Shaddan || 4
Shaddan tengah menyesap benda beracun di belakang taman rumah Mahesa.
Mahesa dan Maudy di buat kaget ketika melihat cucu nya datang ke rumah dengan keadaan basah kuyup.
Tetapi sekarang Mahesa dan Maudy tak ada di rumah. Mereka pergi keluar sekitar 10 menit yang lalu. Jadi ia bebas menyesap benda beracun itu.
Shaddan seperti tak memperdulikan suhu tubuhnya yang panas. Bahkan sedari tadi pula ia bersin-bersin.
"Kampret segala flu," ujarnya.
Shaddan akan beranjak pergi dari sana, tertapi Davira berada di hadapan nya. Ia langsung memeluk Shaddan.
"Shaddan, please maafin gue. Gue udah tau semuanya karna Rion cerita sama gue." ucapnya.
Shaddan melepaskan pelukan Davira.
"Lo tau dari mana gue di sini?" tanya Shaddan ketus.
"Tadi gue nggak sengaja ketemu sama kakek dan nenek lo,"
"Sebaiknya lo pergi dari sini," usir Shaddan.
Davira menggeleng. "Gue nggak mau. Lo percaya sama gue Shaddan, gue cinta sama lo."
"Cinta lo bilang," ucap Shaddan dengan tertawa. "Kalau lo cinta, kenapa harus ada penghianatan. Lo mimpi ya,"
Davira terdiam.
"Lo pergi," bentak Shaddan.
"Shaddan gue---"
Merasa kesal, Shaddan pergi dari hadapan Davira.
Shaddan pergi dengan taxi yang Davira naiki sebelumnya.
Di dalam taxi Shaddan terus menggeram karena Davira.
Tak butuh waktu lama taxi berhenti tepat di kosan Bani.
"Tunggu bentar pak," ucap Shaddan. Shaddan masuk kedalam rumah kosan.
"Bani, sini gue mau ngomong sama lo," kata Shaddan sembari membawa Bani ke luar.
"Apaan?"
"Noh ada yang mau ketemu sama lo,"
Shaddan membawa Bani tepat di hadapan supir taxi itu. "Pak sama dia aja bayarnya," ucapnya sembari nyelonong masuk ke dalam kosan.
"Eh Shaddan kampet. Kenapa jadi gue yang bayar," teriak Bani.
"Maaf mas! Bisa bayar sekarang, soalnya saya harus pulang," kata supir taxi itu.
Bani menghela napas. Mau tak mau akhirnya ia membayar uang pada sopir taxi itu. "Makasih ya pak,"
Bani secepatnya menghampiri Shaddan. "Sialan lo. Jadi gue yang bayar, uang lo emang kagak ada?" tanyanya.
"Sekarang gue ngeblangsak," ucap Shaddan. "Oh ya, lo liat ponsel gue nggak?"
"Ada noh di kamar gue," kata Bani.
Shaddan beranjak masuk ke kamar Bani.
"Bulan depan lo harus bantuin gue bayar kosan ya," sindir Bani.
"Enak aja." sahut Shaddan di dalam kamar.
Bani menghampiri Shaddan. Lalu ia duduk di atas karpet.
"Si Mois sama Nanta pada ke mana?" tanya Shaddan.
"Biasa mereka jam segini ngapelin anak orang,"
"Kenapa lo kagak ikut?"
"Gue jomblo bisa apa cuy."
Shaddan menyalakan layar ponselnya. Banyak panggilan masuk tak terjawab dari kedua orang tuanya. Bahkan panggilan masuk dari Shan dan Davira. Tetapi Shan tak memperdulikan nya.
Lalu ia melempar ponselnya ke atas kasur.
Tiba-tiba di depan kamar Bani, ada Rion dan di belakangnya Shan.
"Bang," panggil Shan.
Shaddan tak menyahutinya. Ia justru menidurkan tubuhnya di atas kasur.
Bani menatap Rion seolah-olah ia ingin tahu. Rion menggelengkan kepalanya.
Shan menghampiri Shaddan. "Bang kasian mamah, lo pulang ya."
Shaddan memejamkan matanya merasakan pusing yang melanda di kepalanya.
"Lo boleh marah sama gue. Tapi jangan bawa orang tua kita dalam masalah kita ini," ucap Shan.
"Pergi lo," titah Shaddan masih memejamkan matanya.
Shan menyentuh lengan Shaddan. "Bang, lo sakit?"
"Gue mati," sahut Shaddan ketus.
Shan menarik baju Shaddan sampai posisi Shaddan terduduk.
Shaddan langsung menepisnya. Menatap Shan dengan sinis. "Lo budeg hah! Gue bilang lo pergi,"
Shan menyeret Shaddan keluar dari kamar. Lalu membawanya keluar dari sana. Rion dan Bani ikut keluar.
"Lepasin gue." ujar Shaddan.
Shan pun melepaskan cengkraman dari baju Shaddan.
Bugh.
Shan memukul wajah Shaddan dengan kuat.
Shaddan tersenyum remeh ketika mendapatkan pukulan dari Shan.
"Dengan lo mukul gue satu kali. Nggak akan buat gue mati kok. Coba pukul gue sampe mati, biar lo seneng," ucap Shaddan diiringi tawa hambar.
"Gue udah coba minta maaf, tapi lo masih nggak mau maafin gue," ujar Shan.
"Yang nggak gue percaya. Kenapa lo tega ngerebut cewek yang gue sayang, hah! Kenapa harus Davira?" Shaddan melempar tatapan menakutkan pada Shan.
"Shaddan, Shan." ujar Rion.
Shan kembali memukul wajah Shaddan beberapa kali. Tapi sama sekali Shaddan tak merasakan merintih atas pukulan Shan di wajahnya atau pun di bagian perutnya.
Napas Shan memburu cepat.
Bugh.
Sekarang Shaddan yang memukul Shan beberapa kali. Sampai-sampai Shan meringis kesakitan. Berbeda dengan Shaddan.
Rion menahan Shaddan. "Lo bego! Dia adek lo,"
Shaddan mendorong Rion.
Shaddan pergi mengendarai motor Rion. Kebetulan kunci motor Rion masih menancap di sana.
"Shaddan lo mau ke mana!" teriak Bani.
Mereka melihat kepergian Shaddan dengan membawa motor dengan kecepatan penuh.
Rion dan Bani membantu Shan bangun.
Shan merasa linu di sekitar wajahnya akibat pukulan Shaddan yang begitu kuat.
"Lo nggak pa-pa?" tanya Rion.
"Masih tanya! Gue sakit, mana tuh pukulan abang gue kuat bener," ringis Shan.
"Lagian lo masih aja nantangin dia," kata Bani.
Shan menyentuh luka lebam di sudut bibirnya.
"Kita balik aja," ajak Rion.
Shan mengangguk.
~~~
Pukul 8 pagi.
3 hari kemudian. Semenjak di mana waktu kejadian Shaddan dan Shan berkelahi. Sampai sekarang pun mereka saling berperang dingin. Shaddan masih enggan pulang ke rumahnya. Meski pun Rion sudah beberapa kali menyuruhnya untuk pulang karena pesan dari Qia.
Shaddan di juluki seorang siswa bad boy di sekolahnya. Hampir semua siswa di sekolahnya sudah pernah diajak duel olehnya. Dengan begitu ia juga sering masuk nya keluar ruang BK, tapi tak membuat nya kapok. Untuk kembali berulah.
Sampai guru-guru pun di buat kewalahan melihat tingkah Shaddan yang kelewatan. Bukan hanya guru-guru, tetapi kedua orang tuanya pun sudah bingung harus seperti apa lagi menasehati Shaddan.
Sifat Shaddan lebih tajam dari pada sifat yang dulu papah nya miliki.
Seperti biasanya Shaddan ketika terlamabat masuk sekolah, ia selalu memanjat pagar belakang sekolah.
Kemarin malam Rion memberikan baju seragam sekolah pada Shaddan. Karena Qia meminta tolong agar memberikan nya baju seragam pada Shaddan.
Ketika akan menaiki anak tangga. Shaddan melihat kedua orang tua nya tengah berjalan mendekat ke ruang BK.
Shaddan tau alasan mereka ke sekolah apa. Pasti alasanya karena dirinya.
Kemudian Shaddan kembali melajutkan langkahnya. Bergegas secepatnya menuju kelas.
Sesampainya di kelas. Hari ini telah berpihak pada Shaddan. Karena di dalam kelasnya belum ada guru yang mengajar.
Yang tadi nya di dalam kelas berisik. Namun ketika kedatangan Shaddan suasana kelas menjadi hening dan mencekam.
Pasalnya Shaddan pernah memperingatkan pada teman sekelasnya. Jika mereka tak boleh bising jika ia belum memulai kebisingan di mulai.
Teman sekelas Shaddan tak ada satu pun yang berani pada Shaddan. Karena dengan cukup Shaddan menatap tajam membuat nyali mereka menciut.
Rion yang satu kelas dengan Shaddan. Menepuk bahunya. "Motor gue jangan lo jual ya," ucapnya.
"Lo telat. Karna motor lo udah gue kasih sama orang yang lebih membutuhkan," sahut Shaddan santai.
Rion memandang Shaddan lekat. "Gue seriua nyuk?"
"Gue tinggalin noh motor lo di belakang gerbang sekolah. Tau dah tuh motor masih ada atau udah ada yang ngambil."
"Shaddan sialan!" pekik Rion. Secepatnya ia mengecek motornya si sana.
"Dasar bego. Mau aja gue tipu," gumamnya.
Shaddan menengok kebelakang. "Ada guru nggak sekarang di kelas?" tanyanya ketus.
Siswi itu menggeleng. "Nggak tau,"
Shaddan kembali mengarahkan pandangan nya ke depan.
Tiba-tiba seorang guru masuk ke dalam kelas.
"Shaddan, boleh kamu ikut saya ke ruang BK." ucap guru yang bernama Sri.
"Ngapain bu?" tanya Shaddan.
"Kamu ikut saja,"
Shaddan berdecak. Akhirnya ia mengikuti bu Sri.
Ketika Shaddan dan bu Sri sampai di ruang Bk. Qia langsung menghampiri Shaddan.
"Shaddan," ucapnya.
"Kami permisi sebentar bu," pamit Eldric pada bu Sri.
Bu Sri mengangguk. Akhirnya Eldric, Qia dan Shaddan berdiri sedikit menjauh dari ruang BK.
"Ada apa mamah sama papah ke sini?" tanya Shaddan.
"Kamu tuh ya. Masih aja tanya, kita ke sini karna kamu Shaddan," balas Eldric. "Kamu jadi anak susah banget di atur. Kamu sebenernya mau jadi apa? Mau jadi anak brandalan, hah?!"
Shaddan melirik Eldric sekilas. "Terus ngapain papah mau?"
"Nyahutin terus jadi anak," kata Eldric. "Kamu kemarin mukul Shan sampe dia demam. Kamu sebagai abang nya dia, kasih contoh yang baik, papah udah nggak mau lagi ngurusin anak yang susah di atur."
Qia memandang suaminya.
"Yaudah. Sekalian papah nggak usah anggap aku anak papah. Papah tuh lebih sayang Shan dari pada aku, papah selalu beda-bedain aku sama Shan." ujar Shaddan marah.
"Shaddan, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu nak. Kamu tau kan, papah kamu gimana sifatnya."
Shaddan tersenyum hambar. "Iya mah. Shaddan tau, Shaddan tau banget sifat papah kayak gimana. Sifat papah yang selalu ngalus-ngalusin Shan. Papah nggak pernah ngalus-ngalusin aku. Papah yang bisa nya marah-marah sama aku, tanpa papah tau siapa Shan sebenernya," ucapnya dengan lirih.
"Papah tau! Shaddan sebenernya iri pah, Shaddan iri karna papah nggak pernah marah sama Shan. Papah selalu nunjukin kemarahan sama aku," ucap Shaddan.
"Papah sayang sama kamu. Papah nggak pernah beda-bedain kamu sama Shan."
"Udah lah pah. Nggak usah sok bilang sayang ketika aku ngutarain apa yang selama ini aku pendem."
Eldric diam. Diam bukan berarti ia membenarkan ucapan Shaddan. Tapi ia diam karena tak ingin menambah emosi putranya.
Qia menjatuhkan air matanya. "Shaddan sayang sama mamah?"
"Mah, Shaddan sayang sama mamah. Mamah berarti buat Shaddan, lebih berartinya hidup Shaddan."
"Kamu pulang ya. Kamu nggak kangen sama adik kamu Ziya,"
"Maafin Shaddan mah. Shaddan nggak akan pulang,"
Setelah mengucapkan kata itu Shaddan kembali pergi dari hadapan orang tuanya.
Qia memanggil nama Shaddan beberapa kali. Lalu ia menoleh pada Eldric. "Aku nggak pernah percaya sama kamu, aku bener-bener kecewa,"
Qia secepatnya pergi dari sana.
Eldric tak dapat berkata apa-apa lagi. Eldric menghela napas lalu ia kembali bertemu dengan bu Sri.
~~~
Jangan lupa vote + coment.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top