16. Let's talk about you
“Nomer Taeyong nggak aktif.” Gumaman Nayeon jadi topik utama yang mereka dengar saat duduk di tempat tongkrongan biasa. Taman kampus.
Semakin lama kampus semakin memanjakan mahasiswanya dengan taman buatan yang rutin direnovasi secara berkala, tentu berkat iuran para mahasiswa dan mahasiswi tiap pergantian semester. Selain ada free Wi-Fi, tumbuhan aneka jenis terawat ciamik dan pohon rindang tumbuh di beberapa tempat itu, ada juga kantin kejujuran di spot-spot tertentu. Sedangkan kantin kejujuran yang paling dekat sama bangku mereka ada di sebelah kiri patung air mancur lambang kampus.
Kalau haus dan pengen nyemil sesuatu tapi malas ke gedung kantin, mereka bisa mampir ke kantin kejujuran. Tinggal pilih jajanan, ambil, lalu masukin uang ke kotak kuning ukuran persegi tersebut. Sebisanya sih, bawa uang pas karena kantin kejujuran nggak punya sistem penjaga jadi jangan harap ada yang ngasih uang kembalian.
Aslinya sih, lebih enak ke gedung kantin soalnya di sana lebih banyak pilihan daripada kantin kejujuran jajanannya cuma itu doang.
Tatapan Jisoo dan Hwasa saling berserobok. Keduanya jelas tahu alasan kenapa nomer Taeyong udah nggak aktif, dan tentu nggak akan bilang apa-apa ke Nayeon.
“Gak ada kuota kali,” sahut Hwasa sekadar ingin menghibur, pura-puranya.
Nayeon merenggut bete. “Dari semalaman, lho. Masa gak ada kuota?”
“Susah sinyal barangkali.” Bona pun serupa ingin menghibur, bedanya dia nggak pura-pura.
Jisoo ingin ikutan menghibur. Namun, getaran benda di dalam sakunya mengurunkan niatnya. Tangannya lantas mengeluarkan benda tersebut bersamaan kening yang mengerut kala baca kontak nama si pengirim pesan.
Si Zombie: bisa sepedaan?
“Gue telpon semalam juga gak aktif.” Rengekan cewek rambut pendek itu kian terdengar nelangsa. Kasihan aslinya.
Jisoo meringis tak tega namun juga tak mampu bicara. Dia telah berjanji dengan si pemilik nomer agar tidak membagikan nomer barunya ini ke siapapun, terutama temannya yang bernama Nayeon.
Si Zombie: cuma di-read nih?
Notifikasi baru muncul lagi. Jisoo agak mundur ke belakang, jaga-jaga supaya Bona di sebelahnya ini nggak mencuri lihat ke layar ponselnya. Bisa gawat.
Jisoo: kenapa?
Si Zombie: pertanyaan gue belum lo jawab. Bisa sepedaan?
Jisoo: bisa. Emang kenapa?
Si Zombie: bagus! Ntar sore sepedaan sama gue
Jisoo: hah? Sepeda dari mana? Paviliun gak ada sepeda
Si Zombie: urusan gampang
Kerutan di dahinya kian menyatu dan juga gelengannya yang heran. Dari mana asalnya cowok ini bisa dapat sepeda?
Si Zombie: pulang kuliah jam berapa?
Jisoo: ini udah pulang sih, tapi masih nongkrong
Si Zombie: mau balik bareng?
Lagi, dahinya mengernyit seiring kecepatan jarinya mengetik untuk membalas pesan Taeyong.
Jisoo: lo gak kuliah?
Si Zombie: :)
“Kok malah senyum, sih.”
“Apaan, Jis?” Teguran Bona menyentak Jisoo dari ponselnya. Dia kontan gugup, lupa kalau dia lagi nggak sendirian kala mendapati ketiga pasang mata di bangku tengah menatapnya heran.
“Chattingan sama siapa lo? Sibuk amat,” ledek Nayeon, tertarik melihat ke benda di genggaman Jisoo. “Cowok, ya?”
“Hah?” Punggungnya menegang begitu dapat perhatian demikian berlebihan dari temannya. Agak salah tingkah jadinya selama sekian detik, sebelum Hwasa mengerti dan mengambil alih situasi.
“Coba DM Instagram doi,” kata cewek itu mengalihkan ketertarikan Nayeon terhadal Jisoo, dan itu berhasil.
Tapi tidak buat Bona yang terus mengamatinya penuh selidik. Mulai tertarik dengan keseruan Jisoo yang chatingan sama orang, jarang-jarang dia melihatnya fokus sama ponselnya itu.
“Cowok, ya?” godanya ingin mengintip namun sia-sia soalnya Jisoo segera mematikan layar dan menyimpan benda itu di saku kemejanya.
“Teman sekelas kok,” kilahnya lalu berdiri dan tanpa sadar melangkah keluar. “Hm ... gue mau ke kantin kejujuran.”
Dia berbohong, sungguh mengejutkan bahkan buat dirinya sendiri. Entah mengapa sekarang ini dia ingin menjauh dari teman-temannya itu selama masih bertukar pesan sama Taeyong. Ditambah ponselnya terus bergetar-getar di saku minta buat diintip.
“Ada yang mau nitip?”
“Kacang atom sama teh kotak,” seru Hwasa menyebutkan dua cemilan asal-asalan sebut.
“Nggak deh.” Bona jelas nggak bakal nitip apa-apa, toh di depannya udah ada banyak cemilan hasil beli dari gedung kanting. Sedangkan Nayeon sibuk merangkai kalimat.
Jisoo berjalan cepat menuju kantin kejujuran yang letaknya di dekat patung air mancur lambang kampus sambil mengeluarkan ponsel dari saku. Ternyata bukan cuma notifikasi dari Taeyong, ada juga pesan DM dari uname yang nggak asing baginya.
Itu akun Nayeon. Jisoo membaca sebagian dari isi DM-nya yang menanyakan kabar Taeyong lewat nofitikasi alih-alih baca lewat Instagram bukan miliknya ini, dia justru pilih buat membalas pesan Taeyong.
Si Zombie: sekalian aja pulang bareng, habis itu langsung ke bukitnya buat sepedaan sore ini
Jisoo: sekarang?
Jisoo: ini cuma gue sama lo?
Si Zombie: tempat ramai. Jelas bukan cuma gue sama lo
Si Zombie: gue tunggu di gerbang belakang atau kalau cemas orang ngelihat lo masuk ke mobil gue, gue bisa tunggu di gang sebelah toko klontong. Tinggal pilih yang mana.
Jisoo: Gue ajak Hwasa, ya?
Si Zombie: sepedanya cuma dua dan gue cuma ngajakin lo
Jisoo: ohh gitu
Si Zombie: jadi gimana?
Jisoo: gang sebelah toko aja
Si Zombie: oke, gue tunggu
Setelah dirasa ada kesepakatan bersama dan nggak ada lagi pesan masuk darinya, Jisoo kemudian balik ke tongkrongan namun sebelumnya dia beliin jajanan pesanan Hwasa.
“Hmm, gue pamit duluan ya,” ujarnya memotong obrolan ketiga cewek ini. Topik obrolannya masih sama. “Ada tugas kelompok.”
Bona berdecak dan menggeleng. “Hidup lo cuma tugas, tugas, dan tugas. Dasar robot fakultas!”
“Oh, yaudah, Jis, pergi aja. Gak papa kok.” Hwasa seperti tahu akan ke mana dan bersama siapa temannya itu pergi, langsung saja mengusir bahkan menyodorkan tasnya yang barusan ditinggal di kursi. “Hati-hati.”
Jisoo mengangguk pamit sebelum berjalan sedikit agak cepat meninggalkan area kampus. Sementara di tongkrongan rengekan Nayeon kian bertambah kala pesan terakhir di Instagram cuma “dilihat” saja.
“Arghhhh, bete gua!” keluhnya menunduk lesu dengan wajah muram.
“Orang brengsek aja lo harapin melulu yang ada makan ati, tau!” ujar Bona nggak menghibur sama sekali justru nambah kemuraman sang teman.
Hwasa samar menggeleng, lalu terbahak entah karena apa. “Omongan Bona bener, lho. Lupain cowok brengsek, saatnya move on. Nih, gue kenalin sama teman gue. Orangnya ganteng bingiiit, lucu, dan penting gak brengsek kayak Taeyong.”
“Gak sekeren Taeyong, ck!”
“Eh, jangan salah. Gini-gini anaknya ketua ukm musik di kampus sebelah. Udah jelas lebih keren dari Taeyong.” Hwasa terus dengan upayanya yang ingin menjodohkan Nayeon bersama teman barunya, si Jimin. Meski sedikit bohong soal cowok itu sebagai ketua ukm musik— boro-boro ketua ukm, Jimin aja ngaku paling malas ikut kegiatan ukm—semua ini demi Nayeon biar nggak melulu harapin Taeyong.
Ide jadi mak comblang muncul pada detik saat Hwasa ingat perkataan cowok itu yang minta dikenalin sama teman-teman ceweknya.
Hmm, kayaknya sih, nggak salahnya kalau aji mumpung sama percomblaan dua orang ini. Barangkali rejeki nomplok mereka.
• s h a m e l e s s •
“Jisoo. Oi, Jisoo!” Panggilan suara seorang pemuda terpaksa membuat langkah tergesanya berhenti di tepi jalan. Jisoo menoleh ke belakang dan mendapati teman sekelasnya tengah menepikan motor ke arahnya.
Ravn bersama motor maticnya ini lantas berhenti di samping Jisoo. “Mau ke mana?”
“Ke depan,” jawabnya ngasal padahal tujuannya tinggal belok kiri, masuk ke gang terus jalan beberapa meter, dan langsung masuk ke mobil yang lagi parkir nggak jauh dari tempatnya ini. “Lo sendiri mau ke mana?”
“Pulang.” Sambil memperhatikan lamat-lamat wajah Jisoo. “Mau nebeng?”
Dengan cepat dia menggeleng. “Gak perlu, Rav. Jalan kaki sedikit nanti sampai kok. Cuma ke depan situ, fotokopian.”
“Tumben nggak di Mbak Yuna.”
“Oh, haha, iya ya.” Jisoo berlagak lupa soal Mbak Yuna penjaga fotokopi fakultas yang biasa jadi langganan anak-anak psikologi. “Biar sekalian pulang terus mesen ojol gitu.”
“Ohhh.” Ravn gampang-gampang aja buat percaya sama omong kosongnya. Kalau urusan bohong sama cowok ini emang paling gampang daripada sama ketiga temannya, Jisoo harus memutar otak sedikit keras demi menyakinkan mereka tadi. “Beneran gak mau nebeng?”
“Iyaaa. Suer, deh.”
“Yakin?”
“Iya, Rav. Depat situ doang kok, gak perlu nebeng.”
“Ya udah. Kalau gitu, gue cabut duluan, ya?”
“Iya. Hati-hati, Rav.”
Cowok itu mengangguk terus ibu jarinya diangkat, mengacung di depan wajahnya. “Lo juga hati-hati. Sama jangan lupa besok presentasi.”
“Gak bakal lupa. Ingat gue mah,” balasnya tersenyum lebar sambil terus memastikan kalau cowok itu sudah semakin jauh dari jangkauannya, sebelum kemudian dia memotong jalur ke kiri. Cepat-cepat melangkah melewati gang sebelah gedung kampus, setengah lari juga biar cepat sampai ke mobil hitam yang sudah parkir di sebelah toko klontong.
Jisoo berhasil sampai dan masuk tepat waktu sebelum orang dari kampus lewat, dengan perasaan lega luar biasa sebab tak ada yang memergokinya masuk ke dalam mobil Taeyong. Si pemuda di kursi pengemudi menggulirkan mata selama mengamati perilakunya yang persis kebiasaan copet di siang bolong kalau lagi kabur dari kejaran masa.
“Barusan yang namanya Scoups?”
“Hah?”
“Cowok yang nyamperin lo,” tanyanya tanpa basa-basi.
Lidahnya berdecak, ingat dengan siapa sosok yang berbicara padanya beberapa menit lalu. “Bukan. Itu Ravn teman sekelas.”
“Oh ....”
“Kenapa?”
Taeyong cuma menggulum senyum kecil dan menggeleng. Jisoo yang sempat heran langsung melupakan hal itu ketika atensinya menjumpai sepasang sepeda lipat tersimpan di jok belakang lewat spion kecil di dalam mobil. Cewek itu menoleh belakang untuk melihat kedua benda tersebut, sebelum dia menatap Taeyong dengan pandangan tak menduga kalau cowok ini benar-benar punya dua sepeda.
“Seharian di kampus ini lo bawa sepeda di mobil?”
“Siapa bilang gue ngampus?” katanya sembari melongok ke jok belakang buat mengambil sebuah bingkisan. “Gue dari rumah, terus ke kampus buat nyamperin lo doang.” Sebuah bingkisan akhirnya keluar dari tempat sembunyinya.
“Buat lo,” ujarnya menyerahkan bingkisannya. “Belum makan siang ‘kan?”
Buat kali ini Jisoo membenarkan seraya mengintip isi bingkisan dari kantong kertas pemberian Taeyong, yang ternyata isinya cemilan ringan dan minuman dingin.
“Habis ini langsung aja ke lokasinya ya, gak perlu mampir ke paviliun. Agak jauh jaraknya.”
Wajahnya mendongak dan berpaling padanya tepat ketika dia mulai menstarter mobil. “Hmm, boleh mampir dulu ke Univ Glori, nggak?”
“Bisa. Ntar tinggal putar arah aja. Mau ngapain?”
“Cari buku.” Setelah kemarin-kemarin lupa mau mampir ke kampus sebelah dan sekarang mumpung ada kesempatan sekaligus tumpangan, sekalian aja dia minta tolong dianterin.
Perlahan mobil mulai jalan meninggalkan area parkir menuju jalan raya. “Boleh nanya sesuatu?”
Jisoo mengangguk, mempersilahkannya buat bicara kali ini. “Ngomong-ngomong, makasih,” ucapnya sebelum dia bicara sambil mengangkat cemilan pemberiannya. Taeyong senyum ikut senang kalau Jisoo menerima pemberiannya tanpa ada aksi protes yang biasanya sering dilakukan. Buat momen sekarang pun dia turut lega, interaksi mereka mulai berjalan baik sejak lima menit lalu.
“Waktu bilang setelah lulus mau tinggal di rumah itu, lo seriusan?”
“Ya,” jawabnya disertai anggukan percaya diri dan bibir yang menyeruput sedikit minuman rasa coklat campur oreo. Kesukaannya.
“Nikah?”
Matanya kontan bergulir dan berhenti tepat pada sosoknya yang sempat juga menengok ke arahnya. “Gue gak akan nikah dalam waktu dekat.”
“Lalu?”
“Ya ... tinggal di rumah.”
“Di rumah aja atau ... ada sesuatu yang dikerjakan gitu? Misal lo ngurus bisnis ortu atau mengasah bakat barangkali diam-diam selama ini lo ....”
“Enggak, Taeyong.” Ada geli dalam nada suaranya, walaupun samar namun cukup buat Taeyong senang. “Setelah lulus gue tinggal di rumah. Yah, paling kerjaannya beres-beres rumah, belajar masak, cuci piring dan baju, nyetrika, ngepel—well, paling tepatnya setelah lulus gue belajar jadi ibu rumah tangga. Haha.”
Akan tetapi, getar pada tawanya kali ini terkesan ada keganjilan yang menganggu sebagian konsentrasi Taeyong dari mengemudi. Dia memandangnya sesekali, berharap bisa tahu arti dari ratapan sang dara ke luar kaca mobil.
“Di rumah tinggal sama siapa aja?” tanyanya mencoba mengalihkan pikiran cewek ini dari sesuatu itu.
“Sendirian.”
“Ortu?”
“Pergi.”
“Ke mana?”
Dia cuma mengidikan bahu terlihat setengah hati menjawab pertanyaannya barusan.
“Saudara?” Lagi, Taeyong masih ingin bertanya dirinya sekaligus berharao interaksi mereka akan tetap demikian apa adanya.
Pundaknya merosot ke sandaran mobil. Tatapannya lurus ke depan tanpa benar-benar mengamati panorama ke jalanan. “Gue anak tunggal.”
“Oh ...,” gumamnya sebagai akhir dari pertanyaannya.
Sekarang gilirannya Jisoo saat merasa Taeyong sudah cukup bertanya tentang dirinya, dia pun mengubah posisi duduk jadi lebih tegak dan menatapnya. “Kalau lo?”
“Anak pertama dari dua bersaudara. Punya adik cewek dan orang tua selalu tinggal di rumah.” Dia menjawabnya demikian rapih dalam satu kalimat. Ekspresi tenang dan tetap terjaga apa adanya.
“Berapa usianya?” Tiba-tiba Jisoo tertarik sama saudara Taeyong itu. “Kenapa senang mainin perasaan cewek kalau lo punya saudara cewek?”
“Sebelas tahun ... harusnya.” Ketika mobil berhenti karena lampu merah, Taeyong memanfaatkan situasi ini untuk membalas tatapan Jisoo yang tengah menebak-nebak tentang dirinya. “Kalau lo ngira gue punya pengalaman kurang menyenangkan sama cewek, yang bikin gue jadi brengsek, lo salah. Justru itu belum pernah.”
“Beneran belum?”
Dia membenarkan tanpa ragu sedikitpun. “Awalnya semester dua, gue tiba-tiba pengen aja gitu punya hubungan sebentar sama cewek tanpa benar-benar ada hubungan. Akhirnya gitu deh, dari coba-coba jadi kebiasaan.”
“Sudah berapa banyak?”
Bahunya bergidik tak tahu-menahu soal ini, tapi kalau dipikir-pikir lagi dia belum pernah tuh menghitung jumlah cewek yang pernah dia kencani. Atau mungkin saking banyaknya dia sampai lupa total keseluruhan. Taeyong terkekeh geli, baru sadar kalau hasil coba-cobanya jadi kebiasaan yang mengerikan.
“Termasuk dosen juga?”
“Nyinggung gosip, nih?” Dia terkekeh seraya melajukan mobil lagi begitu lampu merah berganti jadi hijau. “Gosip itu gue juga denger. Kalau gue kencan sama dosen sendiri. Haha. Ngaco banget, sih. Orang-orang asal bikin gosip berdasarkan apa yang mereka lihat, padahal waktu itu gue beneran lagi bantuin dosen bawa tumpukan bukunya ke parkiran, tapi semua ngira gue pdkt sama dosen. Ada-ada aja aslinya. Gue gak sebodoh itu buat deketin cewek yang udah punya pasangan.”
“Pacarnya Kak Jackson?” Pertanyaan ini muncul setelah pernyataan terakhir Taeyong. Membuat Jisoo penasaran dengan sebagian gosip tentang cowok ini yang dia dengar dari temannya.
Gelaknya keluar begitu ingat konfliknya di semester tiga bersama si kakak tingkat. “Ya elah, pas gue sama ceweknya mereka udah putus sebulan lalu. Kebetulan aja doi gamon dan ngelihat kita mesra-mesraan di ruangan.”
“Termasuk kalian kepergok lagi ciuman terus berakhir saling adu jotos itu?”
“Jackson dulu nonjok gue dan sebagai pembelaan gue serang aja balik.”
Tanpa sadar tatapan Jisoo berubah jadi skeptis. Ada rasa kurang senang ketika cowok di balik pengemudi itu justru menyeringai puas. Seolah bangga atas kemenangannya dalam adu jotos bersama si kakak tingkat, Jackson, yang kontan membuat namanya besar di kampus hingga langsung dapat panggilan buaya sefakultas ekonomi.
“Dan habis itu lo ghostingin doi.”
Gelaknya semakin mengisi suara di mobil dan Jisoo semakin kurang senang dengan kebanggaan berlebihannya ini.
“Bukan cuma dia. Ada banyak,” kelakarnya sempat juga menoleh pada Jisoo namun dia tidak melihatkan reaksi apa-apa saat tahu cewek yang bersamanya ini tampak kurang suka dengan prestasinya sebagai cowok brengsek.
Dia brengsek, itu adalah fakta tentang dirinya yang tak mungkin dia sanggah sebagai pembelaan.
“Termasuk teman gue.” Jisoo mendengus jelas sampai-sampai Taeyong harus menoleh dua kali untuk memastikan lagi reaksi terakhirnya itu. Dia tetap nggak mau komentar apa-apa soal perubahan ekspresinya yang jadi bengis. “Kenapa nggak mau berusaha buat serius sama satu cewek alih-alih terus mainin perasaan mereka. Emang gak takut kena karma? Adik lo cewek juga lho.”
“Tahu,” gumamnya sedikit pelan. “Hmm, masalah itu sejujurnya pernah.”
“Masalah bagian mana?” tanyanya lagi, semakin ingin tahu sejauh mana reputasi Taeyong sebagai buaya sefakultas ekonomi.
“Serius sama satu cewek.”
“Hasilnya?”
“Gue gak suka,” jawabnya bersungguh-sungguh.
“Gak suka karena apa?”
“Doi ribet. Cemburuan.”
“Mungkin karena lo masih sering deketin cewek,” kata Jisoo mencoba membela sosok yang pernah ingin diseriusin Taeyong.
“Bukan. Tapi emang kita gak cocok dan dia bukan pilihan tepat.”
“Terus?”
“Gue tinggal.”
“Dan sekarang lo mau berubah?”
“Barangkali,” balasnya mengidikkan bahu tahu-menahu masa depannya. Sebetulnya dia sendiri setengah bimbang, setengahnya kurang percaya diri.
Update update update terus 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top