Bab 2
"Dokter Inez?" sapa Dimas ketika melihat sosok Inez yang akan keluar dari kafetaria.
Inez terpaku dan tercengang melihat Dimas, ekor matanya melirik kanan dan kiri, bibirnya mengerucut tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan cucu kepala batu, julukan baru untuk lelaki tinggi itu. Terlebih kafetaria tempat mereka berada letaknya dekat dengan poli internis, posisi yang cukup jauh dibanding dengan kafetaria yang ada di gedung rawat inap. Iris mata Inez menyipit, terbersit pikiran negatif mengapa lelaki di sampingnya ini bisa muncul mendadak.
"Sendirian, Dok?" tanya Dimas.
"Nggak, lagi berduaan sama bayangan," jawab Inez spontan.
Gadis yang rambutnya diikat tinggi bak Ariana Grande itu melirik ke arah kantung plastik bening yang dibawa oleh Dimas, mengabaikan pertanyaan yang seharusnya bisa lelaki itu jawab sendiri. Merasa diperhatikan, Dimas menjunjung plastik berisi lumpia, risoles, dan lemper bakar di depan wajahnya dan berkata, "Buat saya, Dok, bukan buat Nenek."
"Oh ... bagus kalau begitu," ketus Inez lalu mendahului langkah Dimas.
"Daripada saya kena semprot kayak kemarin, Dok," sindir Dimas sambil tersenyum miring, menyejajarkan langkah kaki panjangnya dengan Inez. "Selain praktik di sini, Dokter Inez, praktik di mana?"
"Nggak praktik di mana-mana," jawab Inez. "Kok bisa ada di sini? Kan kafetaria juga ada di gedung C."
"Eng ... saya ... kesasar tadi," ucap Dimas salah tingkah seraya mengusap tengkuk lehernya. "Maklum, udah lama nggak ke sini, lagi pula saya baru pulang dari luar negeri hehe ..."
"Oh ... sebelumnya sering ke sini? Kerja apa emang?"
"Dulu saya sering bawa Nenek ke sini buat check up rutin. Nggak nyangka juga sih, rumah sakitnya udah lebih besar dari terakhir saya ke sini tujuh tahun lalu," kata Dimas memandang sekeliling sambil manggut-manggut. "Saya kerja di kapal kontainer."
Inez mengangguk, kembali melempar senyum simpul kala mereka berdua sudah berada di lift, Dimas menekan tombol angka satu. Sesekali dia melirik Inez dan mendadak atmosfer di kotak besi itu terasa kaku, terlebih perubahan wajah Inez yang tidak cukup ramah. Dia memang berusaha memasang wajah jutek, ekspresi yang sudah dia tunjukkan selama dua tahun terakhir kepada setiap lelaki sebagai bentengnya.
Lift berdenting, kaki Inez melangkah keluar dari lift diikuti Dimas yang masih saja mengekori si dokter cantik yang cara berjalannya cukup cepat. "Dok, mau ke nenek saya, kan?" tanya Dimas, mengimbangi langkah Inez yang lebih mirip dengan gerak jalan cepat.
"Iya."
Tidak ada kata yang terucap kecuali suara para pengunjung rumah sakit dan lalu lalang kendaraan yang berisik. Terik matahari cukup menyengat kulit langsatnya walaupun suhu kota Malang pasti berbeda dengan suhu ibukota Jatim. Inez dan Dimas memasuki gedung C, kembali menaiki lift hingga sampai di lantai teratas--ruang rawat inap kelas satu.
Di depan lift lantai delapan terdapat lorong-lorong nama ruangan rawat inap, tak jauh dari sana ruang Cempaka sudah di depan mata. Dimas mendahului, membukakan pintu kaca bening itu sambil menatap garis wajah Inez ketika dia melintas. Sekilas, aroma vanila dan jasmine tercium di lubang hidung mancung Dimas. Dia berpikir bahwa parfum yang dikenakan oleh dokter ceriwis itu tidak sesuai dengan kepribadiannya. Baginya, perpaduan kedua aroma feminim itu sangat cocok untuk perempuan yang kalem dan ceria.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Inez berlalu begitu saja, meninggalkan Dimas yang masih berdiri di pintu masuk ruang Cempaka. Dimas hanya bisa menggeleng lalu mengusap lehernya sambil mengingat kembali aroma tubuh dokter cantik itu dengan senyum manis.
###
"Siang, Mbah," sapa Inez. "Sudah makan tadi?"
Mulut Nenek Kusuma yang mengeriput kini mengerucut sambil menggeleng dan mengecap-ngecapkan bibir. "Hambar, Bu Dokter."
Inez tertawa sambil memeriksa dada pasiennya dengan stetoskop ketika mendengar penuturan wanita yang sudah lebih dari separuh abad . "Nggak apa-apa, nanti kalau sembuh bisa makan enak lagi. Sabar dulu."
"Iya ya, Bu Dokter. Ini tadi Mbah pengen makan lemper, sama cucu saya dikasih sedikit," jujur Nenek Kusuma membuat Inez menatap nyalang ke arah Dimas.
Sedangkan lelaki berambut hitam itu terkekeh sambil membasahi bibir bawahnya dengan lidah, merasa bersalah. Inez mendecak kesal lalu berkata, "Ini lukanya saya rawat dulu ya, Mbah. Kalau Pak Dimas berkenan, silakan menunggu di luar."
"Kenapa, Dok?" tanya Dimas berpura-pura bodoh. "Tapi, saya ingin melihat lukanya, Dok." Pandangan netra gelap itu masih setia mengamati si dokter cantik, di sisi lain Dimas benar-benar ingin tahu sebagaimana parah borok neneknya hingga makan nasi dan segala sesuatu yang manis pun dilarang keras.
"Ya, sudah," jawab Inez seraya mengambil masker yang sudah disiapkan oleh salah satu koasnya, Putri. Dilanjut dengan memakai sarung tangan dua lapis. "Mbah, tidurnya miring dulu ya. Mau dibersihkan dulu lukanya."
Dibantu Putri, Inez pun memiringkan tubuh ringkih nenek Kusuma ke arah kiri, dia melirik sekilas Dimas yang hanya berdiri mematung di ujung kasur. Usai mengganjal tubuh nenek Kusuma dengan bantal, Inez menyuruh Putri untuk membuka balutan luka pasien.
Dimas tenggelam dalam lamunannya ketika mengamati dua perempuan itu melakukan prosedur untuk membersihkan luka neneknya. Dalam benaknya, sepertinya akan bagus jika dia memiliki saudara yang bergelut di bidang kesehatan, hanya saja keponakannya bahkan sepupunya yang rata-rata laki-laki, tidak satu pun yang memilih menjadi dokter atau pun perawat. Kebanyakan dari mereka, memilih untuk menjadi abdi negara atau bekerja di pertambangan minyak lepas pantai.
Tak bisa melihat dengan leluasa, dia berpindah di kasur sebelah kiri neneknya, menarik kursi dan mendudukkan diri sambil sesekali melihat Inez yang memberi perintah kepada koasnya.
Luka yang berada di pantat tepatnya di tulang ekor nenek Kusuma terlihat menganga. Spons busa yang ditarik oleh Putri secara perlahan itu mengeluarkan aroma tak sedap dengan cairan berwarna kuning kental memenuhinya. Inez meraih botol infus yang berisi cairan saline, menyemprot area luka sebelum dia mengambil jaringan mati yang berwarna hitam maupun nanah yang menempel di sudut-sudut luka.
"Huek ..."
Refleks Inez menoleh ke arah mahasiswa bimbingan dokter Ruri itu, kedua mata bulat Putri memerah dan berkaca-kaca seakan tidak sanggup lagi menahan gejolak di perutnya. Putri menggeleng, berusaha kuat di depan Inez dan menjaga etikanya.
"Huek ..." Putri kembali mual, dia sudah benar-benar tidak sanggup melihat luka nenek Kusuma, terlebih dia pun belum makan sejak tadi pagi karena harus mengumpulkan tugas di kampus. "Dok, ijin ke kamar mandi," pamit Putri.
Inez mengangguk, membiarkan Putri berlalu meninggalkan dirinya sendiri yang merawat luka Nenek Kusuma. Beberapa saat, Inez dan Dimas saling berpandangan, Inez takut jika sikap Putri itu menyinggung Dimas terlebih dengan kondisi luka yang belum menunjukkan perbaikan.
"Sudah, nggak apa-apa, Dok," kata Dimas seperti tahu isi pikiran Inez.
"Bu Dokter," panggil Nenek Kusuma.
"Iya, Mbah," jawab Inez yang kini menempelkan spons busa baru di luka pasiennya.
"Terima kasih, ya, Bu Dokter. Sudah mau merawat Mbah."
"Nggeh, Mbah. Saya itu pengennya Mbah Kusuma sembuh dulu."
Nenek Kusuma mengangguk-angguk, lalu melambaikan tangannya ke arah Dimas. "Mas, Dimas, kamu nggak ingin kenalan sama Bu Dokter ta, Mas?"
Raut wajah Dimas seketika berubah, ada rasa malu dalam dirinya bahkan mendadak tidak berani melihat Inez. Nenek Kusuma pun berusaha menoleh ke arah Inez dengan pelan, lalu berkata, "Bu Dokter belum menikah kan? Kenalan saja sama Dimas, mumpung lagi di sini."
Lah maksudnya? Batin Inez ingin segera pergi dari sini. Dia hanya bisa tersenyum tanpa menanggapi pertanyaan yang diajukan nenek Kusuma. Dengan cekatan, Inez segera menutup luka pasiennya dengan plester putih kemudian membereskan alat-alat rawat luka ke dalam wadah kotor.
"Bu Dokter? Bu Dokter belum punya pacar kan? Ini lho, Dimas, putuku seng paling guanteng dewe. Mas ... ayo, kenalan sama Bu Dokter ..."
(Cucuku yang paling tampan sendiri)
"Mbah ... nggak usah ... lagian saya—"
"Nggak apa-apa, cah ayu. Dimas ini lho nggak pernah punya pacar, dulure podo wes rabi, kari bocah iki seng durung. Bekne jodoh, Mbah isok melbu surgo."
(Saudaranya sudah menikah semua, tinggal anak ini yang belum. Kalau jodoh, Nenek bisa masuk surga)
Akhirnya, mau tak mau Dimas pun mengalah. Dia mendekati Inez dan mengulurkan tangannya seraya berkata, "sudah turuti saja."
Inez menurut. Mereka berkenalan seperti belum pernah ketemu, padahal tadi di kafetaria mereka berbincang sejenak, hal yang tidak diketahui oleh nenek Kusuma.
"Lho ... begitu saja? Mas ... kamu nggak mau minta nomornya Bu Dokter? Mungkin nanti butuh bantuan. Yang agresif begitu lho, Mas," ucap nenek Kusuma yang terlihat gemas melihat dua anak muda di depannya itu.
Rona merah di wajah Dimas dan Inez tercetak jelas di kedua pipi mereka. Sungguh, nenek Kusuma sepertinya memiliki bakat alami menjadi mak comblang. Dimas pun mengeluarkan ponsel, menyuruh Inez untuk menuliskan nomor ponselnya di sana.
"Saya ... miscall ya, Dok," kata Dimas malu-malu.
Usai dari kamar satu dengan jantung yang berdebar, Inez melangkah cepat menuju nurse station untuk mencari mahasiswa koas tadi yang tidak kembali sampai tindakan rawat luka selesai. Inez berjalan ke arah wastafel, membersihkan kedua tangannya dengan cepat. Lalu, matanya menilik satu-persatu calon dokter itu yang sibuk menulis di buku catatan mereka.
"Yang tadi mendampingi saya rawat luka mana?" tanya Inez dengan tatapan tajam.
"Saya, Dok," jawab Putri yang mengenakan masker medis.
"Ikut saya ke ruang konsul!"
Inez berjalan cepat di atas flat shoes hitam dengan ujung yang lancip, tangan kanannya terulur membuka pintu bertuliskan ruang konsultasi dengan Putri yang mengekorinya dari belakang.
Setelah pintu tertutup, Inez membalikkan badannya seraya melipat kedua tangan di dada, bersandar di pinggiran meja konsul. Sedangkan Putri menunduk takut, memilin ujung jas putihnya dengan keringat dingin yang bercucuran. Dia sudah menebak bahwa tindakan tidak sopannya saat rawat luka akan mendapat teguran, Putri memilih menebalkan telinga, bersiap untuk menerima segala konsekuensi yang diberikan oleh dokter Inez.
"Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan itu salah?" ketus Inez.
"S-saya ... sadar, Dok. Saya minta maaf karena tadi—"
"Apa pantas kamu disebut dokter sedangkan kamu tidak bisa menahan rasa jijikmu di depan pasien? Bagaimana jika kamu menghadapi mayat korban kecelakaan atau bencana alam dan sikapmu seperti ini? Yang ada kamu malah menyinggung mayat-mayat itu, Put!" cerocos Inez dengan nada tinggi, "Untung saja ya, Put, Pak Dimas tidak mempermasalahkan ini. Bagaimana jika itu orang lain yang wataknya mudah tersinggung? Mereka pasti mengirim komplain kalau dokter di sini tidak memiliki etika!"
"Saya ... minta maaf, Dok, tadi saya tidak kuat karena lambung saya belum terisi sejak pagi," bela Putri hampir menangis.
"Saya nggak mau tahu, kamu belum makan atau tidak. Saya bakal laporkan ini kepada Dokter Ruri, dan saya minta kamu untuk merawat luka pasien itu setiap hari tanpa bantuan teman-temanmu atau perawat di sini. Paham?"
Putri hanya terdiam, tidak bisa membalas ucapan murka dokter Inez. Yang bisa dia lakukan hanyalah mengangguk, menuruti ucapan dokter yang ternyata bisa bersikap kejam kepada koas.
"Kamu dengerin saya nggak?" tegas Inez membuat nyali Putri semakin menciut.
"Pa-paham, Dok," kata Putri dengan takut.
"Ya, sudah, kembali sana."
"Terima kasih, Dok. Saya permisi keluar," pamit Putri melangkah keluar ruang konsul dengan isak tangis.
Sedangkan Inez yang sudah terbakar emosi, mengibaskan lehernya dengan tangan. Dia berjalan ke arah kulkas, membukanya dan mengambil segelas air mineral kemasan untuk meredakan amarah yang sudah menggebu sejak tadi pagi.
Sebuah notifikasi pesan terdengar dari ponsel Inez, dia pun membuka pesan itu lalu mendengkus kasar membaca deretan kalimat yang diketik oleh si pengirim.
Dimas : Dok, siang-siang begini, Es Teler Dempo kayaknya enak buat mendinginkan pikiran.
Dimas : Saya nggak sengaja lewat depan ruang konsul, dengerin Dokter Inez marah-marah.
Dimas : Kalau mau Saya tunggu di depan ya, Dok!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top