04. He don't deserve you



“Jisoo. Sini!” Panggilan Bona berasal dari taman kampus samping Gedung R Ilmu Komunikasi, dia menoleh lalu segera menyusulnya. Mereka janjian ketemuan di sini atau tepatnya sih, Jisoo yang nyusulin mereka soalnya cuma dia yang beda fakultas sisanya sefakultas walau beda kelas.

Kok bisa kenal? Ya, singkatnya gara-gara pas maba detik-detik ospek dulu, agak klise juga kalau diceritakan ulang. Jadi begini, semua ini gara-gara Hwasa yang pernah salah masuk jurusan waktu upacara sambutan mahasiswa baru, mengira barisan Jisoo adalah para maba Fakultas Ilkom. Dia berdiri di sebelah Jisoo yang kebetulan kebagian tempat belakang akibat telat bersama dua cowok maba, namana Ravn sama Ong yang kemudian jadi teman sekelas. Di situ mereka terlibat obrolan dari kenalan pendek, basa-basi nanya kenapa milih kampus ini sampai ke bagia mengheran kalau ternyata Jisoo dan Hwasa satu kostan dan lebih kaget lagi pas Hwasa memekik histeris sewaktu tahu dia salah jurusan yang nyaris bikin kakak tingkat menyeretnya ke depan sebelum kabur dengan panik.

Berawal dari situlah Jisoo mengenal Hwasa pertama kali sebelum ketemu Bona sama Nayeon, terus berlanjut kenalan sama Johnny juga gara-gara keisengan Hwasa sering main ke kostan mantan gebetan dulu yang ternyata teman sekelas Johnny—Yuta namanya. Nah, berawal dari situ ketiganya jadi klop hingga akhirnya mereka memutuskan di semester dua buat ambil paviliun bertiga. Biarpun beda jurusan, tapi mereka kelihatan cocok satu sama lain.

Padahal cari teman yang klop buat sama-sama tinggal seatap itu agak sulit.

“Ada kabar baru.” Hwasa sudah siap buat menceritakan kabar terbaru begitu Jisoo duduk di bangkunya, mengabaikan ekspresi cemberut Nayeon yang sudah begini sebelum Jisoo bergabung, seolah diq enggak punya semangat hidup.

Jisoo lalu menatapnya heran, bertanya ke Bona dan Hwasa yang langsung menyuruhnya agar mengabaikan Nayeon alih-alih membiarkannya menghibur.

“Biasaaa, chat enggak dibalas,” kata Bona setengah berbisik walau percuma orangnya tetap bisa dengar.

Mulut Jisoo membentuk huruf O seiring kepala mengangguk paham. “Terus kabar barunya apa? Eh, ngomong-ngomong Johnny tadi ke sini enggak?” Jisoo hendak melampiaskan kemarahan pada Johnny yang sudah membagikan kontaknya ke teman buayanya itu.

“Gak,” jawab Hwasa cepat. Terus dia mencodongkan tubuh agak ke depan, bersiap buat menceritakan ulang gosip terbaru hasil dari mulut beragam mahasiswa yang ditemui. “Denger-denger si buaya kepergok cipokan sama cewek di kelas sama dosen.”

“SUMPAAAAH?!”

Bola mata coklat Jisoo membulat tak karuan membayangkan aksi sinting si buaya yang melakukan perbuatan tak senonoh di kampus, lalu salah dosen memergoki mereka. Gila! Bona dan Hwasa membenarkan namun bertolak belakang sama reaksi Nayeon yang mendengus pedas kemudian beranjak dari bangku tersebut, dan pindah ke meja sebelah. Sedikit menjauh dari kelompoknya, merasa sebal mendengarkan gosip yang baru-baru ini membuana dari mulut ke mulut para mahasiswa.

Dia cemburu, kelihatan banget. Upaya menyakinkan diri sendiri kalau itu cuma gosip belaka pupus sesudah pertanyaan lewat chat tak kunjung jua mendapatkan balasan sang adam. Lebih mirisnya isi pesannya hanya dibaca.

Jisoo mendadak prihatin. Kurang suka sebetulnya kalau Nayeon sedih gara-gara cowok brengsek yang bahkan enggan mengingat namanya.

“Tapi kejadian begitu bukan sekali tahu,” ujar Hwas semakin tertarik menggosipkan si buaya sefakultas ekonomi itu. “Pernah juga dia kepergok di BEM sama kakak tingkat, mana tuh cewek sehari baru pisah sama Jackson eh, keburu disosor sama buaya.”

“Ohhh ... yang sempat heboh katanya Jackson sampai ngamuk itu ya, hahaha, ngeselin sih ... dua-duanya. Enggak si cowok, enggak si cewek sama-sama anjingggg,” timpal Bona begitu mengerti trending di kampus sementara Jisoo mesti berkutat dan mencari-cari apa hal yang telah dilewatkan pada kehidupan kampusnya selama ini.

Sejauh ini yang dia ingat hanyalah kehidupan fakultas, tak kurang ataupun lebih. Kedengaran cupu banget ya, sampai kehidupan kampus saja kurang tahu apa-apa. Maklum sih, orang-orang kadang menyebutnya si robot fakultas yang jarang banget keliling kampus dari ujung ke ujung, paling-paling gedung yang sering didatangi itu fakultas—jelas sekali ini—gedung kantin, Ilkom, dan perpustakaan pusat yang belakangan ini dia rajin berkunjung semenjak semester lima demi mendapatkan buku selama persediaan di perpustakaan fakultas belum ada.

“Tapi lebih rese lagi pas dia gandeng adik tingkat, padahal sehari itu baru jadian sama kakak tingkat. Anjing enggak, tuh?”

“Hahaha, yang begituan malah sekarang jadian-jadian anjingnya, Sa.”

“Iya, laaah, sampai teman gue juga jadi korban.” Melirik Nayeon yang kontan mendelik semakin tak senang begitu namanya disebut-sebut. “Lagian aneh lo, Nay. Cowok begitu lo harapin buat jadi pacar.”

“Iya. Cowok kayak Taeyong gitu enggak mungkin bertahan satu induk selama piramidanya belum terpenuhi. Apa Jis, namanya?” tanya Bona.

Jisoo menjawab dengan lancar sekali, “Teori kebutuhan Hierarki atau nama lain dari piramida Moslow. Tapi pendapat gue kurang cocok kalau gunain kebutuhan hierarki soalnya ini sedikit kompleks dan masing-masing piramidanya punya tujuan sendiri. Kalau dihubungin sama teori id, ego, superego punya Sigmund Freud baru cocok.”

“Ya ... itulah pokoknya.” Bona mendadak pusing kalau Jisoo sudah mengeluarkan pengetahuan di luar kepalanya itu. Meski anak ilkom dapat mata kuliah tentang psikologi umum dan komunikasi, tentunya isi enggak akan sekompleks milik Jisoo yang mempelajari dari ke akar-akarnya dunia psikologi, sementara fakultasnya hanya bagian dasar—ini aja pas semester awal yang pasti sudah dia lupakan.

“Nay,” Jisoo kemudian ikut pindah ke kursi di samping Nayeon, “he don’t deserve you.” Dengan tulus mengamit lengan sang teman untuk memberikan dukungan penuh padanya.

“Lo cantik, menarik, dan layak buat dapat yang lebih. Cowok yang jauh lebih baik daripada si Taeyong.” Perlahan tangan Jisoo mengerakkan lengan Nayeon, merayunya sedikit demi sedikit agar cewek ini mau tersenyum alih-alih merenung sedih. “Dia brengsek, manipulatif, dan lo tahu sendiri kan, gimana reputasinya di mata semua orang. Dia tuh, enggak pantes lo perjuangin.”

“Dia emang pantes diperjuangin kok,” lirihnya menunduk lesu. Membuat Hwasa dan Bona kompakan memutar bola mata, semakin bosan tiapkali Nayeon tetap membela cowok brengsek itu sedangkan Jisoo menghela napas.

“Mencintai orang itu biar kita bahagia, bukan tersakiti kayak lo sekarang ini,” rujuknya berharap Nayeon mau bangkit dari rasa sedihnya. Hanya karena cowok brengsek dia mesti bersikap pesimif memikirkan harapan semu yang bahkan tak tahu kapan itu jadi nyata jika seseorang yang diharapkan saja tidak pernah menarik diri buat mendekat.

“Biar lo enggak se—”

“Nayeon, ya?” Seseorang tahu-tahu muncul di depan mereka, menyela percakapan yang belum rampung. Cowok dengan setelan rapi berdiri sedikit kaku di depan, jika diperhatikan mendetail dia terlihat seperti anggota rohis: kemeja dengan kancing serba tertutup dari atas sampai bawah, tas punggung hitam super besar, dan celana panjang sampai menutupi sebagian dari sepatu hitamnya.

Biarpun penampilannya sedikit agak aneh, tapi dia lumayan juga.

“Ya.” Jisoo yang memawakilkan Nayeon sebab orangnya sendiri sedang enggan berbicara sama siapapun, termasuk cowok asing ini.

“Anu ....” Si anak rohis terlihat bimbang sambil lalu melirik ke arah gedung parkiran belakang. Jisoo, Bona, dan Hwasa yang tertarik lalu ikut memperhatikan arah pandang cowok ini namun mereka tidak melihat siapa-siapa, selain gerombolan cowok sedang tanding game online. Antara Mobile Legend atau PUBG.

“Lo cari Nayeon ada apa emang?” tanya Hwasa bernada sedikit membentak hingga si cowok tersentak kaget dan menunduk takut. Takut melihatnya. Jisoo kemudian menyikut lengan temannya itu agar tidak keterlaluan sama orang asing.

“I-itu ... kata Taeyong lo boleh datang ke kontrakannya.”

“Hah?” Reaksi bertiga barengan lantas heran tiba-tiba muncul cowok rohis yang menyampaikan pesan dari manusia brengsek yang barusan mereka gosipin.

“Mau ngapain dia nyuruh teman gue datang ke kontrakannya?!” seru Hwasa mendadak pikirannya berkelana ke mana-mana, terlebih ini Nayeon yang diminta secara cewek ini tentu tidak akan menolak walau nanti di sana jadi boneka kacung Taeyong.

Tahu kalau pesan itu datang langsung dari Taeyong—cowok idamannya—Nayeon kontan berdiri dan menatap penuh tertarik si cowok rohis. “Dia bilang apa lagi?”

Cowok ini melirik takut ketiga teman Nayeon, terlebih sama Hwasa yang terus mengancamnya agar segera pergi dari hadapan mereka.

“Heh, apa lagi?!” seru Nayeon nggak sabaran.

“Ke kontrakannya jam tujuh malam, ada bakar-bakar ikan, ta-tapi ... lo mesti datang sama teman-teman lo,” ucapnya lumayan lancar setelah mati-matian menghindari delikan tajam dari ketiga teman Nayeon. “Ya-ya begitu pesan Taeyong. Lo boleh datang kalau sama teman ... permisi.” Lalu terburu-buru kabur ketakutan setelah Hwasa mendekati dengan pelototan mata yang nyeremin.

Seperginya cowok itu, Nayeon diam sekian detik sebelum rautnya berseri-seri dan cewek ini jadi sedikit agak sinting selama jejeritan girang. “Pokoknya kalian ikut ya, ya, ya, pleaseeeee ...!” pintanya memohon-mohon agar ketiga temannya ikut dengan mimik sedemikian melas.

Hwasa sendiri ingin menolak, tapi enggak rela kalau membiarkan Nayeon pergi sendirian begitupun dengan Bona. Mereka seolah berbagi pikiran sama kalau sesuatu akan terjadi jika mereka tidak ikut menemani Nayeon, sementara Jisoo sedikit ragu mengingat pikirannya hanya terfokuskan sama tugas kuliah. Belum selesai sama modifikasi perilaku, skala, lalu muncul lagi pengukuran psikologi.

Tapi chat yang baru masuk sepertinya akan mengubah keraguannya.

Buaya darat: Sebagai imbalannya lo mesti datang juga

Keningnya mengerut heran tatkala membaca isi pesannya. Apa maksudnya, sih?

Buaya darat: Gue ngundang lo ke acara gue lewat teman lo.

“Apaan, sih!”  gerutunya kemudian membalas cepat pesan Taeyong.

Jisoo: Gue enggak minta diundang! Lagi pula, lo siapa!

Buaya darat: Hm, your potential boyfriend, I guess?

“Amit-amit!” umpatnya beruntung tidak mengalihkan obrolan ketiga temannya itu. Jisoo sengaja sedikit menyingkir, takut-takut mereka tahu kalau baru-baru ini dia punya kontak Taeyong.

Buaya darat: Pokoknya lo gak datang, acaranya batal.

Astaga, keinginan buat banting hape ke muka cowok itu begitu besar sampai-sampai genggamannya terasa gatal.

Aku belum pernah buat taeyong jadi brengsek dalam artian beneran brengsek banget ✊🏻 jadi yaaaa, harap maklum nanti agak ngeselin juga.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top