24. Rumor (2)


Sesuai janjinya, mereka ketemuan di kecamatan di sela-sela anggota perwakilan tiap posko mengambil bansos dari kampus buat dibagikan ke warga desa masing-masing. Setelah izin Xuanyi, Jisoo kemudian menemui Johnny. Dia pun diajak ke salah satu toko klontong terdekat, duduk di teras toko setelah Johnny membeli dua buah ice cream. Awalnya mau diajak nongkrong ke warung makan langganan posko Johnny—kebetulan dia anggota korcam, poskonya dekat kecamatan—tapi tempatnya ramai banget sama anak-anak kkn, akhirnya mereka enggak jadi ke sana dan memilih toko klontong yang lumayan sepi.

Jisoo duduk-duduk santai menikmati ice cream rasa coklatnya sambil memandangi para mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang di jalan. Setiap orang sibuk dengan urusan perkelompok. Ada yang sibuk melepas rindu bertemu teman satu jurusan, ada yang sibuk mengurus data bansos, ada juga yang cuma sibuk selfie, sibuk berteriak memanggil perwakilan posko, dan ada pula yang sibuk ngopi sambil ngerumpi di warung makan.

Sementara Johnny di sebelahnya diam-diam hanya mengawasinya. Tidak ada yang ganjil dari perilakunya, gadis ini tampak baik-baik saja. Santai dan tetap menikmati waktu luangnya, berbeda dari kebanyakan rumor yang dia dengar, baik itu dari Hwasa maupun dari orang lain.

“Mau lagi?” tanyanya sambil menyodorkan ice creamnya yang belum dibuka dari tadi.

Jisoo menoleh, memandangi ice cream dan wajah Johnny bergantian. Dahinya perlahan mengernyit. “Gak lo makan?”

“Keseringan makan ice cream. Gigi jadi ngilu.” Anggota poskonya paling sering beli ice cream di mini market atau kadang-kadang beli di toko klontong ini. Johnny sampai bosen karena terus dikasih ice cream sama Yunhyeong, teman seposko.

Jisoo tak menolak. Kebetulan juga ice creamnya habis. Mubazir. Daripada dibuang mending dia ambil. “Thanks, John.”

Johnny mengangguk tersenyum seiring mata mengawasi Jisoo memakan ice cream keduanya. Masih tetap sambil menunggu si gadis bercerita. Johnny enggan membebani Jisoo dengan sikap terburu-burunya yang serba mau tahu. Selain itu, belum ada yang ingin dia tanyakan. Johnny menunggu temannya ini bercerita sendiri terhadapnya.

“Gue gak putus sama Taeyong.” Setelah diam memendam, akhirnya dia bicara. “Cuma break sementara kok, sampai kkn selesai.”

“Siapa yang ngajak?”

“Taeyong. Dia ngajak break biar gue fokus kkn.” Jisoo menjelaskan lagi sebelum Johnny mengambil kesimpulan lain, walau dia sendiri ragu laki-laki itu bertindak demikian. “Taeyong cemburu cuma gara-gara foto gue sama cowok. Dia ngira gue ada apa-apa sama salah satu teman posko gue itu. Kita akhirnya berantem. Gue udah jelasin, tapi dia tetap ngotot gak percaya. Ya udah, akhirnya dia minta break. Kita mulai gak telponan, chat-chatan juga enggak, terus lo bisa lihat sendiri kelakuannya di IG.”

Semenjak mereka pacaran, Taeyong memang jarang update sesuatu di medsos. Lalu semenjak mereka break, laki-laki itu jadi mulai aktif update lagi. Bermula dari story Instagram-nya yang aneh-aneh itulah banyak orang berspekulasi kalau mereka putus. Taeyong terlalu sembrono orangnya karena dibutakan oleh api cemburu.

“Dan lo gak masalah soal itu?”

Dia menarik napas, lalu menghembuskan dalam satu tarikan. “Gue nolak kayaknya percuma, yang ada tambah masalah. Taeyong makin bertingkah kalau misal gue ngotot nolak ajakan break. Lo kenal dia lebih dulu daripada gue, kan? Paham sendiri wataknya gimana.” Sekali lagi dia menarik dan membuang napasnya. “Salah satu harus ngalah, John. Kalau dua-duanya sama-sama bebal, gak bakal selesai. Beruntung aja di sana masih ada Jonghyun yang bisa nahan sisi jeleknya Taeyong.”

Pertemanan Jonghyun dan Taeyong memang bukan sekadar teman tongkrongan biasa. Sudah berteman sejak dari sekolah, mereka sama-sama saling memahami baik buruknya karakter. 

“Lo bayangin kalau misal gak ada Jonghyun, mungkin Taeyong udah nekat ke sini. Atau bisa jadi, kebiasaan jelek lamanya kambuh.” Jisoo merinding seketika memikirkan Taeyong menjadi dirinya yang lama. “Gue juga gak mau kok, break cuma gara-gara salah paham doang. Tapi kalau tetap berhubungan selama masalah belum selesai, kayaknya malah tambah memperarah keadaan. Selain perkara jarak dan waktu, masalah-masalah salah paham lainnya bakalan timbul.”

“Sejujurnya sih, agak sakit juga dia yang enggak mau percaya omongan gue dan malah lebih percaya omongan orang,” sambungnya dengan wajah murung.

Mengandaikan posisinya sebagai Taeyong, Johnny memahami sebagaimana perasaan laki-laki itu yang merasa sedang dikhianati oleh kekasihnya sendiri selama menjalin hubungan jarak jauh. Lalu mengandaikan dirinya sebagai Jisoo, dia juga memahami bagaimana perasaan temannya ini yang merasa tak dipercayai lagi kekasihnya. Kendati mereka memilih break sementara, tapi rasanya tetap mengganjal di hati. Dan membiarkan satu persoalan tak dirampungkan sama berarti mereka sengaja mencari penyakit hati. Alih-alih tenang menjalani hari-hari tanpa komunikasi, pikiran malah jadi runyam karena sering memunculkan scenario buruk.

Cerita itu kemudian berlanjut saat Johnny menanyakan awal mula dari kesalahpahaman mereka. Sebenarnya dia sudah menduga ini sejak pertemuannya bersama Hwasa beberapa hari lalu, tapi Johnny tetap ingin memastikan lagi.

“Hwasa masih sedendam itu ya, sama cowok lo?”

Jisoo mengangkat bahunya pasrah. “Mau gimana lagi, John? Hwasa sakit hati gak cuma sama Yuta doang, tapi sama orang yang dia rasa udah bantu Yuta buat nutupin kebusukannya itu. Paling kalau gue jadi Hwasa bakal sama aja, dendam sama Taeyong. Taeyong tahu kebusukan temannya, tapi gak mau ngasih tahu pacar temannya. Sebagai orang yang gak tahu apa-apa, gue tetap merasa dikhianati, sih.”

Berkebalikan sama pendapatnya, Johnny justru kurang setuju. Hwasa orangnya terlalu simpel. Kalau dia mulai membenci seseorang, maka selamanya akan membenci orang itu. Beda lagi sama Jisoo ketika dia membenci seseorang, dia masih bisa tidak membencinya karena satu variabel tambahan. Hwasa masa bodoh sama tanggapan orang tentang dirinya. Jisoo justru selalu kepikiran tanggapan orang terhadapnya. Pilihan Hwasa selalu tetap sama, tidak pernah berubah hanya karena satu variabel tambahan. Sementara Jisoo selalu berubah karena adanya variabel lain.

Pribadi Jisoo tidak sesederhana milik Hwasa. Mereka orang berbeda. Johnny mulai memahami kedua gadis ini semenjak sepakat untuk tinggal satu atap.

“Urusan Hwasa biar gue yang negur orangnya. Lo gak perlu nambah beban pikiran soal Hwasa. Terus masalah lo sama Taeyong, gue cukup di sini. Gue gak bisa ikut campur karena cowok lo ada benarnya juga ambil keputusan buat kalian break sementara.” Johnny meremas tangan Jisoo, mengantarkan dukungannya. “Selagi dia gak ngecewain lo, gue gak akan bertindak berlebihan sebagai teman lo.”

Mendengar kata-katanya, membuat hati Jisoo menghangat. Memang Johnny paling tahu cara melindungi teman-temannya dan sosok yang paling bisa diandalkan.

“Jangan sampai ada kejadian Yuta kedua,” kelakarnya kemudian menimbulkan decak tawa dari mulut sang teman.

Jisoo mendengus seraya menyikut lengannya. “Amit-amit. Jangan sampai gitu!” ujarnya langsung dapat balasan gelak tawa dari Johnny.

Di sela-sela tawa mereka, tiba-tiba Johnny menyenggol lengan Jisoo sehingga dia berhenti tertawa. “Orang itu ya, yang bikin Taeyong cemburu?”

“Hm? Siapa?” Jisoo kontan mendongak ke depan. Samar-samar menemukan keberadaan seseorang yang tak asing lagi baginya. Seorang pemuda yang berdiri di depan teras warung makan, di antara rombongan para laki-laki beralmamater. Walau lagi kumpul bareng teman-temannya, mata cowok itu terus saja mencuri pandang ke arahnya.

Refleks Jisoo menundukkan kepala, menghindar. Bukan karena malu terus diperhatikan, melainkan dia tak enak hati. Selain itu, dia tak mau orang yang melihat ini jadi salah paham sama hubungan mereka.

“Lo nyadar dia naksir lo, kan?” tanya Johnny to the point.

Jisoo mengangguk dengan kepala tertunduk. Membuat Johnny tersenyum geli karena perilaku menggemaskannya ini.

“Emang dia gak tahu lo pacarnya Taeyong?”

“Tahu kok.” Ia menambahi, “Tapi kayaknya sebagian orang pikir kita udah putus.”

Alis Johnny terangkat sebelah. Tiba-tiba tertarik ingin mendengar sesuatu yang belum diketahuinya.

“Dia tahu, tapi tetap naksir lo? Nyalinya gede, ya. Untung cowok lo gak bisa ambil kkn.”

Jisoo hanya meringis tak tahu lagi menanggapi apa.

“Orangnya terus ngelihat ke sini. Cemburu kali lihat gue sama lo berduaan.” Johnny tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali melihat seseorang cemburu padanya. “Dia udah nembak lo, kan?”

Spontan Jisoo mendongak, menatap Johnny tak percaya. Melihat reaksinya yang terkesan kaget, Johnny sempat tersentak sebelum terbelalak dan menahan tawa.

“Pantes. Lo aneh.” Padahal, pertanyaannya tadi cuma iseng-iseng doang. Ternyata justru ada benarnya juga. “Mentang-mentang kkn mau selesai, orangnya langsung sat set sat. Jangan sampai Taeyong tahu. Bisa kacau urusannya.”

Jisoo mengangguk, sangat mengerti soal itu.

“Siapa namanya?”

“Hyuk.”

Johnny balas memandangi Hyuk yang tak ada takut-takutnya itu. Alih-alih membuang wajah, dia justru balas menatap Johnny. Seolah menantangnya adu tatapan. Cukup menarik bagi Johnny yang tak bisa menahan lagi senyum gelinya. Dia cemburu pada orang yang salah. Hyuk beruntung karena yang ada di sini adalah dirinya, bukan Taeyong.

“Jurusan apa?”

“Komunikasi.”

“Wah! Jangan sampai Hwasa tahu,” ujarnya serius karena urusannya bakal runyam kalau Hwasa sampai tahu soal Hyuk yang sudah menembak Jisoo.

Dan Jisoo yang masih kaget oleh pernyataan cinta tiba-tiba Hyuk semalam, membuatnya hari ini jadi canggung setiap kali bertemu laki-laki tersebut. Yang biasanya boncengan berdua, khusus hari ini enggak. Waktu mau pergi ke kecamatan Jisoo langsung mengandeng Xuanyi dan minta supaya mereka naik motor berdua.

Bahkan setelah pernyataan cintanya semalam, Jisoo masih belum memberinya jawaban. Dia masih kaget, makanya menghindar.

• s h a m e l e s s •

Satu bulan berlalu, kkn pun telah usai. Para mahasiswa dan mahasiswi dipulangkan. Lokasi yang begitu jauh membutuhkan waktu berjam-jam untuk perjalanan pulang. Berangkat siang sampai kampus pun sore.

Begitu bus berhenti di parkiran depan gor kampus, para mahasiswa turun bergantian sementara masing-masing kordes mengabsen anggotanya. Memastikan bahwa tak ada satu anggota yang tertinggal. Sementara orang yang bertugas menurunkan koper dan tas dari bus saling bersahutan memanggil nama pemilik barang yang tertulis di koper maupun tas masing-masing. Beberapa orang yang sudah mendapatkan barang miliknya, langsung pamit pulang ke rekan-rekannya begitu jemputan tiba. Namun, ada juga yang tetap setia menunggu rekannya.

Jisoo sendiri masih mengantri. Namanya belum dipanggil-panggil selama pembagian koper. Waktu keberangkatan dia tiba lebih awal, letak kopernya maka berada paling bawah. Dia perlu menunggu sedikit lebih lama dari anak-anak yang lain. Sambil menunggu, dia juga membantu mencarikan si pemilik koper kalau-kalau orangnya tidak mendengar namanya dipanggil.

“Koper lo belum?” tanya Hyuk menyadari Jisoo belum dapat kopernya.

Jisoo menggeleng terkesan canggung berbicara sama Hyuk karena belum juga memberinya jawaban. Kali ini bukan karena dia masih kaget, melainkan waktu untuk menjawabnya selalu saja dialihkan oleh ledekan teman seposkonya yang entah dari mana sudah tahu soal Hyuk menembaknya.

“Biar gue cariin.”

“Gak usah repot-repot, Hyuk. Nanti juga dipanggil kok.”

“Kelamaan nunggu. Lo tunggu di sini. Biar gue cari koper lo,” ujarnya langsung masuk ke dalam bus lagi demi mencari koper Jisoo. Karena tak mampu menahan lagi upaya laki-laki itu, akhirnya dia membiarkannya pergi melakukan apa yang mau dilakukannya.

Sambil menunggu Jisoo lanjut membalas chat dari Tante Dara yang menanyakan rencana pulangnya ke rumah besok sehari setelah pulang dari kkn, lalu Hwasa dan Johnny yang sama-sama menanyakan soal kepulangannya ke kos-kosan. Seolah mereka tahu kalau Taeyong tidak akan menjemputnya, padahal dia belum cerita apa-apa.

Chatnya ke Taeyong belum dapat balasan apa-apa. Belum ada tanda-tanda dibaca. Jisoo sejujurnya tidak berharap dijemput Taeyong saat situasi hubungan mereka kurang membaik. Niatnya cuma memberi sang kekasih kabar soal kkn-nya yang selesai, dia pulang, dan berharap kesalahpahaman ini bisa langsung diselesaikan. Sayangnya, dia belum dapat respon dari Taeyong.

Jisoo sangat kecewa.

“Jis.” Panggilan Hyuk membuyarkan kekecewaannya. Dia tersentak tak percaya Hyuk dapat langsung menemukan kopernya. “Koper lo ditumpuk-tumpuk tadi. Untung gak penyok,” ujarnya, menyerahkan benda tersebut ke pemiliknya.

“Makasih, Hyuk,” ucapnya lega tak perlu lagi menunggu namanya dipanggil.

“Pulang naik apa?” tanya Hyuk ragu-ragu. “Mau pulang bareng gak?”

Buru-buru dia menggeleng cemas. Apa jadinya kalau Taeyong sampai tahu dia pulang ke kosan diantarkan oleh laki-laki yang membuatnya cemburu? Kacau. “Sekali lagi makasih, Hyuk. Tapi gue telanjur order mobol. Bapaknya udah otw ke sini. Maaf, ya. Lain kali aja nebengnya. Hehe.”

“Oh ....” Hyuk terkesan kecewa, tapi berusaha memaklumi keengganan Jisoo. “Ya udah, gue temenin lo aja sampai bapaknya datang.”

“Eh? Gak perlu re—”

“Gak masalah. Gue mau direpotin,” ujarnya tersenyum lebar.

Jisoo yang bingung hanya pasrah. Padahal, dia bohong soal sudah memesan taksi online buat menolak tawarannya. Karena jadi begini, akhirnya Jisoo menolak tawaran Johnny pulang bareng dan buru-buru memesan taksi online.

Untung dia langsung dapat taksi online dan beruntung lagi sopir taksi onlinenya berada di sekitaran kampusnya. Hanya beberapa menit taksi onlinenya tiba. Jisoo segera pamit ke Hyuk yang telah membantunya memindahkan koper ke dalam mobil. Mereka pun berpisah ke tujuan pulang masing-masing.

Dalam perjalanan pulang, Jisoo saling bertukar pesan sama Jonghyun, yang akan mampir ke kosan guna mengantarkan kunci. Namun, justru laki-laki itu tiba duluan di tempatnya bersama pacarnya daripada dia yang datang sedikit telat karena sempat terjebak macet lampu merah.

“Taeyong lagi gak di kontrakan, ya? Soalnya chat gue masih belum dibalas. Teman lo masih marah ke gue, kan?” tanyanya penasaran.

“Dua hari ini dia emang gak ke kontrakan. Dia pulang di rumahnya kemari. Nanti orangnya juga balik. Kuncinya emang dititipin ke gue, buat dikasihin ke lo jaga-jaga kalau dia gak bisa ngejemput lo.”

Jisoo menghela napas. Entah harus tersanjung sama Taeyong yang mengingat jadwal pulangnya atau kecewa karena bukan Taeyong sendiri yang menjelaskan alasannya menitipkan kunci kosan ke Jonghyun.

“Ya udah, Jonghyun. Makasih, ya, udah mau direpot Taeyong buat nganter kunci.”

“Haha. Iya, Jis, santai. Tapi sorry nih, gue langsung balik gak bisa mampir. Dan lo juga pasti capek mau langsung istirahat, kan?”

Jisoo hanya mengangguk. Enggan berbasa-basi dengan menyuruh pasangan ini buat mampir ke kosannya. Lagi pula yang dikatakan Jonghyun ada benarnya juga. Jisoo lelah berkat perjalanan jauh dan ingin segera beristirahat setelah beres-beres nanti.

Setelah selesai berpamitan, Jonghyun pun pulang. Sedang Jisoo masuk ke dalam, menilik kos-kosan yang sebulan ini dia tinggalkan. Tidak ada yang berubah. Semua barang tetap teratur pada tempatnya. Bahkan seprai di kasur tetap tertata rapi. Tidak ada tanda-tanda rumah ini di huni seseorang belakangan ini. Jisoo merasa sepi atas ketidakhadiran pasangan seatapnya. Rasanya jadi berat hati selama ia beres-beres isi koper dan tas.

Jisoo terus-menerus mendesah mengeluarkan barang-barangnya. Mati-matian menahan dorongan menghubungi Taeyong duluan. Tiap kali jarinya ingin menekan icon dial, hatinya sontak berdebat melarangnya menekan icon tersebut. Terus berlanjut demikian sampai kemudian dia menyerah. Membuang ponsel ke atas kasur, lalu memusatkan pikiran pada pakaian kotor yang dia pindahkan ke laundry bag sementara pakaian bersih ke dalam lemari. Selesai mengurus barang-barangnya, dia barulah mandi.

Baru beberapa jam berpisah, group kkn-nya langsung ramai dibanjiri pesan yang menanyakan kabar masing-masing disertai nostalgia kecil saat mereka tinggal seatap. Jisoo sebenarnya ngantuk ingin segera tidur, tapi juga ingin menunggu kedatangan Taeyong. Akhirnya memilih ikut mengobrol di group chat. Obrolan terus berlanjut, hampir semua anggota bermunculan dan ikut membalas pesan. Sampai salah satu orang berceletuk agar mereka melakukan video call kelompok dan hampir semua orang di group sepakat, termasuk Jisoo ikut mengiyakan.

Pada akhirnya, dia menghabiskan sisa-sisa waktu kejenuhannya itu dengan mengobrol bersama teman-teman seposkonya. Mereka tetap bercanda seperti hari-hari biasa di posko walau sekarang sudah berada di tempat masing-masing. Walau tetap ada satu orang yang iseng memojokkan Jisoo sama Hyuk, yang pas-pasan juga ikut video call.

“Cieee ... yang sekarang udah gak bisa boncengan lagi.” Ejekan serentak muncul dari teman-temannya. Jisoo meringis sungkan; Hyuk pura-pura marah sama Rubin yang memulai guyonannya itu. “Bisalah Hyuk datang ke tempat Jisoo buat antar jemput ke kampus. Ya gak, ya gak? Yakali enggak bisa. Hahaha.”

“Kalau orangnya mau.” Balasan Hyuk justru kian menambah kehebohan di group. Ricuhnya makin jadi-jadi. Orang-orang semakian gencar menggodanya.

“Ayo, Jis, terima. Gak perlu pakai lama,” koor Namjoo dan beberapa orang lainnya.

Jisoo hanya meringis menanggapi semua reaksi itu. Bingung juga menjelaskan kalau dia tidak bisa menerima tawaran antar jemputnmaupun pernyataan cinta Hyuk.

“Asyik, asyik. Anak-anak Gumalaya mau dapat pajak jadian,” lanjut seseorang lagi.

“Lebih seru lagi kalau makan besar di kafe dekat kampus.”

“Ide bagus, tuh! Ayo, jadwalin aja mau ke sana kapan?”

Beruntung obrolan beralih cepat ke acara makan-makan entah dalam rangka apa. Jisoo bernapas lega sambil menyimak pembicaraan mereka, sampai kemudian indra pendengarnya teralihkan oleh suara kendaraan roda empat. Refleks saja dia meloncat turun dari kasur mendekati jendela di kamar. Mengintip ke luar dari balik tirai jendelanya.

Guys, sorry ya, gue udahan dulu gabungnya. Lain kali lagi gue join vidcall-nya. Byeee ...!” Jisoo keluar dari saluran vidcall group tanpa menunggu respon dari anggotanya. Ponselnya sudah telanjur dia lempar ke atas kasur, sementara dia tergesa-gesa lari keluar dari kamar menuju pintu depan.

Sikapnya sedikit ceroboh saat membuka pintu. Dia nyaris terpeleset jatuh andai tangannya tidak segera menggapai gagang pintu. Jisoo meringis sambil berdiri di samping pintu yang sudah terbuka lebar itu. Menanti kemunculan sang pria yang baru saja keluar dari dalam mobil.

Hanya dengan melihat punggung tegapnya saja dia sudah cemas begini. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya tiba-tiba terasa dingin. Jisoo mengigit bagian dalam bibirnya. Mengawasi punggung lebar itu sedikit was-was.

Ketika laki-laki itu berbalik badan, mata mereka akhirnya bertemu. Baik Jisoo maupun Taeyong, mereka sama-sama terdiam saling memandangi. Tak ada yang melangkah mendekat ataupun bicara. Mereka saling bergeming, membisu seiring debaran suara jantung. Membiarkan mata yang bicara. Mengantarkan gentaran kerinduan satu bulan tak berjumpa.

Taeyong lantas melangkah; Jisoo meremas kedua tangannya. Agak was-was laki-laki ini akan meledak begitu mereka berjumpa. Takut namun juga rindu. Jisoo menelan salivanya. Memantapkan diri untuk bicara.

Sekarang beberapa langkah lagi dia akan berdiri di hadapannya. Jisoo bersiap-siap membuka mulutnya. Akan menyapa dan meluruskan kesalahpahaman itu. Tekadnya sudah bulat dan kepercayaan dirinya berada di tingkatan teratas.

“—”

Dia bahkan baru membuka mulutnya untuk bicara, tapi langsung dibungkam oleh tarikan pelukannya. Jisoo tersentak kaget sekaligus bingung. Tubuhnya mematung, seolah sedang mencerna perilaku di luar ekspektasinya ini.

I just miss you, that’s all.

Ketakutan yang sempat menghantuinya segera runtuh tergantikan oleh kelegaan. Taeyong mengeratkan pelukannya. Jisoo kemudian membalasnya tanpa ragu-ragu. Menyatukan jejak-jejak kerinduan mereka yang perlahan mulai membara.

I miss you so badly. I really really overmiss you.” Jisoo menggulum senyum hangatnya. Lantas melingkarkan tangan ke leher Taeyong. “Did you miss me?

Jisoo mengangguk cepat. Tapi rasanya tidak cukup hanya dengan menganggukkan kepala saja. Maka dia menenggelamkan wajahnya di sela-sela leher Taeyong. Lalu berbisik, “Of course, I miss you. It’s all I do.”

part terpanjang ini hahaha hyuk & jisoo tuh based on kisah kasih teman w pas kkn 🫂😶‍🌫️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top