32. Midnight Rain
Nih ya, gue reveal calonnya. Jom, simak!
“Hei ....” Suara Johnny memaksa Jisoo menegakkan kepalanya. Laki-laki itu menyembulkan kepala di balik pintu kamar yang memang sengaja tidak dia kunci. “You okay?”
Gadis itu tersenyum lurus. Wajahnya terlihat murung, capek menangis setiap kali pulang dari magang, lalu mengurung diri di dalam kamar. Johnny dan Hwasa sering bergantian menenangkan dirinya walau upaya mereka tak membuahkan hasil apa-apa. Dia mendengarkan semua nasehat temannya, tapi tidak benar-benar mendengarkan. Literally, masuk ke telinga kanan keluar ke telinga kiri. Jisoo hanya bisa menangis sampai stock air matanya itu terkuras habis.
“No.”
Langkahnya membawa masuk tubuhnya ke dalam kamar milik Jisoo, yang pernah kosong hampir setengah tahun sebelum pemilik lama kembali. “Wanna hug?”
Anggukan kepalanya membuat Johnny bergegas duduk di sebelahnya. Dia meraih pundak Jisoo, menarik tubuh raput itu ke pelukan. Tangannya mengusap punggung Jisoo yang gemetaran lagi menangis.
“I feel so stupid, John.” Akhir-akhir ini dia memang suka bertindak bodoh. Entah itu di kos-kosan, tempat magang, atau waktu di kampus. Jisoo sering bengong sendiri, bertindak ceroboh, kesal pada hal sesuatu tanpa konteks yang bikin orang melihatnya aneh, dan sering juga tiba-tiba nangis di tempat umum.
Gara-gara kebodohannya sendiri, senior di kantor tempat dia magang sampai mencapnya sebagai anak magang tidak profesional. Jisoo malu sering kena teguran gara-gara suka enggak fokus kerja. Patah hati bikin segala sesuatu tak masuk akal.
“John.”
“Hm?” Johnny menurunkan pandangan padanya.
Jisoo mendongak setelah menyingkirkan sisa-sisa air mata dari tangisan kesekian kalinya pada hari ini. Mata cokelat terang itu menatap lurus-lurus sang teman yang tak pernah absen untuk menghibur dirinya. Seenggaknya dia masih punya sandaran di waktu terpuruknya. “Menurut lo keputusan gue ini salah enggak, mengakhiri segalanya tanpa benar-benar dengerin penjelasannya?” Dia mendesah resah. Merasakan ketidaknyaman setiap mengingat kalimat terakhirnya untuk mengakhiri hubungan itu.
“Gue terlalu egois, ya?” Dia menganggap dirinya ini egois. Terlalu memaksakan diri membuat keputusan tanpa memberi si pihak laki-laki kesempatan untuk bicara. Untuk meluruskan perkara yang menyebabkan sang pasangan begitu marah padanya. Boro-boro memberinya waktu bicara, dia bahkan tak memberinya kesempatan lagi bagi laki-laki itu menemuinya.
Jisoo mengabaikan segala upaya yang dilakukan Taeyong untuk menemuinya. Laki-laki itu sering mencoba menemuinya di segala kesempatan yang dia miliki. Dan Jisoo bersikeras menolak bertemu Taeyong dalam bentuk apa pun. Rasa kecewa yang begitu besar penyebab dia bersikap demikian tak acuh.
Sejujurnya, dia juga tak suka memiliki perasaan ini. Namun, entah mengapa tiap kali melihat wajah laki-laki itu, dia hanya merasa dibodohi. Bayangkan selama hampir setengah tahun dia sengaja membuat dirinya kenyang dengan semua skenario dari kebohongannya itu. Harusnya Taeyong mengerti Jisoo sangat benci dibodohi. Tindakannya itu hanya membuatnya trauma. Jadi terbayang-bayang lagi bagaimana dulu ayahnya pernah membodohi dirinya selama belasan tahun.
Mana janji untuk saling percaya satu sama lain? Tak sebegitu percayakah dia padanya sampai merahasiakan perkara sepele ini darinya. Apa baginya ini Jisoo hanyalah beban. Bagaimana Jisoo mau percaya lagi omongannya? Semua perasaan yang dia miliki terhadapnya, seolah terkubur dalam-dalam pada kubangan kekecewaan.
Nila setitik, rusak susu sebelangga. Karena satu kesalahan, dapat menyebabkan semuanya salah.
Johnny memberinya senyum hangat. “Kadang jadi egois pun enggak ada salahnya.” Jarinya bergerak menyentuh helai rambut yang jatuh menutupi wajah itu. “Lo hanya perlu ingat ini, terus-terusan menjadi egois juga gak baik bagi diri lo sendiri dan orang di sekitar lo. Taeyong mungkin egois karena terus-terusan bohong, akibatnya orang yang dia sayang kecewa dan ninggalin dia. Lo mungkin egois karena gak kasih kesempatan pasangan lo bicara, dan lo juga pasti tahu konsekuensinya.”
Jisoo membenamkan wajah di dada bidang Johnny.
“Segala perbuatan ada konsekuensinya, Jis,” ujarnya, mengelus-elus kepalanya lagi. “Entah lo merasa keputusan yang lo buat ini benar atau salah, gue harap lo bisa segera menemukan jawabannya. Jawaban itu selalu datang dari diri lo sendiri, bukan dari gue, Hwasa, atau orang-orang yang cuma dengar skenario luarnya doang.”
Johnny melanjutkan, “Jangan bikin diri lo sendiri menyesal sama pilihan lo.”
Dia memang sengaja mengatakan itu karena Johnny mengerti, bahwa Jisoo sebenarnya masih sangat mencintai Taeyong. Gadis ini hanya butuh waktu berpikir, menenangkan diri, dan berdamai dengan kekecewaannya. Tapi di satu sisi, dia juga sangat memahami karakter Jisoo, yang terkadang terlalu keras kepala pada dirinya sendiri. Sehingga terkadang pula dia suka terlambat memahami kemauan dirinya sendiri.
“Oh my goooood! Lo berdua harus tahu berita ini,” teriak Hwasa yang pulang-pulang dari kampus langsung heboh sendiri.
Gadis itu berlari mencari keberadaan kedua temannya. Begitu menemukan mereka, dia segera ikut bergabung ke dalam kamar Jisoo. Memisahkan jarak keduanya ketika dia mendesak untuk duduk di tengah-tengah, di antara mereka.
“Salah satu teman gue bilang.”
Johnny kontan memutar bola mata. Bosan mendengar Hwasa dengan kata-kata jargonnya itu sebelum mulai bergosip. Jisoo tersenyum kecil sembari menghapus jejak-jejak kesedihannya.
“Yut—oopps, my ex, I mean, my asshole ex-boyfriend. Doi selama ini ternyata punya akun alter. Tehnya masih anget, baru-baru ini kesebar.” Hwasa menyeringai puas saat sang mantan kena sial, akun alternya kesebar di kalangan mahasiswa. “Ramai banget di group. Akunnya sering nongol di base fwb gitu. Salah satu kenalan dari teman gue bilang kalau doi pernah fwb-an sama akun alternya juga. Kek ‘ewwwwwh’ banget gak, sih?”
Kadang kala ada waktunya Jisoo dan Johnny bingung menanggapi tea time Hwasa.
“Lo tahu soal ini gak, John? Secara lo dulu sering banget kumpul bareng tongkrongannya,” ucapnya. “Kalau si Chanyeol sih gue tahu dia emang punya. Malah ini orang terkenal banget di kalangan akun alter gitu. Terus Aaron, eh, kalau orang ini bukan akun alter sih. Tapi akun pribadi dan hobinya emang jbjb di base fwb. Gue juga curiga si Jimin punya.”
Lalu tiba-tiba kepalanya menoleh ke arah Jisoo. “Jangan-jangan mantan lo juga punya akun alter, Jis.”
“Sa, tolonglah ....” Johnny mendelik kesal. Susah rasanya mengurus mulut Hwasa yang sudah tak tertolong lagi ini.
“Siapa tahu ternyata doi punya juga. Temannya aja pada punya, masa dia gak punya. Aneh.” Hwasa mengidikkan bahu cuek. “Biar gue tanya di group. Kali aja mereka punya teh tambahan.”
“YA TUHAN!” Johnny menjambak rambutnya sendiri. Puyeng sama kelakuan menyebalkan Hwasa satu ini.
Tea time memang waktu paling seru kalau lagi kumpul-kumpul gitu. Tapi Hwasa muncul bersama tea time-nya itu di waktu kurang tepat. Makanya Johnny sakit kepala mendengar ocehannya itu.
Sementara Jisoo hanya diam menyimak. Diam-diam jadi kepikiran sama omongan Hwasa. Bukan hanya omongan temannya ini saja, tapi hampir semua omongan orang tentang Taeyong. Tentang juga hubungan mereka yang selama ini selalu dianggap aneh, kurang cocok, dan timpang tindih.
Opini publik menganggap bahwa cewek seperti Jisoo yang hidupnya selalu lurus-lurus ini tidak akan cocok menjalin hubungan dengan cowok berengsek seperti Taeyong. Seolah opini publik tidak menyetujui hubungan mereka. Opini publik akan terus mengekori mereka jika tetap menjalin hubungan asmara itu. Tidak ada yang lebih cocok dari Jisoo yang tetap sendiri dengan kesendiriannya itu, dan Taeyong tetap menjadi bajingan yang terus dibicarakan dan diminati banyak wanita.
Dan tiba waktunya Jisoo akan dibuat kenyang dengan opini publik. Di mana saat itu pula dia akan menetapkan satu keputusan yang tidak dapat lagi diubah-ubah.
“Mau ke mana?” tanya Hwasa saat memperhatikannya berdiri.
“Ke tempat Sowon.”
“Skripsi?”
Dia mengiakan.
“Lo yakin ke tempat Sowon berantakan begitu?” Hwasa prihatin melihat penampilan Jisoo yang akhir-akhir ini sering terlihat serba berantakan. “Mandi dulu terus dandan yang cakep. Siapa tahu di jalan ketemu jodoh.”
“Iya, Sa. Ini juga mau mandi kok,” balasnya .
“Jis.”
Jisoo berhenti, menoleh, dan menunggu gadis itu berbicara lagi padanya.
“Move on.”
“Hwasa,” panggil Johnny geregatan.
Hwasa melirik Johnny sinis. “Lo tuh, bukan korban para wanita tersakiti laki-laki. Makanya diem dulu. Jangan nyela omongan gue!” protesnya, memarahinya. “Teman lo ini harus move on biar gak kebayang-bayang mulu sama mantan berengseknya itu.”
“Move on juga butuh proses kok, Sa,” timpal Jisoo.
“Gak. Buat lo gak harus pakai proses. Lo harus cepat-cepat move on. Mantan lo itu—” Hwasa gagal menyelesaikan kata-katanya karena mulutnya telanjur dibekap oleh tangan Johnny.
Johnny menatap Jisoo, memperingatinya. “Cepat pergi ke kamar mandi sebelum nih orang lepas.”
Jisoo spontan tertawa menyaksikan keributan kecil di kamarnya. Selalu saja ada akal buat dua temannya itu berantem dan menghibur dirinya.
“Cepetan, Jis!”
“Iya, iya,” jawab Jisoo, cepat-cepat lari keluar.
Kemudian tak lama dia mendengar teriakan marah Hwasa dan jeritan Johnny yang terdengar sedang kesakitan. Begitulah memang kalau dua orang itu lagi akur-akurnya.
• s h a m e l e s s •
Pagi-pagi sekali Hwasa mulai rusuh saat Jisoo balik dari rutinitas pagi beli sarapan di warung makan Mbak Sunmi. Sudah lama dia enggak ke sana. Mbak Sunmi sempat kaget lihat dia muncul lagi setelah berbulan-bulan jarang ikut mengantri beli nasi kuningnya.
“Jis. Sini. Lihat!” serunya sambil menarik-narik Jisoo ke sampingnya. “Kelakuan mantan lo. Baru beberapa minggu putus udah punya gebetan baru lagi.”
Hwasa menunjukkan postingan terbaru dari Instagram pribadi Taeyong. Jisoo yang melihat cuma diam, enggan memberi komentar apa-apa. Kebalikan dari Hwasa yang terus berkomentar dengan nyinyir.
“Urusan dia. Bukan urusan kita,” ujar Jisoo tak acuh.
“Tetap aja. Aneh,” katanya. “Belum lama putus, tapi udah update cewek baru.”
“Lo bilang dia bajingan. Nah itu, dia nunjukin taringnya.” Jisoo menyingkirkan ponsel Hwasa dari wajahnya. “Gue baik-baik aja. Lo gak perlu khawatir. Oke?”
“Bener?”
“Iya.”
“Udah move on juga?”
Jisoo mengidikkan bahu sebelum kabur masuk ke dalam kamar. Melihat kepergian tiba-tibanya itu, Hwasa spontan gagap. Khawatir kalau Jisoo masuk kamar cuma buat menangisi mantan berengseknya itu lagi.
“Gue gak nangis, ya. Gue ganti baju!” teriaknya seoalah dapat membaca isi kepala Hwasa.
Beberapa minggu ini memang cukup sulit bagi Jisoo karena tak sedikit orang di kampus suka bertanya-tanya terkait berita putus hubungan Jisoo sama Taeyong. Selalu ada-ada saja orang mencegah jalannya ketika dia berada di kampus untuk sekadar bimbingan skripsi. Orang-orang itu bertanya demi memuaskan rasa penasaran mereka terkait hubungan orang lain. Lalu ada juga orang yang menghubung-hubungkan gosip dengan postingan Taeyong yang belakangan ini memang aktif di medsos.
Jisoo sampai jengkel menerima semua perhatian itu. Membuatnya jadi tak nyaman berkeliaran di area kampus. Dikit-dikit orang selalu dapat menemukan keberadaannya. Jisoo sampai harus pakai masker dan hoodie ke kampus biar tidak mudah dikenali orang. Dia juga selalu menghindar saat bertemu teman sekelasnya di koridor fakultas. Mereka tak jauh beda dari kebanyakan orang yang ditemuinya di jalan, terutama komplotan paling menyebalkan Baekho dan Minhyuk.
Di kos-kosan pun sebenarnya tak sedikit berbeda dari kampus. Terutama Hwasa yang sedikit-sedikit sering bawa-bawa Jisoo dalam obrolan gosipnya masih tentang Taeyong dan berita laki-laki itu yang mulai sering gonta-ganti pasangan. Dan Hwasa tak pernah absen buat menunjukkan setiap postingan Instagram sang mantan.
“Dih. Apaan, sih. Kayak ginian aja pamer.”
Jisoo memijat keningnya, pusing mendengar komentarnya. Hari ini dia berkomentar begini, besok lagi sudah pasti beda. Selalu saja ada bahan bagi Hwasa dan sebagian banyak orang berghibah. Seolah apa yang dibuat laki-laki itu akan menimbulkan keramaian. Jisoo merasa kasihan pada kehidupan Taeyong yang serba tak punya privasi di mata publik. Empatinya masih ada terlepas bagaimana hubungan mereka sekarang.
Faktanya memang Jisoo belum bisa move on. Dua temannya mungkin sadar ini. Tapi Jisoo selalu ingin membuktikan kalau dia baik-baik saja. Cukup kemarin-kemarin baginya untuk merepotkan kedua temannya tersebut.
“Gak ada malu-malunya ya, mantan lo ini.” Kali ini dia muncul lagi dengan gambar berbeda.
Jisoo yang lelah setiap waktu direcoki perkara updatean Taeyong, akhirnya balik berkomentar, “Kalau lo dikit-dikit terus ngomongin soal dia. Gimana gue mau move on, Sa?”
“Hah? Lo belum move on?”
Jisoo kemudian memutar bola. Jadi sebal sendiri karena balasannya itu. Memang cuma Johnny yang sanggup membuat gadis itu tutup mulut. Hari-hari berikutnya giliran Jisoo mengadu ke Johnny agar menegur Hwasa supaya berhenti membicarakan soal Taeyong dan berita apa pun tentang laki-laki itu. Bosen, sebal, dan pusing mendengar semua omong kosong itu.
Tapi ini Hwasa yang enggak bakalan berhenti hanya karena satu nasehat. Keingintahuannya yang begitu tinggi membuatnya tak sanggup buat tidak mengulik gosip-gosip menarik di kampus.
“Jis. Ini kok kayak kemeja lo.” Lagi-lagi Hwasa muncul hanya untuk menunjukkan foto baru lagi sore hari itu.
Jisoo yang seharian ini tiduran di kamar setelah semalam bergadang sampai fajar bareng Johnny revisi skripsi, menggeram sebal ketika Hwasa lagi-lagi muncul bersama tea time-nya itu.
“Kemeja kayak gitu di mall ada banyak!” gerutunya sebal lalu menarik selimut guna menutupi seluruh badannya.
“Banyak yang bilang doi deket sama maba. Jangan-jangan si Vivi lagi.”
“Terserah orangnya.”
“Lo gak diganggu lagi sama doi, kan?” tanyanya terdengar bersungguh-sungguh mengkhawatirkannya.
“Enggak, Sa. Udah gue blok, oke, puas? Gue mau tidur!”
Begitulah hari-hari Jisoo bersama Hwasa yang tak pernah menyerah membicarakan topik sama. Hanya membuat orang lain sebal saja. Jisoo paham kok sama maksudnya itu. Karena dulu waktu kasus Yuta pun Hwasa sama juga begini. Toh, lama-kelamaan kebiasaan itu akan hilang setelah dia merasa bosan sendiri. Lebih tepatnya, setelah Jisoo putus sebulanan dari Taeyong.
Hal ini juga berlaku dengan suasana kampus. Tidak lagi orang menghalangi jalannya dengan pertanyaan-pertanyaan demi memuaskan rasa penasaran mereka. Jisoo juga tak perlu lagi ke kampus pakai masker dan hoodie. Hanya sedikit orang yang masih menganggunya di fakultas, komplotan Baekho dan Minhyuk. Selebihnya, dia merasa bebas berkeliaran di kampus tanpa khawatir lagi diusik oleh pihak para pemburu gosip. Membuat awal bulannya tak merasa malu menerima ajakan kumpul bareng anak-anak kkn.
“Besok lagi kalau bisa full team, ya!” seru Xuanyi sebelum reuni kecil-kecilan itu dibubarkan.
“Gampanglah. Tinggal diatur saja jadwalnya,” sambung Rubin yang langsung dapat anggukan setuju dari anak-anak lain, termasuk Jisoo.
Reuni kecil-kecilan hari ini hanya berlangsung pendek karena jadwalnya kebanyakan tabrakan sama jadwal kegiatan anggota. Makanya orang yang datang cuma sedikit. Jisoo kebetulan bisa hadir karena memang hari itu free. Setelah mengambil foto kelompok beberapa kali, tiap orang kemudian pamitan pulang. Termasuk Jisoo yang langsung menolak ajakan Xuanyi mampir ke mall selepas dari reuni.
“Lain kali aja, ya. Sore ini mau nyelesaian revisi dulu.” Dia meringis sedikit tak enak hati telah menolak ajakan ngemall mantan kordesnya itu.
Hyuk yang sejak tadi menunggu kesempatan ngobrol secara pribadi bareng Jisoo, langsung mengejar langkah gadis itu. Menahan sesaat niatan pulangnya.
“Mau gue anterin?” Pertanyaan basa-basi. Sebenarnya dia hanya ingin mengajak Jisoo keluar untuk bicara di tempat yang lebih nyaman.
Namun sekali lagi, dia menolak tawaran orang. “Gak usah repot-repot, Hyuk. Gue naik taksi online aja.”
Hyuk mendesah. “Lo kenapa selalu nolak tawaran gue sih, Jis? Padahal waktu kkn lo gak ada masalah gue anterin ke mana-mana.”
Karena situasi waktu kkn dan sekarang sangat beda. Jisoo ingin memberinya jawaban itu, tapi mulutnya justru membahas perkara berbeda.
“Hyuk, soal hari terakhir kkn kita. Soal lo yang nembak gue waktu dulu. Maaf ya, gue baru bisa kasih jawabannya sekarang.” Hyuk menatapnya terkejut, tiba-tiba Jisoo jadi membahas soal itu. Pernyataan cintanya yang hampir dia lupakan gara-gara saking lamanya Jisoo tidak memberinya jawaban. “Dan maaf juga, gue belum bisa nerima perasaan lo.”
“Lo bukannya udah putus dari enak ekonomi itu, ya?”
“Iya,” jawabnya. “Jawaban gue gak ada hubungannya dari status gue sekarang.”
“Jadi, meskipun lo sekarang single. Lo gak bisa nerima gue sebagai pacar lo?”
Kepalanya mengangguk. Turut menyesal atas keputusannya yang dari dulu maupun sekarang tidak akan berubah.
“Lo belum move on dari mantan lo?”
“Jawaban gue gak ada hubungannya dari status gue sekarang.” Jisoo sengaja mengulangi lagi jawaban sebelumnya.
Hyuk menatap lurus-lurus gadis yang membuatnya jatuh hati selama mereka kkn bareng beberapa bulan lalu. “Jis, gue mampu nunggu lo sampai benar-benar move on dari mantan lo itu. Gue emang gak sekeren dari dia. Tapi gue jamin, perasaan gue gak akan kalah keren darinya karena gue benar-benar suka lo.”
Tentu saja Jisoo mengerti perasaan Hyuk. Tapi dia benar-benar tidak bisa memberi laki-laki ini harapan lebih terkait perasaannya sendiri. Jisoo juga tidak bisa menjamin bahwa dia bisa segera berpaling padanya. Walau dia mengutarakan perasaannya itu dengan jujur dan tulus, pilihan Jisoo tetaplah tidak.
“Maaf,” ucapnya dengan lirih.
Hyuk mencoba meraih tangan Jisoo. Berniat menyakinkan sang gadis bahwa dia siap menunggu berapa pun lama waktu yang Jisoo butuhkan untuk menyukai laki-laki seperti dirinya ini, yang tidak sekeren dari mantannya itu. Hyuk siap menunggu karena perasaannya ke Jisoo benar-benar serius.
Akan tetapi, suara klakson mobil yang tiba-tiba berbunyi itu spontan mengagetkan mereka berdua. Jisoo dan Hyuk sama-sama menoleh ke arah mobil yang kini berhenti di samping mereka.
“Mbak Jisoo, ya, yang pesan mobol?” Kaca jendela mobil yang diturunkan setengah itu, melihatkan sosok si pengendara kendaraan roda empat yang memakai topi dan masker. “Saya Yanto dari mobol. Maaf ya, Mbak, saya pakai masker soalnya lagi kena flu. Maklum musim hujan.”
“Eh? Iya gak papa, Mas.” Lalu dia melirik Hyuk dan si sopir taksi online bergantian. “Hmm ... Hyuk, gue balik dulu, ya.”
Hyuk mengangguk canggung. Gara-gara taksi online ini dia gagal mencegah Jisoo buat sedikit lebih lama bicara dengannya.
“Lho, pacarnya gak ikut naik, Mbak?” tanyanya saat Jisoo masuk sendirian di dalam mobil.
“Enggak, Mas. Dia teman saya.”
“Oalah, kirain pacarnya.” Jisoo hanya memberikan senyum kecil. Perhatiannya lalu berganti ke arah Hyuk yang ternyata masih menunggu. Begitu mata mereka bertemu, Jisoo lantas melontarkan senyum dan lambaian tangan sebagai perpisahan mereka hari ini.
“Alamatnya sesuai aplikasi, ya, Mbak?”
“Iya, Mas Yanto sesuai aplikasi.”
“Oke, Mbak. Siap meluncur!”
Bagaimanapun Jisoo masih belum siap untuk menerima laki-laki baru di kehidupannya. Hyuk terlalu baik bagi Jisoo yang sudah bukan lagi gadis yang hidupnya lurus-lurus saja ini.
Jangan-jangan jodohnya si mas yanto lagi 🥸☺❤️🔥💁🏻♀️ dah mau tamat gaisss, kalau bisa sih, pas malam tahun baru. Tp gatahu juga deng 🤌🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top