Shaddan 2 || 8
Beberapa hari kemudian.
Shaddan sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa, dengan kedua mata nya terpejam. Kaki kanan nya dia letakan di atas dengkul kiri.
Lelaki yang memiliki wajah tampan, hidung mancung, alis tebal, bulu mata yang lentik dan bibir berwana merah muda itu, sedang berupa-pura tertidur pulas.
Akan tetapi pikiran nya justru sedang berkeliaran, entah apa yang dia pikirkan.
"Kamu udah beberapa hari di Indonesia, dan kamu harus balik ke London. Kamu nggak boleh ninggalin study kamu di sana," ucap Eldric dengan suara yang tegas.
Putra nya itu enggan membuka suara. Atau pun untuk membuka matanya saja enggan.
"Kamu pikir kampus itu punya papah,"
Eldric menghela napas lemah. Dia tidak tahu lagi harus bersikap tegas seperti apa lagi terhadap putra nya itu. Karena Shaddan benar-benar telah berubah, berubah sikap yang membuat Eldric merindukan Shaddan yang sebelumnya. "Shaddan!" panggilnya.
"Hm!" Shaddan bergumam seadanya yang tampak cuek, tanpa ada rasa perduli atas apa yang di ucapkan oleh papah nya.
"Sampe kapan kamu mau jadi orang bodoh?" tanya Eldric menatap Shaddan dengan lekat.
Shaddan sejenak terdiam. Sampai akhirnya dirinya membuka suara. "Bodoh karna sebuah alasan," ucap Shaddan santai. Masih dalam posisi nya yang sama tanpa bergerak.
"Kamu jadi bodoh karna sebuah alasan? Shaddan--"
"Bodoh, karna kenapa aku nggak bisa tolongin orang yang aku cintai. Aku harusnya bisa lindungin dia, tapi nyata nya apa? Aku cuman di takdirkan jadi laki-laki bodoh yang nggak berguna sama sekali buat dia," tutur Shaddan sembari membuka matanya, tanpa melirik pada wajah Eldric.
Eldric tahu apa yang di maksud oleh putra nya.
"2 tahun, apa nggak cukup buat kamu, lupain dia?"
"Dia yang udah ngerubah hidup aku, pah! Gimana aku bisa lupain dia,"
"Papah tau Shaddan. Tapi kalau kamu terus-terusan kayak gini, apa dia akan balik lagi sama kamu, enggak?! Dia udah bahagia, dia udah tenang di sana. Jadi papah mohon sama kamu, ikhlasin dia untuk pergi dengan tenang,"
Shaddan hanya melirik sekilas pada Eldric, tanpa ingin membalas ucapan dari papah nya. Sedangkan Eldric masih menatap lekat pada putra nya.
"Apa kamu nggak pernah peduli sama mamah kamu? Kamu nggak kasian sama mamah kamu?" tanya Eldric.
Shaddan menoleh sempurna pada Eldric. "Masalahnya beda pah, mamah paling penting buat hidup aku. Nggak akan pernah ada seorang pun yang merubah posissi mamah di hati aku,"
"Walau pun Noura juga pernah jadi orang penting buat Shaddan."
Shaddan beranjak dari posisi tidurnya, lalu Shaddan pun pergi meninggalkan Eldric yang masih mematung di tempat.
Eldric memalingkan wajahnya melihat ke arah Shaddan. Eldric merasakan hatinya bergetar, bahkan merasakan sakit. Pasalnya Eldric tidak pernah mendengar dari mulut Shadda bahwa dirinya juga penting untuknya.
Eldric pernah berpikir apakah dirinya juga penting untuk putranya atau tidak.
Sebuah tangan menepuk pundak Eldric dengan pelan. "Pah!"
"Hm! Shan?" Eldric menoleh pada Shan.
"Udah malem, tumben papah belum tidur?" tanya Shan.
Eldric menepuk kembali pundak Shan sesekali mengelus pucuk kepalanya. "Papah belum ngantuk," ucapnya sembari memperhatikan penampilan Shan. "Kamu mau ke mana?"
"Shan mau ke rumah temen kampus,"
"Ada apa?"
"Biasa pah, acar anak muda," ucap Shan dengan nyengir.
Eldric manggungk, memperhatikan wajah Shan dengan intes. Dia bersyukur bahwa Shan tidak berubah seperti Shaddan. Eldric takut jika dirinya tidak lagi penting untuk anak-anak nya.
"Shaddan, nggak kamu ajak?"
"Shan udah ajak dia, tapi dia nggak mau. Shan sedih liat Shaddan yang sekarang, Saddan bener-bener berubah. Shan bingung harus mulai dari mana supaya Shaddan berubah lagi kayak dulu,"
Eldric berusaha tersenyum kuat. "Nggak usah kamu pikirin, udah sana kamu pergi entar telat."
Shan menyalami punggung tangan Eldric. "Aku pergi dulu ya pah,"
Eldric pun mengangguk.
🐦🐦🐦
Shaddan berada di dalam kamar. Beberapa kali ponselnya terus berdering menandakan panggilan masuk dari kedua sahabatnya Rion dan Bani. Dia sama sekali tidak ingin menerima panggilan masuk dari kedua sahabatnya itu yang saling bergantian menghubungi ponsel Shaddan.
Dia menyentuh pipi nya, pipi yang di tampar oleh seorang gadis yang sama sekali dia tidak kenal. Dan bayangan pun berputar, di mana saat dirinya telah melakukan kesalahan pada gadis itu.
Bayangan gadis itu terus berputar, di pikiran Shaddan. Dia tidak menyangka jika dirinya akan senekad itu terhadap gadis tidak dia kenal.
Shaddan secepatnya membuka laci, dan meraih buku dari si pemilik gadis itu. Di tatapnya buku itu dengan intes.
Setelah itu dia meraih jaket yang tergantung di dalam lemari. Kemudian Shaddan bergegas pergi keluar dari kamarnya.
Bukk!
"Aduh bang Shaddan, jalan pake mata dong. Liat! Cemilan aku jatoh semua kan!" omel Ziya.
Shaddan melirik nya sekilas. Dia kembali melanjutkan langkahnya tanpa peduli omelan dari adik bungsunya.
"Bang Shaddan!" teriak Ziya dengan wajah kesal.
Tidak lama Shaddan sudah berada di perjalanan.
Lelaki itu melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Lagi, dia kembali membayangan wajah seorang gadis dengan orang yang sama. Gadis yang memiliki bola mata yang indah, alis mata yang berbentuk indah.
"WOY BANGSUL!" teriak lelaki yang mengendarai motor tepat di samping Shaddan.
Shaddan hanya melirik sekilas, dia sudah tahu yang memanggil dirinya.
"Shaddan!" panggil Bani dengan suara keras, sembari membuka kaca helm motor nya yang sudah di buka.
Bani berdecak kesal pada Shaddan yang enggan mencoba menghentikan motornya terlebih dahulu.
"Nggak ngerti lagi gue sama lo yang sekarang, Shaddan." Bani berucap pelan tanpa Shaddan tahu.
Shaddan menambah kecepatan laju motornya. Tak membuang waktu, Bani mengejar Shaddan.
Bani menghentikan motornya tepat di depan Shaddan. Dan membuat Shaddan menghentikan motornya dengan secara tiba-tiba.
Bani secepatnya menghampiri Shaddan dan menarik Shaddan agar turun dari atas motornya.
Shaddan hanya diam mendapat perlakuan dari sahabatnya. Dia dengan santai membuka helm, lalu Bani merebutnya dan menyimpan di atas jok motor milik Shaddan.
Bani menggelengkan kepalanya dengan beberapa kali, menatap Shaddan tidak percaya. "Please, gue mohon sama lo Shaddan. Lo jangan terus kayak gini, dengan cara lo kayak gini, kayak orang bego, nggak punya otak!" Tatapan Bani menajam.
Sedangkan Shaddan menatap Bani tanpa ekspresi.
"Dengan cara sikap lo yang kayak gini, lo seneng, lo ngerasa bahagia. Lo ngerasa nggak punya beban, hah?!"
"Gue tau, lo kecewa, lo ngerasa di bohongin sama orang lain. Tapi, untuk apa lo tiba-tiba berubah sikap jadi dingin, lo itu bukan cowok kayak yang ada di dalam buku Novel, yang dari bad boy yang kocak tiba-tiba berubah sikap dingin." ujar Bani dengan kesal.
Bani mendorong Shaddan, membuat Shaddan terhuyung kebelakang.
"Karna lo nggak ada di posisi gue," ucap Shaddan.
"Posisi?! Kalau perlu gue rela, ada di posisi lo, karna apa? Gue pengen liat lo yang gue kenal kayak dulu, yang ceria, bukan Shaddan yang kayak gini, kayak orang bego," ucap Bani emosi.
"Lo bener, gue emang bego,"
"Bukan kata-kata itu yang pengen gue denger. Tapi gue pengen denger, kalau lo mau berubah kayak Shaddan yang dulu lagi,"
Shaddan berkacak pinggang. "Butuh waktu,"
"Lo pikir gue akan bilang kalau gue juga sayang sam lo, segala ngasi waktu," ucap Bani yang tidak jelas.
"Terserah lo," ucap Shaddan, kembali menghampiri motornya.
Bani tersenyum tipis.
"Lo mau ke mana?" tanya Bani.
"Biarin gue sendiri," kata Shaddan.
"Lah, lo pikir gue bakalan ngikutin lo. Ini malam minggu cuy, gue mau malam mingguan sama doi,"
Shaddan tidak begitu perduli menanggapi ucapan Bani.
Bani menghampiri Shaddan.
"Maafin gue, nggak ada maksud gue ngomong kayak tadi, jujur gue bener-bener kecewa sama lo. Gue kecewa sama lo yang sekarang," ucap Bani lirih.
Shaddan menepuk bahu Bani du kali. "Gue ngerti maksud lo apa. Tapi gue mohon sama lo, jangan paksa gue jadi kayak dulu lagi, karna bagi gue, Shaddan yang dulu udah mati, nggak pernah ada lagi,"
"Shaddan kita sedih ngeliat lo kayak gini,"
"Gue pergi dulu," pamit Shaddan yang menghiraukan ucapan Bani.
Bani menghela napas sabar.
Setelah perginya Shaddan, Bani pun kembali menghampiri motornya.
"Apa guna nya coba dia berubah sikap kayak es, untung lo sabahat gue, coba kalau bukan," gumamnya.
🐦🐦🐦
Ratusa sedang duduk di tepi pantai. Dia menekuk kedua kaki nya sambari melipatkan kedua tangan nya.
"Sebenernya gue nggak mau bohongin lo, Shaddan. Meski pun yang lain udah maafin gue, tapi gue tau, lo masih kecewa sama gue,"
"Andai gue dulu nggak nyetujuin apa kata Kinza. Mungkin lo nggak akan benci sama gue, bahkan mungkin, lo sama gue nggak akan pernah ketemu."
Ratus tersenyum getir.
"Ternyata ngebohongin orang lain itu sama aja kayak nyakitin hati gue sendiri," ucapnya pelan.
"Maafin gue Shaddan, gue bener-bener minta maaf,"
Ratusa membayangan saat di mana dirinya bersama Shaddan, saling tersenyum manis, saling melempar sebuah candaan. Membut Ratusa meneteskan air matanya.
"Gue janji, mulai besok gue akan pergi jauh dari hidup lo Shaddan. Gue nggak mau, saat lo liat gue, maka rasa benci lo sama gue akan terus bertambah,"
"Gue pengen ngeliat lo tersenyum lagi, semoga setelah perginya gue, lo bisa tersenyum lagi kayak dulu," ucapnya tersenyum tipis.
Beberapa menit Ratusa terdiam, ponselnya pun berdering, sebuah pesan masuk di ponselnya.
Ratusa segera membuka isi pesan yang di kirim oleh orang tuanya agar secepatnya pulang ke rumah.
Ratusa berdiri dari posisi duduknya dan mulai meninggalkan pantai.
Seorang lelaki berdiri tidak jauh dari posisi Ratusa.
"Ratusa,"
🐦🐦🐦
Hallo apakabar?
Kangen nggak sama saya? Wkwkw pedew
Lama tak jumpa dengan Author Ayyu 😅 maksudnya sudah lama tak menyapa kalian 😆
Lama juga saya nggak update nih cerita favorite sendiri 😆
Nggak kerasa 3 bulan saya nggak pernah update cerita ini dan cerita lain nya 😆
Semoga nggak pada kabur ya Readers sayangkuh setelah saya hiatus 3 bulan 😩
Dan makasih juga buat kalian yang masih nunggu cerita ini, yang selalu sabar nunggu lanjutan nya 😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top