua kali vokalisnya doang," jawab Hwasa karena Jisoo kelihatan enggan menjawab. "Idihhhh ... yang bener aja lo! Gantengan juga vokalisnya daripada lo. Bodoh amat sekalipun lo laki gue. Buruan ke sini, nggak usah pakai alasan lagi, gue ngelihat ya, lo sama adik tingkat itu lagi." Dan barusan dia membalas ucapan Yuta dengan galak.
"Mau balik sekarang?" Pertanyaan itu sekadar mendapatkan anggukan kepala tanpa menatap dirinya. Taeyong memaklumi sementara sikap ini, sosoknya jelas sedang was-was mengingat ada beberapa pasang mata menatapi mereka kepo, dan tatapan itu berasal dari teman-teman Hwasa.
"Sa, mau balik sekalian?"
Hwasa menatap agak garang ke Taeyong. "Enggak. Udah gue kasih tahu tadi—yang, yang, yang terus pala lo pekyang! Buruan nggak lo ke sini selama gue masih mau maafin lo?!"
"Oke, deh," balasnya tak mengacuhkan aksi mengomel Hwasa ke pacarnya itu. Taeyong lantas merangkul pinggang Jisoo diam-diam, menghindari tatapan orang-orang tersebut yang terus-terusan mencari tahu, menggiringnya keluar dari lautan manusia sambil terus menjaganya agar tidak tertarik masuk ke dalam lautan manusia ini.
"Btw, kita pulang naik mobol. Gue nebeng teman ke sini tadi. Nggak mau ngerepotin juga kalau mereka masih seneng-seneng." Kemudian mengajaknya berhenti sementara di pinggir lapangan setelah melewati pagar pembatas konser. "Gue pesen mobol dulu sama kabarin mereka."
Jisoo mengangguk diam. Namun juga enggan mendebat kala lengan itu melingkar di pinggangnya. Dengan kepala menunduk dia hanya mampu melihat sepatunya dan mendengarkan suara pemuda ini bicara ke temannya itu untuk pamit.
"Ayo." Tangannya gantian menautkan kelima jarinya dan menggiringnya keluar dari sesaknya umat manusia.
Malam ini mereka pulang dalam suasana hening tanpa obrolan panjang. Sedikit obrolan yang juga hanya dapat sedikit balasan. Mereka sama-sama lelah untuk malam yang terasa panjang ini, cukup lega karena si driver mobol menyetelkan lagu tenang sebagai pengisi ketenangan.
Bahkan sesampainya di rumah silent treatment itu masih berlangsung lama, bukan sesuatu yang memuakkan, justru sesuatu paling memuaskan karena tak ada yang perlu mereka debatkan di saat keduanya sedang ingin mendinginkan kepala. Setelah bersih-bersih badan Jisoo langsung masuk kamar dan tidur, Taeyong tetap berjaga di ruang tengah bersama temannya yang muncul satu jam kemudian pun Hwasa bersama Yuta sedangkan Johnny malam ini tidak akan pulang.
Lantas esoknya tatkala pukul satu siang dia bangun tidur, langsung bergegas mandi, dan siap-siap ke kampus berkat telpon Bobby yang mengatakan kalau Pak Budi mencari dirinya karena tahu selama ini Taeyong hanya titip absen. Alamak kena sidang dosen sendiri. Saat mau berangkat dia papasan sama Yuta yang semalaman menginap terus tak lama Hwasa muncul, ternyata keduanya sepakat bolos kuliah.
"Tumben banget mau ketemu dosen." Yuta terkekeh meledek, tahu persis kalau Taeyong ini sebagai mahasiswa jarang ketemuan sama dosen. "Kayak kita-kita dong, bolos."
Dia hanya tersenyum menanggapi hal demikian.
"Jisoo juga bolos kok," ujarnya.
Kontan dia menoleh dengan alis menukik heran. "Dia ... bolos?"
Yuta membenarkan cepat. "Ho-oh, bolos. Tadi pagi gue nganterin doi ke terminal."
"Terminal?"
"Iya."
"Ngapain?"
Yuta mengidikkan bahu tak tahu-menahu. "Nggak usah tegang gitu mukanya. Doi bakal balik lagi, cuma pergi dua hari doang, katanya sih gitu."
"Sa, emang teman lo mau ke mana?" tanyanya karena percuma nanya sama Yuta nggak bakal tahu juga.
Hwasa setengah malas berjalan itu langsung bersandar di tembok, tangan melipat di dada, dan kaki menyilang untuk menyeimbangi posisi berdiri. "Ketemu mamahnya."
"Ngapain?"
"Yaelah, tong, gituan segala ditanya buat apa ketemu emaknya," decak Yuta heran sama kekepoannya ini. "Anak ketemu emaknya, pasti kangen, lah. Emangnya lo jarang balik padahal rumah deket?"
Taeyong meliriknya sinis.
"Doi pergi buat ngurus berkas-berkas habis itu balik kok, paling dua atau tiga harinan kalau urusannya selesai."
"Ngurus berkas apa?"
"Ckck, kepo bener nih, laki." Lagi-lagi Yuta meledek yang harus dia abaikan kesekian.
Hwasa dengan sabar menjelaskan, "Warisan."
"Wihhhh, kaya raya, dong?" Astaga, mulut Yuta benar-benar nggak bisa diam.
"Ceritanya jangan setengah-setengah, Sa," timpal Taeyong agak kurang paham. Dan yeah, tuduhan Yuta sangat tepat sasaran kalau dia ini kepo dengan urusannya itu karena sempat berpikiran Jisoo pulang gara-gara dia.
"Iya, warisan kurang lebih begitu. Doi anak tunggal, bokapnya nggak ada. Sementara nyokap yang harusnya tanda tangan tetek bengek gitu enggak bisa apa-apa, jadi Jisoo ke sana sebagai pengganti. Gue sendiri kurang tahu persis gambaran masalah ginian."
"Kenapa nyokapnya nggak bisa?"
Yuta ingin menimpali namun langsung teredam oleh pernyataan Hwasa. "Mana bisa. Nyokap dia kena alzheimer."
Ternyata udah sampai part 21 hoho sebelum Agustus ini nanti udah ending kok hohoho mau brojolin yg lain soalnya 🐣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top