35. I'm not perfect (but i'm trying)
“Kenapa, John?” tanyanya, menutup pintu gerbang rumah menemui teman yang tiba-tiba telepon bilang kalau dia ada di luar sekarang.
“Temenin gue, yuk.”
“Ke mana?”
“Beli sesuatu. Mau minta tolong buat pilihin. Selera lo lebih bagus daripada Hwasa.”
“Sekarang?”
Johnny mengiakan cepat.
Jisoo ragu-ragu, menoleh ke arah rumah Sowon, berpaling lagi ke laki-laki yang bertengker di atas motor itu. “Bentar atau lama? Jauh gak lokasinya? Hmm ... gimana ya, gue masih bantuin Sowon juga ngurus skripsinya. Skripsi gue juga, sih.”
“Halah, bilang aja ada urusan mendadak. Bilang kalau si Hwasa sakit.”
“Perlu banget bohong?”
Dengan cuek dia mengiakan, terangguk-angguk, seperti bukan Johnny saja.
“Penting banget, ya? Gak bksa besok siang aja belinya?” tanyanya masih ragu.
“Gak bisa. Besok tokonya tutup. Harus beli malam ini juga. Ayo, temenin gue. Sekarang!” Karena dia masih terlihat ragu-ragu juga, Johnny akhirnya membuat kesepakatan. “Bilang ke Sowon, bab empatnya besok gue bantu ngerjain kalau dia udah sampai itu. Gue ngomong serius, biar lo mau nemenin gue sekarang.”
“Ya udah deh, gue bilang dulu ke orangnya,” katanya, segera berbalik masuk ke rumah Sowon walau sebetulnya masih saja ragu.
Johnny menunggu selama beberapa menit. Tak lama Jisoo keluar lengkap dengan tas dan map khusus buat file skripsi. Harusnya malam ini dia menginap di rumah Sowon, mau lembur bareng ngerjain skripsi sama dua teman sekelas juga, akhirnya enggak jadi semenjak Johnny tiba-tiba muncul kemari tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Selama di jalan itu Jisoo jadi bertanya-tanya, barang apa yang mau dibeli sampai mendesak harus beli malam ini juga. Sifat terburu-burunya itu sedikit aneh. Jisoo tidak curiga karena berpikir mungkin Johnny memang sangat butuh barang itu, makanya harus beli malam ini juga. Yang bikin aneh hanya kenapa harus sama dia? Barang apa yang perlu dia pilihkan? Seingatnya di antara mereka bertiga justru Hwasa-lah yang selalu punya selera bagus.
“Jis.”
“Hah?” sahutnya sedikit teriak karena posisi mereka lagi di jalan, di atas motor yang melaju sedang.
“Lo belum pernah ketemu Taeyong lagi sejak kemarin itu, ya?”
Dia mengangguk dengan dahi mengernyit. Tumben-tumbenan Johnny tanya sesuatu yang jawabannya dia sudah tahu. Dipikir-pikir lagi memang sudah berapa hari ini dia belum ketemu Taeyong semenjak pertemuan terakhir tak mengenakkan itu. Jisoo diam-diam menghitung dengan jari, sebelum mendesah.
Sebenarnya Taeyong sering coba-coba untuk menemuinya, tapi dia selalu menolak bertemu.
“Btw, gue baru-baru ingat ini. Foto sama video yang di-share di igs Yuta itu bukan cewek. Itu si Loren. Teman sekampus Jonghyun yang sekarang tinggal bareng mereka di rumah kontakan itu.”
“Iya, gue udah tahu, John. Jonghyun kemarin sempat telepon ngejelasin itu.” Helaan napasnya terkesan berat sebelah. Kemarin dia sempat kaget pas dapat telepon dari Jonghyun. Awalnya dia kira itu Taeyong telepon pakai nomer temannya. Makanya Jisoo sempat reject terus sampai laki-laki itu chat, mengaku sendiri kalau dia bukan Taeyong, dan meminta supaya Jisoo terima panggilannya. Terus akhirnya dia terima telepon itu dan mendengarkan Jonghyun yang dengan sendiri langsung menjelaskan skenario di balik postingan Yuta. Untuk membuktikan ujarannya, dia sampai kirim video lain yang melihatkan jelas wajah sosok di pangkuan Taeyong. Dan itu benar-benar Loren.
Jonghyun sempat mengira dia putus dari Taeyong gara-gara perkara postingan Yuta.
“Jadi, lo percaya cowok lo gak pernah selingkuh?”
“Kalau Taeyong mau selingkuh pasti udah dilakuin dari dulu sih, John. Dia punya banyak kesempatan selingkuh dengan lingkungan dia yang begitu. Apalagi dia tipe orang yang gak suka sembunyi-sembunyi. Lo tahu sendiri dulu dia resenya kayak gimana. Dikit-dikit suka pamer gebetan padahal yang baru ditinggal itu masih anget-angetnya, lho, belum lama! Dulu waktu dia mau deketin gue juga masih suka pamer gebetannya. Makanya dulu gue benci banget lihat sikap soknya itu.” Jisoo merinding, antara sebal dan jijik teringat lagi masa-masa menyebalkan Taeyong waktu mendekatinya. “Jadi, pas denger orang bilang Taeyong selingkuh di belakang gue, gue kayak gak mau percaya. Maksud gue, ini Taeyong lho, yang suka main di depan daripada belakang. Soalnya gue inget banget, waktu kita masih pdkt dan gue minta backstreet itu aja dia kayak ogah-ogahan. Ujung-ujungnya gue sama dia berantem karena masalah backstreet itu.
“Dia pikir gue gak menghargai dia sebagai cowoknya. Gue malu kalau ketahuan orang pdkt sama dia. Tapi jujur, gue sempat mengalami itu. Bukan gak menghargai orangnya, gue emang pernah malu kalau orang tahu gue dekat sama cowok modelan kayak dia. Cowok yang pernah gue kata-katai berengsek, bajingan, manipulatif, blah blah blah ... dan karena mantan gebetannya itu ada teman gue juga! Gue malu. Gue ngerasa kayak kemakan sama omongan diri sendiri.”
Jisoo menghela napas selama mengeluarkan semua unek-uneknya. Bicaranya mengalir seperti aliran sungai. “Kadang ada benernya juga sama omongan orang kalau gue ini gak tahu malu. Jilat ludah sendiri. Haha. Freak banget.”
Semua cerita itu sudah Johnny saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Mulai dari masa-masa mereka dekat sampai pisah sekarang. Johnny selalu hadir sebagai saksi dari kisah mereka berdua. Sehingga dia mengerti bagaimana perasaannya saat itu.
“Sekarang masih malu?”
“Hmm ... jujur, kadang-kadang perasaan itu ada.” Selama orang ini adalah Johnny, dia tidak akan pernah ragu-ragu untuk mengutarakan semua perasaannya. “Lebih ke insecure, mungkin. Gue dulu pernah ada pikiran gini sih, ‘Ah, paling gak bakalan lama. Paling kalau dia udah bosen, gue diputusin. Emang orang kayak dia bisa berubah?’ Bener-benar hopeless banget. Makanya pas awal-awal kita pacaran itu gue ngejalaninya setengah-setengah. Dan salah gue sendiri yang gak percayaan, malah jadi boomerang sendiri. Dikit-dikit kita berantem dan semua itu salah pikiran gue sendiri, gak percayaan.”
“Hahaha.” Johnny tertawa bukan maksud menghina. Cuma ingin mencairkan suasana hati Jisoo yang roman-romannya mau galau lagi karena teringat kisah kasih masa lampaunya.
“Tapi dia ada salahnya juga dulu. Dia kalau marah agak serem! Jujur, gue takut denger dia teriak depan gue. Selain itu, tiap kita selesai berantem, dia pasti pergi ke klub bareng teman-temannya, terus ketemuan sama si Sally, kadang-kadang juga ada aja teman cewek deket dia. Siapa yang mau percaya dia bakal berubah? Ya, gue yang masih gak percayaan waktu itu, tambah keras kepalalah sama dia!”
“Ujung-ujungnya kalian akur lagi kan, sampai sekarang?”
“Iya sih,” gumamnya lama.
“Dan lo juga mulai percaya orangnya. Gak setengah-setengah juga ngejalaninya.”
Bagian percayanya ini sejujurnya Jisoo agak heran. Heran sama diri sendiri. Mungkin karena waktu kebersamaan mereka pelan-pelan telah mengubah penuh cara pandang Jisoo terhadap Taeyong. Terutama semenjak confess terakhir mereka di rumah Jisoo, penyebab dari mereka benar-benar menjalani hubungan itu sebagai pasangan kekasih.
“Percaya karena gue selalu ada di sana, di sisinya. Nemenin dia yang pelan-pelan mau berubah. Konteks yang bikin gue bener-benar percaya dia berubah itu, dia udah gak pernah lagi teriak kalau marah. Gak kayak dulu. Ya ... mungkin pernah kejadian sekali karena salah gue sendiri gak peka, tapi gue percaya dia gak bakal ngulangi itu lagi. Dan soal selingkuh ....” Dia menghela napas sebentar. “Cewek yang masih deketin dia itu banyak, gue tahu. Kalau dia mau, pasti udah pilih satu di antara mereka. Kalaupun dia selingkuh, gue pasti udah curiga duluan. Secara kita tinggal seatap, tiap hari hampir selalu bareng kecuali waktu kkn atau gue kuliah. Dia kalau main hape selalu depan gue, entah itu lagi chat, telepon, atau buka medsos gitu, dia selalu usahain gue tahu dan denger. Padahal gue gak peduli-peduli amat, tapi dia selalu ngelakuin itu sendiri. Lo tahu juga kan, kebiasaan dia yang gak pernah save kontak cewek kecuali orang itu temannya. Jadi, gue bakalan curiga duluan daripada orang lain.”
Lalu dia melanjutkan, “Gue pacarnya. Gue lebih paham dia daripada orang-orang.”
Johnny terkekeh. “Pacarnya?”
“Iya—eh, gak maksudnya kemarin. Sekarang udah enggak,” koreksinya cepat-cepat, salah tingkah. Mengutuk diri sendiri yang kebablasan berbicara.
“Masih juga gak masalah, Jis.”
“Gak. Udah putus. Gue benci orangnya. Kecewa ba—John, John, John!” teriaknya panik seraya menarik-narik ujung baju bagian belakang Johnny. “KOK LO BAWA GUE KE SINI, SIH?!”
Dia panik bukan main saat menyadari tempat tujuan Johnny sekarang. “LO SENGAJA, YA?!” pekiknya, mendelik kesel ke temannya yang terus terangguk-angguk ini.
Alih-alih ke toko jualan barang yang dimaksud, Johnny justru menipu Jisoo membawanya ke tempat tinggalnya beberapa waktu lalu bareng mantan sebelum minggat. Jisoo mencengkram pundak Johnny kuat-kuat begitu motor berhenti di depan halaman rumah itu.
“Gak ada yang perlu ditakutin. Taeyong gak bakalan teriak-teriak marah lihat lo.”
Jisoo bergeming, menggeleng-geleng. Cengkraman pundaknya semakin kuat.
“Jis.”
“Gak. Gak. Gak.” Gadis itu menggeleng-geleng. “Dia udah ngecewain gue, John. Gue gak mau ketemu orangnya lagi.”
“Justru itu lo harus ketemu orangnya.” Johnny melepaskan tangan-tangan itu. Turun dari atas motor dan menatap si gadis di atas jok dengan serius. “Yang patah hati bukan cuma lo, doang. Di dalam tuh rumah, ada orang yang juga patah hati. Lo harus lihat sendiri keadaannya.”
Giginya mengigit bagian dalam bibirnya. Ragu-ragu kepalanya melongok ke arah pintu rumah kos-kosan itu melewati pundak tegap Johnny. “Dibanding sama gue, parahan mana?”
“Lo sih, hobinya nangis everytime. Penghuni rumah itu kayaknya everyday, everywhere, everytime”
“Ck. Apa bedanya?”
“Makanya lo lihat sendiri.” Dia masih belum berkenang pindah dari posisi duduk di atas jok motor. “Lo gak mau turun ikut gue sekarang. Jangan salahin gue kalau gendong lo terus bikin orang di dalam rumah itu meledak cemburu.”
“Ya, jangan dong!”
“Makanya turun!” desaknya agak tak sabaran.
Jisoo mendengus sebal. Walau sedikit enggan dia tetap turun. Berpikir-pikir lagi sebelum mengikuti langkah teman laki-lakinya itu mendekati rumah di depan matanya ini. Berapa hari mereka tidak bertemu lagi? Empat atau lima? Atau jangan-jangan sudah hampir sepekan ini? Ah, dia lupa.
Belum sampai pintu diketuk, seseorang duluan membukakan pintu. Sempat mengira orang di balik pintu itu si penghuni kos-kosan, justru ternyata orang lain. Yah, bukan orang lain juga kalau orang itu hanyalah Jonghyun.
“Cowok lo di kamar,” kata laki-laki ini tanpa basa-basi dulu. Seolah dapat menebak isi kepala Jisoo yang diam-diam mencari-cari keberadaan Taeyong setibanya di rumah itu. “Masuk aja. Gak perlu—”
“Jisoo.”
Orang yang mereka bicarakan sudah muncul dengan kondisi jauh lebih menyedihkan dibanding Jisoo belakangan ini. Jisoo sampai syok melihat penampilannya yang serba berantakan dari atas kepala sampai kaki. Wajah kucel, mata bengkak merah, rambut tak disisir rapi, dan kaus yang terlihat kebalik cara pemakaiannya itu bikin Jisoo elus-elus dada.
Membuat dia bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dikerjakan laki-laki itu selama ini sampai terlihat tidak terawat. Bayangan Taeyong yang selalu tampak sempurna itu segera hancur. Jisoo menghela napas berat. Lantas dia memberi kode kepada dua laki-laki di kedua sisinya untuk segera keluar dari tempat ini. Mereka butuh privasi. Baik Johnny maupun Jonghyun langsung memahami itu sepakat untuk pamit keluar.
Johnny sempat berpesan agar Jisoo tetap menghubunginya kalau mereka ada apa-apa. Lalu bilang kalau dia sama Jonghyun hanya pergi ke angkringan sekitar daerah kos-kosan ini. Jaga-jaga kalau hubungan mereka tetap tak berakhir baik.
“Good luck!” kata kedua laki-laki itu sebelum pergi dengan menutup pintu.
Kini hanya tinggal mereka berdua di rumah. Taeyong bergeming. Berdiri canggung menghadapnya. Ragu-ragu untuk mendekat—tepatnya bukan ragu lagi, melainkan takut. Dia takut melangkah mendekat Jisoo akan berbalik pergi dan meninggalkan dia sekali lagi. Hanya dengan melihat Jisoo berdiri di sana saja, Taeyong merasa lebih dari sekadar cukup. Dia bersyukur. Perasaannya pun lega, jadi ploong. Seenggaknya dia tahu Jisoo-nya terlihat baik-baik saja.
Merasa bahwa suara kendaraan Johnny telah menjauh dari halaman kos-kosan, Jisoo barulah menghela napas dan perlahan melangkah ke arahnya. Kemarahan dan kekecewaannya masih ada hingga kini. Tidak dapat mengubah fakta bahwa laki-laki itu sendirilah yang menyebabkan dia memiliki perasaan itu. Hanya saja, Jisoo tidak tega menyaksikan Taeyong berubah demikian dratis hanya dalam hitungan hari. Sambil menahan dorongan kemarahannya, dia berhenti di depan laki-laki tersebut. Wajahnta mendongak, mata menatap lurus ke matanya, kemudian sekali lagi, dia mendesah lama.
“Kamu bisa merawat kebohonganmu, tapi nggak becus merawat diri sendiri. Seenggaknya rawat diri kamu sendiri, jangan terlihat seperti orang gak berguna begini,” omelnya, kesal dan kasihan sekaligus.
Kepala laki-laki itu menunduk dalam-dalam.
Jisoo terhenyak menyaksikan reaksinya. Sejak kapan laki-laki ini berubah jadi begini? Tarikan napasnya menjelaskan betapa tidak terbiasanya dia melihat keadaan Taeyong yang begini. Jisoo serba salah antara mau memarahinya atau mengasihani.
“Berapa hari kamu gak tidur?” Lingkaran matanya yang mengerikan itu sampai bikin Jisoo kesal sendiri. “Udah makan?” tanyanya, bersungguh-sungguh khawatir. Tubuhnya juga terlihat sedikit kurusan dibanding terakhir kali mereka bertemu.
Astaga, hanya dalam beberapa hari dia jadi begini. Bagaimana kalau terjadi berbulan-bulan coba? Jisoo merinding bayanginya.
Taeyong tetap bungkam, seolah tak mampu menjawab, tapi Jisoo sudah punya jawabannya sendiri.
“Wanna hug?”
Kepalanya seketika terangkat. Tatapannya memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Berharap bahwa kata-katanya itu bukan sekadar candaan belaka. Taeyong bakalan hancur sehancur-hancurnya jika Jisoo mempermainkan perasaannya dengan memberi harapan palsu.
“May I?” tanyanya ragu-ragu, seperti anak kecil.
Jisoo segera membuang keegoisannya. Langkah kedua kakinya membawa dirinya makin dekat di hadapan Taeyong. Kedua tangannya lantas melingkari tubuh laki-laki itu yang seketika juga mengalami kejang sesaat berkat sentuhan tubuh mereka. Bukti bahwa tubuh mereka juga saling merindukan kehangatan dalam dekapan itu. Si gadis menempelkan kepala di dada sang pria yang bidang. Mengusap-usap punggung sang pria yang kemudian tersedak menangis pada pelukannya.
Belum pernah dia melihat Taeyong menangis semenyedihkan ini. Laki-laki yang biasa terlihat keren di mata orang, kini di mata wanitanya dia terlihat begitu tak berdaya. Jisoo pasrah ketika tubuhnya didekap erat-erat sampai rasanya sesak. Dia akan membiarkan Taeyong memeluknya begini sampai keadaan laki-laki ini membaik.
“Please, don’t leave me. Don’t give up on me.” Suaranya terdengar bergetar saat berbicara. Hati Jisoo ikut bersedih merasakan kedalaman dari rasa luka laki-laki ini terhadapnya.
Pelukannya sendiri semakin kencang. Jisoo tersedak karena semakin sesak dibuat olehnya. Cepat-cepat dia mengusap-usap punggung Taeyong, meredakan kesedihannya itu sehingga perlahan-lahan dia akan mengendurkan pelukannya.
“Jisoo.”
“Hm?”
“Permintaan maafku mungkin belum cukup mengantikan kekecawaanmu. But, please, don’t leave me. Aku bersumpah gak akan bohong ke kamu lagi. Dan bener-benar bersumpah akan lebih peduli lagi sama masa depanku sendiri.” Kata-kata itu terdengar bersungguh-sungguh baginya. “Please, don’t give up on me. I really do love you.”
Diamnya Jisoo sempat membuat Taeyong cemas. Benar-benar ketakutan dia akan meninggalkan dirinya lagi. Saat perlahan dia menarik diri dari pelukannya, Taeyong hanya pasrah. Wajahnya tenggelam ke bawah tak berani untuk menatap mata itu kalau akhirnya mereka hanya akan berpisah lagi.
“Aku masih kecewa kamu bohongin.” Rasanya Taeyong ingin memutar waktu keadaannya sebelum dia mulai berbohong. “Tapi aku lebih kecewa lihat kamu yang begini. Lihat kamu yang gak terawat.”
Jisoo menangkup wajah Taeyong. Memaksanya agar dia membalas tatapannya. “Taeyong ...,” suaranya melunak, menghangat jiwa sang adam, “just a reminder, I love you.”
Pupil matanya membulat tatkala menyimak ucapannya.
“Always have. Always will. Oke?”
Kata-kata terakhirnya itu menyebabkan Taeyong refleks mendekap tubuhnya lagi. Seiring seruan tangisan akan kelegaannya ini. Tidak ada yang lebih dari membahagiakan baginya pada momen penting malam ini. Sudah pantas bagi laki-laki seperti Taeyong merasa beruntung karena mendapatkan perempuan seperti Jisoo. Seolah mereka diciptakan untuk sebagai pasangan belahan jiwa sejati.
• s h a m e l e s s •
“Iya, John. Pas-pasan juga gue tadi bawa baju ganti buat magang besok. Ya, aslinya sih, masih ada beberapa pakaian gue tertinggal di sini juga.” Karena kemarin waktu marah dia hanya mengepaki barang-barang seperlunya tanpa perhatiin apa saja yang tertinggal. Setelah hubungannya balik lagi Jisoo rencananya mau tinggal semalam di sini bareng Taeyong. Masih ada beberapa hal yang perlu mereka luruskan dengan kepala dingin. Disamping itu, Jisoo juga mau mengurus Taeyong yang tak terawat ini.
“John. Kalau bisa jangan bilang Hwasa, ya?” Ragu-ragu dia melirik belakang ke arah Taeyong bersama Jonghyun. “Jonghyun kayaknya udah tahu ini. Sesuai prediksi lo. Kita putusin buat balikan lagi, tapi kita mau backstreet. Mungkin sampai gue lulus kuliah. Taeyong mau orang yang cukup tahu soal kita balikan cuma kalian berdua. Soal Hwasa ... Taeyong gak mau dia tahu. Gue udah bujuk-bujuk, dia tetap gak mau.”
Rasanya agak ganjil merahasiakan hubungannya itu dari salah satu teman dekatnya. Jisoo merasa bersalah main-main kucingan dari Hwasa nanti.
“Taeyong gak masalah Hwasa tahu selama dia gak ikut campur dan kopor-koporin situasi.” Dia mendesah, berada dalam situasi cukup sulit. Antara teman dan pacar. Cukup bingung sebetulnya waktu dia menyepakai permintaan satu Taeyong ini. “Aneh gak kalau gue gitu ke teman sendiri?”
Johnny mencoba berpikir lewat sudut pandang Taeyong. Mengorek-orek lagi sejauh mana hubungan permusuhan di antara mereka. Yah, tak aneh jika suatu saat nanti dia akan membuat pengecualian khusus ini. Johnny ingin memberi sedikit masukan, tapi kemudian memilih diam. Perannya cukup sampai di sini. Tidak pantas dia terus-terusan ikut campur. Yang ada malah dia sama saja seperti kebanyakan orang. Toh, dilihat-lihat juga peran Jonghyun bersama Taeyong sudah selesai sejak mereka pergi ke angkringan bareng.
“Tenang aja. Gue bakalan tutup mulut,” ujarnya demikian.
Jisoo lega sekaligus kecewa karena sempat mengharapkan masukan Johnny soal ini. Namun, sesudahnya mengerti bahwa peran laki-laki ini telah selesai. Sungguh merepotkan karena lagi-lagi mereka menyerat teman-temannya dalam masalah hubungannya.
“John.”
“Iya.”
“Thank you.”
Tiba-tiba Jisoo memeluknya. Johnny tersentak kaget. Lalu cepat-cepat mendongak ke depan. Ke tempat dua laki-laki yang sekarang berhenti bicara dan menoleh padanya. Ah, tatapan laki-laki itu dia mengerti maksudnya. Johnny tertawa kecil dan sengaja mengusap kepala si gadis yang memeluknya ini.
“Gue sempat mikir kalau emang Taeyong bukan buat gue, seenggaknya gue masih punya lo.” Si gadis tertawa masih dengan memeluknya. “Gue sempat mikir gini. Setelah sama Taeyong gue pasti bakalan susah buat percaya cowok lagi. Terus gue kepikiran lagi, kayaknya cuma lo cowok yang bisa gue percaya selama ini. Dan kepikiran lagi, apa mending gue sama lo aja, ya.”
Senyuman Johnny menggulum dalam seiring kejujuran Jisoo terhadapnya.
“Dan sekali lagi gue mikir, gue egois kalau sampai jadiin orang seperti lo cuma sebagai pengganti doang. Walau ada pepatah bilang witing tresno jalaran soko kulino, gue tetap orang jahat kalau jadiin lo sebagai pilihan.”
“See?” Johnny terkekeh. “Untung lo kebanyakan mikir, ya.”
Kemudian mereka tertawa tanpa memisahkan diri. Tak sadar bahwa Taeyong memandanginya dengan wajah cemberut. Keakraban itu seketika membuatnya iri.
“Cowok lo udah kebakaran jenggot,” bisiknya, menatap lurus ke arah Taeyong.
Jisoo tertawa kemudian melepaskan diri dari Johnny. Berusaha untuk tidak menoleh belakang.
“Ya udah, ya, gue cabut dulu.” Lalu dia memanggil Jonghyun, mengajaknya balik bareng. Tepatnya sih, Johnny yang nebeng. Soalnya motor yang dipakai buat jemput Jisoo itu punya Jonghyun.
“Hati-hati, ya!” ujarnya mengantar kepulangan dua laki-laki tersebut.
Sesudah mereka pergi, Jisoo tersentak oleh pelukan tiba-tiba Taeyong dari belakang. Kaget karena posisinya pintu masih terbuka lebar-lebar. Cepat-cepat Jisoo menutup pintu seiring gerutuannya buat Taeyong.
“Aku cuma mau ngilangin jejak-jejak Johnny dari kamu. Biar cuma punyaku yang nempel di kamu.”
“Apa, sih?!” gerutunya, memutar bola mata. Refleks Jisoo menjerit ketika Taeyong mengangkat dirinya, memindahkannya ke kamar.
“Malam ini gak usah tidur, ya? Mesra-mesraan aja soalnya aku kangen banget.”
Langsung saja dia dapat pelototan galak. “Ya ampun, Taeyong, lihat diri kamu di kaca, dong!” Tangannya mengacak rambut berantakan laki-laki itu. Sengaja bikin penampilannya semakin berantakan. “Mata kamu bengkak, merah-merah, gelap juga area matanya. Sana deh, kamu rebahan di kasur. Empet aku lihat kamu yang sekarang.”
Taeyong bergeming. Wajahnya terlihat lucu karena berharap Jisoo tidak marah-marah lagi padanya.
“Lepas dulu. Aku mau ambil tas.”
Dengan setengah hati dia melepaskan pelukannya. Selama Jisoo pergi mencari tasnya disimpan, mata Taeyong terus mengikutinya. Sedikitpun dia tak berkedip. Seakan takut kekasih itu menghilang dalam sekejap.
“Sini,” panggilnya untuk mengikutinya yang sekarang duduk di kasur. “Rebahan di situ. Terus kepalanya taruh sini.”
Taeyong mengikuti semua arahan Jisoo dengan patuh. Rebahan di kasur dan menidurkan kepala di bantal di atas pangkuan kekasihnya. Sementara itu, Jisoo mengeluarkan seperangkat pembersih wajah dari dalam tas. Lalu memposisikan wajah Taeyong supaya berada di posisi siap untuk dibersihkan.
“Sebenarnya kamu gak pernah mandi berapa hari, sih?” tanyanya sambil mengoleskan pembersih mukanya.
Taeyong menatap lurus-lurus sang kekasih seiring senyuman yang tersemat bibir. “Hari ini aku udah mandi kok, pas Jonghyun bilang kamu mau ke sini.”.
“Jorok!” komentarnya, mengambil kapas untuk membersihkan kotoran di muka Taeyong. “Besok-besok jangan pernah gini lagi.”
“Iya, Sayang.”
Jisoo menekan ke dalam kedua pipi Taeyong lantaran gemas. Di matanya sekarang dia kayak anak kecil yang nurut-nurut saja sama omongannya. Benar-benar kayak bukan Taeyong. Jisoo sempat curiga jiwa Taeyong berubah anak kecil.
Jadi begitu kawan-kawan ceritanya hehe btw, HAPPY NEW YEAR ✨❤️🔥‼️🌹 gapapa kan, ngucapin skrg 💁🏻♀️
Semoga tahun 2023 ini segala sesuatu yang kalian mau segera terwujudkan. Jangan pantang menyerah, ya! Belum berhasil tahun kemarin, bukan berarti tahun ini gagal lagi. Atau mungkin bisa coba meraih keberhasilan yang lain. Hehe. Semangat!!! Jangan lupa stay safe selama musim hujan ini, ya 🙆🏻♀️
Shameless akan segera berakhir. Tinggal 1/2 chapter lagi. Hehehe ❤️🔥🥸🌹🫂🙆🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top