19. Happy Times

“Ssst ... ketawanya jangan kenceng-kenceng.” Jisoo menegur Taeyong yang keterusan waktu ketawa pakai suara itu. Biar dua temannya yang masih tidur enggak kebangun gara-gara suara tawa mereka.

Sorry, sorry,” balasnya sambil mengontrol suara tawanya sedemikian tenang. Namun, tak bisa dipungkiri jikalau Taeyong tak bisa untuk berhenti cekikikan berkat lelucon konyol Jisoo tentang teman sekelasnya itu.

Obrolan random tentang segala hal gadis ini ocehkan padanya. Dari setengah lima pagi lalu mereka berada di kamar berduaan—kamar Jisoo pastinya. Berawal dari si gadis yang prihatin padanya. Pemuda ini sepanjang malam tsampai menjelang pagi rebahan di sofa karena kamar Johnny terkunci dari dalam, temannya itu sungguh mendepak dirinya semalaman. Sehingga dia pun mengizinkannya untuk istirahat di kamarnya, sementara dia nanti akan melanjutkan tugas kuliah.

Awalnya hanya ada Taeyong tiduran di kasur sambil memandangi punggung Jisoo yang membelakanginya. Cewek tersebut amat sibuk bersama pikiran dan kosentrasinya demi merampungkan tugas kuliah yang sempat dia anggurkan semalaman, sebelum kemudian dia mulai mengeluh. Mengeluhkan isi kepalanya yang buntu; pun mengeluhkan perilaku Taeyong, bukannya tidur malah menontonnya seolah dia adalah bintang tamu utama pada sebuah realty show di TV sehingga kosentrasinya jadi buyar.

Lantas Jisoo ikut bergabung cowok itu dengan merebahkan tubuh di sebelahnya sambil terus berceloteh tentang banyak hal, tanpa mengacuhkan apakah Taeyong mendengarkan seluruh celotehan random-nya atau justru cowok ini sudah hanyut pada bunga mimpi setelah sosoknya sempat terheran-heran oleh perilaku lain si gadis yang ternyata punya sisi sebagai “mbak-mbak cerewet” dengan segala topik kecerewatannya.

Faktanya Taeyong tidak melakukan itu malahan perhatiannya saat ini hanya berpusat pada Jisoo seorang. Seolah-olah gadis ini dari bintang tamu realty show kontan menjelma sebagai komedi putar paling menyenangkan sepagi ini. Dengan ekspresi tanpa bosan Taeyong setia jadi pendengarnya. Mendengarkan ocehannya yang kebanyakan tidak dia mengerti sama sekali, hanya saja sekali-kali dia menanggapi dengan anggukan dan senyuman yang tak pernah lekang dari reaksinya itu. Kadangpula terkekeh geli bukan karena lelucon itu, melainkan karena seraut konyol Jisoo yang demikian menghibur dirinya.

Jisoo sungguh memahami situasinya kalau dia baru saja menjadi orang paling banyak bicara pagi ini, namun meski tahu begitu dia tak bisa berhenti. Taeyong sendiri seperti enggan buat menghentikan dirinya walaupun nanti dibuat bosan pun dia akan tetap jadi penggemar coletahan random-nya itu. Kebiasaan ini sering muncul acapkali dia sudah tak bisa mengajak kompromi isi kepala, pertanda jika dirinya mulai menyerah dengan semua tugas kuliah, dan berceloteh adalah pelampiasannya.

Akan tetapi, dia paling gampang merasa tak senang bila harus mengoceh sendirian pada situasi sekarang. Jisoo suka ditemani kendati seringnya orang-orang jadi jenuh dengan semua topik random-nya dan kadang-kadang dia juga melebih-lebihkan nada bicaranya demi sebuah improvasi biar ada kesan menyenangkan sehingga baik Jisoo maupun si pendengar, mereka bisa sama-sama terhibur.

Mungkin juga kebiasaannya dulu sebagai pendengar setia sang ayah hingga kemudia dia mengikuti.

Biasanya Johnny ataupun Hwasa sering menghentikan sebagian banyak dari ocehan Jisoo kalau mereka mulai bosan. Sesuatu yang sangat disukai dari kedua temannya ini, mereka rutin berkata jujur tanpa harus berpura-pura senang dan memaksakan diri buat jadi pendengar ocehannya demi membuat dirinya senang. Jisoo lebih senang jika ditegur daripada  dibohongin. Malahan kedua temannya lebih merasa senang bila Jisoo tetap jadi orang paling anteng di paviliun bersama tugas rasa pacarnya itu daripada sisi cerewetnya.

Beda sekali dengan ketenangan Taeyong selama dua jam jadi pendengarnya. Jisoo mulai bosan bercerita, akhirnya berhenti bicara.

“Capek ngomong terus.” Pun sadar kalau dari tadi dia lebih banyak nyerocos daripada Taeyong.

Taeyong terkekeh melihat ekspresi lelah bicara pada serautnya. “Gak apa-apa, gue dengerin.”

Alisnya menukik kala teringat sesuatu. “Udah jam segini lho, gak mau tidur?” Bisa-bisanya cowok ini bertahan tanpa tidur sampai pukul tujuh pagi, luar biasa hebat dalam urusan mencari penyakit. Jisoo saja bawaannya pengen balik tidur lagi setelah bangun pukul empat tadi yang seharusnya buat melanjutkan tugas malah ambyar, ya sudah akhirnya dia berjaga bersama Taeyong.

“Belum ngantuk.”

Telunjuknya kemudian berhenti di bawah kantung mata Taeyong yang hampir menyerupai mata panda itu, hitam dan tampak begitu letih. Menuding kebenaran di balik kebohongan ucapannya. “Mata lo lihat deh, udah kemerahan. Emang gak capek gitu rutin melekan sampai pagi?”

“Biasanya capek kok,” akunya tiba-tiba merubah posisi tidur jadi menyamping menghadap Jisoo.

“Terus sekarang enggak, gitu?”

Lagi, dia terkekeh geli sambil mengamati dirinya yang berjarak cukup dekat. “Belum.”

Membuat matanya memicing. Jisoo lantas ikut merubah posisi tidur jadi menyamping dan membalas tatapan pemuda ini. “Kenapa gak pernah tidur malam?” tanyanya begitu antusias  penasaran penyebab sesungguhnya insomnia parah Taeyong.

“Justru karena bosan tidur malam, pengennya tidur pagi gitu,” kelakarnya membuat si gadis menggurutu, tak percaya atas jawabannya ini.

“Padahal kebiasaan ngalong itu gak baik.”

“Iya, tahu.” Atensinya terus saja memindai serautnya bermulai dari mata, turun ke pangkal hidup, pipinya yang perlahan merona, dan bibir pink polos tanpa warna buatan. Kemudian kembali menatap maniknya. “Kebetulan aja cemas buat tidur malam.”

Upayanya mencari tahu rahasia di balik seraut tenangnya ini tak berhasil. Jisoo belum menemukan apa-apa tentang sesungguhnya pemuda ini. “Kenapa harus cemas?” Saat tangan itu menebus dinding tak kasat mata di antara muka dan ketika sang ibu jari mulai menyentuh pipinya, dia sempat tersentak sesaat kemudian merenung diam dan sekadar mendongak padanya.

Wajah Jisoo kontan memerah seiring gerakan ibu jari Taeyong mengusap pipinya dengan telaten dan perhatian berlebihan.

“Berkat sugesti diri sendiri,” akunya seiring gerakan sang ibu jari yang memanjakan pipi Jisoo lewat sentuhannya. “Kurang lebih begitu kata psikolog.”

Dia terbeliak kemudian tak pernah menyangka jika sosoknya ini pernah bertemu psikolog atau barangkali masih menjalin janji temu dengan ahlinya itu demi insomnia parahnya itu. Sungguh berbeda dari Jisoo yang selalu menolak bertemu dengan psikiater sang ibu.

“Lalu?”

“Hm?” Taeyong yang sempat bengong kontan mendongak tepat ke mata sang dara. “Lalu apa?”

“Itu tuh, ketemu psikolog. Lalu hasilnya apa?”

“Oh ...,” sahutnya pendek lalu bahunya bergidik tak tahu-menahu, atau tepatnya enggan memberitahu. Toh, pertemuan itu sudah terjadi cukup lama dan Taeyong bahkan sudah tidak pernah lagi menemui psikolognya itu. Dulu merupakan permintaan dari orang tuanya yang prihatin atas perubahan perilaku bukan tanpa sebab apalagi dadakan putranya, sehingga keduanya pun bersikeras memaksa supaya Taeyong berkenan mengemui psikolog demi membantu kebiasaan tidurnya yang semakin menjadi parah.

Tapi semenjak Taeyong memutuskan buat menyewa rumah dengan akal-akalan ingin lebih dekat kampus padahal jarak rumah sendiri dan kampus lumayan dekat dibandingkan jarak rumah sewaannya. Keputusannya keluar sementara dari rumah menyebabkan janji temu bersama psikolog selalu dia lewatkan dengan beragam alasan, Taeyong sering membawa-bawa kegiatan kampus sebagai alasan absen dari janji temu, dan entah mengapa selalu berhasi menipu kedua orang tuanya.

Karena tahu Taeyong tidak akan bercerita lagi padanya, Jisoo yang hendak bangkit buat pergi ke kamar mandi segera ditahan oleh tarikan kuat dan rengkuhan kedua tangan itu hingga punggungnya jadi menempeli dada sang pemuda. Jisoo terbeliak dan kontan memekik tatkala tubuhnya terkurung dalam dekapan Taeyong yang luar biasa mengejutkan.

“Taeyong!”

“Ssst,” lirihnya berbisik sembunyi di belakang kepalanya. “Gue mulai ngantuk, Jis.”

Dia mencoba untuk melihat sosok yang perlahan mendesak untuk tenggelam di bahunya itu, namun upayanya sia-sia belakang mengingat posisinya sekarang tengah membelakangi pemuda tersebut. Jisoo hanya bisa melihat kepala Taeyong dan merasakan gerakan kepala bersandar di atas pundaknya.

“Terus kalau ngantuk kenapa mesti begini?” Sambil mencubit lengan yang melingkari perutnya, tapi baru dua kali mengusik saja tangannya langsung ikut tenggelam dalam dekapannya. “Gue mau mandi,” protesnya mengerang setengah bete.

“Gue mau tidur.”

“Ya ... terus?”

Taeyong setengah mengangkat kepalanya untuk sekadar membalas tatapan mata Jisoo. Dia lalu menyeringai seiring tatapannya bertemu dengan sudut mata sang gadis dalam upayanya ingin melihat sosoknya, kemudian tangannya mengeratkan dekapan semakin kencang, dan tepi bibirnya kontan mendekat ke daun telinga si gadis bermata coklat terang jika berada di bawah terang ini. Perlahan dia berbisik yang lantas menciptakan sensasi ganjil hingga menyengat alam bawah sadar sang gadis, pun membuat kupu-kupu di perutnya terbangun setelah sekian lama tak pernah merasakan gejolak demikian.

Jisoo masih dalam upaya melihat sosok yang mengukungnya dalam pelukan. Hanya sebagian dari rautnya bisa tertangkap oleh sudut matanya setiap kali dia mencoba menengok sosok di balik punggungnya itu. Si gadis kontan saja tertawa geli saat si pemuda menggodanya lewat bisikan jahilnya.

“Ta-tapi ... gue harus kuliah, Yong.” Masih pula bersama upaya merajuk supaya Taeyong berkenan melepaskan kurungannya. Biarkan Jisoo melakukan aktivitas rutinnya setiap pagi, sementara dia bisa menikmati jam tidur tanpa perlu merasa terganggu akan eksistensinya.

“Oke.” Lalu gadis itu bebas dari kurungannya semudah itu, dan memberinya kesempatan baginya untuk mengubah posisi dari membelakanginya jadi menghadapnya sehingga tatapan mereka kali ini dapat saling bertemu. Beradu pandang dalam hening diselimuti oleh perasaan ganjil yang entah bagaimana telah memberi ruang untuk keduanya berdamai.

Jisoo ingin mengatakan sesuatu padanya sebelum beranjak dari posisi ini, tetapi seluruh kata-kata yang sudah dia rangkai sedemikian apik hanya mampu berdiam di kerongkongan. Menimbulkan kemacetan total yang nyaris menyamai keadaan jalanan ibukota sepanjang waktu. Lalu alih-alih bicara dia memilih tersenyum seiring sang obsidian memotret rupa sejati sang adam tanpa melewatkan bagian tertentu dari miliknya.

Taeyong sama sekali tidak cacat, pantas banyak gadis mengincarnya. Pemuda ini sejatinya memang terlahir sebagai pemuda tampan penuh pesona dengan garis wajah yang menonjol di mana-mana, terutama pada bagian jawline-nya. Definisi sesungguhnya dari pujaan hati para gadis dan dia telah sukses memanfaatkan kesempurnaannya ini meski dengan cara yang salah.

Lagi pula menjadi orang brengsek adalah pilihan bukan atas paksaan. Dia sendirilah yang membentuk citra jeleknya itu demi kepuasaan diri. Dia tentu mengerti cukup baik jika perbuatannya amatlah salah, dan lucunya meski tahu letak kesalahannya sendiri, dia tetap melakukan tindakan itu berulang-ulang hingga menjadi tabiat tanpa peduli sudah berapa banyak gadis yang telah dia lukai itu. Semua perbuatannya semata-mata demi kepuasaan diri yang selama ini telah menguasai egonya sebagai kaum jantan.

“Jis.”

“Hm?” Giliran dia yang terbangun dari lamunanannya. Jisoo kemudian mendongak untuk membalas tatapan Taeyong yang sekarang lebih tampak serius dan mengunci perhatiannya.

Stop being like this.”

Jisoo mengernyit. “Kenapa?”

Jemarinya kembali bergerak ke depan demi menggapai wajahnya. “I warn you to be careful. Becouse you’re about to fall so damn in love with me.”

Yang membuatnya lalu tertawa geli dan menggeleng samar. “No.”

Taeyong menyelipkan sehelai rambut ke balik daun telinganya dan menarik tubuhnya sedikit lebih mendekat. “Yes, you will. Because I'm ready to fall in love with you.”

Jisoo kembali tergelak oleh tawanya, jelas merasa terhibur kemudian hanyut pada momen itu. Sentuhan pada wajahnya kali ini terasa lebih intens dan Taeyong bergerak mendekat hingga Jisoo dapat merasakan tarikan napasnya.

Mata Jisoo terpaku padanya saat kepala Taeyong membungkuk dan berhenti tepat di depan wajahnya. “Damn. I want to kiss you so badly.” Atensinya memindai seraut sang gadis lamat-lamat sebelum dia mendekatkan wajah padanya. Alih-alih mencium bibir yang terus menarik perhatiannya dia justru mencium pipinya.

Sekujur tubuh Jisoo menegang hebat seiring kecupan-kecupan yang berulang di pipi lalu berhenti di puncak kepalanya selagi tangannya kembali merengkuh tubuh rampingnya ke pelukan.

“Sekarang tidur,” bisiknya di atasnya saat dagunya yang runcing bersemayam di puncak kepala Jisoo.

Jisoo tersadar namun hanya sanggup mendongak, melihat garis menonjol dagunya. “Hmm ... kuliah?” tanyanya sedikit ragu.

Perhatian Taeyong terun padanya bersamaan dengan seringai kecilnya. “Sementara libur, ya.”

Dia ingin protes, tapi langsung tenggelam berkat pelukannya menyebabkan dirinya terjebak pada dada bidangnya yang kokoh.

Updatenya sedikit terlambat dari biasanya huhuhu jadi budak invoice dulu tadi 🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top