06. Freak

Di paviliun ini ada tradisi yang cuma mereka bertiga doang tahu atau sering melakoni tradisi tersebut pada saat-saat tertentu. Sebuah tradisi sederhana buat mengatasi kemumetan atas keadaan hidup. Yang mencetuskan pertama adalah Johnny, di awali ketika Jisoo mulai berkeluh kesah padanya, lanjut lagi sama Hwasa yang ternyata juga menjadikan dirinya sebagai sandaran hidup.

Johnny juga manusia, juga punya masalah. Jadi ketika mereka bertiga sama-sama punya masalah sehingga sulit rasanya berbagi cerita, toh masing-masing gak mau menambahi beban keadaan akhirnya Johnny memutuskan buat menciptakan suatu tradisi kecil-kecilan.

Di ruang tamu yang bentuknya cuma sepetak, ada satu sofa panjang terus di depannya bifet tanpa TV di atas cuma ada tumpukan buku kuliah dan dua botol minuman soda—awalnya Hwasa tertarik buat nyoba konsumsi alkohol selama tradisi kecil-kecilan gitu biar kayak orang barat, tapi Johnny sebagai teman baik yang pasti gak munafik juga, dengan galak menegaskan kalau mereka harus prihatin sama diri sendiri, jangan merusak kesehatan hanya karena ingin tahu rasa dari minuman alkohol. Dan sebagai gantinya mereka menyediakan dua botol minuman soda sama kacang kulit rasa bawang goreng. Sedangkan tape musik telah menyetel lagu sama sepanjang perjalanan tradisi kecil-kecilan dengan volume up, tanpa pedulikan amukan para tetangga. Syukurnya mereka belum pernah dapat omelan, jadi sejauh ini aman-aman saja nyetel lagu kenceng selama dalam keadaan normal.

Freak by Surf Curse adalah lagu nasionalisme mereka buat tradisi ini. Sebagian dari bait dari lagu itu sendiri sangat mengambarkan sosok ketiganya.

Don’t kill me
Just help me run away from everyone
I need a place to stay
Where I can cover up my face
Don’t cry
I am just a freak

Kadang diikuti gerakan menari acak-acakan dan menyanyi. Begitu merasa kepala sudah mengepul, mereka akan berteriak sampai mencapai lengkingan tinggi sebelum akhirnya tergeletak lelah di sofa maupun lantai dan tertawa bersama.

Walaupun rutinitas ini gak bisa menyelesaikan masalah yang sedang dialami, seenggaknya dapat membantu mereka mengalihkan kegelisahan hati atas realita yang tak selalu sama dengan ekspektasi hidup. Ini adalah cara mereka lari sesaat dari kenyataan, jadi bagian para looser sebelum berjuang pantang menyerah buat menghadapi masalah hidup.

Hwasa menyerahkan minuman terakhir ke masing-masing pemilik gelas plastik. Dengan kompak mereka menegak minuman soda tersebut; pun sesudahnya saling berebut memegang posisi pertama sebagai si pemilik sendawa terlama. Sedangkan orang di posisi terakhir harus mentraktir mereka setelah ini dan mereka selalu tahu siapa yang kalah.

“McDonal’s!” seru Hwasa dan Johnny barengan, menyeringai licik ke Jisoo yang cuma bisa pasrah. Toh, sejauh ini dia hanya baru pernah menang sekali.

“Ya udah, iya.”

“Mantaaap!” Keduanya pun melakukan high five. Girangnya bukan main kalau dapat traktiran gini, apalagi ke mekdi.

“Makanya belajarlah sendawa sama ahlinya.” Dengan bangga Hwasa menunjuk diri sendiri, orang yang selalu memenangkan kontes sendawa. Ketimbang Jisoo yang selalu kalah, Hwasa justru belum pernah kalah sekalipun. “Yok, cus, mekdi. Udah lapar, nih.”

Entah ya, McDonal’s tuh walaupun tempatnya sering ramai sama sekelompok remaja atau kalangan orang tertentu dan walaupun sering juga enggak kebagian tempat, mereka masih tetap tertarik buat jadi konsumen setia restauran cepat saji itu. Nyatanya ketiganya langsung cepat-cepat ganti pakaian, salah satunya Jisoo yang gak akan pernah melupakan laptop demi tugas kuliahnya.

Sampai di sana mereka lega bangku favorite ketiganya kosong. Letaknya ada di dalam ruangan—Johnny bukan perokok aktif, jadi gak ada masalah tinggal lama-lama di dalam ruangan ber-AC, sedangkan area bagi perokok kurang menyenangkan bagi kedua cewek ini—pojokan bawah TV dan bersih sehingga mereka langsung cepat menempati, menolak menyia-yiakan kesempatan daripada nanti rebutan sama orang lain. Johnny kebagian antri di outlet buat memesankan menu sesuai permintaan kedua cewek ini, bersama tiga lembar merah uang dari Jisoo.

“Teman Johnny jadi subjek lo?”

Jisoo mengangguk sambil mengeluarkan laptop dari tas.

“Terus modifikasinya gimana? Bukannya gitu lo harus setiap saat tahu rutinitas doi, ya? Kalau dia tiba-tiba ngerokok melanggar aturan gimana, tuh?”

Ini sih, yang lagi dibingungin Jisoo. Penghalang antara dia sama subjek penelitiannya buat tugas  modifikasi perilaku. Dia gak tahu aktivitas harian Bobby kayak gimana, bisa-bisa di belakangnya cowok itu aktif ngerokok lagi bukannya memperbaiki perilaku supaya jadi pasif.

“Kurang tahu, Sa, masih belum kepikiran solusinya.” Netranya menyipit ke layar laptop yang mulai menyala. Aduh, mikirin tugas emang kadang bikin tambah puyeng kepala. Baru juga semester lima, tapi tumpukan tugas sudah menggila dan sukses menjadikan dirinya sebagai budak tugas kuliah. Belum lagi nanti pas semester enam jalan, dia udah terbayang sama test rorschach, KKN, dan TPS—yang katanya sih, nyeremin—duh, pasti Jisoo udah jungkir balikan sepanjang jalan ke fakultas.

Ini aja baru dapat skala, penelitian modifikasi perilaku sama pengukuran psikologi bikin pusing kepala. Ditambah nanti di bulan ketiga ada pratek psikologi konseling lagi. Hm, betulan budak tugas kuliah, nih.

“Laaah?” Suara gumaman aneh Hwasa mengalihkan atensi Jisoo dari layar laptop ke depan hingga bertemu sama cewek asing yang tahu-tahu duduk di kursi kosong depan Hwasa. Tanpa basa-basi tuh cewek asal duduk di bangku depan Hwasa seolah tempat ini adalah tongkrongannya.

Hwasa baru hendak mengusir keberadaan cewek aneh ini, sebelum teguran Johnny bersama seseorang mengalihkan. Ya, ada orang lain bersama cowok itu. Sekarang mereka tahu di balik sikap asal duduk tanpa izin cewek ini. Dia pasti datang bersama teman Johnny itu, dan orang itu adalah si manusia buaya.

“Kok—”

“Ketemu di kasir,” kata Johnny lalu menempati bagian kosong sebelah Hwasa alih-alih bangku di depan yang dikuasai sepasang itu, sementara samping kiri Jisoo gak ada tempat lagi karena langsung tembok.

Taeyong melontarkan senyum tipis; ceweknya enggak justru kelihatan jutek. Tapi dia cantik kok, dan bau-baunya seperti warga Instagram dengan followers banyak.

“Nongkrong kok bawa laptop?” Pandangannya langsung mendongak hingga berserobok dengan tatapan cowok yang duduk di bangku depannya. Jisoo membuang pandang setelah melontarkan cengiran tipis sebagai jawaban atas pertanyaannya.

“Cewek ke berapa, tuh?” tanya Hwasa blak-blakan terkesan lagi menyindirnya. Tapi cowok ini sepertinya sudah kebal sama pertanyaan begini.

“Kenalan dong,” ujar Taeyong. “Siapa tadi nama lo?” Bukan. Pertanyaan itu bukan dimaksudkan buat Hwasa atau Jisoo, melainkan cewek yang bersamanya itu.

“Anjinggg, cewek lo sendiri lupa namanya?!” Hwasa menggeleng lalu berdecak berulang-ulang, antara pengen nyebut sama nampol kepala cowok ini.

Dan anehnya lagi, si cewek seakan gak peduli mau Taeyong lupa namanya atau ingat selama si cowok bersamaannya dan melingkarkan tangan di pundaknya. Malahan sikapnya terlihat seperti nyonya besar.

“Bella.”

“Naah!” seru Taeyong membenarkan jawaban dari Johnny. Bangsul banget, astagaa! Ampun ini sebenarnya yang kencan si Johnny atau Taeyong, sih?

Jisoo mengamati Bella. Dia kecil, mungkin sepundak atau lengannya perbedaan tinggi badan mereka, entahlah tapi cewek ini memang punya postur tubuh kecil dengan tubuh kurus ramping yang terawat apik. Sosoknya juga cantik putih glowing—definis dari konsep cantik glowing yang sering digembar-gemborkan di sosial media—hidung pun mancung, mata besar karena soflens hitam dengan potongan rambut pendek di atas bahu. Ketika dia mengeluarkan suaranya, Jisoo seketika terpesona oleh suara lembutnya bagaikan kain satin itu, ditambah dia manis pas tersenyum tipis.

Tapi setelah dia menarik perhatian dari cewek itu, Jisoo malah menangkap tatapan cowok di depannya yang terus-menerus melihat ke arahnya diiringi seringai tipis di sudut bibir samar-samar.

“Sumpah. Gue jadi penasaran.” Ucapan Hwasa kontan mengalihkan perhatian Taeyong dari Jisoo, tengah berusaha mengabaikan segala hal di sekitarnya sementara dia harus tetap fokus sama tugas kuliah.

“Yong, kalau lama-lama di sini gue enggak bisa.” Bella tiba-tiba menarik perhatian dari cowok ini. Hwasa kontan mendengus merasa kurang suka gara-gara pertanyaan jadi terabaikan.

Johnny jadi pengamat hanya menggeleng samar, dengan kesibukkan sementara menata cemilan di meja.

“Cemilan lo, Jis.”

“Oke,” jawabnya seperlunya. Beneran lagi di mode jangan ganggu dulu. Lagi sibuk.

Johnny memaklumi, toh udah jadi kebiasaannya terutama semenjak semester ganjil.

“Kenapa, sih?” Dalam nada suaranya tersemat jelas ketidaksukaan nyata, dan cowok ini sama sekali gak mau repot-repot buat menutupi rasa sebalnya itu. “Lo juga yang ngajak kemari.”

“Tadinya, cuma sekarang berubah pikiran.”

“Ya udah.”

“Ya, ayo!” ajak Bella mulai berdiri menunggu. Orang yang ditunggu bergeming, malahan dengan sikap menyebalkan dia asal mengangkat kaki kiri yang ditumpukan di atas kaki kanan sementara tangannya merebut minuman dari atas meja, entah milik siapa di antara mereka bertiga ini, dia asal minum seiring menatap gak peduli sama rengekan Bella.

“Gue mau di sini, sih,” ucapnya terdengar remeh.

Bella mendelik, ingin marah. Tapi menahan kesempatan itu mengingat situasi sekitar cukup ramai dan demi menjaga image, dia sekadar mendengus. Balik lagi ke fakta bahwa Bella mana pernah bisa marah ke Taeyong.

“Lo kalau mau pindah, pindah aja, Bel.”

Ekspresi Hwasa sampai pas selama menyimak sikap keterlaluan Taeyong bersama gebetan barunya itu, Johnny biasa-biasa telanjur sering melihat, dan Jisoo sudah menyubat telinga pakai earphone bentuk antisipasi atas gangguan sekitar.

“Tapi besok masih jalan, kan?” tanya cewek ini terdengar sedang berharap.

Taeyong terlihat sedang berpikir, padahal sudah punya jawaban kalau besok dia bukan lagi bersama Bella ini. Bisa jadi esok adalah kesempatannya bersama Bella lainnya.

Sebagai jawaban atas pertanyaannya, Taeyong cuma mengangkat bahu dengan sikap tak acuh. Bella terlihat pasrah, mengikuti alur begitu saja.

“Ya sudah,” katanya demikian lalu melandang pergi tanpa repot-repot pamit.

“Lo emang begini, ya?!” cerca Hwasa begitu Bella melewati pintu keluar.

Everyday, Sa,” jawab Johnny yang terbiasa melihat beginian.

“Tergantung.” Perhatian Taeyong kembali tertarik sama Jisoo yang sejak lalu hanya fokus sama laptop. Tanda-tanda dia terganggu sama sekali enggak ada. Sosoknya tetap diam anteng bersama benda terkutuknya. “Teman lo sama sekali gak ada menarik-nariknya, ya?”

“Emang,” sahut Hwasa tiba-tiba teralihkan dengan ketertarikannya sama kehidupan asrama cowok ini. “Robotnya fakultas, tuh.”

Orang yang mereka bicarakan sama sekali enggak sadar kalau lagi jadi topik obrolan. Membuat Taeyong jadi semakin tertarik mengamati ekspresinya. Mempelajari sifat-sifatnya yang bersembunyi di balik laptop

“Ini minuman siapa?” tanyanya kemudian ingat sudah minum minuman orang lain.

“Punya gue!” jawab Hwasa sambil mendengus jadi ingat kalau sempat jengkel minumannya asal diminum.

“Gue ganti, nih.” Taeyong mengeluarkan selembar uang seratus ribu. “Sisanya beli apa gitu kek, buat cemilan.”

“Depan lo banyak tuh,” sahut Johnny.

“Buat teman lo, barangkali dia lapar.”

“Oh, enggak bakal selama di depan laptop.” Hwasa lagi yang menimpali. Mulutnya pun aktif mengunyah kentang goreng sambil terus mengamati Taeyong penaasara. Sadar jika diperhatikan, cowok itu tertarik membalas perhatian Hwasa seiring cengiran khas miliknya yang menawan.

“Sehari bisa ganti berapa cewek?”

Membuat tawanya setengah meledak. “Lo kira gue Jon Duan.”

“Udah, ngaku aja berapa.”

“Kenapa? Mau juga?” godanya.

Hwasa berdecak masih nyemil kentang gorengnya. “Kontak lo pasti asrama putri.”

“Justru isinya asrama putra.”

“Masaaa?!” Taeyong cuma mengiyakan doang. Sudut matanya acapkali curi-curi pandang ke depan, mencari tahu barangkali cewek di depannya ini tertarik buat mengamatinya diam-diam. Kalau tertangkap akan menarik, nyatanya dugaannya itu salah. Dia benar-benar fokus menggarap tugas kuliahnya.

Hebat!

“Terus, kalau lo butuh cewek gimana, kalau isi kontak asrama putra?”

Menarik lagi perhatiannya dari Jisoo, Taeyong berdehem setelah sebelumnya tergelakkan oleh pertanyaan konyol Hwasa—kedengarannya begitu, tapi cewek berkulit tan ini telah melihatkan ketertarikan begitu besar terhadap kehidupannya sehingga saat dia punya kesempatan buat tanya langsung kepadanya, Hwasa akan memanfaatkan sebaik-baiknya demi memuaskan keingintahuannya itu.

“Seringnya mereka chat gue duluan,” akunya apa adanya. “Lo pikir gue dagangan online sampai simpan nomer orang banyak-banyak?”

“Mungkin,” balasnya tak acuh. “Siapa tahu lo sering update status selfie terus di bawah ada caption ‘bosen nih, jalan kuy!’ biar cewek-cewek otw ngepc lo gitu.”

Kicauan Hwasa berhasil menciptakan tawa di mulut Jisoo yang sebenarnya masih bisa menguping obrolan mereka walau kedua telinga pakai earphone. Seiring playlist spotifynya yang berputar, dia tetap dapat mendengar lainnya secara samar-samar.

Mata Taeyong menyipit. Dia kemudian menumpuk kedua tangan di atas meja. Pandangannya lurus menyikap ke dalam mata sang dara yang sarat akan gelian nyata.

“Keren ya, gue udah kayak toko pakaian obral online,” ucapnya terus mengamati dirinya.

“11:12 sih,” timpal Hwasa menimbulkan ledakan di meja itu.

Taeyong menahan tawa selama menelik reaksi Jisoo lagi yang jadi terbahak-bahak dengan gerakan kepala ke atas-bawah berulang, seolah menyetujui apa pun ucapan temannya.

“Lo enggak bisa ya, kayak teman lo ini.” Taeyong tiba-tiba menunjuk Hwasa pakai jari telunjuk kiri yang sembunyi di bawah tangan kanan. Pertanyaan itu sudah pasti ditunjukan buat Jisoo karena cewek ini akhirnya mendongak dan untuk pertama kali setelah menunduk bermenit-menit lamanya mengabaikan sekitar, tatapan mereka bertemu lagi.

“Gak mau tuh,” balasnya sambil berdiri setelah melepaskan sepasang earphone dari telinga. “Ke toilet dulu.” Meninggalkan singgasana menuju toilet umum milik restauran cepat saji.

“Teman lo kaku banget,” kata Taeyong begitu cewek itu telah jauh dari radarnya. “Gak pernah bahagia atau gimana, sih?”

“Kakunya cuma buat lo,” lanjutnya, “makanya jadi cowok tuh, normal-normal aja.”

“Emang gue kurang normal?”

“Bukan kurang, emang gak normal.”

Lalu Taeyong menatap Johnny agak kesal lantaran cowok ini semenjak tadi hanya sebagai pendengar di meja ini alih-alih ikut menimpali.

“Teman lo aneh-aneh semua.”

“Aneh, tapi lo tertarik kan?” kata Johnny.

“Sedikit,” akunya langsung dapat lemparan dua kentang goreng dari Hwasa. “Gimana kalau lo jalan sama gue besok, terus besoknya gue sama teman lo itu, si Jisoo.”

“Idihhhhhh, najiiis.”

“Hahahaha.” Tapi sekarang dia beneran tertarik sama sikap blak-blakan Hwasa. Mulutnya yang ceplas-ceplos meskipun terkesan gak ada sopan santunnya ini, Taeyong lumayan dibuat kagum. “Serius nih, kalau kita jalan pasti langsung klop.”

“Kelihatan kok.” Bahkan Johnny menyetujui berdasarkan pengamatannya sejak tadi.  “Kalian ... pas.”

“Maaf-maaf aja nih, gue gak mau disamaratakan kayak mantan-mantan gebetan lo itu. Lagian, teman gue lebih tergila-gila sama lo ketimbang gue—I mean, yeah, lo ganteng, tapi gue cuma penasaran sama gaya hidup lo sebagai buaya darat.”

“Oh, penelitan ceritanya, nih?” ledeknya sedikit. “Jalan gak harus jadi gebetan juga kok. Maksud gue kita klop karena gue emang tertarik sama lo buat jadi teman.”

“Wow, impressive.”

“Nah, kalau ngomongin soal gebetan, gue kayaknya lebih tertarik sama teman lo itu.” Menunjuk Jisoo dengan dagu runcingnya yang tegas dan menonjol yang tengah berjalan menuju kembali ke meja tongkrongan.

Johnny kemudian menimpali, “Gak usah macem-macem sama teman gue, Yong. Mereka gak tertarik sama lo.”

“Sekarang. Belum nanti.” Seringainya kian melebar seiring langkah mendekat sang dara ke meja. “Iya, enggak, Jis?”

Jisoo yang tiba-tiba ditanya langsung berhenti, menatapnya dengan kening mengernyit. “Apa?”

• s h a m e l e s s •

Kalau kalian berpikiran, “Ih, apa sih, Jisoo dikit-dikit bawa tugas.” Hohoho emang nyatanya begitu semester lima apalagi mahasiswa psikologi—berdasarkan pengalaman aja.

Awal masuk semester segitu udah dapat challenge bikin skala—yang sama kayak proposal skripsi cuma ini sampai Bab 1-3 terus dikerjakan kelompok, tapi ya tetap saja individu sih, masing-masing pegang satu variabel, terus ada bimbingannya juga setiap seminggu sekali sama asisten laboratorium. Nah, disamping skala juga dapat tugas penelitian dengan subjek betulan nyata—modifikasi penelitian dan jatahnya cuma tiga bulan doang, kalau udah kelar tugas ini juga bikin laporannya juga. Belum dua lainnya kelar udah ada pengukuran psikologi, ini juga penelitian membutuhkan 30 subjek anak sekolah—sama kayak skripsi juga penelitiannya huhu belum nanti ada statistika sama praktek psikolog konseling dan lain-lain.

Hoho jadi maklum Jisoo jadi robot fakultas aka budak tugas kuliah di cerita ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top