BAB 6

Langit Eriwald pagi itu tidak secerah hari biasanya. Awan-awan mendung berkumpul menghalangi sang mentari. Walau begitu tak menyurutkan semangat para penduduk untuk beraktivitas. Kawasan stasiun kota seperti sedia kala selalu ramai. Dua buah kereta berada di dua jalur yang berbeda dengan masing-masing tujuan. Cassie dan Kyle berjalan ke sisi peron tiga di mana kereta yang akan membawa mereka ke Pryham berada. Karena kota Shadowglass tidak tercantum di peta, maka stasiun tujuan yang dipilih adalah kota terdekat dengan lokasi hutan kabut Shadowglass. Kebetulan sekali, pagi ini kereta menuju Pryham tersedia.

Sambil memainkan liontinnya, Cassie mengikuti ke manapun Kyle berjalan. Kepala si perempuan bergerak memperhatikan keramaian pagi. Sesekali, kakinya terhenti untuk melihat tiket kereta yang dipegang dan nomor yang terpasang di pinggir pintu gerbong. Setelah menemukan nomor gerbong yang sama seperti di tiket, mereka berdua langsung menaikinya. Namun, langkah Cassie terhenti ketika seorang wanita dengan gaun hitam dan kain hitam transparan yang menutupi wajahnya, menghalangi dengan berdiri di dekat pintu. Wanita itu memiliki mata hitam legam, sangat tidak biasa karena penduduk Seprapia tidak memiliki warna mata hitam. Bibirnya terlihat pucat dan pecah-pecah, seolah ia tidak pernah minum atau membasahi bibir. Merasa tidak nyaman, Cassie tersenyum kikuk sembari memberikan jalan untuk wanita itu lewat.

Seketika, bibir pucat si wanita bergerak, membisikkan kata demi kata pada perempuan rambut cokelat. "Saat new moon tiba, ramalannya akan terwujud." Kemudian, wanita itu berjalan pergi.

Cassie sama sekali tidak tahu maksud perkataan si wanita. Namun, ia memilih mengabaikannya dan mencari Kyle. Kompartemen yang sesuai dengan nomor tiket letaknya cukup jauh dari pintu gerbong, perempuan itu bisa melihat Kyle berdiri di depan kompartemen sembari memegang topinya. Terlihat dari raut wajah, si pria sangat khawatir. Ia mengira perempuan mata hijau pergi meninggalkannya.

"Kukira kau membatalkan rencana," ujar Kyle sebelum masuk ke dalam kompartemen.

Cassie menyusul, lalu menutup pintunya. "Maaf saja, aku tidak ada niatan untuk berubah pikiran."

"Kau masih bisa berubah pikiran selagi keretanya belum berangkat," sahut Kyle seraya menaruh kopernya Cassie di rak atas.

Perempuan dengan surai cokelat hanya mendelik, kemudian memperhatikan jendela yang menampilkan situasi di peron. Ada banyak orang lalu lalang, tetapi bola matanya terpaku pada satu sosok yang berdiri di peron. Sosok wanita bergaun hitam dengan kain hitam transparan berdiri dengan anggun, netranya menatap Cassie. Sontak saja, perempuan itu terbelalak. Cepat-cepat memalingkan wajah, lalu menyentuh tangan Kyle.

"Kereta ini akan melewati Capitol, kan?" Cassie berusaha membuka topik pembicaraan.

"Iya, setidaknya kita punya waktu seharian berada di kereta sebelum sampai di Pryham. Jadi, kemungkinan kita akan menginap dulu di sana." Kyle membuka buku kecil berisi catatan-catatan yang sudah ia persiapkan untuk perjalanan ini.

"Aku tidak pernah bepergian jauh selain ke Capitol," ungkap Cassie sambil memperhatikan jemarinya yang terbalut sarung tangan abu-abu.

"Sekarang kau akan bepergian jauh. Dari ujung tenggara Seprapia ke ujung barat laut Seprapia."

Cassie tertawa pelan, kepala perempuan itu kembali bergerak ke jendela. Netranya kembali menangkap sosok wanita tadi, masih berdiri di sana memandanginya. Sebenarnya, si perempuan merasa ketakutan karena tatapan wanita itu, tetapi ia mencoba untuk balas menatapnya.

"Menurutmu, dia menatap kita?" tanya Cassie pada Kyle tanpa menoleh.

Si pria langsung melihat ke arah yang sama, keningnya pun mengerut. "Wanita yang terlihat seperti tengah berkabung?"

"Iya."

"Entahlah, mungkin dia sedang memperhatikan orang lain." Kyle mengedikkan bahu, dan kembali membaca buku catatannya.

Sementara itu, Cassie masih belum mau mengalihkan pandangan. Bahkan ketika suara peluit terdengar juga kereta melaju, wanita itu masih setia menatap si perempuan. Untung saja tidak sampai mengikuti keretanya.

Si perempuan rambut cokelat mengembuskan napas lega, kemudian bersandar. "Dasar wanita aneh."

❇❇❇

Butuh waktu seharian untuk sampai ke kota Pryham, sebab letak kotanya berada nyaris berdekatan dengan perbatasan utara Seprapia. Selain itu, karena sudah malam, Cassie dan Kyle memilih untuk mencari penginapan. Mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan jika malam hari, karena hutan akan sangat menyeramkan dan tentunya berbahaya. Kyle juga mengabari Cassie bahwa mereka akan kembali melanjutkan pukul 10 pagi esok harinya.

Tak ada kejadian aneh saat mereka di penginapan, semua berjalan seperti biasa. Bahkan penginapan terlihat ramai ketika malam hari karena adanya bar dan resto di dalam sana. Banyak pria bermain poker, catur, atau sekadar minum-minum. Tak ada mimpi aneh yang menuntun Cassie pada petunjuk, padahal ia sangat berharap ayahnya menghubungi lagi lewat mimpi.

Di pagi hari pun semuanya normal-normal saja. Sarapan dengan tenang walaupun si perempuan berambut cokelat tidak berselera, roti yang disajikan sebagai pembuka terasa keras. Tidak seempuk roti di rumah, juga tak ada teh, hanya air putih biasa. Sementara itu, Kyle menikmatinya dalam diam, berusaha mensyukuri apa yang bisa ia makan hari itu. Selepas sarapan, mereka bersiap-siap, dan kembali ke meja resepsionis untuk mengembalikan kunci. Yang menjaga adalah seorang wanita kisaran 40 tahunan dengan rambut merah keriting.

"Kalian sepertinya berasal dari jauh ya?" ujar si wanita dengan senyum ramah.

"Iya, kami datang dari Eriwald," jawab Kyle sembari memasang topi.

"Ke mana tujuan kalian?" Wanita itu bertanya lagi.

Kyle sempat menoleh sebentar pada Cassie, seolah meminta persetujuan untuk menjawab jujur tentang tujuan mereka. Perempuan dengan netra hijau hanya menghela napas sebelum berkata, "Ke Shadowglass."

Sontak, mata wanita itu membelalak, diikuti gelengan kepala juga kernyitan dahi. "Kalian yakin?"

Kyle cepat-cepat bersuara sebelum Cassie menjawab. "Ehh ... ka-kami hanya penasaran tentang kebenarannya." Si pria rambut cokelat lantas menoleh kembali pada sepupunya.

"Ya Tuhan." Wanita itu mengembuskan napas keras. "Sebaiknya kalian tidak perlu mencari kebenarannya. Hutan Kabut Shadowglass sangat berbahaya, syukur-syukur kalau kalian bisa keluar lagi dengan utuh."

Kalimat tersebut membuat Cassie mengerutkan dahi, sementara Kyle tercengang. Si pria tahu memang tidak seharusnya mereka pergi ke sana. Namun, mau bagaimana lagi. Sepupunya itu terlalu keras kepala.

"Apa maksudmu?" tanya Cassie dengan kekehan pelan seolah kalimat wanita tadi hanyalah omong kosong belaka.

Akan tetapi, wanita rambut merah keriting tak menjawab, ia hanya melontarkan tatapan peringatan. Sampai akhirnya, sekelompok pria berjubah masuk untuk memesan kamar, dan Cassie benar-benar diabaikan.

"Sebaiknya kita pergi," ujar si perempuan surai cokelat sambil menarik lengan Kyle.

Mereka berdua berjalan menuju arah stasiun, sebab si pria bilang hutan kabut berada di barat Pryham. Namun, satu hal yang tidak mereka ketahui, jarak antara stasiun dan hutan kabut cukup jauh jika hanya ditempuh dengan jalan kaki. Kemungkinan mereka sampai di sana pun saat sore hari.

Ketika mereka melewati stasiun, tempat itu dipenuhi orang-orang yang baru saja turun dari kereta. Sejenak Cassie memperhatikan keramaian di sana, tetapi mata hijau tersebut menangkap seorang pria yang menggendong putrinya dengan senyum lebar. Mendadak saja, ia jadi teringat sang ayah. Kilatan memori saat Krigg sering menggendongnya saat kecil, membuat hati Cassie seakan teriris, mengingat keadaan ayahnya yang masih dipertanyakan.

"Cassie, aku punya kabar buruk." Kyle menarik tangan si perempuan rambut cokelat untuk berhenti.

Mata hijau cerah Cassie menatap lekat iris cokelat sepupunya, kemudian dia menoleh ke samping kanan di mana stasiun kereta masih terlihat jelas dan ramai. Suara embusan napas keras tertangkap telinga si pria, disusul dengan ekspresi murung perempuan bersurai cokelat ikal.

"Jangan bilang kau berubah pikiran dan ingin pulang?" tuduh Cassie.

Kyle menggeleng, lantas memperhatikan beberapa kereta kuda yang terparkir tak jauh dari stasiun. "Bukan, aku hanya tidak tahu kita harus melewati jalan yang mana."

"Itu mudah, kita tinggal pergi ke barat."

Si pria tersenyum kikuk, telunjuk kanan menunjuk jalan di depannya. Di sana ada dua jalan bercabang, dan keduanya sama-sama mengarah ke barat. Cassie yang mengikuti arah yang ditunjuk, hanya mendengkus keras. Sebenarnya, perempuan itu juga tak tahu jalan yang mana menuju ke hutan kabut. Selama perjalanan ini dia hanya mengandalkan kemampuan Kyle mencari informasi, sebab sepupunya itu yang menawari diri.

"Kalau begitu, kau tanya ke orang di sini," ucap Cassie sambil mendorong si pria rambut cokelat.

Mau tak mau Kyle mendekati beberapa pria yang tengah asyik mengobrol untuk menanyakan tentang letak hutan kabut. Mereka memberitahu si pria rambut cokelat jalan mana yang harus ditempuh, dan jarak yang cukup jauh. Namun, saat Kyle meminta bantuan untuk diantarkan, bahkan sampai berniat akan membayar lebih, mereka menolak. Orang-orang yang menawarkan jasa taksi kereta kuda pun menggeleng dan menyuruh si pria mata cokelat kembali saja ke tempat asal.

Cassie mungkin terlihat seakan-akan tak memperhatikan, padahal ia sedari tadi mendengarkan ucapan mereka. Perempuan itu langsung menghampiri dengan wajah sedikit kesal, meski sebenarnya dia sudah mencoba untuk memasang wajah ramah. Akan tetapi, kehadirannya malah membuat suasana hati Cassie semakin memburuk.

"Oh, kau juga datang bersama pria ini? Sebaiknya kalian pulang saja, kebetulan kereta masih di sini," ujar salah satu pria dengan janggut tebal sembari mengibas-ngibas tangan, tampak mengusir.

Cassie menekuk wajah kesal. "Kami tidak akan kembali karena ini ekspedisi yang harus dilakukan."

"Ekspedisi? Ekspedisi apa? Orang-orang dari Capitol juga pernah melakukan hal yang serupa, dan mereka tidak pernah kembali. Jadi, daripada menyia-nyiakan waktumu, sebaiknya pulang saja sana." Kali ini, pria dengan perawakan agak besar bersuara.

Cassie tersenyum tipis. "Terima kasih atas sarannya, dan permisi." Ia mengangkat rok merah gelap, berjalan meninggalkan orang-orang. Setelah cukup jauh, dia menggerutu sebal.

Kyle mengekori sepupunya, dan menuntun perempuan itu ke jalan yang bisa mengantarkan mereka ke ujung barat Pryham. Itupun dia dapatkan dari orang-orang tadi. "Sepertinya kita jalan kaki saja."

❇❇❇

Matahari sudah berada tepat di posisi puncaknya, dan dua manusia berbeda jenis ini masih berjalan menuju ujung barat Pryham. Awalnya, Cassie mengira bahwa Pryham itu kota kecil, lebih kecil dari Eriwald, tetapi dugaannya salah. Selama perjalanan, perempuan itu terus menerus menggerutu. Sampai-sampai Kyle sudah bosan mendengarnya.

Mereka berhenti sejenak, memperhatikan ladang jagung di sebelah kanan, dan hamparan tanah luas dengan segerombol domba yang sedang merumput. Tangan Cassie bahkan mengibas-ngibas di depan lehernya, rasa panas menyengat dan juga haus. Namun, sejauh mata memandang, tak ada tempat di mana ia bisa membeli minum atau mencari sungai.

"Aku ingin istirahat, tapi panasnya ...." Cassie mendongak sejenak, lalu kembali memperhatikan Kyle yang sedang melihat ke arah berlawanan.

"Seharusnya kita mencari tumpangan," timpal Kyle dengan nada lelah.

"Ide bagus, Kyle. Nah, sekarang kau mau menumpang ke siapa? Naik domba sampai ujung kota?" Cassie mendengkus keras, lantas menurunkan koper yang ia bawa.

"Domba boleh juga," sahut Kyle. Namun, pria itu tercekat saat melihat ada kuda yang menarik gerobak mendekati mereka. "Tapi itu lebih baik."

Si perempuan bersurai cokelat menoleh, secercah harapan mulai muncul. Sayangnya, ia teringat kembali dengan orang-orang yang menyuruhnya pulang. Cassie jadi khawatir jika kali ini pun tidak akan ada yang mau membantu. Apalagi saat kuda itu mendekat dan berhenti karena Kyle mengayunkan topi di udara. Mata hijau Cassie bisa melihat seorang wanita paruh baya dengan topi jerami dan jubah cokelat usang, memegang tali kekang. Di belakangnya, gerobak dengan peti-peti kayu berisi apel mengisi setengah ruang dari gerobak tersebut.

"Maaf kami harus memberhentikan perjalanan Anda. Begini, saya dan sepupu saya harus pergi ke perbatasan barat Pryham. Bolehkah kami menumpang? Oh, kami akan membayar," kata Kyle sambil tersenyum ramah.

Wanita itu mengernyit. "Perbatasan barat? Kalian mau ke hutan kabut?"

Kyle menoleh sejenak pada Cassie, kemudian pria itu mengangguk. "I-iya. Kami akan melakukan ekspedisi."

"Apa kau yakin, Tuan?" tanya si wanita tampak tidak percaya dengan ucapan pria rambut cokelat.

"Tentu saja kami yakin, ini ekspedisi penting," sahut Cassie dengan nada sedikit kesal.

Si wanita terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Akhirnya, dia pun mengangguk setuju, dan dua manusia yang sejak tadi kepanasan juga lelah menaiki gerobak wanita itu. Kecepatannya memang tidak terlalu cepat, tetapi setidaknya baik Cassie maupun Kyle bisa merasakan angin yang bisa mengatasi gerah. Tak ada pembicaraan selama perjalanan, Cassie terlena dengan pemandangan sekitar, sementara Kyle sibuk membaca buku catatannya. Sesekali bahkan mencoret sesuatu di sana.

"Itu hutan kabutnya," celetuk si wanita sambil menunjuk sebuah deretan pepohonan tinggi yang terlihat suram.

Baik Cassie dan Kyle terbelalak. Bagaimana tidak? Hutan kabut itu terlihat seperti berada di beda dunia, pasalnya Pryham di sebelah timur tampak cerah dan menyejukkan. Sebaliknya, hutan kabut itu terlihat kelam dan suram. Walau begitu, mata mereka tak melihat adanya kabut di sana.

Si wanita menghentikan kudanya tepat di samping sebuah jembatan batu, di bawahnya mengalir sungai dangkal yang saking jernihnya, ikan-ikan di sana bisa terlihat. Kyle dan Cassie turun sembari menganga, tak percaya bahwa hutan itu jadi terlihat seperti perbatasan antara terang dan gelap.

"Kalian yakin mau memasuki tempat itu?" tanya si wanita. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang amat.

"Ya, kami akan ke sana," jawab Cassie sambil berjalan mendekati jembatan. Netra hijau memandang lekat kedalaman hutan yang tidak bisa ia lihat.

Sementara itu, Kyle berjalan mendekati wanita yang mengantar mereka. Ia menyodorkan sekantong berisi keping-keping Qirsh sebagai imbalan. Namun, wanita tersebut menolak dengan gelengan.

"Aku tanya sekali lagi, apa kalian yakin mau memasuki tempat itu? Tempat itu berbahaya. Aku bisa mengantar kalian ke stasiun sekarang juga jika mau," kata si wanita topi jerami.

Kyle terdiam, memikirkan perkataan orang di depannya. Wajah pria itu juga berubah jadi sedikit ketakutan. Namun, Cassie memutar tubuh dengan ekspresi sangat yakin. Ia masih ingin mencari tahu tentang keberadaan Krigg.

"Kami tidak akan berubah pikiran."

Si wanita mengembuskan napas keras, lantas memalingkan wajah untuk melihat jemarinya. "Kalau itu memang pilihan kalian, maka berhati-hatilah. Saat kau memasuki tempat itu, kau akan menemukan rahasia gelapnya. Tapi, kau harus ingat bahwa seseorang yang masuk ke sana tidak pernah keluar secara utuh."

❇❇❇

Terima kasih sudah membaca ~\(≧▽≦)/~ jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen yaa.

Wonderland, 14 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top