16. Get Away

“Jisoo.”

“Iya, Pak?”

Pak Yuno, kaprodi jurusannya, berjalan mendekat ke tempat dia duduk di kursi tunggu dekat ruangan dekan. “Duduk aja gak masalah,” tegur beliau ketika sang mahasiswi hendak berdiri, menyamai posisi mereka.

Namun, dia tetap berdiri walau Pak Yuno tak mempermasalahkannya. Kurang sopan bila Jisoo tetap duduk sementara Pak Yuno berdiri di hadapannya. Kelihatan aneh juga kalau dilihatin mahasiswa sama dosen yang lewat di koridor lantai tiga. Kesannya Jisoo enggak punya sopan santun sama dosen sendiri.

“Semester ini kamu ambil TPS?”

Kepalanya mengangguk. “Iya, Pak.”

“Fokus ke apa?”

“Lebih ke sosial, Pak Yuno. Kepercayaan diri pada remaja putri futsal.”

Giliran Pak Yuno yang menganggukkan kepalanya. Pria berumur 47-an tahun itu terkesan seolah puas pada pilihan mahasiswanya. “Bagus. Bagus. Semoga lancar TPS-nya.” Lanjutnya, “Berarti semester tujuh kamu cuma ambil skripsi, kan?”

“Iya, Pak. Sama satu mata kuliah analisis jabatan.”

Ekspresi puas di wajah Pak Yuno semakin terlihat jelas. Sejelas tujuan beliau yang mendadak menemui salah satu mahasiswi di jurusannya ini. Kebanyakan para mahasiswa mahasiswi Jurusan Psikologi memahami, bahwa jika sang kaprodi jurusan mulai bertanya-tanya dengan wajah tersirat suatu kepuasaan sendiri, itu pertanda beliau mau minta sesuatu dari mahasiswinya langsung.

“Kamu minat buat ikut program asisten gak, di lembaga psikologi?”

“Asisten psikolog gitu, Pak?”

Pak Yuno mengiyakan.

“Saya?” Jisoo menunjuk dirinya sendiri, kurang percaya. “Memang kualifikasi saya terpenuhi sebagai asisten, Pak?”

Pak Yuno terbahak-bahak mendengar ucapannya. Memiliki mahasiswi seperti Jisoo merupakan jenis kebanggaan lain. Kendati masih ada mahasiswa-mahasiswi yang lebih pinter darinya di jurusan, tapi enggak ada mahasiswi kayak dia yang rajin, jujur, berambisi, dan tepat waktu. Tugas-tugasnya enggak pernah ngaret, selalu tepat waktu dan anaknya juga enggak pernah ngeluh tiap dapat tugas dari dosen.

Pak Yuno enggak perlu menjawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya. Kualifikasi Jisoo sebagai asisten psikolog sudah cukup memenuhi standarnya.

“Anggap aja sebagai magang kuliah. Cuma dua bulan aja. Lumayan lho, kalau kamu ambil selain dapat pengalaman kerja, dapat koneksi, dan gaji. Lalu siapa tahu setelah lulus kamu dikontrak jadi pegawai tetap di sana.”

Sejauh ini Pak Yuno telah menghubungi tiga mahasiswa termasuk Jisoo, untuk didaftarkan sebagai asisten psikolog di lembaga tempat beliau kerja selaian di kampus ini buat semester depan.

“Gimana tertarik gak? Kalau kamu tertarik biar bapak yang ngurus surat rekomendasi dan lainnya. Kamu paling tinggal minta tandatangan,” ujarnya. “Selain itu, kamu gak sendirian. Ada dua orang lagi yang bapak tawarin. Yang satu angkatanmu dari kelas A, satunya lagi kakak tingkat. Kalau iya nanti bapak atur jadwal supaya kalian kumpul.”

Kapan lagi coba dapat rekomendasi jadi asisten psikolog dari kaprodi langsung? Ini namanya rejeki nomplok bagi mahasiswa psikologi. Apalagi di jurusan sendiri enggak ada program magang, melainkan cuma ada program KKN. Jisoo tertarik ikut, sungguh. Sudah lama dia membayangkan dirinya magang jadi asisten psikolog di suatu lembaga psikologi tertentu. Sayangnya, dia dikecewakan oleh realita bahwa di jurusannya tidak ada lagi program magang bagi mahasiswanya.

Melihat Jisoo masih terlihat ragu-ragu. Pak Yuno memberikan penjelasan lagi agar dia tak ragu-ratu dengan tawarannya. “Magangnya buat semester depan. Satu bulan dimulai waktu liburan semester ini. Soal kuliah gak perlu khawatir karena jadwal magangnya bapak jamin gak bakalan ganggu kuliahmu. Skripsi juga. Kan cuma dua bulan aja.”

Minatnya buat ikut semakin tinggi. Tapi dia juga perlu mempertimbangkan lagi karena jadwal magang dimulai selama liburan semester. Sementara dia sudah berjanji pada dirinya, selama liburan semester dia yang akan mengurus ibunya di rumah.

Pak Yuno menggulum senyum lembut. Memaklumi jika Jisoo masih ragu-ragu. Beliau tidak akan memaksakan keputusan mahasiswinya. “Bapak kasih waktu buat kamu mikir jawabannya. Kalau kamu tertarik ikut, hubungi bapak segera. Tapi kalau kamu gak tertarik ikut, tetap hubungi bapak juga.”

Jisoo mengangguk dan tersenyum malu. Malu karena harus membuat kaprodi menunggu jawabannya.

“Bapak pamit dulu. Kamu kelas, kan? Yang rajin ngelasnya. Udah semester tua juga,” kelakar beliau sebelum meninggalkan Jisoo yang terpikirkan tawaran magang.

• s h a m e l e s s •

“Tumben gak dateng sama Taeyong?” tanya Johny penasaran. Melihat Jisoo datang sendirian rasanya agak ganjil. Tumben-tumben saja gitu.  Pasalnya, Johnny terbiasa melihat Taeyong mengikuti pacarnya ini ke mana-mana, bak itik senantiasa mengekori induknya.

“Dia di kosan. Tidur.”

Johnny menyipitkan mata. Ekspresi kesal yang sedang disembunyikan itu tidak bisa menipunya. “Lagi marahan, ya?”

Jisoo menghela napas. “Enggak. Cuma jengkel sama orangnya.”

Johnny diam menyimak. Tanpa perlu bertanya lagi, Jisoo tetap melanjutkan ceritanya. Alasan mengapa dia datang sendirian dan terlihat sedang menahan kekesalan terhadap seseorang.

“Semalam berarti dia ikut ke acaranya Bang Ceye?”

“Iya. Dan pulang-pulang mabuk. Gak mabuk-mabuk banget sih, orangnya masih sadar. Terus pulangnya jam tiga malam lagi!” Raut kesalnya begitu ketara sekali, betapa betenya dia mengingat lagi kejadian jam tiga malam tadi. Taeyong yang pulang ke kosan dalam keadaan setengah mabuk. Bau tak sedap yang menguar dari pakaian dan tubuhnya membuat Jisoo bete setengah mati. Walau dia sudah mandi begitu pulang, baunya tetap menganggu hingga Jisoo memilih tidur di luar daripada seranjang. Hidungnya sangat sensitif dan bawaannya mau marah-marah kalau di dekatnya.

Chanyeol semalam bikin acara di salah satu bar malam. Lalu mengundang kenalannya buat datang, termasuk Johnny yang enggak dateng semalam karena tahu di sana ada Yuta. Dia khawatir kalau mereka ketemu, yang ada malah adu tinju lagi. Sementara Taeyong datang setelah tiba-tiba Bobby bersama dua orang lainnya muncul di depan pintu kos-kosannya. Memaksanya ikut sementara di group dia sudah bilang enggak bakalan datang. Singkatnya Taeyong diculik Bobby dan dua orang itu setelah mereka izin secara pihak sama Jisoo.

Mendengar ceritanya, Johnny kemudian dapat membayangkan seperti apa jadi Taeyong. Dipaksa ikut acara Bang Ceye, pulang-pulang dalam kondisi setengah mabuk, lalu esoknya disinisin sama pacar sendiri. Pasti kepalanya makin berat. Seingat Johnny kalau Taeyong mau mabuk pasti enggak pernah tanggung, pasti los sampai benar-benar dia mabuk total. Kemudian Jonghyun akan jadi penyelamatnya dari hal-hal tak menyenangkan selama mabuk total. Kalau masih setengah sadar antara dia mabuk bukan karena keinginan dirinya sendiri atau bisa jadi, dipaksa buat minum sama kelompoknya di saat dia tak tertarik buat minum lagi.

Lalu ada Jisoo yang kesal sekarang. Johnny menggeleng-geleng. Kemungkinan Taeyong belum tahu kalau Jisoo paling sensitif sama bau minuman yang beralkohol. Tiap kali dia mencium bau minuman keras dari tubuh seseorang, gadis ini suka jadi moody-an dan kadang-kadang memusuhi orang tersebut. Hwasa dan Johnny pernah jadi korbannya saat mereka bertiga masih tinggal dalam satu atap yang sama.

“Terus lo sekarang marah—gue ralat. Lo sekarang jadi jengkel ke orangnya, gitu?”

“Lo ngerti sendiri gue gimana.”

Johnny terkekeh. “Orangnya gimana setelah lo sinisin?”

“Teman lo juga. Lo juga pasti ngerti orangnya.”

Kepalanya menggeleng. Sekalipun mereka temanan, Johnny tetap kurang tahu sikap Taeyong selama membujuk pacarnya yang lagi ngambek. Mengingat sebelumnya Taeyong belum pernah punya hubungan seserius hubungannya bareng Jisoo.

“Berarti lo kabur ke sini buat menghindari cowok lo itu?”

“Iya! Eh, gak juga. Gue juga mau ketemu Hwasa.” Buru-buru dia meralat jawabannya sendiri. Perhatiannya beralih pada kamar yang tertutup rapat-rapat sejak kedatangannya kemari. “Hwasa belum pulang, ya?” tanyanya curiga.

“Belum. Anaknya pergi gak tahu ke mana.”

“Gimana, sih?! Lo kan, teman serumahnya.” Jisoo mendelik sedikit sebal. “Btw, udah ambil undian KKN?”

“Belum ngambil, paling besok. Si Hwasa juga belum. Lo udah?”

“Udah tadi. Gue dapat Desa Gumalaya,” serunya.

“Yah, semoga aja nanti bisa sedesa.” Penempatan desa KKN berdasarkan undian seperti arisan bulanan. Maka Johnny kurang yakin soal mereka bisa satu desa atau enggak nantinya.

Jisoo pun enggak terlalu berharap bisa satu desa sama kedua teman dekatnya ini. Selagi jarak antar desa dekat, itu sudah cukup baginya.

“John,” panggilnya membuat Johnny berpaling dari hape ke gadis di sampingnya. “Menurut lo, gue udah cukup baik gak sih, buat jadi pacarnya Taeyong?”

“Itu pertanyaan?”

Jisoo mengiyakan.

“Menurut lo sendiri gimana?” tanyanya.

Jisoo diam berpikir sesaat. Kemudian mengangkat bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Johnny.

“Sama. Gue juga gak tahu,” ujar Johnny bernada serius. “Baik menurut lo itu yang kayak apa karena bisa jadi, baik menurut lo gak baik bagi gue atau orang lain. Terus baik menurut gue, bisa juga gak baik bagi lo. Pendapat tiap orang itu beda-beda.”

“Entahlah,” lanjutnya ragu-ragu. “Gue ngerasa kurang baik, lebih banyak buruknya aja jadi ceweknya dia.”

“Ada masalah lagi?” tanya Johnny.

“Ya. Masalahnya cuma ada di diri gue sendiri aja. Taeyong sejauh ini baik-baik saja, kecuali hari ini doang.”

Johnny terkekeh geli lagi. Kesensitifan Jisoo terhadap bau alkohol tetap memengaruhi mood-nya walau kini topik bicara mereka telah berbeda. “Lo cuma kurang percaya diri aja. Ditambah, lo belum pernah pacaran sebelum ketemu sama Taeyong. Anggap aja ini sebagai awal dari hubungan yang belum pernah lo punya. Yang penting rasa saling percaya dan komunikasi sama pasangan terhubung.”

Jisoo mengerti baik soal itu. Hanya saja, dia masih sering merasa ganjil tiap kali terpikirkan tentang, apakah dia termasuk pacar baik bagi Taeyong atau justru sebaliknya. Jisoo yang masih ragu-ragu dengan jawaban atas pertanyaannya sendiri, terkadang merasa terbebani oleh keyakinannya sendiri.

“Gak perlu maksain buat mikir terlalu keras,” tegur Johnny sambil menyentuh kepalanya dan mengusap-usapnya. “Yang cuma bisa nilai baik atau buruknya lo, itu diri lo sendiri sama orang yang terlibat lo. So, berhenti mencari jawaban yang malah bikin lo terbebani. Oke?”

Dia mengangguk tersenyum membalas petuahnya.

Are u ready? hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top