10. Maba (3)

“KAK TAEYONG NGECHAT GUE, RHE!?”

“Hah? Apa? Seriusan?”

Kepala Vivi terangguk-angguk cepat. Lalu dia menunjukkan isi percakapannya dengan si kakak tingkat.

“Dia ngajak ketemuan besok. Mau balikin buku. Enaknya di mana, ya, Rhe?”

“Lo maunya di mana?” tanya Rhea cukup senang mendengar kabar dari si teman yang dari kemarin sudah menunggu chat dari si kakak tingkat. Akhirnya penantian Vivi terbayarkan sudah.

Vivi bergumam panjang. Mencari satu lokasi dengan ekspresi serius. Sebuah lokasi yang bagus dan nyaman. Setidaknya lokasi itu cocok buat jadi tempat pertemuannya bersama si kakak tingkat.

“Ajak meet up aja di kafe sepulang kuliah,” ujar Rhea memberi solusi.

Vivi terdiam memikirkan baik-baik saran si teman. “Apa gak kelihatan banget—”

“Bilang aja kalau besok jam kuliah lo full. Cuma bisa meet up sepulang sekolah.”

“Terus kalau dia tetap ngajak meet up di kampus gimana? Bisa aja dia nyamperin di fakultas selesai gue kuliah.” Padahal, besok jam kuliahnya selesai antara jam 11-nan. Selesai lebih cepat dari hari biasa karena Jum’at termasuk jam kuliah paling ringan dengan sks sedikit.

“Bilang lagi selesai ngelas lo ada urusan di luar yang gak bisa ditunda-tunda. Jadi, kalau Kak Taeyong mau ketemuan sama lo, lo bilang bisanya ketemuan di luar kampus. Terus lo ajakin meet up di kafe. Gue percaya dia gak bakalan nolak.”

“Gak kelihatan banget gue bohong, Rhe?”

Rhea mendelik. Cukup gemas sama Vivi yang serba kepikiran. Padahal, upaya ini supaya ada kemajuan dalam proses pendekatannya bersama si kakak tingkat.

Rhea menyahut ponsel Vivi secara paksa. Menggantikan si teman bertukar pesan sama si kakak tingkat. Vivi terlihat pasrah dan membiarkan Rhea merampungkan apa yang seharusnya dia lakukan sendiri.

“Selesai,” kata Rhea sambil mengembalikan ponsel ke pemiliknya kembali. “Orangnya mau. Besok jam empat sore di Kafe Antara Kita. Lo harus datang duluan.”

Vivi tersenyum, lalu mengangguk cepat. “Eh? Antara Kita? Gila lo, Rhe! Itu kafe kan, terkenal ....”

Rhea mengangkat bahu pura-pura tak tahu apa-apa soal tempat pilihannya. Mengabaikan rengekan temannya yang merasa dijebak.

Kafe Antara Kita? Itu lho, kafe yang terkenal di kalangan pasangan muda-mudi, yang sering banget didatangin sama selebgram pasangan. Banyak orang bilang kafe itu paling cocok buat ngedate.

Vivi mengacak kepalanya frutasi. Bisa-bisanya Rhea menyuruhnya datang ke tempat itu bersama kakak tingkat yang bahkan mereka belum cukup saling kenal. Menyadari seperti apa tempat yang akan mereka datangi besok, Vivi sudah mati gaya duluan.

Rhea hanya terkekeh puas. Menyuruh Vivi supaya berdandan cantik dan memakai pakaian yang bagus. “Anggap aja besok lo ngedate sama Kak Taeyong.”

“Ngedate pala lu?!” gerutunya masih kesal padanya.

• s h a m e l e s s •

Taeyong yang cuma mengintip isi percakapan mereka, terus geleng-geleng tak percaya begitu dia peka terhadapa situasi. Namun, tidak bagi Jisoo yang asal mengiyakan dengan balasan super ramah yang bisa disalahpahami seseorang.

Kafe Antara Kita, huh?

Walau dia sendiri belum pernah ke kafe bernama Antara Kita, tapi dia tahu jenis tempat apa itu. Jimin dulu sering mengocehkan banyak nama kafe-kafe terkenal dan menjelaskan alasan mengapa mereka terkenal di kalangan muda-mudi jaman sekarang, termasuk nama kafe tersebut. Semasa kejayaannya sebagai seorang playboy, dulu ada banyak cewek yang mencoba mengajaknya pergi ke sana. Tapi karena Taeyong tidak terlalu suka dengan tempat seperti itu, dia selalu menolak. Meski sekarang punya pacar pun dia tetap malas buat ke sana.

Taeyong bingung harus menjelaskan apa pada Jisoo tentang tempat yang dia yakini tidak diketahuinya itu.

“Besok sama kamu, ya.”

“Sama aku juga?” tanyanya.

“Kamu pengen pacar kamu ke sana ketemuan sama cewek?”

Mata Jisoo kontan menyipit. “Kan, cuma ketemu buat balikin buku. Emang selain itu kamu mau ngapain?”

“Pedekate.”

“Taeyong.”

“Ketemu maba cantik, lumayan kan diajak pedekate.”

Matanya pun semakin menyipit. Menatapnya kesal karena bercandaannya itu. Taeyong tertawa lepas. Mengeratkan pelukannya dari belakang, lalu mencium kepala Jisoo.

“Tapi bisanya jam empat setelah ketemuan sama anak futsal.”

“Gak apa-apa. Bilang aja ketemuannya besok jam empat daripada aku ke sana sendirian,” balasnya masih sesekali mencium kepalanya.

Jisoo membalas chat sesuai kata-kata Taeyong. Menyesuaikan jadwal pertemuan sampai mereka sepakat. Namun, obrolan pesan itu berakhir sepihak semenjak Jisoo diganggu Taeyong yang enggan berhenti menghujaninya ciuman dari kepala ke pipi.

Tubuhnya tenggelam dalam belitan kedua tangannya seperti sebuah guling. Jisoo hendak protes karena merasa terganggu oleh sikapnya, di saat lagi bertukar pesan sama orang. Kalau sudah begini biasanya dia enggan mendengarkan kata-katanya. Malah suaranya sering berakhir terendam oleh tautan bibirnya. Akhirnya kata-kata Jisoo tenggelam dalam goncangan badai lautan bernama ciuman.

Taeyong menyingkirkan potongan rambut yang berjatuhan di wajahnya. Memandangi serautnya yang merona bak buah cherry yang matang penuh kekaguman. Tidak pernah ada kata bosan baginya memandangi wajah sang kekasih lama-lama. Semakin terus dia melihat, semakin dia jatuh cinta padanya sepanjang hari. Dia mengecup bibir ranumnya, lalu tersenyum tepat di depan matanya.

Benar mereka tinggal satu atap. Tidur dalam satu ranjang dan sering memadukan kasih berdua. Namun, tetap ada batasan yang tidak boleh Taeyong langgar. Jika tindakannya hampir di luar batas, Jisoo selalu mengingatkan dirinya agar berhenti. Dengan situasi yang memabukkan akal dan penuh kasih sayang itu, kadang mereka hampir keluar dari perjanjian bersama. Beruntung Jisoo selalu menyetel alarm peringatan di kepala yang akan aktif ketika mereka hampir melakukan pelanggaran.

“Liburan, yuk?”

Jisoo mengerjap dengan ekspresi lucu, yang membuat Taeyong spontan berdecak kagum dan  mengecup keningnya.

“Ngajak liburan pas kuliah gini timing-nya gak pas.”

“Nanti pas liburan kuliah.”

“Liburanku buat kkn.”

Taeyong bergeming. Terlihat jelas di wajahnya kalau dia masih kecewa tidak bisa mengambil kkn di semester ini.

“Pas sabtu minggu,” ujarnya kemudian.

Jisoo menggeleng kurang setuju. “Kita udah buat janji. Sabtu Minggu waktu buat keluarga. Kamu harus pulang di hari itu. Jangan keseringan gak pulang.”

Taeyong yang kecewa menjatuhkan kepalanya di pundak Jisoo.

“Mama kamu lho, sering nanyain kamu lagi apa.” Dia belum pernah main ke rumah Taeyong apalagi bertemu orang tuanya. Tapi dia tahu kalau mama Taeyong sering menanyakan kabar anaknya via chat. Sayangnya, semua chat itu dibalas Taeyong tergantung dari mood-nya. Yang buat Jisoo geregatan sama sikap malas memberi kabarnya ini, hingga dia menggantikan dirinya untuk memberi kabar orang tuanya sendiri.

“Ya udah, besok kamu ikut aku ke rumah,” ujarnya sembari menarik wajah dan kembali berhadapan dengan gadisnya. “Kamu ikut, aku mau pulang.”

“Berarti aku gak ikut, kamu gak mau pulang?”

Dia mengiyakan diikuti cengiran lebarnya. Jisoo melotot sebelum mendesah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top