9. Penjemputan
Tiba di kantor, Lucas segera memanggil Vlora. Ia duduk dan tanpa basa-basi bertanya.
"Bagaimana? Kau sudah mengurus semuanya?"
Vlora mengangguk seraya menyerahkan dua kartu pada Lucas. "Kartu kredit dan debit yang Bapak inginkan sudah siap untuk digunakan."
"Terima kasih," ujar Lucas seraya mengambil kartu tersebut. "Oh ya. Kau bisa mencari apartemen sekarang juga? Aku pikir jangan terlalu jauh dari kantor."
Vlora menimbang perkataan Lucas. Gedung perkantoran tentunya berada di kawasan elite. Dengan demikian ada beberapa apartemen yang tersedia, tapi bukan berarti mudah untuk mencarinya dalam waktu singkat. Jelas, Vlora tahu keinginan Lucas dan tak ingin mengecewakannya.
"Tempat tinggal Velia benar-benar buruk. Sungguh mengerikan."
Ucapan Lucas memberikan tekanan tersendiri untuk Vlora. Pada akhirnya ia pun mengangguk.
"Baik, Pak. Saya akan menyiapkan semua."
Lucas mengangguk. "Aku mengandalkanmu, Vlo."
"Terima kasih, Pak."
Vlora keluar dari ruang Lucas setelah mengucapkan permisi. Meninggalkan sang bos yang memandangi kedua kartu di tangannya.
"Kali ini kau tidak akan kubiarkan pergi lagi, Ve. Apa pun akan kulakukan untuk memilikimu. Tak peduli apa pun caranya, kasar atau halus akan kulakukan demi menahanmu."
Lucas menyimpan kartu tersebut di dompet. Ia membuang napas dengan ekspresi tak terbaca.
Tak masalah bila kau menganggapku bajingan. Kalau aku hanya bisa memilikimu dengan cara membelimu maka itu yang akan kulakukan dengan senang hati.
*
Hari sudah beranjak petang ketika Velia pulang dari rumah sakit. Terlepas dari letih yang membelenggu, setidaknya ada dua alasan mengapa ia pergi. Yaitu, ia harus memastikan keadaan Herry dan mendapatkan pil pencegah kehamilan.
Velia duduk dan merenung. Keberadaan sebotol pil pencegah kehamilan di tangannya tak ubah tamparan nyata. Fakta yang menyadarkan Velia untuk statusnya sekarang.
Gemuruh hadir. Meriuhkan dada Velia dengan kesan sesak yang sangat menyiksa. Kilasan kejadian semalam membayang dan memercik kebencian tak tertahankan.
Takdir?
Ucapan Lucas mengiang. Mengobarkan panas yang membakar.
Mengapa takdir mengantarkanku kembali pada pria yang setengah mati kuhindari?
Wajah dua pria melintas di benak Velia. Seorang pria yang pernah menjadi masa lalu dan seorang lagi yang ia harapkan menjadi masa depan. Sayang, masa lalu datang kembali dan entah apa masa depan akan menerima bila tahu apa yang terjadi.
Apa Herry bisa menerimaku jika dia mengetahui yang aku lakukan?
Nyatanya bukan hanya itu pertanyaan yang terus mengisi benak Velia. Melainkan satu kemungkinan terburuk lainnya.
Keberuntunganku untuk lepas dari Lucas tak akan pernah datang dua kali.
Adalah ketukan yang membuyarkan beragam pikiran di benak Velia. Ia berpaling dan untuk sesaat tubuhnya menegang.
Tak banyak yang mengunjunginya selama ini membuat Velia bertanya-tanya. Apakah itu para preman yang kembali datang?
"Velia."
Itu adalah suara Metta. Velia membuang napas lega dan bangkit. Segera membuka pintu, ia kaget mendapati kepanikan Metta menyerbu.
"Oh, astaga."
Metta terlihat kacau dalam rasa khawatir. Ia masuk dan langsung meraih tubuh Velia.
"Kau ke mana saja, Ve? Kemarin aku datang dan kau tak ada."
Velia tertegun. "K-kau datang?"
"Ya," angguk Metta. "Kau tak ada, Ve. Kau pergi ke mana?"
Velia bergeming dalam diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu dan Metta jelas bisa melihat ada yang tidak beres.
"Ada apa, Ve?"
Velia masih tak menjawab dan rasa khawatir Metta semakin menjadi-jadi.
"Velia?"
Apa yang terjadi bukanlah hal pantas untuk dibicarakan. Velia tahu itu adalah aib yang seharusnya ia pendam dalam-dalam. Namun, pertahanannya runtuh. Tak ada lagi kekuatan yang tersisa dan akhirnya ia luruh.
"Metta."
Tangis Velia pecah. Ketika hidup terasa gelap dan ia bahkan membenci diri sendiri, tak ada yang bisa dilakukan selain menangis. Menumpahkan semua sedih dan derita melalui tetes air mata.
Metta segera menutup pintu. Ia mengajak Velia duduk dan memberikan pelukan. Tak lagi bertanya, ia berusaha menenangkan Velia.
"Aku tak punya pilihan lain. Aku terdesak dan hanya itu satu-satunya jalan yang kupunya."
Usapan Metta di punggung Velia berhenti. Tak ingin, tapi satu kemungkinan buruk melintas di benaknya.
"Aku ... aku."
Suara Velia tersendat. Berat, tapi ia butuh seseorang untuk berbagi penderitaan. Velia tahu bahwa hanya Metta satu-satunya yang akan mengerti.
Metta menahan napas. Kata demi kata yang Velia ucapkan merangkai cerita yang tak mampu ia bayangkan. Nyatanya perih itu bukan hanya mencabik-cabik perasaan Velia, alih-alih dirinya merasa sakit serupa.
Pelukan Metta menguat. Ia biarkan Velia menumpahkan semua pilu yang menyesakkan dada.
"Aku jijik pada diriku sendiri, Met. Aku kotor dan tak lagi berharga."
Metta menggeleng. Ia mengurai pelukan dan menahan wajah Velia demi meyakinkannya untuk satu hal.
"Tidak, Ve. Tidak. Jangan katakan itu."
Tidak bisa. Kenyataan menyadarkan Velia. Semua yang terjadi terpateri di dalam benak.
"Lihat aku, Ve."
Sedikit, Metta mengguncang Velia. Mata Velia membuka dan tatapan Metta menahannya.
"Kau terdesak. Kau tak ada pilihan lain. Ini bukan salahmu."
Metta mengatakan yang sebenarnya. Velia pun tahu, tapi ia tak bisa mengenyahkan sesak di dalam dada.
"A-aku biarkan dia menyentuhku, Met. Aku tidak bisa menolak. Aku ... aku."
Velia tak bisa meneruskan perkataannya. Berat dan ia tak sanggup.
"Kau tak punya pilihan lain. Kau membutuhkan uang yang tak sedikit," ujar Metta mencoba menenangkan. "Aku tahu kau sudah berusaha sekuat mungkin selama ini, Ve. Aku tahu kau terdesak sehingga melakukannya."
Bukan lagi terdesak. Alih-alih dirinya sudah berada di ambang jurang keputusasaan. Amat pelik sehingga Velia melakukan lebih dari itu.
"Aku sudah melangkah terlalu jauh."
"Apa maksudmu?"
Air mata Velia berhenti mengalir. Bahkan sekarang tangis pun tak bisa menjelaskan sesakit apa pilu yang sedang ia tahan.
"Aku menjadi wanita simpanannya."
Metta tak bisa berkata apa-apa.
*
Dua kali dalam satu hari mobil mewah itu memasuki kawasan kumuh yang sama. Keberadaannya menarik perhatian semua orang. Tak sedikit dari mereka dengan terang-terangan menunjukkan tatapan penuh minat.
Mobil berhenti di depan gang. Jalannya yang terlalu sempit membuat Trio tak ingin mengambil risiko seperti siang tadi. Ia terpaksa turun dan menuju kontrakan Velia.
Trio mengetuk. Pun memanggil.
"Nona Velia."
Ada pergerakan samar di tirai jendela. Tak lama kemudian pintu membuka dan Velia muncul dari balik pintu.
"Maaf mengganggu waktunya, Nona," ujar Trio sopan. "Tuan menunggu di depan."
Butuh satu detik untuk mata Velia membesar. Tepatnya ketika ia menyadari siapa yang dimaksud.
"Lucas?"
Trio mengangguk. "Saya harap Nona segera menemui Tuan."
"B-baiklah. Aku akan segera bersiap."
"Tidak perlu," cegah Trio cepat. "Kita langsung pergi, Nona."
Velia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa meminta sedikit waktu untuk mengambil tas dan ponsel. Tak berselang lama, ia pun meninggalkan kontrakan tersebut.
Wajah menunduk. Langkah terkesan cepat. Velia tak bisa bertahan dengan tatapan dan tawa yang terdengar sepanjang jalan.
Itu tak ubah ejekan yang membuat tubuh Velia panas. Ia malu dan tak aneh bila dirinya langsung masuk ke mobil ketika Trio membuka pintu.
"Kau lama, Ve."
Velia belum sempat menarik napas dan ucapan ketus Lucas menyambut. Pria itu terlihat gusar.
"M-maaf. Aku tadi sudah tidur, Luc."
Lucas melirik dengan kerutan samar di dahi. "Aku mengganggu waktu tidurmu?"
"Tidak."
Jawaban cepat Velia membuat Lucas kembali berpaling. Tak hanya sekadar melirik, kali ini Lucas benar-benar menatap dengan mata sedikit menyipit.
Velia menegang dalam antisipasi. Ketika mobil perlahan bergerak, tubuhnya kian waspada.
"Kalau kau ingin melanjutkan tidurmu, silakan saja."
Tentu saja Velia tidak menerima tawaran itu. Alih-alih ia justru bertanya.
"Ke mana kita akan pergi?"
"Menurutmu kita akan pergi ke mana?"
Velia menggeleng. "Aku tak tahu."
"Sudahlah."
Lucas membuang napas seraya kembali memandang lurus ke depan. Hanya ada sekat di hadapannya, penjaga privasi untuk mereka.
"Nanti kau juga akan tahu."
Tak ada lagi yang Velia ucapkan setelahnya. Ia hanya mengangguk kecil untuk perkataan Lucas.
Velia tak lagi bicara. Ia berusaha menenangkan diri ketika keberadaan Lucas membuatnya gemetaran. Tak ingin, tapi ruang terbatas yang memerangkap mereka membuat Velia menarik napas dalam berulang kali.
Keringat memercik. Di dahi, tengkuk, dan telapak tangan.
Basah dan lembab. Velia meremas tangan satu sama lain. Upaya pertahanan yang tak lepas dari pengamatan Lucas.
Waktu berlalu. Lucas menunggu. Namun, ia tak bisa menunggu selama itu. Pada akhirnya ia tak bisa berdiam diri lebih lama lagi.
"Ve."
Velia menoleh dan mendapati Lucas menatapnya. Entah sejak kapan dan selama apa.
"Ya?"
Tatapan Lucas tanpa kedip. Namun, ada sedikit sangsi yang terpancar di sana. Ia tampak tak yakin sehingga bertanya.
"Aku ingin tahu sesuatu. Apa kau mengerti tugas yang harus kau lakukan sebagai wanitaku?"
Itu adalah pertanyaan yang tak diantisipasi Velia. Semburat merah muncul dan dengan cepat membias di kedua pipinya.
"A-aku—"
"Kau tidak berpikir bahwa aku memberimu uang hanya untuk bicara ketika aku bertanya bukan?" tanya Lucas dengan sangsi yang sekarang terlihat jelas. "Atau kau hanya bergerak bila kusuruh?"
Velia gelagapan. "A-aku—"
"Apa aku harus menjelaskan secara detail semua yang harus kau lakukan seperti wanita simpanan pada umumnya?"
Tak terkira lagi panas wajah Velia ketika Lucas kembali membalikkan ucapannya. Sayang, tak ada yang bisa ia lakukan. Velia menebalkan muka dan menggeleng.
"Tidak perlu, Luc. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."
Sorot dan ekspresi Lucas menantang. "Tunjukkan padaku apa yang kau ketahui."
Velia tak bisa menolak. Pun mengelak. Pilihan yang diambil memaksa dirinya menjalankan peran baru itu dengan sebaik mungkin.
Gemetar, Velia beringsut. Ia menarik napas dan mendekati Lucas. Jarak tak seberapa yang sempat ada, hilang sudah. Tergantikan oleh kedekatan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Velia meraih tangan Lucas. Membawanya ke pangkuan dan menatap jari-jari yang terkesan besar itu. Ia menggenggam sehingga menerbitkan tanya di benak Lucas.
Apa yang akan Velia lakukan selanjutnya?
Tak bisa dipungkiri, tapi nyatanya Lucas bersiaga. Ia bersiap walau pada akhirnya kecupan yang mendarat di pipi tetap berhasil membuatnya mengerjap.
"Apa kau menginginkanku malam ini?"
Mata Lucas menyipit. Ia memang ingin melihat pergerakan Velia, tapi yang satu itu di luar dugaan.
Lucas tahu tentu tidak mudah bagi Velia untuk melayangkan pertanyaan semacam itu. Lihat saja. Tangan berkeringat dingin dan bibirnya memucat.
"Sangat."
Satu kata itu membuat Velia menahan napas. Terlebih dengan tarikan yang merenggut pinggangnya.
Lucas merengkuh tiba-tiba. Velia mendarat di dadanya tanpa antisipasi. Ia bersiap, tapi ucapan Lucas selanjutnya di luar dugaan.
"Sayangnya kupikir aku harus menunggu sejenak."
Mata Lucas memejam. Ujung hidungnya menyelinap di antara helai rambut Velia. Ia menghirup dan aroma lembut memenuhi paru-parunya.
Lucas mengecup sisi kepala Velia. Sekali, ia pun menggigit daun telinganya. Lantas berkata.
"Aku tak ingin kau kelelahan. Kau bisa melayaniku secara perlahan."
Rengkuhan Lucas mengendur. Velia tertegun ketika tangan Lucas melepas dirinya.
"Kita punya banyak waktu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top