07. Gotcha!
“Mau sekelompok gak?”
Suga langsung mengeluarkan tawaran ini sepuluh detik setelah Pak Joko ngasih tugas buat minggu depan. Tugas pesentasi Psikologi Lintas Budaya, tiap kelompok diisi oleh 8-9 orang, tapi Jisoo gak yakin kalau kelompoknya bisa langsung presentasi minggu depan karena jumlahnya sendiri ada 10 kelompok.
Iyalah, ada banyak lagian tiga kelas gabungan semua. Dari kelas A dan B seangkatan terus angkatan Suga.
Dan berhubung anggotanya baru terdiri 5 orang, Jisoo menerima tawaran itu. “Kelompok Kak Suga berapa orang?”
“Tiga.”
“Oh, ya udah, bisa digabung kok.”
Ukiran senyum terkuas di wajah rupawannya biarpun kepalanya setengah plontos, tapi gak bisa dipungkiri sosoknya emang tampan. “Jadi, nih?”
“Iya. Nanti urusan kerja kelompok diomongin di group aja, sekarang anak-anak lagi gak bisa soalnya ada bimbingan sama Kak Dio.” Kak Dio itu asisten laboratorium yang bertugas sebagai pembimbing skala angkatan Jisoo. Sebenarnya cuma Jisoo, lainnya bukan anak pembimbing Kak Dio. Tapi mereka sepakat buat ngomongin tugas kelompok ini besok, toh gak sesusah tugas lainnya. Cuma presentasi doang, kok.
“Won, masukin Kak Suga di group,” kata Jisoo sebelum meninggalkan kelas 4.1B. Buru-buru melenggang pergi setelah melemparkan senyum pamit kepada rekan dan sang kakak tingkat.
Seperti biasa, langkahnya bergerak cepat menuruni anak tangga dan sesekali melempar sapaan ke orang-orang yang dia kenal, begitu halnya sama dosen yang pas-pasan di tangga. Sampai lantas dasar pun jalannya masih tetap sama, terburu-buru seperti orang lagi dikejar retentir, dan kali ini lebih fokus sama jalanan daripada orang-orang yang lewat.
Tujuannya cuma satu ke perpustakaan pusat. Dia butuh bukunya Slameto, teori minat belajar buat skala bab 1. Sebelum matkul Psikologi Lintas Budaya tadi Jisoo udah nyari ke perpustakaan fakultas, tapi ternyata buku itu belum ada pada bagian rak Psikologi Pendidikan ataupun Psikologi Belajar. Akhirnya memutuskan bertamu ke perpustakaan pusat, barangkali di situ tersediakan, tapi kalau gak ada dengan ini terpaksa harus mencarinya ke perpustakaan kampus tetangga.
Pas dia naik tangga menuju perpustakaan, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika sepasang sepatu converse warna hitam muncul dan menyabotase jalannya. Jisoo mendongak, pandangannya langsung berserobok sama si pemilik converse.
“Mau lo apa, sih?”
“Kenalan,” kata cowok ini cukup menganggu aksi tergesa-gesanya.
Jisoo menghela napas, coba-coba bersabar. “Gue Jisoo.” Jawabannya pendek, pasti kurang memuaskan bagi cowok buaya ini karena dia terus mengikuti gerakan kakinya hingga akhirnya Jisoo menyerah dan kembali menatapnya lebih garang dari yang pertama.
“Apa lagi, sih?”
Alih-alih menjawab, Taeyong justru melangkah mendekatinya hingga jarak mereka hanya berjarak sepuluh senti belaka. Jisoo kontan melangkah mundur dengan was-was, takut terpleset lalu jatuh terguling-guling ke lantai dasar. Aduh, pasti sakit banget.
Taeyong mengamati wajah yang begitu dekat itu. Mengenali sosoknya di balik seraut tegas dan setengah salting yang bertahan demi menantang dirinya. “Fucking hell. You're so beautiful.”
Jisoo tidak mengatakan apa pun. Membisu dengan kilatan mata yang bergetar kaget usai mendapatkan sanjungan di depan wajahnya langsung. Taeyong menyeringai tepat ketika cewek ini berbalik meninggalkannya dengan langkah semakin tergesa-gesa menuruni anak tangga. Membiarkan sang adam tersenyum geli, mengamati punggung yang terus bergerak itu.
Akan tetapi, gerakan menuruninya berhenti pada tangga kedua. Jisoo kembali memutar arah ke jalan utama menuju perpustakaan pusat yang artinya harus kembali melewatinya. Selama sedang menyakinkan diri, sosoknya pun nekat melewati anak tangga demi ke perpustakaan. Kali ini Taeyong membiarkannya lewat namun sepanjang melewatinya, Jisoo sama sekali tidak tertarik untuk melihat ke arahnya yang membuat cowok itu langsung bergegas mengikutinya pelan-pelan.
Jisoo tahu kalau diikuti, jadi dia enggak perlu kaget pas waktu absensi di komputer tamu perpustakaan, Taeyong tahu-tahu muncul dan berdiri di sampingnya. Bahkan saat keluar menuju loker, cowok ini ikut.
“Lo gak ada jam kuliah atau gimana gitu?” tanyanya sedikit jengah oleh perilaku menguntitnya.
“Harusnya sih, ada.”
“Tapi lo bolos,” selanya disertai gerakan memutar bola mata. “Kuker banget jadi mahasiswa.”
Dia cuma nyengir dan terus mengikuti si cewek masuk ke perpus, dari menengok ke jendela besar spot favoritenya yang ternyata sudah diisi orang, hingga terpaksa menempati deretan meja tengah yang kosong sampai pergi ke deretan rak buku dia terus mengikuti Jisoo. Eksistensinya menyerupai seekor itik yang mengekor di belakang sang induk.
Jisoo sendiri tidak mendebat, membiarkan saja cowok ini membuntuti, toh nanti juga akan bosan dengan sendirinya.
Dari rak satu hingga ke rak berikutnya, Jisoo tidak mendapatkan bukunya. Sedangkan Taeyong kelihatan tengah berpura-pura tertarik dentan buku yang asal dia comot dari rak. Membaca sekelebat bagian judul terus mengembalikan buku tersebut bukan pada tempatnya. Jisoo yang menyadari segera mengatur ulang letak buku ke posisi awal sambil mendengus jengkel.
“Oh, ya, di situ,” komentarnya agak memasakkan senyum. Tapi Jisoo tahu kalau sekarang dia mulai bosan membuntutinya.
Hah, rasakan! Itu yang lagi dikerjainnya sekarang.
“Kalau lo bosen bisa keluar.”
“Belum,” katanya membuat bola mata sang dara berotasi agak jengah.
“Ya udah, terserah.”
Bisa dibilang tekad Taeyong ini begitu tinggi dengan menahan gengsi meski telah dibuat mati kebosanan, sampai-sampai Jisoo lelah sendiri kalau harus berpura-pura mencari buku yang padahal gak akan pernah dia temukan di antara rak-rak buku ini. Dia kemudian menyerah, kembali ke meja bersama Taeyong setia mengikuti.
Di meja pun mereka gak ada obrolan apa pun. Jisoo bersama laptop adalah bencana, berdasarkan hasil pengamatan Taeyong sejak pertemuan mereka di restauran cepat saji semalam. Semenjak menghidupkan benda terkutuk itu kehidupan cewek ini bagaikan sebuah danau yang silir berganti terus dikelilingi oleh ratusan makhluk hidup yang bergerak ke sana kemari dan menimbulkan keramaian lewat suara tanya dan tawa, mengisi sunyi jadi pesta terbuka, sementara dia dengan sikap keras kepala tetap setia pada kedamaiannya di tengah-tengah khalayak.
Taeyong jelas bukan mahasiswa rajin. Namanya pada buku pengunjung perpustakaan dapat dihitung menggunakan satu jari dan baru sekali ini dia bertamu kemari selama jadi mahasiswa kendati setiap ke kampus dia selalu melewati gedung ini. Bahkan absensi kuliahnya bersih, belum berdebu selama satu semester ini. Belakangan dia memang jarang masuk kuliah awal semester lima.
Matanya mengernyit seiring mengamati ekspresi serius cewek di sampingnya. Diam-diam dirinya sedang mencoba mengenali sosok ini. Memahami karakter sang dara lewat perubahan ekspresinya dalam seperkian detik yang kadang berubah-ubah seiring debatan di dalam isi kepalanya itu. Kadang pangkal hidungnya mengerut, bibir mencebik, dan mata menyipit atau kadang pula membulat cepat selama menekuni layar laptopnya.
Taeyong jadi menompang dagu dengan tangan kanan. Atensinya terus menekuni garis-garis wajah Jisoo, membuatnya tertarik untuk mengabdikan sosoknya bersama kamera hape. Berawal dari satu jepretan hingga berulang-ulang potretnya tertangkap dan langsung tersimpan di dalam memori hapenya. Entah gunanya buat apa mengabdikan sosoknya sebanyak ini, tapi yang jelas Taeyong hanya ingin menyimpannya saja.
“Baca apa, sih?” Ia bertanya setelah lama-lama membisu jadi pengamat. “Gak bosen ya, emang?”
“Kalau bosen bisa keluar.”
Kini kepalanya jadi tiduran di atas meja sambil menggunakan kedua langan di atas meja sebagai bantal. Jisoo melirik ke arahnya sambil menggeleng heran. Perilakunya tidak mencerminkan mahasiswa sama sekali.
“Ntar malam jalan sama gue mau gak?”
“Nggak.”
Ia berdecak. “Besok?”
“Gak juga.”
“Besoknya lagi?”
“Gak.”
Lagi, si cowok berdecak. “Besoknya lagi dan lagi?”
“Enggak dan gak akan mau,” jawabnya yang membuat Taeyong hampir putus asa sebelum sudut matanya menangkap ukiran senyum yang samar di sudut bibir Jisoo.
Sekarang dia jadi semangat lagi. Setidaknya dengan cara begini upayanya perlahan-lahan pasti meluluhkan keteguhan cewek ini selama menolak ajakannya berkencan.
“Bulan depan mau, dong?”
Tawanya sempat pecah namun segera berhenti detik itu juga, dan kemudian maniknya mendelik kesal pada Taeyong. Menyalahkan sang adam atas guraunya. Gara-gara cowok ini mungkin dia akan diusir dari perpustakaan kalau sampai berani tertawa keras.
“Rugi lo, kalau gak kencan sama gue.”
Nyaris lagi tertawa, tapi kali ini dia mampu mengendalikan diri. “Yang ada gue beruntung.” Senyuman mengembang lebar di wajahnya sebagai pembuktian bahwa dia enggak akan pernah merugi selama kukuh menolak ajakan kencannya.
Taeyong justru menggeleng. “Sekali perlu dicoba. Barangkali kita cocok.”
“Terus habis itu lo lepehin kayak permen karet.”
Jisoo mengerti kalau cowok ini tidak akan menanggapai pernyataannya barusan karena apa yang ia ucapan adalah kebenaran. Cowok kayak Taeyong ini manipulatif. Kepuasaan dirinya demi mendapatkan sesuatu begitu tinggi, demikian dengan egonya. Selama belum mendapatkan apa yang diinginkan, dia akan pantang menyerah buat mencapai puncak kepuasaannya itu. Begitu terpuaskan, dia akan meludahkan hasil pencapaiannya ke sampah seperti permen karet.
“Kenapa gak suka gue?” tanyanya tiba-tiba begitu bangun dan menyeret bangkunya mendekat ke arahnya.
Jisoo yang terkesiap spontan menelengkan kepala menghadapnya dengan kening mengernyit. Lalu matanya melirik sekeliling, mulai menyadari akan situasi kalau beberapa orang mulai tertarik untuk melirik dan mencuri dengar ke arah mereka. Terlebih orang yang ada di sampingnya ini merupakan buaya sefakultas ekonomi, tentunya sebagian atau bisa juga seluruh orang di perpus tahu eksistensinya.
“Cantik-cantik, sayang lesbian.” Nada ejeknya sedikit keras, Jisoo percaya beberapa orang di dekatnya bisa mendengar ucapan cowok ini berdasarkan perubahan tatapan orang-orang itu kepadanya.
Tapi dia enggak akan marah malah dengan senang hati membenarkan ejekannya demi mengenyahkan sosoknya agar jauh-jauh darinya.
“Terus kenapa masih di sini?” tanyanya demikian.
Taeyong menyeringai seakan puas telah membuatnya langsung membenarkan perkataannya itu. “Sekarang juga mau pergi cuma lagi nunggu orang aja.”
Dan orang yang ditunggu ternyata cewek yang duduk di bangku belakang mereka. Cewek ini sepertinya pernah menjalani kencan sama Taeyong, mengamati bagaimana interaksi mereka yang begitu dekat saat mendatanginya.
Sosoknya terlihat manis di depan Taeyong, sangat berbeda ketika melihat ke Jisoo yang terkesan ingin mengajaknya adu jambak rambut di lapangan terbuka. Dia cemburu padanya. Membuktikan bahwa eksistensinya bersama Taeyong telah mengancam posisinya sekarang.
Jisoo tersenyum sinis membalas tatapan cemburunya. Tapi mereka bukannya segera pergi dari mejanya, malah sengaja berlama-lama tinggal di situ. Duduk berdua bermesra-mesraan di tempat buat orang-orang belajar, bukan pacaran. Jisoo yang akhirnya memutuskan buat pergi, toh urusannnya sudah beres sejak tadi kecuali menemukan buku Slamento yang masih harus berusaha mencarinya ke tempat lain.
Setelah mengembalikan kunci loker, Jisoo mengeluarkan ponsel dan sedikit heran ketika mendapatkan belasan chat masuk dari Nayeon.
Nayeon:
Nayeon: ini lo
Nayeon: iya kan?
Nayeon: send pict
Nayeon: iya itu pasti lo!
Nayeon: Pakaiannya sama kayak lo yang pakai hari ini
Dia tahu kalau Taeyong sempat memotretnya, tapi dia tidak menyangka kalau potretnya akan dijadikan story akun media sosialnya. Sekarang dia panik, terlebih Nayeon mengenali dirinya pada story tersebut. Tentu teman-temannya akan dengan gampang mengenali dirinya di situ walau potrenya dari samping. Dan sekarang dia jadi cemas ditambah pesan Nayeon terkesan cemburu hingga menuding dirinya yang bukan-bukan.
Astaga. Tidak ada yang spesial dari foto itu, hanya dia yang sedang fokus mengamati jurnal mencari teori dari situ. Tanpa ada kata-kata romantis pada caption, hanya sebaris kata dan sebuah emot icon “hmm🐣”.
Jisoo meremas hapenya agak kesal. Bingung harus menjelaskan apa terhadap Nayeon kalau story Instagram Taeyong bukan apa-apa, selain cowok itu kebetulan jadi itik yang mengekorinya. Mereka tidak melakukan apa pun selain mendebatkan sesuatu yang tidak penting.
“Taeyong,” panggilnya begitu melihat sosoknya keluar bersama teman barunya si cantik yang selalu cemburu pada cewek manapun kalau dekat-dekat sama Taeyong. Alih-alih berhenti menanggapi panggilannya, cowok itu justru terus melangkah dengan bergandengan mesra bersama gebetan barunya itu. Mengabaikan dirinya yang hendak protes atas status Instagram story terbarunya yang telah menimbulkan kesalahpahaman teman-temannya.
Jisoo langsung mengumpat. Kebenciannya terhadap cowok itu semakin menumpuk dan seyakin-yakinnya kalau dia tidak akan pernah menyukainya.
Btw, ada yang mau ikut project menulis short story buat ultah Jisoo tahun depan? Jadi, ini projectku bareng jisooflying/jisooterbang. Project buku yang nanti dikirim ke YG aka Jisoo langsung.
Nah, kalau kalian tertarik bisa DM aku terus kuota pesertanya terbatas, ya. Projectnya cuma menulis cerita pendek buat Jisoo seorang.
Yok, join jangan sampai ketinggalan. Bukunya terbang ke YG lho 🙊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top