15. Red Love

“Kenapa nggak modifikasi perilaku insomnianya aja?” tanya Hwasa akhirnya setelah merasa ganjil akan sesuatu dan butuh lima belas detik baginya menemukan keganjilan ini.

Jisoo yang sepertinya baru kepikiran soal ini, terbeliak juga. Kaget campur heran. Kok bisa-bisanya dia nggak kepikiran soal itu, ya?

“Pilihan pertama lebih menjamin,” kata Johnny setengah terburu-buru minum kopi panas di siang bolong begini, habis ini dia mesti balik ke kampus buat mengurus perayaan dies natalis kampus. “Percaya gue.” Kalau kata-kata andalannya ini udah keluar, berarti cuma ada satu kemungkinan pasti, yaitu percama sama Johnny.

“Emang kenapa?” Jisoo memiringkan kepala sedikit, menengok sang teman di baris kanannya itu. Hwasa pun sependapat sama Jisoo, emang kenapa?

Setelah habis segelas kopi panasnya sebagai amunisi siangnya sampai malam jam 10-an nanti, Johnny kemudian berbalik menghadap kedua temannya. “Mau kalian paksa doi buat tidur malam pun nggak bakal bisa.”

“Iya. Kenapa?”

“Aneh,” gumam Hwasa. “Tidur malam justru lebih sehat daripada pagi. Doi nyari penyakit kali, manjain insomnianya.”

“Bukan gitu, Sa,” selanya perlahan sambil memakai kaus dengan sablon tulisan di punggung “Young & Fun” sebagai tema dari dies natalis kampus tahun ini. “Emang gak bisa.”

Jisoo gregetan. “Iya. Tapi kenapa? Pasti ada alasannya.”

“Yang pernah gue bilang kemarin.” Begitu saja, membuat Jisoo mengingat-ingat lagi percakapannya tempo lalu.

“Mati?” tanyanya agak ragu.

“Haha. Ngaco.” Tawa Hwasa sama ragunya kayak Jisoo, seolah alasan itu hanya bualan semata demi menarik rasa simpati dari para calon gebetannya, merupakan sebagian dari taktik pdktnya.

Sebaliknya cowok itu menggeleng, membantah tuduhan mereka, pas-pasan dia kelar pakai kaus dan jaketnya. Tak lupa sebuah topi bertengker di atas kepala. “Taeyong emang takut mati.”

“Ini seriusan?” tanya keduanya, sama-sama tak paham dan baginya sedikit tak masuk akal, ada orang takut mati kalau tidur malam.

“Ya,” sambungnya, “dan kondisinya emang serius.”

Sebelum benar-benar keluar dari rumah, Johnny memperhatikan ekspresi serupa dari kedua temannya itu yang tergambar jelas kalau mereka butuh penjelasan lebih daripada sekadar pernyataan “Taeyong takut mati”. Aslinya dia kurang tahu banyak penyebabnya, cuma lumayan tahu kalau cowok itu nggak bisa lagi tidur malam sejak pertengahan semester empat hingga keadaan itu jadi parah sekarang. Bahkan gara-gara kebiasaannya melewatkan jam malam, doi jadi sering absen kuliah di semester lima ini demi terlentang tidur di kamar selama 4-5 jam ini waktu paling lama, versi paling bentar itu 2 jam, dan versi pendek puluhan menit doang atau bahkan seharian Taeyong pernah nggak tidur jika keadaan sekitar tidak mendukungnya buat tidur.

Pernah suatu waktu temannya menyuruhnya buat konsumsi obat tidur resep dari dokter, berkat paksaan semua orang Taeyong terpaksa menyetujui ide mereka namun cuma bertahan beberapa jam doang. Selepas itu dia tiba-tiba terbangun dalam keadaan panik dan menakutkan. Pandangannya kosong, wajah pucat, sekujur tubuh basah berkat keringatnya, sementara bagian paling mencemaskan ialah saat dia tidak merespon apa-apa selama panggilan teman-temannya. Butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk mengembalikan kesadaran Taeyong kala itu.

Lalu semenjak insiden obat tidur, mereka tak pernah lagi memaksanya konsumsi obat tersebut. Tapi mereka juga nggak bisa terus-menerus mengikuti jam ngalongnya sampai pagi, orang-orang gampang merasa lelah dan langsung tergeletak tidur kalau udah nggak sanggup lagi buat bangun. Sedangkan Taeyong walaupun dalam keadaan lelah dan mengantuk, dia tetap bertahan buat terjaga sampai pagi.

“Intinya dia nggak bisa tidur,” ucapnya mengakhiri keingintahuan temannya ini. “Btw, kalau Taeyong beneran jadi subjek lo, mendingan pikiran doi mau tidur mana. Kamar di sini cuma ada tiga.”

“Astaga!” erang Jisoo lupa kalau paviliun ini cuma menyediakan tiga kamar doang.

“Join sama gue nggak masalah kalau orangnya betah.”

“Dia tidurnya pagi, kan?” sahut Jisoo mengingat lagi jam tidur cowok itu.

“Yah ...,” Johnny mengibaskan kedua tangan ke udara, “bisa diatur soal itu. Ntar gue bilang orangnya.”

“Tapi gue belum bilang iya, John,” serunya bertepatan sama kepergian cowok itu. Entah barusan dia dengerin ucapaannya atau enggak, semoga saja sih, udah. “Ada apa?” tanyanya saat berbalik dan melihat seringai aneh terlukis di wajah Hwasa.

Cengiran Hwasa jadi semakin lebar seiring geseran duduknya menempeli Jisoo. “Lo belum pernah jatuh cinta 'kan?”

“Ngomong apaan sih, Sa.”

“Manfaatin.”

“Apanya yang dimanfaatin?” tudingnya merasa aneh atas sikap temannya satu ini. “Gak jelas lo.”

Hwasa mengamit lengannya terus bersandar pada pundak Jisoo. “Manfaatin selama si buaya sefakultas ekonomi itu mau berubah jadi baik alias taubat. Ini kesempatan lo buat ngerasain kisah romansa di kampus. Pasti seru! Supaya hidup lo sekarang punya warna, bukan cuma hitam putih doang.”

“Sa ....”

“Iya, gue tahu lo gak suka cowok brengsek dan nggak mau berhubungan sama cowok selama kuliah. Tapi, Jis, serius, lo butuh warna buat hidup lo!”

“Kalian udah lebih dari cukup sebagai warna gue.”

Hwasa tak setuju kali ini. Dia serius saat mengatakan kalau Jisoo butuh warna buat hidupnya sekarang. Terlepas bagaimana egonya itu mengatur sosoknya untuk menjauhi semua cowok dan terhindar dari yang namanya “kencan”, kali ini Hwasa sangat berharap Jisoo bersedia membuka diri demi kehidupan normalnya.

“Taeyong nggak seburuk itu kok.”

Aha?” Alisnya menukik tajam, mencurigai perubahan Hwasa yang aneh. Tiba-tiba menyebut Taeyong nggak buruk, padahal cowok itulah yang selalu mereka sebut si buaya sefakultas ekonomi dan si brengsek yang doyan gonta-ganti pasangan. “Yang hobi gonta-ganti cewek, lupain nama cewek gebetannya, tukang paksa, manipulatif, brengsek, seenak tingkah lakunya itu nggak buruk?”

“Itu sih, buruk banget. Tapi doi ganteng kan?” godanya sambil lalu.

Jisoo memutar bola mata bosan. “Kalau semua orang begini, maafin kelakuan cowok brengsek berkat tampang gantengnya itu, penjara bakalan sepi, Sa.”

“Doi bukan teroris, ngapain masuk penjara?” Hwasa menarik diri dari Jisoo. “Oke, gue paham kalau sekarang lo bilang begini, tapi lihat ntar, lo pasti bakalan sering sebut-sebut namanya ke gue.”

“Yang suka Taeyong itu Nayeon.”

Hwasa bersikap cuek. “Yang suka lo bukan Nayeon, tapi Taeyong.”

“Ngapain jadi gue?”

“Siapa lagi coba? Gue? Yakali.” Seiring gerakan memutar pada bola matanya itu. “Lagian cuma ke lo, doi sampai maju buat jadi subjek penelitian lo ini. Johnny yang paling deket sama lo aja ogah jadi subjek.”

“Dia cuma bantuin doang.”

“Iya? Masa?” ledeknya kemudian bangkit dari sofa. “Menurut lo, kenapa doi lebih nawarin buat modifikasi perilaku brengseknya daripada insomnia parahnya, hm? Kali ini tindakannya nekat, Jis. Buat cowok modelan kayak Taeyong gitu, itu namanya bunuh diri.”

“Omongan lo ngaco.”

“Iya, gue ngaco. Tapi di sini gue mau nyadarin lo juga,” sahut Hwasa menatap serius ke manik Jisoo. “Jis, please, sekali ini egois demi kebahagiaan lo. Berhenti pikiran perasaan orang lain, pikiran perasaan lo juga.”

“Sa ....”

“Gue serius!” tandasnya. “Gue bisa maafin perilaku brengsek doi kalau bikin lo bahagia dan sebagai teman dekat lo, gue siap maju ke depan buat nampol mulut para haters sekalipun itu Nayeon.”

Jisoo terdiam. Cukup kaget atas pernyataan Hwasa yang terkesan ingin mendeklarasikan sesuatu, semata-mata demi kebahagiaannya belaka.

“Nayeon emang teman kita, tapi rasa sukanya ke Taeyong udah berlebihan, dan itu nggak wajar buatnya. Dia butuh pengalihan.”

Akan tetapi, getaran ponsel di meja sukses menghentikan ocehan Hwasa tentang Nayeon. Keduanya pun sama-sama menengok ke arah meja, tepatnya ke benda yang tengah bergetar-getar di situ. Hwasa memicingkan mata begitu atensinya tertarik pada Jisoo dan ekspresi di wajahnya itu langsung mengatakan, apa gue bilang, doi suka lo! Karena orang yang menghubungi Jisoo sekarang adalah topik utama obrolan mereka.

Taeyong.

“Hallo?” sapanya demikian ketika panggilan dia terima. “Eh, gerbang ditutup? Oh—ah ... bentar-bentar.”

“Doi bilang apa?” tanya Hwasa penasaran.

Jisoo bangkit berdiri dan terburu-buru saat memberitahu, “Orangnya di sini.”

“Dewi Fortuna aja udah ngerestuin kalian.”

“Hwasa. Stop!”

Sorry,” bahunya terangkat, “tapi situasi ini nggak tahu kenapa bikin gue bangga.”

“Terserah,” lanjutnya kemudian bergegas keluar dan menuruni tangga menuju lantai dasar demi membukakan gerbang pintu buat Taeyong yang menunggu di luar.

“Hallooooo.”

Bukan Taeyong yang menyapanya barusan dengan nada riang, melainkan cowok si pembuka gerbang saat Jisoo bertamu ke rumah sewaan mereka beberapa hari lalu. Ternyata Taeyong nggak sendirian, dia bersama temannya, dan masing-masing dari mereka membawa box makanan, juga sebuah tas ransel penuh.

“Gue Jimin,” kata cowok ini langsung mengajaknya jabatan tangan begitu pintu gerbang terbuka dan memisahkan pembatas di antara mereka.

“Jisoo.” Meskipun bingung karena kedatangan tiba-tibanya ini, dia tetap membalas ajakan kenalan cowok ini.

Jimin itu ramah dan tipikal orang paling ramai di kelompoknya. Cowok ini lalu melewati Jisoo sambil membawa dua box pizza. “Katanya Taeyong pindah kemari, jadi ini syukuran kecil-kecilan dari kita.”

“Pindah?”

“Iya,” jawab cowok lainnya. “Gue Jonghyun, temannya dari SMA.”

“Jisoo,” balasnya sedikit agak kikuk.

“Lantai atas?”

Ucapan cowok ini menarik perhatian Jisoo yang sempat bengong di tempat, bingung aja sih, karena seingatnya dia belum mengiyakan tawaran Taeyong jadi subjek penelitiannya. Jisoo mengangguk kemudian menyuruh kedua cowok itu buat masuk duluan ke lantai atas.

Tinggal Taeyong yang belum muncul soalnya baru parkirin mobil ke garansi. Jisoo sengaja menunggu cowok itu keluar, ingin mengajaknya bicara berdua di sini untuk membahas kepindahan dadakannya ini.

Cowok itu turun. Dia hanya memakai kaus merah dan celana pendek di atas lutut; Jisoo mendekat dan menariknya ke belakang mobilnya.

“Gue belum bilang iya,” ujarnya tanpa basa-basi.

“Oh, gue kira udah,” katanya. “Johnny bilang gitu.”

Prasangkanya beberapa menit lalu kontan sirna. Sekarang dia mengerti kenapa kemunculannya serba dadakan. Pasti Johnny mengira kalau Jisoo telah menyetujui tawaran Taeyong dan pasti juga, temannya itu yang bicara langsung sama cowok ini tanpa sepengetahuannya.

“Ngomong-ngomong,” Taeyong mengeluarkan sebuah kertas bufallo putih untuk melihatkan tabel berwarna dan punya beberapa hiasan di garis atasnya itu, “udah gue buatin tabelnya.”

Jisoo menatapnya tak percaya atas tindakannya satu ini. Dia mengerjakan tugas bukan miliknya. Membuatnya demikian persis tabel milik Bobby hanya saja dengan judul berbeda. Lagi-lagi Taeyong selangkah lebih maju daripada Jisoo.

“Gue barusan beli nomer baru juga, siap ganti sehabis ini. Terus berhubung bukan cuma nomer alat komunikasi gue sama para mantan gebetan, kayaknya lo perlu juga ngawasin media sosial gue.”

“Maksudnya?”

“Lo bisa masuk ke Instagram gue.”

Dia mengernyit. “Ngapain? Napa gak dinonaktiin aja?”

“Nggak bisa. Media ini hiburan gue kalau orang lain udah tidur.” Lalu menambahi cepat sebelum Jisoo berpikiran aneh-aneh. “Janji, tiga bulan gak bakalan macem-macem. Lo bisa pantau dari Instagram gue langsung.”

Dan entah mengapa kali ini dia percaya sama janjinya itu. “Oke.” Tapi masih ada yang ganjil dan mumpung mereka belum naik ke lantai atas, ada baiknya dia sampaikan dari sekarang daripada terus menganggu ketenangannya.

“Yong.”

“Hm?”

“Lo tau Nayeon suka lo.”

Si cowok mengangguk, cukup tahu bagaimana perasaan semua cewek yang pernah dikencani. Hanya saja dia terlalu sering berlagak tidak tahu perasaan mereka, yang dianggapnya kuno.

“Dia bisa pengecualian,” ucapnya membingungkan.

“Maksudnya?”

“Lo boleh kencan sama dia selama modifikasi perilaku, ini pengecualian dari gue. Kalau-kalau lo butuh teman ngedate gitu ... lo bisa ngajakin Nayeon.”

Taeyong mulai paham maksudnya. Helaan napas terbuang keras hingga terasa kasar saat menyentuh kulit tangannya itu. Taeyong tak berbicara, hanya menarik kedua tangan cewek di depannya ini buat memindahkan si kertas buffalo ke genggamannya.

“Mendingan jadi brengsek aja selamanya.” Kata itu lolos dari mulutnya tanpa main-main. “Gue lagi gak mau debat sama lo.” Meredam balasan yang hendak muncul dari mulutnya itu, dia pun pergi meninggalkan sang puan di garansi mobil menuju ke lantai atas.

Jisoo mematung sembari mengamati punggung kepergian sang adam. Romannya setengah bingung, setengahnya lagi menyesal telah menyuruh Taeyong berbuat sesuatu yang kurang disukainya.

Lagian orang mana sih, urusan kencan diatur-atur segala. Ini bukan dunia Siti Nurbaya yang masalah jodoh saja harus mengikuti peraturan. Terus emang dia ini siapanya sampai nyuruh si cowok buat ngedate sama cewek bukan pilihannya, huh? Jisoo udah sinting kali kalau ngira Taeyong bakalan mau. Masih untung orangnya nggak marah biarpun langsung pergi naik ke lantai atas meninggalkannya, hitungan ini tetap untung bagi Jisoo karena Taeyong nggak batalin tawarannya sebagai subjek penelitiannya.

Barangkali ucapan Hwasa itu benar, kalau Taeyong nekat ingin mengubah perilaku brengseknya.

Jisoo mendesah sebelum melangkah masuk ke rumah. Bentuk paviliunnya itu seperti rumah tingkat dua pada umumnya. Jika kos-kosan dari lantai dasar sampai bawah banyak kamar hunian dengan fasilitas sebagai milik bersama, paviliun justru sebaliknya. Orang-orang sering menyamakan dengan kos-kosan mewah, padahal aslinya beda jauh. Kos-kosan mewah hanya punya ruang sepetak berupa kama dan kamar mandi salam, sedangkan paviliun satu rumah beserta fasilitas jadi milik perorangan bukan bersama, dan fasilitasnya jauh lebih banyak dibandingkan kos-kosan mewah yang kadang cuma mengandalkan AC, kamar mandi dalam, TV, dan lemari dingin.

Karena paviliun milik Jisoo itu bentuknya rumah tingkat dua, jadi pembagiannya ada dua jenis: lantai dasar merupakan hak milik empat cowok dari kampus tetangga yang sudah menghuni rumah ini pertama kali, sedangkan lantai atas hak milik Jisoo bersama Johnny dan Hwasa. Masing-masing lantai punya fasilitas lengkap dari ruang tengah atau tamu—sebetulnya ruangan ini ada TV-nya namun berhubung milik mereka rusak jadi sementara nggak ada; tiga kamar buat lantai atas sedangkan empat kamar buat lantai di bawah; kamar mandi lengkap sama bathtup, wastafel, shower, ruang ganti dan penyimpanan baju dengan ukuran satu kali lebih luas dari kamar penghuni; masing-masing kamar punya AC; ada dapur lengkap sama lemari es, kompor, dan peralatan memasak lain-lain. Dan yang lebih istimewa dari lantai atas adalah balkon.

Untuk tangga pun lokasinya berada di luar, sembunyi di antara garansi mobil dan gudang di lantai dasar. Jadi si penghuni paviliun lantai atas nggak perlu repot-repot masuk lewat rumah bagian dasar itu, dan penghuni bawah pun mesti mengetuk pintu kalau ingin bertamu ke penghuni lantai atas.

Pas kembali ke atas ternyata mereka udah saling mengobrol panjang diiringi gelak tawa yang terdengar akrab. Gampang bagi Hwasa untuk bergaul sama orang-orang asing. Pribadinya yang santai dan menyenangkan itu nggak bakal bikin suasana sepi, pasti ada-ada saja topik obrolan untuk mengisi keakraban. Terus mana sempat orang-orang benci sama Hwasa kalau dia tipikal cewek likeable.

“Sini gabung,” seru Hwasa sembari menepuk sofa kosong sebelahnya.

Jisoo tersenyum tipis dan alih-alih gabung, dia malah nyelonong masuk ke kamar. Yang langsung menarik perhatian Taeyong hingga membuat cowok itu berdiri dan segera mengikutinya.

“Ngapain sembunyi?”

Ucapan tiba-tiba dari balik punggungnya mengejutkan Jisoo. Cewek ini menoleh marah padanya yang tahu-tahu berdiri di samping pintu kamarnya.

“Siapa yang sembunyi?” katanya setelah jantungnya berdetak normal sambil terus mencari sesuatu di antara rak di atas meja.

“Lo.”

“Gue cuma nyari double tip.” Benda yang dicari akhirnya ketemu kemudian dia pamerkan ke cowok itu yang kini berdiri dengan mata setengah menyipit. “Buat nempelin ini.”

“Ohh,” gumamnya pendek. “Mau ditempel mana?'

“Di sini.“ Menunjuk dinding kosong sebelah pintu, persis sebelah kiri Taeyong berdiri sekarang. “Kamar Johnny penuh tempelen, jadi nggak mungkin di sana.”

Ketika Jisoo ingin menempelkan kertas ke dinding, Taeyong segera mengambil alih aktivitasnya.

“Di sini?” tanyanya.

“Coba naikin ke atas dikit.” Sesuai instruksinya, dia mengikuti arahan letak kertas. Jisoo masih berpikir sambil mengamati posisi kertas tersebut. “Dikit lagi naikin, Yong, terus geser kanan sedikit.”

“Pas?”

“Hm, bentar-bentar.” Cewek itu melangkah mundur buat cari view terbaik dari kertasnya. “Turun dikit ... nah, pas!” Lalu berlari agak ria mendekatinya.

“Lo pasang double tipnya, kertasnya biar gue pegang.” Mengambil alih bagian pemegang kertas; Taeyong sendiri bagian menempelkan double tip ke belakang buffalo. “Gambar kecil atas pojok itu ... anak ayam?” tanyanya sedikit ragu pas ngelihat gambar kecil di ujung kertas.

Taeyong ikut melihat gambar yang menarik perhatian Jisoo saat ini. Kalau diingat-ingat lagi waktu gambar itu dia lagi gabut, jadi asal saja buat sesuatu yang kecil di pojok kanan-kiri, bahkan bawahnya juga.

“Lucu bangeeeet,” komentarnya terus mengamati gambar si anak ayam seraya menyentuh kuasnya bersama jari telunjuknya.

Perhatian Taeyong pun tertarik menilik pada jari Jisoo. Menelusuri garis-garis biru yang memanjang di sekitar punggung jarinya. Bergerak-gerak di atas kertas demi menyentuh gambar kecil tersebut.

Semakin lamat dia perhatikan, semakin dia tahu kalau Jisoo punya jari-jari lentik panjang yang ramping. Dan meskipun jemarinya punya banyak kerutan di sekitar kulitnya, tapi hal tersebut sama sekali tak mengurangi keindahannya. Sehingga memicu ibu jari sang adam bergerak demi menyentuh jari sang hawa.

Pandangan mereka kemudian saling bertemu. Terdiam membeku seiring sentuhan kedua jarinya.

Part 15 aja yaaa, rajin juga aing 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top