08. Gotcha! (2)
Orang-orang menatapnya aneh sepanjang langkahnya melewati jalan utama menuju fakultas setelah dari parkiran Gedung M dan N. Seolah dia adalah salah satu model utama pada siang ini dari acara catwalk dadakan. Dia nggak mengerti sebetulnya ada masalah apa sih, dengan mereka sampai-sampai menyelidiki seluruh dari bagiannya bagaikan pelaku pembunuhan berencana.
Tapi Jisoo tanpa sadar telah melangkah lebih cepat dari biasanya, mengabaikan iringan tatapan dari orang-orang yang sempat papasan dengannya di jalan atau pada sekelompok tertentu yang duduk di bangku pada taman kampus, empat kepala itu juga kompak menoleh begitu dia lewat. Tatapan mereka menusuk punggungnya seperti ujung belati yang ditekan paksa ke dalam sehingga upayanya mengabaikan perhatian berlebihan orang-orang gagal dan dia kontan lari demi menghindari tatapan aneh itu.
Sesampainya di fakultas pun tatapan itu masih dia dapatkan—ih, jarang-jarang lho, dia jadi obyek perhatian. Jisoo jadi salah tingkah, lebih banyaknya sih, heran. Kenapa orang-orang pada melihatnya begitu? Enggak kayak biasanya.
“Cieeee ....” Seseorang berceletuk dengan nada menggoda saat kebetulan dia lewat di depan mereka. Disusul siulan dari kelompok kecilnya itu yang lalu tergelak ramai seperti gerombolan anak kecil saja, tapi Jisoo mengabaikan saja.
Mereka kelompok Minhyun anak kelas A, cowok-cowok brengsek, dan salah satu dari orang itu pernah dia tolak.
Jisoo mencoba untuk menutup mata dan telinga. Orang-orang di sini kebanyakan teman kelasnya, jadi dia nggak perlu takut buat melintas di depan mereka.
“Bener kan, si Jisoo.” Ravn mengagetkan dirinya dengan muncul dan menghalangi jalan utamanya ke Mbak Hami, si penjaga foto kopian. Niatan mau minta fotokopian berkas dari Bu Yuna.
Ravn dengan cengiran dengkilnya itu menunduk buat mengamati baik-baik wajah si cewek di depannya ini, terus membandingkan dengan gambar di layar hapenya. “Tuh, beneran Jisoo gue kata, bajunya sama.” Jisoo belum mengerti akan maksud guyonannya. “Rambut, baju ... semua sama.”
“Apaan sih, Ravn,” ucapnya dongkol jadi topik ledekan tak masuk akal orang-orang.
“Ini lo,” kata Ravn lalu menunjukkan potret sosok perempuan yang tak lain lagi adalah dirinya sendiri beberapa menit lalu di perpustakaan, diambil oleh cowok paling brengsek yang pernah dia tahu. “Keren! Bisa juga lo kencan sama Taeyong.”
“Bukan gue!”
Baekho kontan berdiri di samping kirinya, merangkul pundaknya seolah mereka adalah teman dekat. Bukan tahu, Jisoo kadang risih kalau dekat-dekat sama cowok ini. “Udah mulai naksir cowok ya, Jis?”
Cowok ini juga pernah dia tolak ajakan kencannya pas semester satu. Dia kurang suka Baekho karena sering meremahkan cewek-cewek di kelasnya, bahkan kerap melontarkan guyonan mesum yang menjijikan. Terus udah tahu badan gede, tapi suka semena-menanya seenak udel bukannya jadi pelindung bagi anak-anak cewek. Perilakunya sungguh berbeda jauh dari Ravn yang meskipun kadang jadi cowok pengecut, tapi dia sebetulnya orang baik. Jisoo malahan lebih senang kalau bergaul sama Ravn daripada cowok kayak Baekho, Minhyun, ataupun Taeyong.
Mereka bertiga meresahkan.
Jisoo segera melepas rangkulan itu dengan wajah masam. “Bukan urusan lo gue naksir cewek atau cowok,” ujarnya agak jengkel.
Cowok ini keras kepala, nggak peduli akan makian cewek selama dia merasa paling berkuasa. Dari dulu tuh, percuma tubuh gede, tapi otak kecil.
“Mau-mau aja lo, jadi bagian dari sampahnya Taeyong.”
Sekarang dia tahu kenapa orang-orang menatapnya aneh, pasti karena story Instagram cowok buaya itu. Rese! Susah payah dia bangun citranya sebagai mahasiswi baik-baik, hanya dalam hitungan berapa menit saja pondasinya langsung diruntuhkan oleh foto candid yang terkutuk. Jisoo lantas berbalik menghindari cemoohan para cowok brengsek sambil mengetikan kata-kata umpatan untuk cowok yang telah merusak harinya.
Entah berapa banyak kata umpatan yang perlu dia keluarkan buat cowok ini, tapi satupun balasan enggak ada. Dia hanya membaca seluruh pesannya dan Jisoo tahu, dia sekarang pasti sedang mentertawakannya bersama gebetannya itu!
Bangsat. Bangsat. Bangsat.
Ingin sekali dia mengumpat marah ke semua orang yang terus saja menatap dirinya dengan jijik, seolah dia adalah bagian dari sampah Taeyong. Meskipun sebagian dari cewek yang memandangnya itu adalah bekas mantan gebetan dari cowok itu—entah bagaimana dia tahu ini—tapi kesan yang ditunjukkan padanya seperti cemoohan terang-terang. Mereka pasti siap bertarung di lapangan terbuka kalau Jisoo menantang satu per satu.
Jisoo mengenggam tangannya kuat-kuat, memejamkan mata sebagai upaya agar dia tidak perlu menangisi keadannya. Kedengerannya sepele, tapi rasanya demikian berat mendadak jadi obyek perhatian seluruh orang. Dia gagal, perlahan air matanya jatuh mengalir ke pipi. Dadanya terasa sesak semenjak pikirannya berkelana jauh ke masa depan, menciptakan bayangan kurang menyenangkan terkait masa depan di kampus ini. Kehidupan kampusnya terkesan akan berbeda jika Jisoo di hadapankan sama Taeyong. Cowok itu buaya, manipulatif, dan sangat bajingan. Semua orang kini memandangnya aneh, menyamaratakan dirinya bagian dari sampah Taeyong, padahal sejauh ini mereka selalu terkesan tak peduli pada eksistensinya selama berkeliaran di kampus.
Kakinya pun membelok ke arah toilet samping gedung fakultas. Bergegas sembunyi di salah satu bilik yang kosong. Menekan dadanya kuat-kuat agar kembali tenang seiring bibir berucap dalam nada samar, “It’s okay, it’s okay. Lo bisa. Lo gak akan kalah.” Kata-kata semangat yang pernah diajarkan oleh seseorang padanya supaya tetap bertahan mau separah apa pun kehidupannya saat ini.
Perlahan yakin bahwa keadaannya mulai membaik, Jisoo langsung mengangkat ponsel ke depan wajah. Jemarinya sibuk mencari kontak cowok itu untuk dihubungi. Nada tersambung terdengar berulang jadi pengalih ketenangannya untuk sementara, sampai kemudian dia jadi bosan lantaran cowok ini sengaja menolak panggilannya.
“Brengsek!” umpatnya demikian.
Lalu dia mencoba menghubungi nomer orang lain, barangkali bisa membantunya untuk berbati informasi terkait keberadaan Taeyong sekarang. Jisoo cuma butuh cowok itu buat menghapus fotonya, dan untuk menyampaikan keinginannya itu, dia harus bertemu Taeyong secara langsung. Sayang, Johnny tidak bisa mengangkat teleponnya detik ini, malah satu pesan masuk memberitahukan kalau cowok ini lagi ada presentasi, jadi dia enggak bisa terima panggilannyam
Jisoo berdecak kurang senang. Dia berkutat keras dengan pikirannya, mencari tahu ke mana lagi harus menanyakan keberadaan cowok itu. Terus otaknya tercetuskan satau nama, Bobby, dan tak mau buang-buang waktu Jisoo langsung menelponnya sambil keluar dari bilik toilet.
“Bob, Taeyong di mana?” Cowok itu sempat bingung saat dapat pertanyaan dadakan darinya. Lebih-lebih ini panggilan pertama, dan alih-alih menanyai dirinya, cewek ini malah menanyakan orang lain. Meskipun begitu Bobby dengan baik hati langsung memberitahukan posisi Taeyong.
Cowok itu ada di Gedung Ukm, dan Jisoo dengan gesat segera melangkah menuju Gedung Ukm yang lokasinya cukup jauh dari gedung fakultasnya. Dia butuh tumpangan tepat begitu menjumpai Sowon, dia langsung berteriak menghentikannya.
• s h a m e l e s s •
Barangkali dia sudah tahu berita kedatangannya kemari dari Bobby atau lewat dari jendela besar di lantai tiga itu, dia telah mengintip kemunculannya ke Gedung Ukm. Karena begitu Jisoo berada di lantai tiga, Taeyong menyeringai penuh kemenangan.
Jisoo yang melihatnya ingin langsung mencopot sepatunya buat dilemparkan ke wajah cowok itu. Namun keramaian di lantai tiga mengurungkan niat jahatnya terlebih cowok itu tidak lagi sendiri. Ada banyak teman-temannya sedang merokok di lantai tiga, di depan jendela kaca besar itu, juga dua cewek bersama mereka merokok. Kali ini kedua cewek itu berbeda dari sebelumnya, kelihatannya sih bukan dari gebetan Taeyong jika dilihat keduanya lebih menempeli cowok lain alih-alih cowok itu.
Sama sekali tidak ada keraguan pada dirinya buat mendekati si cowok. Mau sepenasaran apa pun tatapan orang-orang di sini, Jisoo nggak peduli selama bersama batin yang terus bersuara menyemangati dirinya, It’s okay. Lo bisa. Lo gak akan kalah!
“Jadi, si L nemuin si bajingan.” L untuk dirinya yang terus mengaku sebagai lesbian demi menghindari cowok brengsek kayak Taeyong dan bajingan adalah untuk dirinya sendiri berdasarkan umpatan yang terus Jisoo kirim kepadanya lewat chat.
Jisoo tak peduli cemoohannya. Langkahnya begitu mantap selama mendekatinya penuh percaya diri. “Hapus foto gue!”
“Gotcha!” pekiknya begitu girang bersama kelompoknya. “Dugaan gue bener, kan.”
“Hahaha.” Tawa mereka sungguh menjijikan. Dasar kumpulan cowok-cowok brengsek yang sukanya menindas cewek lemah. Menurut kalian keren? Bah, sama sekali enggak!
“Hapus foto gue!” Bentakannya cuma terendam oleh guyonan rese mereka, termasuk kedua cewek ini yang begitu puas menjadikannya sebagai hiburan.
Tapi kesempatan ini terlihat lumayan untung baginya ketika melihat teknologi canggih itu ada di saku denimnya yang diam-diam melongok keluar, Jisoo dengan gerakan cepat nyaris mendapatkan benda itu, tapi si pemilik sama cepatnya dengan dirinya. Rencananya gagal, gelak tawa semakin kencan mencemooh kebodohannya.
“Sorry, nih kalau rencana lo gagal,” katanya terdengar begitu menghina atas kegagalannya.
Jisoo semakin dongol. Ya Tuhan, kenapa ada cowok brengseknya minta ampun, sih? Bisa enggak ya, modelan begini diganti sama cowok modelan kayak Ong gitu biarpun kelakuannya kadang norak, tapi Ong nggak pernah menghina dirinya atau cewek manapun. Ong selalu jadi hiburan bagi semua orang, dia menyenangkan dan lucu.
“Hapus foto gue. Gue cuma minta itu doang.”
“Nggak.”
Dia melotot sebal. “Tolong, hapus. Apa susahnya buat lo?”
“Engga susah sih, kecuali lo mau jalan sama gue ntar malam.”
“Amit-amit.”
Taeyong bukannya tersinggung, malah tertawa. “Berarti foto lo gak bisa gue hapus.”
“Gue gak pernah ganggu hidup lo, jadi tolong jangan rusak kehidupan gue!”
“Eits, seolah gue udah ngelakuin banyak sama lo.”
“Hahaha. Ngelakuin apa, tuh?” timpal salah seorang.
Taeyong membalas dengan enteng, “Anulah.”
“Brengsek!” Nyaris ... nyaris dia akan memukul rahang cowok ini jika cengkramannya tidak memaksanya bertahan di udara. Jisoo menggertak luar biasa jengkel. Taeyong bukan lagi cowok brengsek jelmaan buaya, tapi dia iblis yang suka semena-menanya.
“Bangsat! Gue gak kasar sama lo.” Dia yang salah telah membuatnya terpaksa berbuat demikian, tapi kenapa malah dia yang membentaknya. Dan bentakannya sukses membuatnya tersentak, juga merasakan sakit yang diam-diam sembunyi di suatu tempat tak terjangkau oleh seseorang, sosoknya yang meringkuk di ruangan sempit dan tenggelam pada sang kelam.
Lo bisa. Lo gak akan kalah!
Kata-kata penyemangatnya bahkan berubah jadi bisikan tanpa makna. Jisoo terhenyak nyaris cukup lama, tenggelam pada sosok itu yang setia berdiam pada ruang sembunyi andaikan suara teman Taeyong tidak menarik sebagian dari kesadarannya. Jisoo yang mengerti langsung menarik kasar tangannya, melontarkan tatapan penuh kebencian pada Taeyong.
“Lo yang kasar. Brengsek!”
Taeyong menyeringai tipis. “Susah ya, ngomong sama kepala batu.”
“Ngaca di situ, belakang lo ada kaca gede.”
“Oke, begini.” Semua enggak bisa hanya diakhiri dengan begini, dia pasti punya rencana lain buat menjebaknya. “Foto gue hapus, tapi lo kencan sama gue.”
“Gak sudi!” umpatnya kejengkelanya semakin menjadi-jadi.
Taeyong jadi terkekeh geli. “Gak perlu lo bilang iya atau gak. Sekali foto gue hapus, sekali di situ ada perjanjian.”
“Ap—”
“Sst, gue tahu di mana lo tinggal.”
“Kok lo—”
“Sst, janji adalah janji,” potongnya lalu memamerkan aksi dirinya tengah menghapus potret dirinya pada story Instagram-nya.
Meskipun dia senang pada akhirnya fotonya telay dihapus dari sosmed Taeyong, tapi dia juga sedih karena dengan begini urusannya sama cowok ini gak akan selesai sampai di sini saja. Ucapannya Taeyong serius, tidak dibuat-buat untuk candaan bersama temannya. Dia betulan telah memaksanya agar menempati janji yang bahkan belum pernah dia setuju.
Cowok ini stress, pikirnya begitu meninggalkan Taeyong bersama teman-temannya itu.
• s h a m e l e s s •
Sekarang dia cemas selama di dalam kamar, sembunyi di ruangan pribadinya berjam-jam lalu semenjak Taeyong mengiriminya sebuah pesan pendek:
Taeyong: gue jemput jam 8.
Astaga, mana lagi sekarang pukul delapan malam lagi. Walaupun dia belum pasti apakah pesannya ini sungguhan atau hanya ancaman belaka, tapi dia beneran mencemaskan keadaannya yang sedang terdesak berkat janji sepihaknya itu.
Dia terus berdoa semoga Taeyong hanya pura-pura sok tahu tempat tinggalnya atau mendoakan cowok itu kecelakaan di jalan—oh, ini memang terkesan sangat jahat—Jisoo membatalkan doa keduanya, mengubahnya semoga cowok itu kena musibah misal ban bocor atau aki rusak, atau kendaraan apapun yang sedang dia gunakan semoga mogok.
Selama berdoa, Jisoo tak sadar kalau cowok itu seriusan tahu di mana dia tinggal. Sosoknya bahkan sudah berada di halaman depan gerbang paviliunnya, sementara Jisoo masih melanjutkan doa sia-sianya.
Tapi ketika mendengar Hwasa sedang bicara bersama seseorang, Jisoo langsung dapat mengenali suara cowok yang mengobrol bersamanya itu. Lalu dengan tergesa-gesa dan nyaris terjungkal ke lantai andaikan tidak memegang pintu lemari, Jisoo mematikan lampu kamar sebelum kemudian meloncat sembunyi di bawah selimut. Niatnya sekarang pura-pura tidur supaya rencana yang sudah direncakan cowok itu gagal.
Pokoknya jangan harap sampai dia pergi kencan sama cowok sinting kayak Taeyong.
Sial! Jengkelnya melupakan pintu kamar buat dikunci. Hwasa malah membukanya setengah lebar, mengintip ke dalam kamar yang setengah gelap dan sepi dari kehidupan.
“Dia lagi tidur, tuh.” Yes! Emang Hwasa paling terbaik bisa diandalkan dalam keadaan mendesak meski di antara mereka tanpa skenario. “Seharian ngurung di kamar ngerjain tugas. Biasa, orang-orang ambis.”
Sekarang Jisoo jadi mencebikkan bibir tatkala Hwasa malah terkesan akrab sama Taeyong dan mereka dengan cuek membicarakannya di depan pintu kamarnya. Gue masih bisa denger obrolan kalian, tau! Tapi kemarahannya itu hanya tersampaikan lewat batin.
“Terserah lo, selama gak ngapai-ngapain.”
Apa—ngapain apa?! Jisoo panik di bawah selimutnya. Niatan buat mengintip keluar tidak bisa dilakoni sebab seseorang sekarang tengah memaksa masuk ke dalam kamarnya dan bunyi pintu ditutup lalu tergantikan dengan langkah kaki yang menderap perlahan menuju ranjang.
“Mau apa lo, hah?!” pekiknya terbangun dari kepura-puraannya.
Si cowok bertubuh ramping yang pas sama porposi tubuh dan tinggi badannya, dibalut kaus oblong putih dan celana jeans panjang itu, berdiri hanya beberapa meter dari ranjangnya sambil berkacak pinggang dan mendelik geli kepadanya.
“Lagian siapa yang izinin lo masuk kemari?”
Kepalanya membuat gerakan pendek ke samping. “Teman lo.”
Jisoo menggertak, sebal sama Hwasa yang tiba-tiba berubah. Cih, sejak kapan temannya itu jadi gampang percaya sama cowok ini terus mengizinkannya masuk ke kamarnya? Apa-apaan! Bagaimana kalau dia berbuat macam-macam pada dirinya coba? Astaga, bayangin saja bikin merinding.
“Terus, ngapain lo kemari?”
Taeyong melangkah hendak mendekat, tapi Jisoo langsung meloncat berdiri di atas kasur. Melipat kedua tangan di dada dan memelototi cowok ini bermaksud mengancamnya.
“Gak ada yang sudi kencan sama lo. Mending pulang sonoh, daripada bikin mata empet ngelihatnya.”
Malahan si cowok tersenyum geli. “Lo sendiri udah janji.”
“Gak ada yang buat janji.”
“Gue.”
“Bah!” decaknya membuang muka jengkel.
Karena sikap keras kepala Jisoo sekarang cukup mendominasi situasi, terlebih dia lagi nggak pengen berdebat lama-lama sama cewek ini. Dia tahu janji hanya buatannya seorang, tapi baginya merekalah yang telah membuat janji itu terlaksanakan.
“Tinggal pilih: keluar sama gue atau gue stay di sini, nemenin lo bobok.”
“APAA?!”
“Iya. Apa pilihan lo?”
“Cowok sinting!”
Gelaknya terdengar dua kali. “Satu ....”
“Jangan ngaco dong, buat akal-akalan begini.”
“... dua ....”
Jisoo mulai panik lebih-lebih Taeyong nggak mau berhenti menghitung. Dua pilihan yang dia buat hanya merugikan dirinya, tapi pilihan kedua jauh lebih mengerikan kalau dia tetap tidak memilih.
“... tig—”
“Oke, satu!” serunya agak terpaksa memilih daripada dapat balasan malapetaka. “Dengan syarat, jangan sentuh gue. Jangan ngobrol selama berdua. Jangan lagi ambil foto gue. Jangan komentar apa pun yang gue pakai nanti. Jangan pernah bentak gue.”
“Udah?”
“Udah,” balasnya terangguk penuh percaya diri.
Taeyong hanya mengangkat bahu terkesan tak acuh, bahkan saat keluar dari kamarnya pun dia tidak mendebat atau mengatakan apa-apa terkait syarat-syaratnya. Jisoo sedikit heran, tapi berusaha bodoh amat dengan paksaan kencan mereka.
Hahaha, kencan? Bah, halusinasi.
Gercep juga sampai part 8 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top