17. Let's Talk About You (2)

Sementara Jisoo lagi nyari buku di antara rak-rak yang berjejeran rapi dengan segala anek ragam tumpukan bacaan, dia menunggu alih-alih ikut menemani. Pusing kalau cuma lihat pemandangan buku, lebih-lebih bagi orang awam yang jarang ke perpus kayak dia gini. Taeyong hanya mengamati orang-orang yang bergantian keluar-masuk dari barisan rak satu ke rak berikutnya sambil menentang dua sampai lima buku sekaligus.

“Buset banyak amat,” komentarnya tak pernah berhenti selama jadi pengamat.

Dia kapok waktu pernah mengikuit Jisoo di perpus kampus dulu, kepala puyeng mana lagi orang yang diikuti mesti cari dari rak ke rak berikut kalau buku belum ketemu. Buat kali ini dia pilih menunggu, duduk di sofa bagian ruang tunggu, untung banget nih, perpus sediakan ruang nyaman buat menunggu, kalau enggak jadi puyeng kepalanya terpaksa ikut sampai tuh cewek berjodoh sama buku.

Barangkali eksistensinya terlalu menonjol di antara para tamu perpus yang rata-rata adalah perempuan. Ada segilintir cowok dan sebagian pun—maaf, maaf, aja nih—mereka kurang up to date dari fashion sampai ke muka, enggak kayak Taeyong super necis dari atas kepala sampai ke kaki. Bukan rahasia umum lagi kalau mendadak dia jadi obyek utama lirikan para cewek. Sambil cari buku, mereka juga curi-curi pandang ke padanya.

Sekali noleh, belum puas. Dua kali noleh, masih kurang. Tiga kali noleh, masih belum dapat apa-apa. Pokoknya tidak akan pernah puas kalau belum dapat balasan senyum dari si cowok ganteng. Walaupun nggak ada niat buat nyamperin para cewek cantik yang memberikan senyum ajakan kenalan itu, Taeyong tetap melontarkan balasan cengiran andalannya nyaris ke semua cewek.

Mereka senyum; Taeyong pun membalas. Tangan melambai kecil ke arahnya; dia cukup mengangguk dan senyum. Ada pula yang sampai nekat mendekat, pura-pura duduk di sofa sama, dan berlagak tidak melihat keberadaannya di situ—biasalah teknik pendekatan cewek sebelum menyunggingkan senyum dan sapaan sok akrab.

Taeyong membalas tanpa basa-basi. Cuma kali ini dia tahu diri buat merespon seadanya selama ajakan kenalan.

Cewek kenalan barunya namanya Joy. Dia satu semester di bawahnya dan ambil jurusan matematika yang bikin Taeyong berdecak heran. Ternyata ada juga mahasiswi jurusan matematika bentukan cantik nan bohay luar biasa.

Surainya panjang dan hitam. Ada sedikit sentuhan wavy menciptakan kesan indah pada sang mahkota si gadis. Orang-orang kayak Joy ini tipikal rutin merawat diri ke salon. Bibirnya penuh dan agak tebal bagian bawah. Rok panjang hitam membungkus tubuh rampingnya demikian sempurna dipadukan sama kemeja putih, sangat mahasiswi dari Universitas Glori.

Jenis universitas pendidikan. Rata-rata mahasiswa dan mahasiswinya pakai seragam kalau ke kampus, seperti yang digunakan Joy bahkan ada juga yang seragam batik persis kayak seragam sekolah dulu, beda sama kampus Taeyong tidak ada aturan berpakain di kampus apalagi seragam. Boleh pakai pakaian jenis apa pun selama itu sopan dan tidak senonoh.

Joy jelas tahu bahwa dirinya terlahir cantik jelita. Orang seperti dia begini nggak perlu repot-repot cari cowok, pasti sudah banyak yang mengantri selama si cantik lewat depan fakultas yang isinya jantan doang. Tapi nyatanya si cantik ini tetap mendekati si jantan yang baru beberapa menit lalu ketemu. Yakin dia pasti unggul dalam segala hal, mungkin otak juga mengingat jurusan yang diambil, sebab itu si cantik dengan percaya diri langsung nyamperin Taeyong.

Andaikan sekarang Taeyong bukan subjek penelitian Jisoo, dia pasti langsung gas pol menanggapi ajakan kenalan Joy dengan tangan terbuka lebar-lebar. Mungkin juga akan langsung mengajak si cantik keluar buat nge-date atau minggat dari perpus dan bergegas pindah ke suatu tempat yang romantis.

“Ohh, dari kampus tetangga,” balas Joy bersama suara merdunya kedengarannya sungguh menggoda.

Taeyong ingin sekali menatap Joy yang rupawan dan duduk di sampingnya ini lama-lama demi memuja keindahan yang sudah dimilikinya sejak lahir. Namun, atensi Taeyong menolak berpaling lama-lama dari sosok yang berdiri di antara dua lemari buku raksasa tersebut. Walaupun sebagian dari tubuh gadis itu sembunyi di balik lemari, Taeyong masih bisa menemukan eksitensinya yang sibuk membolak-balikkan lembar per lembar buku.

Dia terus mengamatinya seiring cengiran kecil tersemat di bibir, sampai sang dara mengangkat wajah dari buku, dan tatapan mereka saling berserobok. Mungkin Jisoo sudah merasa diamati seseorang terus-menerus sehingga atensinya langsung menuju ke Taeyong, entah kenapa bisa menemukan cepat orang yang melihatnya tanpa henti.

Dahinya mengernyit seiring tatapan mereka beradu. Lalu melihat cewek asing di samping cowok itu, mereka kelihatan sudah menjalin komunukasi ringan selama Taeyong menunggunya. Jisoo berdecak masa bodoh terhadap Taeyong dan cewek kenalan barunya tersebut. Cuma awas saja kalau dia sampai melanggar perjanjian.

Jisoo mendesah jengkel karena buku belum ketemu-ketemu juga setelah setengah jam berkeliling. Dia pun mendekati si mesin pencari, guna memastikan sekali lagi keberadaan si buku terletak di rak bagian mana, barangkali Jisoo salah mencatat. Harusnya sih, ada soalnya Jisoo yakin telah berada di tempat benar dan hasil pencarian di komputer sama dengan coretan tangannya di kertas kecil.

Melupakan si komputer, dia beralih mendekati tempat penjaga Perpustakaan Universitas Glori.

“Mas.” Cowok tersebut mendongak cepat usai panggilan pertama. Bibirnya menggulum senyum sapaan akrab, mereka sudah sering bertemu di perpus ini semenjak Jisoo rajin bertamu demi sebuah buku. “Bukunya Slamento nggak ada, ya? Saya cari di rak bagian F enggak ketemu-ketemu.”

“Kalau nggak ada berarti masih dipinjam sama orang, Mbak.”

“Kira-kira adanya kapan ya, Mas?”

“Saya juga kurang. Mau saya lihatin?”

Dia mengangguk pasti. “Iya, Mas, minta tolong cariin. Lagi butuh banget, nih.”

Si penjaga perpus cukup mengerti kebutuhan si mahasiswi, kontan mencarikan tanggal pengembalian buku berdasarkan nama si penulis. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan informasi tersebut. Teknologi sekarang canggihnya tak terbatas, mana lagi jaman saat ini pemberkasan nggak perlu pakai manual, catat saja semua pakai teknologi bernama komputer biar lebih gampang buat cari sesuatu di pemberkasan.

“Lusa buku sudah dikembalikan kok, Mbak. Semoga aja si peminjam nggak lupa.”

Jisoo bernapas lega dan berharap si peminjam tepat waktu mengembalikan bukunya. Lusa pun nggak masalah selagi bisa pinjam buku itu demi teori skala. “Oke. Makasih ya, Mas. Oiya, kalau bisa pas bukunya udah balik simpanin dulu ya, biar nggak dipinjam orang lain.”

Pemuda tersebut mengiyakan namun tidak bisa berjanji dalam benak. Setelah itu, Jisoo menuju ruang tunggu, ke tempat Taeyong yang duduk-duduk santai berdua sama cewek kenalannya.

“Ayo!” serunya memotong obrolan mereka padahal lagi seru-serunya malah diganggu.

Joy kontan mendongak demi menatap Jisoo, penasaran sudah pasti. Sempat mengira cewek ini salah gabung, tapi pas lihat Taeyong langsung berdiri di sebelahnya, Joy langsung tahu diri.

“Nemu bukunya?” tanya Taeyong sedikit bingung ketika melihat dua tangan Jisoo malah kosong.

“Ada yang pinjam dan baru dikembaliin lusa nanti.”

“Lusa ke sini lagi?” tanyanya sekali lagi.

Jisoo cuma mengangguk seadanya, sedikit kurang nyaman juga soalnya mata Joy terus menerka-nerka dirinya. Kelihatan banget kalau dia kepo sama Jisoo, terutama hubungannya bersama Taeyong. Mengingat selama obrolan mereka cowok ini tidak pernah mengungkit kalau dia kemari sama pacar atau teman cewek.

“Hmm, gue tunggu di parkiran, yah.” Lalu dia pamit asal pergi demikian cepat tanpa menunggu Taeyong atau basa-basi sama cewek tadi buat pamitan—siapa namanya juga Jisoo enggak tahu dan bodoh amat—niatnya cuma pengen Taeyong menyelesaikan urusannya sama kenalan barunya itu.

Sampai lantai dasar dia menuju loker, kontan menyesal tatkala lupa meminta kunci loker yang masih dibawa Taeyong. Mau balik naik ke atas tambah malas, capek harus melewati empat anak tangga sekaligus. Perpustaakan berada di lantai empat, puncak tertinggi pada gedung ini.

Giliran mau telpon, suara akrabnya itu samar-samar sudah tertangkap oleh indra pendengarnya. Jisoo melongok cepat ke arah tangga dan melihat Taeyong tengah melangkah turun bersama cewek baru itu. Obrolan mereka kali ini disertai tawa yang bisa dia dengarkan dari depan pintu kaca itu, pintu masuk.

Asyik banget. Sampai rasanya mereka nggak rela buat pisah secepat itu kalau pertemuan ini cuma sampai di sini doang. Joy terlihat sekali sedang berharap Taeyong akan mengajaknya bertukar nomer buat melanjutkan obrolan ke chat atau telponan terdengar lebih baik, namun sampai di akhir kata perpisahan pun cowok itu tidak meminta nomer Joy malah langsung nyamperin Jisoo dan menergu karena sudah meninggalnya.

“Lain kali turun itu barengan.” Jisoo mengabaikan tegurannya itu. “Mampir makan siang dulu, ya?”

“Ya,” jawabnya sambil menodongkan tangan ke depan demi sebuah kunci loker. Bukannya dikasih benda ukuran kecil sebagai pembuka lemari penyimpanam, Taeyong malah mengusak kepala Jisoo dengan gemas.

Jisoo terhenyak segera menepis gerakan di atas kepalanya itu. Wajahnya berubah masam seiring gerutuannya tentang, “Ini tempat umum. Banyak mata!” Terus mendelik ke sekitar, banyak orang sedang lalu-lalang, dan tak sedikit pula yang mencuri pandang ke mereka salah satu orang itu si Joy yang ternyata masih berada di belakang Taeyong hanya berjarak beberapa meter saja.

Memandangnya aneh sambil menerka-nerka hubungan mereka.

“Barusan lo gemesin, sih.”

“Udahan ah, gak usah ngegombal mulu lagian percuma, gak bakal mempan juga buat gue,” protesnya merasa kurang nyaman jadi perhatian sama cewek kenalan Taeyong. “Buruan buka lokernya. Dia ngelihatin ke sini mulu.”

“Siapa?”

“Kenalan—gak usah noleh ke belakang juga!” tegurnya setengah memikik pas tahu Taeyong hendak menoleh belakang ke tempat Joy. Jisoo yang panik, refleks menahan kepala cowok ini pakai dua tangannya sehingga tatapan Taeyong hanya tertuju pada Jisoo seorang.

Taeyong tersenyum geli. Cukup senang atas gerakan refleks sang gadis kala menghentikannya.

“Gak usah dilihatin, nanti dia tahu kalau lagi diomongin,” katanya masih memegangi wajah Taeyong dengan ekspresi serius. “Orangnya lagi mikir tuh, kenapa lo nggak ngasih kontak ke doi.”

“Cantik ya,” gumamnya alih-alih menimpali teguran Jisoo. Obsidiannya menilik iras serius sang dara yang kebetulan tengah menatapnya, bedanya dia tengah menegurnya sementara Taeyong ingin melukis rupa sang dara ke benak kalau-kalau mereka jauh dan dia merindu, serautnya ini bisa mengobati sang gulana.

Dengan mata bulat dan hitamnya, dia berkenan untuk mengintip jendela rumah buatan yang sembunyi di dalam matanya itu. Dia mengerti kalau di balik sifat keras kepala, ambis, dan suka menolak para cowok yang ingin dekat padanya ini pasti ada alasan kuat yang bisa menjelaskan kenapa gadis ini demikian sulit buat disentuh.

Pendirian Jisoo amatlah tertutup disamping keterbukaan yang serba ada takaran ini, kalau dia harus mengikuti aturan-aturan yang dia buat sendiri hanya demi mempersulit keadaannya. Dia harus begini, jangan terlibat masalah, berhenti merengek, ciptakan duniamu sendiri, dan terus lanjutkan tujuanmu.

Taeyong menarik seri di wajah. Melontarkan senyum paling teduh demi menghilangkan keraguan yang tergambar jelas pada raut sang gadis.

“Lucu juga kalau lo cemburu,” kelakarnya mencoba melucu.

Si cewek menghembuskan napas lelah, lagi nggak mood buat mendebat guyonan si cowok. Tapi saat dia ingin melepas tangan dari tempatnya singgah, Taeyong justru menahan dengan balas mencengkram kedua tangannya.

Memicu reaksi terbeliaknya; pun cemas bila mereka harus berbuat demikian di gedung bukan kampus sendiri. Mana lagi di mata orang mereka adalah sepasang yang baru kasmaran, ekspektasi buatan orang, dan barangkali mereka tengah mencemooh keduanya.

“Taeyong!” tegurnya setengah berbisik, setengahnya kalut lantaran tenggelam dalam lirikan orang yang beberapa kali lewat di samping.

“Lima menit buat ngusir orangnya.” Barusan ini dia bohong. Ngapain juga ngusir cewek cantik nan bohay kayak Joy? Bego banget kalau dia sampai ngusir. Ada kesempatan buat deketin malah disia-siakan begitu, padahal lumayan punya kenalan baru cantik. Pasti bisa dia ajak keliling ibu kota—kalau sanggup—demi menyenangkan hati.

Nyatanya dia memang sengaja berbohong, mencari-cari alasan supaya bisa menatap sedikit lebih lama sosok di depannya ini. Taeyong ingin mencapai jendela rumah itu namun buat saat ini dia tidak punya kesempatan menengok isinya, suatu waktu kalau Jisoo mengizinkan ke tempat itu, dia pun akan terbuka dan memberi kunci rumahnya untuk gadis ini tinggali bukan sekadar singgah.

Jisoo melihat lewat pundak Taeyong, mencari tahu keberadaan si cewek baru kenalannya itu yang ternyata sudah tidak ada lagi di sana. Dia kontan menarik sedikit lebih keras agar bisa lepas dari cengkramannya.

“Orangnya udah pergi.” Perilakunya mendadak jadi salah tingkah akibat gugup berlebihan dan kontan menyingkir agak menjauh dari Taeyong yang masih saja melihatnya dengan kilatan mata geli. “Bu-buka lokernya, buruan.”

Si cowok terkekeh, tanpa mendebat perintahnya dia mengeluarkan kunci loker. “Keren, ya.”

“Apanya?”

“Lo bisa gugup juga sama gue.”

Dia mendelik jengkel. Cepat-cepat merebut tas yang barusan dikeluarkan Taeyong dari dalam loker. Maunya langsung pergi sejauh-jauhnya dari hadapan cowok satu ini, tapi ingat kalau ini bukan kampusnya, dan mereka barusan kemari datang berdua jadi kesempatan buat kabur gugur dalam sekejap.

Taeyong terus saja terkekeh meski kini mereka sudah melangkah keluar dari gedung perpus ke parkiran. Tawanya baru berhenti saat mereka di dalam mobil dan Jisoo lagi-lagi dibuat kaget sewaktu Taeyong asal memotret dirinya.

Upayanya merebut benda terkutuk di genggaman Taeyong kandas ketika ponsel disembunyikan di saku celananya. “Tolong ya, ini hape satu-satunya jangan direbut,” kelakarnya sungguh menyebalkan.

Jisoo merenggut bete. “Gak sopan tahu, ngambil foto orang tanpa izin.” Terus memelototinya berharap si cowok luluh, nyatanya dia malah iseng keluarin ponsel lagi terus pamer hasil potretnya itu ke depan wajah Jisoo.

“Yang begini sih, sopan,” ucapnya menyeringai geli sambil menyingkirkan upaya Jisoo ingin merebut ponselnya. “Cantik kok, walau ekspresi lo melongo.”

“Taeyong. Hapus!”

“Nggak.”

“Gak ada gunanya lo nyimpan foto gue.”

“Emang,” jawabnya. “Eitss! Punya hape sendiri ‘kan? Yaudah, anteng di kursi jangan rebut hape orang.”

Tangannya melipat di depan dada seiring dengusan dan gerutuannya. “Jangan di-update medsos.”

“Nggak usah panik.” Nadanya terkesan santai namun juga ada geli pada getarnya. “Gue ngerti, lo gak suka kalau orang tahu kita dekat.” Kedengarannya agak aneh waktu dia menyatakan kalau mereka “dekat”, entah dekat dalam artian apa yang dimaksud.

“Nah, begini bagus.”

Iya, bukan di-update medsos, melainkan naik satu tingkat jadi lockscreen-nya. Jisoo kontan semakin panik dan rasanya ingin mencuri benda itu dari pemiliknya demi bisa mengubah gambarnya.

“TAEYONG IH, GANTIIII!”

“Haha, gak mau.”

Inii aku rajin update kalian gak bosan kan 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top