02. Hush

Ada kakak tingkat lagi usaha buat deketin dia dengan seribu cara, salah satunya iseng-iseng tanya soal tugas kuliah padahal sewaktu mata kuliah tadi si cowok setengah plontos itu masuk dan duduk di deretan bangku kanan paling belakang—Jisoo tahu karena sering memperhatikan orang-orang dari bangku masing-masing selama jam kelas yang telah jadi kebiasaan menyenangkan, baginya, sekadar buat mengingat wajah teman sekelas doang—dan jelas dia enggak lupa sama wajah cowok itu yang tiap bertemu selalu nyengir dan menyapanya tanpa sungkan. Si cowok selalu menghuni bangku belakang pada setiap mata kuliah Pak Joko, psikologi lintas budaya, sedangkan Jisoo selalu berada di bangku tengah.

Saat ini Suga bertanya, “Tugasnya apa kalau boleh tahu?”

“Ada di Mbak Hami, Kak.” Si pemilik fotokopian fakultas yang memegang kendali atas lembaran tugas dari Pak Joko. Entah karena cowok ini beneran lupa atau pura-pura lupa sama tugas terakhir, strategi buat mendekatinya, jelas-jelas kelas baru selesai 10 menit lalu masa sudah lupa. Secepat ini?

Jisoo enggak begitu kenal Suga sebelum mereka dipertemukan pada beberapa mata kuliah sama, cowok ini yang duluan mengajaknya berkenalan di hari pertama bertemu, dan sempat mendapatkan penolakan darinya saat langsung minta kontak Whatsapp selama jam kelas. Dia kurang nyaman kalau memberikan nomer pada orang baru dikenal walaupun orang itu adalah kakak tingkatnya sendiri; pun paling enggak suka diganggu selama kuliah.

Saat dia hendak turun ke tangga, Suga kontan menyusul dengan mengikutinya dari samping. “Ngambil psikologi hukum juga enggak?”

Ia menggeleng tanpa menoleh.

“Kenapa gak ngambil?”

“Baru semester lima, Kak.”

“Oh iya, iya.” Dia meringis sedikit bingung mencari obroan ditambah cewek ini sedikit kaku padanya atau pada setiap cowok-cowok tertentu, sementara dengan cowok teman sekelasnya Jisoo kelihatan orangnya asyik—yah, Suga sering memperhatikan. “Besok masuk Psikologi komunikasi juga ‘kan?”

Lalu si cewek berhenti, sempat menoleh sebelum berpaling dan melanjutkan langkahnya. “Komunikasi pas semester tiga.”

“Kok kemarin masuk kelasnya?”

“Nemenin teman.” Temannya Ravn itu pengecut. Mengulang mata kuliah psikologi komunikasi, tapi beberapa kesempatan sering menarik Jisoo supaya ikut menemaninya ke kelas. Katanya malu telanjur banyak adik tingkat dan segelintir seangkatan juga kakak tingkat, cowok itu kesepian dan bodoh. Jadinya dengan terpaksa kemarin dia ikut kelas mengulang dan merasa nyaman saja sebab yang mengajar Pak Joko, dosen psikologi lintas budaya juga—salah satu favoritenya biarpun banyak bilang cara mengajar beliau bikin mengantuk.

Sebelum menginjak tangga terakhir, cowok yang sebenarnya enggak jelek-jelek amat track record-nya itu selain potongan rambut setengah plontos yang belakangan jadi guyonan temannya, mulai pasrah kalau si adik tingkat terus bersikap cuek demikian. Dia enggak macem-macem kok, cuma pengen kenalan doang, tapi susahnya minta ampun.

Jisoo sudah melewati tangga terakhir sementara Suga berhenti, lalu berseru, “Kalau gitu sampai ketemu mata kuliah Bu Ana.” Yang artinya mata kuliah psikologi konseling. Suga putar arah menyusul kelompoknya setelah balik pasti ledekan koar dari mana-mana karena lagi-lagi gagal, sedangkan Jisoo terus melangkah menuju ke perpustakaan pusat namun sebelumnya dia harus menyusul Hwasa di kantin.

• s h a m e l e s s •

“Iya lah, gue pacar kesayangannya Jisoo, emang lo siapa—HAAAH?” Cewek rambut coklat gelap itu kontan menabok kepala sang teman dengan buku setebal 500 halaman, membuat si cowok mengaduh lalu bangkit dari tempat duduknya sebelum kekerasan semakin menjadi-jadi.

Kesempatan itu Jisoo manfaatkan buat mengambil alih tempat duduk Scoups setelah menemukan buku-bukunya. Salah satu bagian favoritenya dari perpustakaan pusat adalah persembunyian di balik deretan rak buku, ada sebuah jendela kaca ukuran besar kira-kira setinggi tubuhnya dengan lebar ketika Jisoo merengangkan kedua tangan, yang menghadap langsung ke arah parkiran Fakultas Hukum dan Teknik—jadi salah satu pemandangan terbaik perpustakaan disamping berkutat sama buku beberapa orang yang duduk di sini pasti akan mengintip keluar jendela untuk melihat para cowok tampan dari Fakultas Hukum dan Teknik. Lebih lagi, jendelanya memiliki undakan yang pas buat mereka duduki tanpa harus berhimpitan.

“Teman gue, Jis, jadinya gimana?”

Hwasa melempar buku lain lagi kali ini lebih tipis dari sebelumnya hingga timbul suara, menyebabkan dua kepala orang yang lagi mencari buku menoleh ke sumber keributan mereka.

Jisoo spontan mendelik kecil pada Hwasa, siap menyalahkannya kalau mereka sampai diusir dari perpustakaan.

“Gue ngajak lo kemari bukan buat jodohin dia ke teman lo, brengsek. Tapi bantuin dia ngerjain skala,” seru Hwasa setengah jengkel.

“Teman gue butuh jawaban.”

“Lo pikir kuis 100 family.” Hwasa berdecak lalu menggeleng heran sama keteguhan Scoups buat mak comblangin Jisoo sama teman sekelas mereka itu. Lupa siapa namanya, pokoknya orangnya super tengik di mata Hwasa. “Bilang ke dia, Jisoo enggak suka cowok, dia sukanya gue, gue pacarnya.”

“Ngawur!”

“Lho ... beneran.”

Jisoo yang mendengar tersenyum geli. Hwasa sama sekali enggak salah saat menyatakan demikan, dia sendiri sering mengaku sebagai lesbian kepada beberapa cowok. Mau mereka percaya atau enggak selama pernyataan itu bisa mengubah rasa percaya diri orang selama mendekatinya, Jisoo akan terus mengiyakan kalau dia dan Hwasa adalah sepasang lesbian. Kendatipun enggak banyak gampang percaya, hanya segelintir doang namun rasa percaya itu akan memudar seiring terungkapnya fakta kalau ucapannya hanyalah omong kosong.

Scoups menyeret pantat mendekati Jisoo yang lalu terpojokkan mengarah ke jendela. “Teman gue bukan bajingan kok, dia orang baik-baik.”

“Covernya doang tuh,” timpal Hwasa langsung dapat ijakan kaki dari Scoups.

“Gue jamin dia orangnya baik, bukan bajian dan lagian, kenapa lo susah amat percaya sama cowok?”

“Karena cowok rata-rata bajingan.” Kata itu meluncur enteng dari mulut Hwasa bukan dari Jisoo langsung. “Bukan semua, tapi sebagian. Populasinya lebih besar daripada sampelnya. Medeni—kalau kata orang Jawa.”

Samar-sama namun pasti Jisoo menyetujuinya, dan salah satu dari bajingan itu adalah ayahnya.

“NAAAAH!” Celetukannya betulan nyaris bikin mereka langsung terusir dari perpustakaan andaikan Scoups tidak singgap menabok kepala Hwasa pakai buku tebalnya demi mendiamkan ci cewek barbar ini. Hwasa meringis kecil, lalu menyeret pantat mendekat ke jendela sementara jarinya menunjuk ke bawah. “Salah satu dari populasi bajingan.”

“Yang mana?” tanya Jisoo penasaran.

“Ituuuu ...,” telunjuknya pindah ke depan wajah Jisoo supaya temannya ini dapat melihat arah tepat ke mana jarinya menunjuk, “jaket denim biru muda.”

Scoups dan Jisoo mencari tahu ke bawah, tempat parkiran motor bagi Fakultas Hukum dan Teknik, tepatnya ke arah segerombolan para cowok modis yang pasti nama mereka selalu terdenger beken di kalangan cewek-cewek tertentu, dan di antara kelima cowok tersebut salah satunya ada yang mereka kenal, Johnny. Wajar kalau cowok itu keluyuran di sana karena dia sendiri merupakan mahasiswa hukum.

Cowok yang ditunjuk Hwasa membelakanginya, jadi Jisoo kurang begitu bisa melihat wajahnya selain postur tubuh dari belakang yang tegap itu.

“Kan, kan, bajingan.” Hwasa heboh sendiri tatkala si cowok yang dimaksud tengah melambaikan tangan ke salah satu cewek yang barusan lewat depan gerombolannya.

“Barusan mantannya,” komentar Scoups jelas tahu track records cowok itu, teman sekelasnya sebagian merupakan korban ghosting si buaya sefakultas ekonomi tersebut. “Gebetan maksudnya,” sambungnya kemudian mereka bertiga kompakan jadi penguntit seseorang dari atas.

Memperhatikan diam-diam kegenitan si cowok tatkala menggoda para cewek yang lewat, tak sekali juga cewek yang berhasil terayu berhenti demi meladeni rayuan sang buaya bahkan mereka sampai berduaan menepi dengan mengabaikan eksistensi orang lain. Jisoo menggeleng tak karuan, jijik seketika mengukungnya acapkali mengamati si cowok yang sok terlihat seru bersama korban barunya itu.

“Kok ada ya, buaya begitu,” gumamnya heran. “Dia cowok idaman Nayeon itu, kan?”

“Ya. Siapa lagi kalau bukan buaya sefakultas ekonomi.” Hwasa terus mengamatinya dengan ketertarikan yang begitu besar. Entah ya, mungkin sudah jadi lintasan hidup manusia, mau sebenci-benci atau sejengkel-jengkelnya sama cowok modelan kayak Taeyong, tapi kisahnya itu selalu menarik buat diikuti karena akan selalu ada drama yang menyenangkan di situ.

Semua orang butuh hiburan dari orang lain dengan cara yang kadang kurang menyenangkan dan kadang menyebalkan.

Gelengan Jisoo terus terjadi sekalipun cowok itu sudah kembali bergabung bersama kelompoknya. Jisoo hanya heran dan keheranannya terus bertambah selepas beberapa langkah menjauh dari cewek sebelumnya, itu cowok masih sempat menyapa cewek lain dan membuktikan betapa buaya sejatinya dia di mata kebanyakan orang.

Jisoo lalu beralih perhatian ke Johnny, sekarang dia jadi bertanya-tanya, kok Johnny betah sih, temanan sama begitu? Lalu pikirannya tersentak oleh alarm ingatan kalau dia harus segera kembali ke fakultas, ada kelas yang nggak bisa dia lewatkan sekarang mengingat ini jam bimbingan skala bersama asisten laboratorium.

Dia menyerahkan seluruh buku ke Hwasa hasil pencarian tadinya, dengan tergesa-gesa minta tolong buat meminjamkan ketiga buku itu atas namanya sementara dia harus kembali ke fakultas sekarang. Terus berjanji kalau jam dua nanti akan menyusul lagi kemari kalau mereka masih betah tinggal atau bertandang ke Fakultas Ilkom begitu bimbingan selesai.

“Eh ... teman gue gimana?” Lagi-lagi Scoups menanyakan status sang teman.

Jisoo memutar bola mata pendek. “Ya, kalau dia bukan bajingan.” Tapi jangan harap mendapatkan respon lebih darinya, dia ini sedikit kaku sama cowok apalagi baru dikenal, bukan karena sebal didekatin, memang beginilah pembawaannya sejak dulu. Kadang orang menyalahartikan namun kadang Jisoo lega atas sikap bawaannya satu ini dengan begitu dia tidak perlu memberikan alasan lebih jika terjadi penembakan dadakan.

Selepas temannya pergi, keduanya masih mengamati aksi si buaya dari balik jendela perpustakaan. Aksi mengintipnya tetap aman lantaran perpustakaan berada lantai dua dan jendela besar ini dilihat dari bawah akan tampak hitam juga tertutup.

“Oalah, oalah, oalah.”

“Apa? Apa? Apa?” Scoups tiba-tiba antusias tiapkali Hwasa bereaksi demikian. Lalu mengamati lurus ke bawah dan spontan ikut mengatakan hal serupa.

“Oalah, bajingan tengik.”

Scoups mengangguk setuju. Membenarkan umpatan sang teman kalau cowok di bawah merupakan citra dari bajingan tengik, mengingat dia sempat-sempatnya mencoba merayu teman mereka yang barusan turun dari perpustakaan, namun langkah terburu-burunya langsung dihentikan oleh Johnny hingga akhirnya Jisoo terjebak bersama kelompoknya.

Entah apa yang mereka obrolkan, tapi kemunculan Jisoo jadi ketertarikan sendiri bagi si Taeyong. Pun jadi ketertarikan tersendiri yang membuat dua pengintip dari atas mendengus sambil mengepalkan tangan kanan lalu masing-masing meninju telapak tangan kiri barengan.

Begitu menuruni tangga terakhir perpustakaan, Jisoo segera berjalan tergesa-gesa dan setengah lari menuju fakultas namun eksistensinya dengan gampang mencuri perhatian Johnny. Cowok itu segera memanggil namanya sementara upayanya menolak berhenti gagal total begitu Johnny mengingatkan permintaan tolongnya dua minggu lalu.

“Jadi butuh subjek enggak lo? Kebetulan teman gue ada yang mau, nih,” katanya dengan berat hati akhirnya Jisoo bersedia menuruti dan mendekat.

“Teman lo apa?” tanya Jisoo begitu berdiri di samping Johnny yang tinggi sementara dia hanya sampai lengannya.

“Tugas lo, si perokok aktif.”

Ingatannya lalu berputar ke awal bulan ini ketika dosen modifikasi perilaku meminta mahasiswanya untuk membuat project modifikasi perilaku selama tiga bulan dengan subjek betulan nyata dan dia telah minta bantaun dari semua temannya barangkali bersedia jadi subjek tiga bulannya. Jisoo hendak mengambil kasus si perokok aktif yang bersedia melakukan modifikasi perilaku selama tiga bulan penuh buat enggak merokok, jika si subjek berhasil dia akan mendapatkan hadiah sungguhan.

“Oh ya, siapa?”

Johnny menggerakan samar kepalanya ke arah sang teman. “Ke sini makanya.”

Setengah hati dia melangkah semakin dekat. “Jangan lama-lama ya, ada kelas.”

“Rajin banget ya, ke kelasnya?” Bukan Johnny yang menimpali, melainkan si cowok bermuka sok angkuh yang beberapa menit lalu jadi tontonannya dari atas. Diam-diam Jisoo mendongak, mencari tahu apakah Hwasa dan Scoups masih di situ memperhatikan mereka, lalu ketika perhatiannya menurun dia melihat gerakan mata mengikuti dari cowok itu.

“Bobby.” Johnny menarik temannya yang bernama Bobby, kelihatan dia cowok baik-baik saja kecuali tangannya yang terus aktif memegang kendali rokok. “Calon subjek lo. Ubah dia biar enggak aktif rokok.”

Jisoo menatap Bobby kemudian tersenyum lebar setelah mengenalkan diri, tapi pengaruhnya sukses membuat Taeyong terus mengamatinya dalam sikap bisu, dan terang-terangan melihatkan ketertarikan padanya. Beruntung Jisoo punya Johnny yang enggak mungkin menempatkan teman dekatnya ke ladang para buaya.

“Ya udah, balik fakultas keburu telat,” tegurnya.

“Oh ya!” Nyaris lupa.

“Urusan Bobby bisa lewat gue atau ntar gue kasih kontaknya.”

“Makasih, John.” Senyumnya terus mengembang di wajah dimaksudkan untuk pamit ke kelompok kecil Johnny namun tidak untuk satu orang, dan Jisoo mengabaikan dirinya selama punya kesempatan.

“Jangan nyoba sama dia.” Kata itu meluncur sebagai peringatan dari Johnny seiring menjauhnya Jisoo dari mereka buat Taeyong.

“Yaelah, belum juga mulai,” balas Taeyong.

Johnny melotot garang. “Dia temannya Nayeon.”

“Siapa?”

“Jisoo temannya Nayeon,” ulang Johnny.

Kepalanya sedikit miring kelihatan dia sedang bingung. “Nayeon siapa?”

“Kebangetan lo, Tong, Tong ....” Reaksi temannya sama seolah enggak heran lagi kalau tiba-tiba Taeyong lupa sama nama deretan gebetannya.

“Gue lupa,” katanya modalan tampang polos kebangetan. “Serius.”

Bobby sampai tersedak asap rokok gara-gara kelakuan bajingan temannya satu ini. Buayanya sudah mendarah daging sampai ke ubun-ubun, enggak bisa diselamatin kayaknya.

“Alaaah. Kayak lo pernah ingat nama cewek lo aja,” cibir Bobby.

“Yang siapa dulu biar gue ingat-ingat.”

“HALAAAH. PERCUMA TOLOL!” seru Johnny telanjur greget sama tabiat buruk Taeyong. Saking buruknya sampai dia pengen membelah isi kepalanya terus membuang otaknya itu ke sampah soalnya enggak berguna banget.


Johnny ke Taeyong be laik:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top