11. A Jokes
Selamat datang di dunia penuh tipu-tipu, di mana banyak manusia jelmaan buaya berkeliaran di sekeliling Anda. Jadi berhati-hatilah, Kawan!
Butuh sepuluh menit baginya menunggu gembok gerbang dibuka oleh penghuni rumah sewaan ini, mengingat dia tidak punya kunci cadangan padahal udah sering bilang kalau gerbang nggak perlu digembok. Panggilan telepon satu pun belum dapat respon dari orang rumah. Hujatan terus keluar dari mulutnya bersamaan dengan klakson mobil yang dibunyikan berulang-ulang serta mengabaikan keluhan tetangga jika mereka merasa terganggu oleh ulahnya, dia betulan nggak peduli. Orang di kursi penumpang sampingnya cuma bisa mengelus-elus dada sabar, walaupun terganggu sekali dengan bunyi klason yang berisik ini, sedikitpun tak ada niat buat menenangkan si cowok ini.
Jisoo biarkan saja demikian, dan baru mengomelinya saat si pengemudi nyaris ingin menabrakkan mobil ke gerbang kalau pintu belum juga dibuka-bukakan sementara mereka telah menunggu dari lama. Dari sini Jisoo dapat memahami sedikit kalau sosoknya ini kurang bisa bersabar. Mendengar beragam umpatan keluar dari mulutnya, diam-diam dia menghitungnya, dan acapkali mengernyit tatkala merasa asing dengan umpatannya yang baru ini dia dengarkan.
Pembendaharaan umpatan Taeyong banyak sekali.
“Sorry, sorry, sorry,” kata si cowok pembuka gembok gerbang agak sesal. Mungkin saking panik dan terburu-burunya, dia sampai lupa berkaca lebih dulu atau minimal cuci wajah soalnya ada bekas iler di pipi kiri.
Taeyong mengabaikan, tapi kesan saat memarkirkan mobil kelihatan jelas kalau dia sungguh jengkel. Waktunya telah banyak terbuang di luar rumah.
“Tidur di mana pagi tadi?” tanyanya, mungkin niatan ini buat basa-basi saja demi meluluhkan tembok es kutub utara yang mendominasi sang teman begitu turun dari mobil tanpa membalas senyumnya.
Tanpa bicara namun sorotan tajam Taeyong yang berhenti kepadanya menjawab pertanyaan si cowok yang memiliki bekas iler di pipi kiri itu. Cowok itu mengangguk seolah mengerti, terus melangkah masuk ke dalam tahu kalau saat ini orang yang berbagi tempat tinggal bersamanya ini sedang tidak ingin bicara apa-apa padanya, jadi percuma ngajakin basa-basi.
Dia marah.
Jisoo sendiri langsung mengekor di samping waktu Taeyong berjalan. Karena penasaran juga, akhirnya dia mulai bertanya, “Berapa orang tinggal di sini?”
“Empat orang.”
Jawabannya terdengar agak ketus. Jisoo mencoba memahami perubahan moodnya sebaik mungkin supaya dia sendiri tidak ikut terpancing oleh nada balasannya. Sembari mengamati masing-masing pintu kamar setelah sampai di dalam dan menghitung jumlahnya.
Hm, ganjil. Berarti ada satu kamar kosong atau barangkali itu gudang.
“Teman sefakultas?” tanyannya sekali lagi.
Taeyong menggeleng kali ini getar pada nadanya terdengar lebih rileks daripada sebelumnya. “Dua orang dari kampus lain, satunya sefakultas. Bobby.”
“Dia tinggal di sini?”
Dia membenarkan. “Kamarnya, tuh.” Menunjuk pintu yang setengah terbuka dari posisinya sekarang Jisoo mencoba mengintip ke dalam, ingin cari tahu keberadaan si cowok yang sudah bersedia buat jadi subjek penelitiannya.
Wah, berarti ada untungnya juga kemari. Jisoo bisa tanya-tanya sama Bobby guna memastikan lebih jelas modifikasi perilakunya.
“Terus lo mau pindah ke mana?”
“Jonghyun.” Pertanyaannya terabaikan ketika Taeyong memanggil salah satu temannya yang kebetulan pas-pasan di koridor. “Kamarnya udah dirapihin?”
Si Jonghyun mengangguk pendek, lalu melirik ke arah Jisoo. Seraut bertanya terlukis jelas di wajahnya, dia bahkan tidak repot-repot untuk menutupi keingintahun akan identitas teman baru Taeyong itu. Hm, tapi setelahnya cowok itu bersikap tak acuh. Sosoknya seperti telah terbiasa melihat cewek yang berbeda setiap kali Taeyong pulang ke rumah dan mengajak seorang teman.
“Oke, Thanks.”
Karena Jisoo sempat bengong, terlebih pas lihat Bobby keluar dari kamar itu, romannya dia ingin langsung menemuinya secara pribadi untuk membahas tugas. Namun, ajakan Taeyong menunda sementara keinginannya. Dan kali ini dia tidak mendebat karena telah berjanji akan membantu setelah bantuannya di paviliunnya beberapa jam lalu.
Janji adalah janji yang harus ditepati.
Masuk ke kamarnya, Jisoo malah tertegun mendapati ruangan ini nyaris kosong tanpa ada apa-apa kecuali ranjang tanpa seprei dan sebuah lemari pakaian ukuran sedang yang terbuka dan isi di dalamnya kosong. Ada tumpukan lima box ukuran sedang di atas bifet, di bawah TV LCD yang menempel di dinding it
Jisoo merasa sedikit aneh. Kalau dia niatnya mau pindah, harusnya punya box lebih banyak alih-alih cuma lima biji doang.
“Pindahan serius, nih?” Dia meragukan pernyataan dari “pindahannya” itu.
“Ke mana?”
“Di situ.” Yang dia pikirkan “di situ” berupa rumah tingkat sebelah yang bisa mereka lihat lewat jendela kamar, bukan kamar belakang yang lokasinya selorong sama halaman belakang rumah ini.
Jisoo menatapnya tak percaya bila pindahan yang dimaksud hanyalah pindahan kamar, bukan rumah.
“Lo mainin gue, ya?!”
Diselingi kekehannya, Taeyong menggeleng sambil mengangkat dua box sekaligus. “Nggak. Emang serius minta tolongnya buat dibantuin pindahan.” Terus melanjutkan, “Tahunya udah diberesin nyaris semua sama teman gue.”
“Pindahan, huh?” Nadanya mengejek agak dongkol jauh-jauh kemari tahunya begini doang. Sama aja dia kena zonk. Mana ada pindahan dari kamar ini, ke kamar sebelahan. Iya sih, harusnya dia lega nggak perlu capek usung-usung barang dua kali dari rumah satu ke rumah baru, atau dari kamar ini ke kamar sebelah. Cuma tetap saja, mendingan nggak usah kemari sekalian kalian sudah tahu begini.
“Bagian lo di kamar sebelah,” katanya mengingatkan Jisoo fungsinya kemari. “Minta tolong rapihin ranjangnya pakai seprei di lemari warna hitam motif kotak-kotak.”
“Yang bener!”
Kepalanya terus mengangguk, mengikuti gerakan robot. “Ya. Buruan. Mau gue pakai tidur.”
Jisoo cuma berdecak, menolak mendebatkan permintaan tolongnya sekali lagi ini. Benar ya, dunia ini penuh tipu-tipu. Taeyong memaksanya kemari yang katanya minta bantuan pindahan, eh tahunya pindahan kamar dan sekarang dia justru sedang memasangkan seprai ke ranjangnya.
Kalau mengulang lagi percakapan Taeyong bersama temannya Jonghyun itu, kayaknya sebelum dia kemari, teman-temannya itu sudah banyak bantuin pindahin barang-barangnya ke kamar ini. Lihat aja barang-barangnya sudah tertata rapi pada tempatnya.
Barangnya sih nggak banyak, ada sepaket komputer di meja ternyata jaman sekarang masih ada anak kuliah memakai komputer; sebelahnya lagi ada laptop—Taeyong punyabdua teknologi satu tidak bisa dibawa ke mana-mana, satunya lagi praktis—terus sebelah lemari kayu cat putih itu ada rak pakaian gantung yang hanya diisi oleh koleksian hoodie, kemeja, dan jaket denimnya.
Ukuran kamar Taeyong punya luas, mungkin dua kali lebih luas daripada miliknya, tapi isinya kelihatan sepi lantaran hanya ada sedikit barang di sini. Kecuali pada dinding kamarnya yang memiliki tiga lukisan abstrak ukuran sedang, lalu ada rak buku menempel pada dinding, dan isi dari rak itu sendiri deretan album penyanyi terkenal dan beberapa komik. Pun dengan poster dari beragam album dari penyanyi kesukaannya menempeli dinding kamar, bersama beberapa poster model-model seksi, dan sebuah animasi.
Jisoo selesai merapikan ranjang. Saat berbalik ternyata ada Bobby sedang bersandar di daun pintu mengamatinya.
“Bob,” sapanya tersenyum lega, dengan begini dia nggak perlu mendatangi kamar cowok ini. “Soal modifikasi perilaku, bisa dimulai minggu depan, kan?”
Bobby terangguk-angguk saja kendati perhatiannya terus menilik sang dara yang berada di sini. Ada sesuatu yang membuatnya ganjil dan tertarik ingin bertanya, tapi kesempatan itu Bobby urungkan ketika si pemilik muncul.
“Ngapain?” tanya Taeyong begitu menurunkan box di atas meja dan menoleh curiga pada Bobby yang hanya berdiam dengan tatapan menyelidik kepada Jisoo.
“Cuma penasaran aja,” kata cowok itu menyeringai tipis. “Semalam kalian ....”
“Ya. Kenapa?” Nada suara Taeyong terkesan sedikit angkuh dan menyebalkan. Jisoo mesti menahan diri untuk tidak menggetok kepala cowok ini sekarang, pun gatal rasanya ingin menguliahi tentang nada bicaranya kepada semua temannya agar lebih sopan. Seolah dia adalah Raja dari rakyat yang harus dihormati.
“Oh,” gumamnya sesaat. “Baru lagi.”
“Bukan!” sahut Jisoo kemudian melangkah sedikit ke depan berupaya menjelaskan kalau dia bersama Taeyong nggak ada hubungan istimewa apa pun, apalagi dianggap sebagai cewek baru dari cowok ini. Idih, jangan harap. Dia hanyalah korban paksaan dari si cowok buaya yang resenya minta ampun.
“Bukan begitu. Dia sama Johnny. Maksud gue ... semalam dia sama Johnny bukan gue, bahkan sampai siang tadi sama Johnny, kok.” Sial, bagian terakhir Jisoo terdengar seperti pembohong ulung, demi apa coba. “Gue kemari cuma bantuin, ya ... karena ... janji.”
Dengan cemas dia mengamati seraut yang tengah berpikir itu milik si Bobby, lalu melirik Taeyong yang sekadar mengangkat bahu tak acuh sebelum tawanya meledak.
“Bobby bukan lamtur,” katanya seolah ingin meringankan kekhawatirannya sang dara. “Kalau emang nggak mau orang-orang tahu lo di sini sama gue, Bobby aman.” Lalu tangannya tiba-tiba mengacak kepalanya, Jisoo terhenyak dan mendongak agak ganjil padanya.
“Kamarnya udah kosong, kan?” Bobby mengalihkan perhatian Taeyong yang hanya mengangguk itu. “Oke.”
Saat cowok itu menyelinap pergi, Jisoo segera mengejarnya bukan tanpa maksud justru ada keperluan yang ingin dia bahas dari sekarang bersama Bobby mumpung mereka ketemu di sini. Demi penelitian modifikasi perilaku daripada ditunda lama mending Jisoo bahas dari sekarang supaya tiga bulan ke depan urusannya selesai sebelum UTS.
Taeyong sendiri tampak bodoh amat atas kepergian Jisoo menyusul Bobby. Urusan pindahan kamarnya lebih penting daripada mencari tahu sedang apa dua orang itu yang menjauh dari kamarnya dengan waktu yang tak sebentar ini. Walaupun 80% kamar barunya telah rapi, dia tetap memastikan kalau barang-barangnya ada di tempat serupa. Kedua teman yang bantuin pindahan kemarin cukup tahu tata letak barang-barang pribadi Taeyong sesuai tempat, hanya ada sedikit kesalahan yang bisa dia kerjakan sendiri, sementara sebagai imbalan dari jasa kedua temannya itu bulan depan dia harus menanggung biaya uang sewa mereka berdua.
Bukan masalah besar, toh urusan begini sudah sering terjadi. Mereka membantu, Taeyong membalas budinya. Alasannya pindah kamar bukan masalah sepele baginya, sebelah kamarnya dulu itu kamar Jimin—orang yang pagi tadi bukain gerbang—dia selalu berisik dari malam sampai pagi. Lagu-lagunya itu semakin bikin Taeyong kesulitan tidur di pagi hari hingga sosoknya acapkali terjaga dari siang akibat selera musik Jimin yang payah atau lebih tepatnya, bukan selera Taeyong.
Taeyong butuh ketenangan tiap pukul 6 atau 7 pagi, tetapi Jimin tidak pernah memberinya ketenangan. Sudah ditegur pun orangnya sering kelupaan.
Menghela napas, Taeyong mulai membongkar satu box yang baru diusung dari kamar sebelumnya. Di dalam box ini isinya buku-buku kuliah yang pernah dia beli awal semester pertama, hanya beberapa buku yang akan dia pindahkan ke meja samping komputer sedangkan sisanya akan dia simpan di atas lemari dan tetap ada di dalam box.
“Punya spidol?” Kemunculan Jisoo membuatnya menoleh, alisnya kemudian mengernyit saat lihat cewek itu bawa-bawa kertas buffalo putih ke kamarnya. Alih-alih duduk di kursi atau ranjangnya, Jisoo memilih duduk di lantai sambil meletakkan barang bawaan yang entah didapatkan dari mana itu, dan membukanya lebar-lebar sebelum fokus membuat sesuatu di atasnya.
“Buat apaan?”
“Tugas.”
“Seriously?” Taeyong mendekat heran sama isi kepala cewek ini yang kayaknya cuma ada tugas, tugas, dan tugas. Bahkan situasi begini pun, di tempat orang lain, dia masih sempat mengerjakan tugas kuliahnya. Hebat! “Lo gak ada waktu buat liburan atau gimana gitu, selain jadi budak tugas?”
“Intinya lo ada spidol atau gak?”
“Ada.” Langkahnya kemudian berpaling ke meja komputer, pada bagian bawah meja ada loker tempat biasanya dia menyimpan alat-alat tulis. Dulu Taeyong pernah jadi orang rajin, mengira dirinya bisa berhasil dengan menjadi mahasiswa setengah ambis. Ternyata upayanya menjadi manusia ambis malah bikin dia stress sendiri, sampai kadang menjalani hidup rasanya hambar.
Padahal semua jurusan punya tingkat kesulitan masing-masing, hanya saja kadang orang-orang melabeli jurusannya paling sulit. Jika Jisoo kesulitannya berhubungan erat sama psikologis orang, sebaliknya kesulitan jurusan Taeyong berhubungan sama angka yang jumlah nominalnya nggak pernah sedikit dan selalu dalam wujud tulisan.
Barang lama Taeyong keluarkan dari persembunyiannya. Masih lengkap dan bisa dipakai. Dia lalu menyerahkan pada Jisoo yang sudah setengah telungkup di lantai menekuni pekerjaannya.
“Buat apaan?” tanyanya begitu ikut rebahan di sampingnya.
“Tugas,” lanjutnya, “mumpung di sini dan ada Bobby.”
“Oh, tugas itu.” Dia tahu soalan ini dari obrolan pertama mereka yang tidak melibatkan Taeyong waktu di parkiran itu. Merupakan pertemuan kedua mereka setelah satu tahun lalu, kalau Jisoo lupa mereka pernah bertemu sebelum ini.
Pertemuan pertamanya saat Jisoo tengah bertandang ke fakultasnya seorang diri bersama lembaran kertas ada di genggamannya, dan perhatiannya terus mengarah ke lembaran itu tanpa memperhatikan sekeliling. Taeyong waktu itu sedang nongkrong di fotokopian fakultasnya, lalu tak sengaja melihat ekspresi linglung si mahasiswi yang ketara sekali sedang buta arah. Juga terlihat bimbang antara ingin bertanya atau tidak sama seseorang.
Taeyong kemudian putuskan menghampirinya, tujuannya cuma ingin membantu kalau-kalau dia butuh bantuan, tapi Jisoo malah cuek biatpun menyahuti setiap ucapannya namun pandangannya terus menempel pada di kertas di tangan bukan kepadanya.
Nah pada pertemuan keduanya, sebetulnya Taeyong lebih heran setelah sekian lama baru kali ini bisa melihat wajah itu lagi padahal mereka sekampus tapi tingkat pertemuan minim sekali. Dan pada saat itu pula selama jadi pengamat obrolan, tiba-tiba saja Taeyong tertarik ingin tahu sosoknya lebih dari sekadar tahu kalau dia juga merupakan mahasiswi kampus ini.
Jisoo fokus sekali mengerjakan tugasnya itu mulai dari membuat tabel, judul pada bagian atas, memberi sub-judul pada tabel tertentu, hingga saat menebalkan tulisannya dengan spidol hitam yang membuat Taeyong menahan napas. Merasa kurang senang dengan karya asal-asalan Jisoo.
“Banyak warna, lho.” Karena sebagai mahasiswa ekonomi butuh spidol pelangi untuk memperindah tugas yang berupa angka itu. “Bagusan hijau muda, nih.”
Jisoo mengerutu tak senang diganggu. “Hitam lebih praktis dan pas.”
“Tabel lo jadi sepi.”
“Gak papa, penting selesai.”
Taeyong memutar bola mata. Saking ambisnya Jisoo sampai lupa mempercantik tugasnya itu supaya ada kehidupan walaupun berupa tulisan. Kalau serba hitam dan kosong begini, justru kesan hidupnya enggak ada, malah yang ada kematian. Orang yang menonton akan langsung menjadi jenuh sehingga karyanya hanya tontonan sekali lalu dilupakan.
“Kasih warna biar menarik.” Dia pun ngotot membantu ingin menuangkan beberapa warna cerah demi menciptakan kehidupan di tabelnya.
Jisoo mendengus, lalu menoleh padanya sebal karena diganggu. “Ini udah paling bener.”
Taeyong menggeleng tak sependapat. “Justru ini salah!” tandasnya sambil mengeluarkan lima spidol berwarna. “Kasih warna biar ada kehidupan, kalau lo mau berhasil.”
“Berlebihan. Lagian, ini nanti ditempel di kamar Bobby bukan kamar lo. Dalam satu bulan ke depan kertasnya bakalan penuh sama centang kalau Bobby berhasil.”
“Gue ngelihat aja jadi malas buat isi centang.”
“Itu elo, bukan Bobby!” Jisoo mengalihkan perhatian ke kertasnya lagi namun langsung melotot pada saat Taeyong main asal memberikan warna pada salah satu tulisannya. “Taeyong!”
“Gue bantuin,” ujarnya membela atas tindakannya yang dirasa benar.
Jisoo kontan mendorong pundak Taeyong yang menyebabkan coretan memanjang spidol hijau di atas tabelnya. “Gara-gara lo—argh! Capek-capek nyelesain malah lo rusak.”
“Tugas lo emang udah rusak dari awal.”
“Nggak. Sebelum lo coret pakai spidol ijo!”
“Emang udah rusak kok.”
“Enggak!” bantahnya teramat jengkel sekarang. Kemudian Jisoo mengambil spidol warna merah dan mencoretkan tintanya ke pipi Taeyong, tak peduli harus berapa lama bagi cowok ini untuk menghilangkan bekas coretan tersebut.
“Anjir!” Taeyong terlambat bereaksi. “Ini ngilanginnya susah.”
“Bodo.”
Lalu mengusap-usap bekas coretan di pipi kanannya berulang-ulang. Berharap dapat menghapus jejak itu, ternyata malah jadi meleber ke mana-mana bahkan telapaknya jadi agak kemarahan.
“Ke sini lo!” Tahu kalau keberadaannya sedang terancam, Jisoo lantas bergerak cepat menjauh dengan berguling ke samping beberapa meter berjauhan darinya. Saat berhasil, dia menjulurkan lidah guna mengejek dan meledek Taeyong.
Namun, Taeyong punya segudang cara buat menangkapnya tanpa harus repot-repot menyusulnya. Jisoo lupa kalau kakinya masih dapat dia jangkau dalam sekali tarikan begitu si cowok telah duduk di lantai, tangannya langsung menarik kuat kaki Jisoo hingga tubuhnya tertarik ke arahnya diikuti jeritannya yang melengking keras.
Jisoo meronta, buru-buru menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya.
“Sekali coret bayarannya dua kali,” katanya sambil menarik benteng pertahanan Jisoo yang sekarang berada dalam kurungannya.
“Nggak.” Jisoo memohon dalam pekikan. Namun, ada ledakan tawa pada nadanya yang tak dapat ditahan lagi. “Please, please, please, jangan dicoret, ngilanginnya susah.”
“Terus ini apa?” kata Taeyong sambil menunjuk pipinya yang kemerahan berkat spidol. Jisoo melihat itu hanya meringis kecil, lalu tertawa puas dapat mengerjainya.
“Ta—tapi lucu kok.” Taeyong melotot kecil, namun juga ikut menggulum senyum kemudian selama menatap wajah bahagia Jisoo. “Apalagi kalau ditambahin buletan merah gitu ... di sini, sini, sama sini.” Jarinya menunjuk pada spot-spot tertentu di wajah Taeyong seiring seringai jail yang memenuhi ekspresinya.
“Mau gue tambahin lagi?”
Cowok ini melotot lagi. “Daripada nyoret wajah lo. Hmm, kayaknya gini lebih baik.” Lalu keadaan berubah jadi ledakan tawa Jisoo seiring aksi Taeyong yang menggelitiki perutnya.
“Tae ... yong. Hahaha ... ampun ... hahaha ... udah dong, udah ... hahaha.”
• s h a m e l e s s •
Jimin yang mulai terganggu oleh jeritan tawa keras-keras asalnya dari kamar belakang langung keluar dari kamar menemui temannya. “Ada apaan, sih?”
“Biasa. Lagi ada yang mesra-mesraan di kamar.”
Lalu perhatiannya mengamati pintu kamar belakang setengah terbuka namun tak melihat sosok di dalam sana. “Taeyong sama siapa?”
“Jisoo,” jawab Bobby.
“Jisoo siapa?”
“Teman Johnny.”
“Oh, gak kenal.” Tapi ada yang mengusik pikirannya sejak tadi. “Baru kali ini tuh orang ketawa lepas sama cewek ”
“Nah, itu yang kita pikirin,” sahut Jonghyun sependapat sama Bobby sejak beberapa menit lalu.
Nanti tuh ada dramaa, tapi masih lama sih kayaknya hahaha awas aja pas dramanya 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top