26. Scaredy Cat
Here we go 🫂
Taeyong memasuki kamar. Melirik kekasihnya yang duduk di kursi rias sedang mengeringkan rambut. Seuntas senyuman menghiasi wajah bersihnya. Sisa-sisa dari kebahagiaan malam ini masih ada di wajahnya. Taeyong melangkah mendekat sembari melirik ke arah jam dinding. Hampir jam dua malam, mereka belum juga tidur. Banyak hal terjadi malam ini dan mereka terkesan tak ingin mengakhiri secepat itu.
Mereka saling bertukar pandang, begitu Taeyong berdiri di belakangnyabdan melingkarkan tangannya ke pundak Jisoo. Badan laki-laki itu sedikit condong ke depan. Jisoo melirik ke arahnya saat kepala Taeyong bersandar di bahunya.
“Besok kamu jadi ke kampus sama pulang, kan?”
Dia mengangguk, iya.
“Yuk, tidur. Udah mau jam dua malam,” ujarnya sembari membopong Jisoo. Memindahkan tubuhnya ke kasur. Tak tega hati membiarkan kekasihnya itu berjalan dengan kedua kakinya sendiri. Jisoo masihlah kesusahan dan Taeyong harus bertanggungjawab.
Di atas ranjang itu mereka berbagi kembali kehangatan bersama. Saling melingkarkan tangan ke tubuh masing-masing. Jisoo membenanamkan kepala di dada telanjang Taeyong; Taeyong menyandarkan kepala di atas kepala Jisoo. Ketenangan malam ini perlahan membuat pasangan itu hanyut ke dalam dunia bernama mimpi. Mereka tertidur pulas setelah menghadapi lika-liku dari sebuah hubungan.
Esoknya pagi-pagi sekali Taeyong bangun tidur. Sekitar jam tujuh pagi dia terbangun, samar-samar mendengar suara seseorang menangis terisak-isak. Dia langsung kaget saat indra pendengarnya semakin mendengar jelas suara tangisan tersebut. Kepalanya kontan menoleh sebelah dan mendapati sampingnya kosong. Jisoo tidak ada di sana.
Taeyong tersentak sadar, spontan meloncat turun dari ranjang. Berlari menuju tempat seseorang yang tengah bersembunyi menangis. Matanya sontak membulat tatkala mendapati semua pakaian kotor dalam laundry bag dikeluarkan dari tempatnya. Seprai kotor yang semalam baru dia ganti melilitit tubuh si gadis yang menangis dengan kepala tertunduk di sudut ruang. Rambut panjangnya berantakan dan nyaris menutupi seluruh wajahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Taeyong bingung luar biasa. Seingatnya semalam hubungan mereka sudah baikan. Tak ada lagi perdebatan. Kesalahpahaman dan kecemburuannya selesai. Mereka berakhir bersenang-senang semalaman.
Taeyong yang mengkhawatirkan keadaannya perlahan mendekat, mencoba menyentuhnya. Namun, siapa mengira kalau dia akan mendapatkan respon tak menyenangkan. Jisoo justru menepis kasar tangannya. Taeyong terhenyak bingung, dan semakin bingung lagi ketika melihat gerak-gerik Jisoo yang terkesan sedang menghindarinya. Tubuh gadis itu perlahan mundur, merapat ke dinding, seakan ingin jauh-jauh darinya. Seolah keberadaannya ini merupakan sebuah ancaman.
“Jisoo.”
Dia memanggilnya dengan cemas. Pelan-pelan mencoba lagi mendekatinya. Tapi respon gadis ini tetap sama, menghindar, semakin menambah jumlah kerutan di dahinya. Jisoo terlihat aneh. Tidak tahu apa penyebabnya tiba-tiba dia jadi bertingkah begini. Seperti dia sedang melihat sesuatu yang menyeramkan pada diri Taeyong.
“Jisoo. Sayang ....” Taeyong enggan menyerah, terus merajuk pada sang kekasih yang terkesan takut terhadapnya. “Ini aku. Taeyong.” Kedua tangannya terulur ke depan ingin menjangkaunya, mendekap tubuh ketakutan itu ke pelukannya. Sakit sekali rasanya melihat kekasihnya itu mendadak jadi begini.
Jisoo tiba-tiba menjerit histeris. Berteriak panik mengusirnya dengan suara tersegal-segal. Taeyong meringis pilu menyaksikan pemandangan tersebut. Tak mengerti apa yang menyebabkan Jisoo sampai begini. Kontan saja dia nekat menerobos balik benteng pertahanan Jisoo. Enggan membiarkan sang kekasih terus-menerus hanyut dalam penderitaannya ini.
Jisoo balik melawan. Mendorong paksa tubuh Taeyong agar jauh-jauh darinya. Sampai-sampai cakaran ganasnya mengenai kulit tangan Taeyong yang mencoba mengendalikannya. Terkena cakarannya memang sakit, tapi dia tak peduli. Mau sedalam apa pun luka yang dia dapatkan, dia tetap tak peduli. Selama bisa mendapatkan Jisoo-nya, dia siap menerima semua luka itu.
“Jisoo. Jisoo. Jisoo.” Taeyong berhasil mendekap tubuh yang terus memberontak keras ini, mencakar-cakar kulit punggung telanjangnya, dan berteriak panik. “Sayang, ini aku Taeyong.” Kedua tangannya melilit kencang tubuh Jisoo yang menolak berhenti meraung dengan ganas.
“Ssst, it’s okay, it’s okay. I’m here.” Jisoo masih memberontok walau tak separah keadaan sebelumnya. Taeyong mengusap-usap punggung Jisoo yang gemetaran begitu parah. Taeyong merenung kembali memikirkan masalah apa yang menyebabkan Jisoo begitu ketakutan. Sembari membisikinya kata-kata penenangan. “I’m here. I’m here. Don’t be scared. I’m here.”
Beberapa saat kemudian Jisoo menangis sesenggukan setelah berhenti memberontak dan melukai punggung Taeyong. Badannya masih gemetaran parah. Seolah terkejut pada sesuatu. Dia sangat ketakutan sampai hilang kendali. Taeyong terus menenangkannya sembari menilik kembali kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai membuat kekasihnya begini.
Taeyong mengulas serangkaian kejadian. Mulai awal dari pertemuaan pertama mereka setelah LDR, sampai pada titik pagi ini di mana Taeyong dikagetkan oleh tangisannya. Satu kesimpulan kemudian dia tarik saat menilik situasi sekitar mereka. Semua pakaian kotor yang dikeluarkan dari laundry bag. Dan satu-satunya kain yang melilit tubuh Jisoo hanyalah seprai kotor yang semalam baru dia ganti.
Kurang lebih akhirnya Taeyong mengerti penyebab Jisoo hilang kendali.
“Taeyong.”
Mendengar suaranya berbicara, dia menjadi sedikit lega. Taeyong melonggarkan pelukannya sehingga dapat memandangi seraut lelah dan frustasinya itu.
“Semalam aku harusnya—” Kata-kata itu sengaja dipotong. Bibirnya tak sanggup meneruskan kalimat yang membuatnya menyesal dan jadi hilang kendali pagi ini. Mengingat kembali tindakan semalam mereka, hanya berakhir membuatnya menangis lagi. Ketakutan Jisoo tentang peristiwa ini sulit digambarkan lewat kata-kata. Banyak hal yang dia takutkan saat menyadari kesalahan fatal atas perbuatannya. Dia frustasi, menyesal, dan jijik pada dirinya sendiri yang melanggar sumpahnya.
Taeyong menyentuh wajahnya. Menyingkirkan kilauan air mata yang mengotori wajah penuh penyesalannya itu. Taeyong sekarang mengerti kalau sekali lagi dia telah membuat kekasihnya menangis. Namun, efek kali ini jauh lebih parah daripada kecemburuannya.
“Aku gak akan kenapa-kenapa, kan?” tanyanya ketakutan. Jisoo bukanlah orang bodoh. Hanya saja, ketakutannya ini telah membuat dirinya menjadi orang bodoh. “Kamu gak akan ninggalin aku setelah ini, kan? Kamu benar-benar masih sayang aku, kan? Aku janji gak akan dekat-dekat sama cowok lain, selain kamu, asal kamu gak ninggalin aku. Aku sayang kamu Taeyong. Kamu jangan tinggalin aku, ya?”
Sungguh, dia tidak pernah membayangkan kekasihnya akan tampak begitu hopeless dan mengemis-emis kepadanya. Matanya memanas tak tahan lagi menyaksikan kepasrahan kekasihnya ini. Taeyong mengumpat marah pada dirinya sendiri.
Brengsek! Semua ini ulah lo, goblok! Lo emang gak becus ngejaga cewek lo!
“Kamu benar-benar gak akan ninggalin aku, kan?”
Taeyong mendekap dirinya. Menciumi kepalanya dengan perasaan campur aduk. “Aku gak akan ke mana-mana. Aku gak akan pernah ninggalin kamu,” sahutnya berbisik tulus di hadapannya yang sedang menatapnya penuh berharap, takut, dan khawatir. “I’m here, Jisoo. Aku gak akan ninggalin kamu.” Dia menarik tubuh rapuh itu kepelukannya lagi.
“Aku gak akan kenapa-kenapa, kan?”
Taeyong menggeleng pedih sambil mengelus kepalanya. “Kamu aman. Sekarang pikiran hal lain dulu, ya. Aku gak akan ninggalin kamu.”
Namun, Jisoo tak dapat berhenti memikirkan segalanya. Hasil dari perbuatannya sendiri. Pikirannya runyam. Dia kacau sekacau-kacaunya sampai tak mampu mengendalikan rasa takutnya ini. “Aku gak akan ha—”
“Gak, Jisoo. Kamu aman. Oke?” Astaga, betapa pedih rasanya melihat dan mendengar semua ketakutannya ini. “Kita pakai pengaman. Kamu gak akan sampai begitu.” Taeyong mengumpati dirinya yang sekali teledor merawat Jisoo. Semua peristiwa pagi ini adalah salahnya. Dia sendirilah penyebab Jisoo hilang kendali.
Butuh waktu lama bagi Taeyong menenangkan Jisoo. Lebih-lebih ketika dia terus menanyakan hal yang sama kepadanya. Taeyong sangat memahami semua ketakutannya dan mencoba yang terbaik untuk meresponnya. Lalu saat dirasa keadaan mulai tenang, barulah dia membopong tubuh Jisoo. Memindahkan ke kasur lalu kembali menenangkannya, hingga gadis itu terlelap tidur.
Dengan hati-hati dia meninggalkan Jisoo yang sekarang tertidur. Perasaannya campur aduk saat keluar dari kamar. Tinjunya kontan melayang menghantam keras ke dinding rumah.
“Goblok!” Dia mengumpat marah pada dirinya sendiri. Menyebut dirinya orang paling bodoh, egois, brengsek, dan gila.
Sekarang gantian Taeyong yang nyaris hilang kendali, mengamuk di ruang tengah menyalahkan perbuatan bodohnya yang telah menyebabkan sekali lagi Jisoo menangis.
“Ini yang lo bilang sayang?!” Taeyong tertawa meremehkan dirinya sendiri. “Goblok, Yong. Goblok! Lo bener-bener cowok goblok gak tahu diri. Bajingan gila!”
Tinjunya kali ini melayang mengenai wajahnya sendiri. Tak hanya sekali, dia melakukan itu sampai empat kali, dan baru berhenti ketika sudut matanya menangkap bayangan Jisoo yang tertidur pulas di dalam kamar. Taeyong kemudian terduduk lemas di kursi dengan wajah penuh bersalah.
Jika dia menyayanginya, tak seharusnya dia terus menyakitinya.
• s h a m e l e s s •
Siang itu sebenarnya Taeyong meninggalkan sebuah catatan kecil di meja dekat ranjang tempat tidur mereka. Hanya sebuah pesan pendek memberitahunya kalau dia pergi keluar sebentar untuk berbelanja. Saat beres-beres rumah setelah mengamuk, Taeyong menyadari kalau beberapa kebutuhan mereka telah habis. Bagian ini biasanya Jisoo yang mengurus, tapi melihat kondisinya sekarang maka Taeyong yang harus mengurus keperluan sehari-hari mereka. Akhirnya dia memutuskan pergi keluar belanja dan meninggalkan catatan kecil di meja. Jaga-jaga kalau-kalau Jisoo bangun sebelum Taeyong pulang.
Dugaannya itu benar. Jisoo bangun beberapa menit sebelum dia pulang. Akan tetapi, gadis itu terbangun dalam situasi panik saat tak menemukan Taeyong di sisinya. Seketika rasa takutnya pada skenario buruk si kepalanya kambuh. Dia menangis panik atas ketiadaan Taeyong. Akalnya yang tak terkendali menyebabkan dia tak memperhatikan catatan pesan yang menempel di meja.
Jisoo terlihat seperti orang bodoh mencari-cari kekasihnya di kamar. Berteriak memanggil namanya di sela-sela jeritan tangisannya. Sampai-sampai dia kesusahan bernapas. Dadanya acapkali sesak membayangkan wajah Taeyong yang meninggalkannya. Rasa takut itu membuatnya sedikit terlihat seperti orang tak waras. Dan rasa takut ditinggalkannya ini jauh berbeda dari perasaan Jisoo dulu ketika dia tahu ayah pergi meninggalkannya.
Begitu dia mendengar suara mobil berhenti di depan halaman kos-kosannya, Jisoo kontan berteriak panik, “Taeyong. Taeyong.” Dan berlari tergesa-gesa menuju pintu utama.
Akan tetapi, kepanikannya ini menjadi liar saat dia tak bisa membuka pintu rumah. Rumah terkunci. Jisoo yang frustasi seketika mengira dirinya sengaja dikurung di dalam rumah supaya Taeyong bisa meninggalkan dirinya sendirian. Membayangkan itu membuatnya jadi hilang kendali. Refleks dia mengedor-edor pintu dengan frustasi. Berteriak menangis di balik pintu memanggil namanya.
Taeyong yang baru tiba mendengar suaranya, spontan panik. Cepat-cepat dia berlari ke rumah. Membuka pintu yang memang sengaja dikunci dari luar karena Jisoo di rumah sendiri dalam keadaan tidur. Dan begitu pintu terbuka badannya langsung dihantam loncatan pelukannya. Taeyong kemudian mengangkat tubuh Jisoo yang bergelantungan memeluknya, membawa dia masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu dengan satu kaki.
“Ssst, it’s okay. I’m here,” ucapnya menenangkan dia yang kembali menangis sesenggukan. Jisoo benar-benar sedang dalam kondisi kacau. “Iya, aku pulang. Maaf, udah bikin kamu panik.”
Jisoo masih menangis walau lega karena Taeyong tak benar-benar meninggalkan dirinya.
“Aku janji gak akan ninggalin kamu,” ujarnya bersungguh-sungguh.
Tapi karena dia masih saja menangis, Taeyong kemudian melepaskan pelukannya. Mendudukkan Jisoo di tepi kasur, sementara dia berjongkok di hadapannya sembari menyentuh wajahnya yang masih tampak takut dia pergi meninggalkannya.
“Just a reminder, I love you.” Taeyong memberinya tatapan dan senyuman yang tulus. Sementara tangan kanan menyentuh wajahnya, tangan kirinya mengambil sesuatu yang dia simpan di saku jaketnya.
“I brought you something,” ujarnya sambil mengeluarkan barang tersebut. Menunjukkan isinya kepadanya. “This is just a promise. No matter what happens, we’ll always be together.” Taeyong lantas memasangkan sebuah cincin di jari manis Jisoo. Sebuah cincin yang dibeli saat pergi berbelanja keluar. Saat dia memikirkan segala cara untuk membuktikan pada Jisoo bahwa dia tak akan pernah meninggalkannya.
Taeyong meremas kedua tangannya di atas pangkuannya. “I love you, Jisoo. Always have. Always will. Aku janji gak akan pernah ninggalin kamu,” bibirnya mengecup punggung tangan itu, “janjiku adalah milikmu. Suatu hari aku akan menggantikan cincin ini dengan suatu perayaan. Dan aku berjanji gak akan melakukan itu lagi sebelum waktunya tiba. Aku gak mau nyakitin kamu karena keegoisanku sendiri. You have to trust me. Okay?”
Jisoo memandangi lama cincin yang melingkar di jari manisnya. Ekspresinya terlihat bingung. Rasa takut berlebihan seolah telah mengubah pribadinya. Menyaksikan itu sedikit membuat Taeyong berkecil hati, dia tetap memakluminya. Jisoo jadi begini juga karena ulahnya sendiri.
Aku nulis ini sambil berkaca-kaca, alias anjir, tega amat lu bikin jisoo kayak gini. Kek lu gak gak capek apa dari Season 1-3 terus bikin jisoo kesusahan mulu? 💢🤬
Terus bayangin aja gimana stressnya Jisoo pas sadar apa yang udah dia lakuin sama Taeyong. Kek lu udah janji gak bakalan ngelakuin hal itu, eh ujung-ujungnya tetap ngelakuin. Panik gak, tuh? Definisi penyesalan selalu tiba di akhir. Itu yang bikin Jisoo stress di part ini.
Nah, bagiku Jisoo di Shameless itu benar-bener orang yang polos banget terus ketemu Taeyong jadi dikit-dikit suka panikan. Balik kkn bukannya tenang malah runyam 🫂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top