01. She don't know him

Lagi-lagi mereka menganggunya yang sedang terbaring di dalam air di bathtup lewat gedoran pintu seperti orang keserupan sepagi ini. Bukan cuma dia yang butuh berendam selama-lamanya di bathtup terumata kamar mandi, melainkan mereka juga. Atau tepatnya, tempat itu lebih dia manfaatkan keberadaannya daripada shower yang selalu dikuasai kedua teman paviliunnya.

Gedoran di luar semakin kencang, salah satu pasti lagi mengamuk karena dia belum merespon. Dia pun mendengus lalu terkekeh kecil. “Baru juga jam tujuh.”

Suara cewek di luar menyahut sama kencangnya dengan gendoran itu. “Mau mati lo berendam di air lama-lama? Buruan keluar. Gue mau kencing!”

Suara lain enggak lama menyahut, dia cowok, dan satu-satunya lawan jenis di rumah ini yang sudah mereka sewa selama tiga tahun. “Jatah gue duluan. Gue mau BAB.”

“Mana bisa begitu. Duluan gue di sini.”

“Sandal gue udah di sini semalaman.” Ini adalah taktiknya yang rajin dilakukan nyaris setiap malam setelah para cewek di paviliun tidur, jaga-jaga buat mendapatkan jatah kamar mandi kedua setelah si orang pertama. Tapi cewek satunya mana pernah peduli soal sandal jepit yang senantiasa berjaga di depan pintu kamar mandi sepanjang malam itu, sebagai gambaran kalau itu adalah si cowok yang sedang mengantri kedua.

“Nyawa gue duluan berdiri di sini!” Nah, dia lebih mengandalkan keberadaan seseorang daripada benda yang mewakilkan orang itu sendiri. Dia ngotot, orang satunya pun tetap ngotot. Nyaris begini setiap pagi.

Jisoo selama beranjak keluar dari bathtup menggeleng seiring kusir drama berlangsung. Mendengarkan seksama sambil terbahak-bahak.

“Sandal gue duluan!” balas cowok itu, Johnny, sama-sama enggak mau mengalah. Sosoknya yang ramping, tinggi bagaikan tiang, dan identik sama rambut gondrong poni depan pasti lagi berhadapan sama sosok Hwasa yang merupakan gambaran nyata dari gitar spanyol.

Keduanya terus merebutkan hak sebagai orang kedua setelah orang pertama, yaitu dirinya, yang selalu jadi orang pertama penghuni kamar mandi. Dia ini rajin bangun pagi dibandingkan keduanya. Lalu kelebihan lain selama jadi yang pertama, dia dapat memanfaatkan waktu selama-lamanya di kamar mandi, kadang malah setengah jam sendiri mengurung di diri dalam sana. Belakangan Jisoo sering terlelap tidur selama tubuhnya berendam di bathtup dan baru bangun kalau salah satu di antara mereka mengedor pintu—seperti insiden barusan.

Setelah memakai pakaian ganti ke kampus, ngomong-ngomong kamar mandi paviliun ukurannya dua kali lebih luas daripada ruang tamu mengingat di dalamnya sudah termasuk ruang penyimpanan pakaian ganti dan berjejeran tiga lemari ukuran sedang sekaligus, Jisoo keluar lalu nyengir berdiri di depan dua orang yang sedang merebutkan kusir drama.

Begitu tahu Jisoo selesai sama urusannya itu, baik Hwasa maupun Johnny langsung berebut masuk. Berdesakan di pintu setelah mengusir Jisoo dari sana.

“Makanya bangun pagi,” komentarnya lalu melenggang pergi dengan mengabaikan drama pagi untuk kesekian.

• s h a m e l e s s •

Dasarnya Hwasa paling enggak senang mengalah apalagi mengalah dari cowok modelan kayak Johnny biarpun selama tiga tahun ini mereka tinggal seatap. Dia tetap benci fakta pagi barusan Johnny menang sementara dia kalah, toh disamping itu Hwasa lebih jijik jika harus memaksa dirinya buat masuk ke dalam kamar mandi, lebih-lebih selama rebutan orang kedua cowok itu mengeluarkan kentut busuk lewat lubang di antara pantat yang sembunyi di balik kolor ijonya itu. Akhirnya si cewek menyerah dan memutuskan turun ke lantai dasar demi pinjam toilet tetangga, sedangkan Johnny tertawa riang sepanjang pintu tertutup bersama kentut busuknya.

“Sebel gue sama Johnny, rese banget.” Tapi Jisoo tahu kalau ucapannya enggak seratus benar tentang kebenciannya terhadap Johnny. Mau bagaimanapun cowok itu sudah kayak soulmate mereka. Tempat mereka berkeluh kesah sebab ke mana lagi mereka harus berbagi rasa kalau bukan kamar pribadi Johnny.

“GUE BENCI ANAK EKONOMI!” Raungan muncul dari belakang mereka, di taman kampus pagi ini. Jisoo dan Hwasa sama-sama menoleh, lalu mendapati Nayeon sedang misuh-misuh dan menuju ke bangkunya.

Cewek rambut pendek itu ikutan duduk dengan muka masam dan napas kembang kempis akibat emosi.

“Skala 1 sampai 10?” tanya Jisoo.

“Tujuh,” jawab Nayeon.

“Sa?”

Hwasa menghela napas pendek. “Empat.”

Jisoo pun menggulum senyum. “Oke, Nayeon menang. Kenapa?” Pertanyaan itu hanya akan muncul ketika temannya punya masalah dan untuk menimbang siapa yang lebih pantas berbagi kisah sebagai yang pertama—entah itu memawakili perasaan marah, sedih, ataupun kecewa—Jisoo selalu mengukur lewat skala 1-10. Lalu orang yang memiliki skala lebih unggul dia berhak mendapatkan highlight sementara lainnya bisa menunggu setelah si pertama berbagi kisahnya.

Nayeon meniup poni tipisnya yang baru-baru ini dipotong demi menirukan artis kesukaannya. “Gue lagi pdkt sama seseorang.”

“Dan orang itu brengsek,” timpal Hwasa nyengir  tak berdosa. Membuat cewek itu merenggut bete karena ucapannya benar—100%.

Mereka tahu kok, kalau tiga hari ini Nayeon lagi pdkt sama cowok idamannya semenjak semester pertama. Tapi Jisoo kurang mengikuti perkembangan hubungan pedekatan temannya satu ini lantaran tugas kuliah lebih menarik alih-alih kisah cinta sang teman. Sekarang saja dia terus mengamati angka jarum pendek di jam tangan, menghitung diam-diam kapan tepatnya dia akan pergi dari pertemuan ini sebelum jam pertama kuliah.

Dia belum pernah membolos walaupun dosen selalu bilang kalau mahasiswa punya tiga kali jatah membolos dan izin. Keren! Tapi Jisoo enggak sekeren teman-temannya yang selalu memanfaatkan jatah itu secara berlebihan, kayak Hwasa yang terpaksa mengulang lagi satu semester saking seringnya bolos.

“Baru tiga hari dan dia langsung ngilang. Chatan dari kemarin belum dibalas—sampai sekarang! Rese enggak, tuh?”

“Breng-sek,” kata Hwasa mengangguk-angguk mantap.

Jisoo mencari respon ke sisi positif biar temannya ini enggak berlebihan dalam menanggapi suatu hubungan yang baru berjalan tiga hari pendekatan, cuma dapat menyampaikan, “Enggak ada kuota mungkin?”

“Halah, jaman sekarang enggak ada kuota tuh, kelihatan banget miskinnya.” Lagi, Hwasa dengan sifatnya.

“Ho-oh,” jelas dia akan setuju, “lagian Wi-Fi sekarang udah kayak semut, ada di mana-mana. Terakhir gue chat centang dua, tuh.”

Kepalanya memutar sedikit keras lagi, mencoba respon ke sisi positif. “Dia banyak tugas mungkin.”

“Tugasnya cuma satu,” lanjut Hwasa, “chat gebetan lainnya.”

“Ho-oh.”

Hwasa kemudian menoleh ke Jisoo. “Lo kayak enggak tahu makhluk sejenis buaya tuh, gimana sifatnya.”

“Oh, buaya kali ini?” Seolah terhubung ke arah mana pembicaraan mereka.

“Gue cerita tiap hari lo perhatiin enggak, sih?”

Dia meringis sedikit sesal. Kadang ceritanya Jisoo dengarkan namun lebih seringnya masuk telinga kanan keluar ke telinga kiri. Habisan cara Nayeon saat menceritakan cowok idamannya itu terlalu berlebihan, kadang justru sikapnya kelihatan freak terkesan begitu mengharapkan sosoknya itu jadi miliknya, bukan milik orang lain. Dengan harapan-harapan semu yang kemungkinan terkabulkan sangat minim dan perlu diprihatinkan juga—harusnya kalau cewek ini sadar bila rasa sukanya itu sudah seperti obsesesi.

Saat Jisoo ingin memberikan petuahnya lagi, suara lain muncul kali ini dari arah depan.

“Dia lagi jalan sama Seolhyun lho,” kata si cewek yang mirip barbie hidup.

Bona tersenyum lebar begitu ikut ke barisan kelompok kecil mereka di kampus yang terbentuk sejak di hari pertama ospek, kendati jurusan mereka berbeda—hanya Jisoo yang berbeda dari mereka. Dia tahu ke arah mana pembicaraan mereka, pasti sebelumnya berada di sekitar sini cukup lama cuma lainnya belum sadar.

“Seolhyun duta kampus?” Siapa sih, yang enggak tahu sosok rupawan dari bintang top kampus ini. Fotonya selalu terpajang besar pada baliho dan videotron kampus saat memperkenalkan identitas dari kampus ini sendiri untuk menarik calon mahasiswa.

Cewek itu selalu jadi model kampus dan orang banyak mengenalnya.

Nayeon murung, putus asa jika yang seharusnya cowok itu pdkt sama dirinya malah sedang jalan sama cewek lain. Jisoo melihat itu ikut prihatin dan merasa tak nyaman di bangkunya.

“Cowok brengsek kayak dia emang enggak pantas diperjuangin, Nay. Ada yang lebih pantas buat lo daripada dia.”

Mata kelabunya lantas menatapnya. Ada persetujuan sesaat di sana, tapi hanya sekelebat saja lantaran setelah ini yang diucapkan justru berbeda dari harapan Jisoo.

“Taeyong emang gitu kok, suka gonta-ganti cewek. Nanti kalau udah bosen juga balik ke gue,” ujarnya mencoba jadi cewek pengertian.

Jisoo menatap tajam Hwasa meminta bantuannya supaya dia dan mulut pedasnya itu mau menyadarkan Nayeon kalau percuma mengharapkan buaya dari fakultas tetangga jika dirinya saja tidak pernah dianggap ada oleh cowok itu. Nah, bukannya menolong Hwasa malah menggeleng samar kepadanya lalu dengan bahasa isyarat berkata kalau sementara mereka biarin saja Nayeon begitu daripada orangnya jadi sedih.

“Baru tiga hari pdkt kan, jadi belum ada apa-apa.” Upayanya untuk tetap optisme entah mengapa membuat Jisoo muak. Dia paling benci jika perempuan sepertinya harus dipatahkan oleh golongan lelaki brengsek.

Bona cuma nyengir merasa tak enak hati kalau cuma diam dan mendengarkan. Hwasa sekadar mengangguk setengah hati, dan Jisoo sebaliknya berkata, “Cowok kayak dia selama buaya selamanya buaya. Dia enggak bakalan puas kalau cuma dapat satu induk doang.”

“Kok lo gitu sih, Jis?” kata Nayeon kurang senang atas motivasinya yang terkesan menuduh cowok idamannya sebagai cowok brengsek—meski kenyataan berkata demikian.

“Emang begitu kok.”

“Lo bisa bilang begini karena belum kenal dia aja.”

“Oh, enggak perlu kenal. Gue rasa udah cukup tahu modelan cowok kayak dia, kayak siapa.” Lalu dia terpikirkan satu nama. “Minhyun misalnya.”

Minhyun itu teman seangkatan dan sefakultas Jisoo yang casing-nya saja dari luar kelihatan super alim, gambaran dari cowok idaman, tapi di baliknya dia sama brengseknya seperti si Taeyong itu—cowok idaman Nayeon. Kalaupun disuruh pilih mending Ong daripada Minhyun walaupun cowok itu sedikit aneh dengan tingkah absurdnya.

Nayeon bersikeras. “Bedalah. Minhyun tingkatan brengseknya udah kelewat batas, Taeyong ... Taeyong beda!”

“Bedanya lo enggak suka Minhyun makanya bela Taeyong, cowok idaman lo itu.” Kemudian dia berdiri, sudah setengah sembilan dan timing-nya pas buat minggat dari drama kampus pagi ini. Drama Nayeon.

Teman-temannya membiarkan dia berlalu, tak terkecuali Nayeon yang terkesan marah pada Jisoo atas ucapannya.

Namun seiring langkah menuju fakultasnya, Jisoo menggeleng heran. Apa sih, yang dibutakan Nayeon dari cowok kayak dia?

Kalian enggak asing yaa, sama ini kurang lebih kalau pernah baca kisah JaewonxJisoo karena dua-duanya emang sumber inspirasi NooraxWilliam huhu well, enggak sama kok beda—dijamin 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top