8. Perjanjian

"Keputusan yang tepat, Ve."

Lucas menatap map di atas meja makan. Keadaannya yang terbuka menyilakan dirinya untuk melihat segurat tanda tangan yang tertera di surat perjanjian.

"Aku tak akan melakukan ini kalau tak terdesak, Luc," ujar Velia seraya membuang pandangan ke arah lain. "Tidak akan pernah."

"Aku menganggapnya sebagai takdir."

Terdengar penuh percaya diri, Lucas bangkit dari duduk. Ia melangkah pelan dan mengelilingi Velia. Sikap waspada Velia seketika muncul tatkala Lucas berhenti tepat di belakang.

"Kau tahu?" tanya Lucas tanpa menunggu jawaban Velia. "Orang mengatakan bahwa kau tak akan bisa lepas dari takdirmu. Tak peduli sekeras apa kau mencoba."

Embusan napas Lucas membelai tengkuk Velia. Tangannya terangkat dan menyentuh kulit di sana.

"Seperti yang terjadi padamu sekarang. Kau bisa menganggapku sebagai takdirmu."

Mata Velia memejam. Tangan Lucas pindah dan mendarat di pinggangnya.

Lucas mengecup leher Velia. Bernapas dan menjilat di sana.

"Mulai sekarang," ujar Lucas seraya memutar tubuh Velia. "Kau adalah wanitaku."

Velia membuka mata tepat di hadapan Lucas. "Maksudmu simpananmu? Atau peliharaanmu?"

"Terserah kau ingin menyebutnya apa. Kita melakukan hal yang sama menguntungkan di sini."

Tangan Lucas kembali bergerak. Ia menarik pinggang Velia dan mengikis jarak yang tak seberapa.

"Aku memiliki uang yang kau butuhkan," lirih Lucas seraya menangkup satu pipi Velia. Ia membelai dan mengusap. "Kau memiliki tubuh yang aku inginkan."

Wajah Lucas menunduk. Ia menuju bibir Velia dan wanita itu bergeming.

Velia tak mengelak atau menarik diri. Ia hanya mengerjap sekali tatkala Lucas melumat bibirnya.

"Tidak ada yang dirugikan di sini. Kau tahu itu."

Layaknya mantera, Velia menanamkan perkataan Lucas di benaknya. Agar ia bisa meredam geram yang membuncah dan tak menolak ketika ciuman Lucas kembali menyapa.

Lucas mendesak dalam ciuman dalam dan menuntut. Ia memagut demi membuka celah. Menerobos dalam satu tujuan. Menjajah kehangatan basah yang tersaji di dalam sana.

Velia gelagapan. Tangannya naik, menekan dada Lucas, dan berusaha mendorong. Namun, satu isapan yang menjerat lidahnya membuat jemari Velia justru meremas kemeja Lucas.

Lucas mencecap. Ia mengisap lidah Velia dan melumat dalam upaya menyesap semua rasa. Manis. Pun candu. Semua yang ada di sana ia serap hingga habis tak tersisa.

Tangan Lucas bergerilya. Mempertahankan tubuh Velia dalam pelukan, ia pun menjelajah. Meraba dan merasakan setiap lekuknya yang menggoda.

Remasan Velia kian menguat. Ciuman Lucas kian mengintimidasi dan ia sulit bernapas karenanya.

"L-Luc."

Ciuman berakhir ketika Velia pikir akan pingsan. Ia buru-buru menarik udara dan seketika dada bergemuruh. Sapuan bibir Lucas di pipinya meninggalkan jejak hangat yang menggetarkan.

Lucas tak berhenti. Harusnya Velia tahu itu. Bahwa ketika ciuman mereka berakhir maka akan ada cumbuan lain yang ia beri.

Jejak lembab tercipta. Berawal dari sisi wajah Velia dan terus turun ke bawah. Menyusuri jenjang leher hingga tertahan di tulang selangka.

Lucas bermain-main di sana. Lidahnya terulur dan menjilat demi menggoda.

"Oh, Ve," lirih Lucas. "Aku menginginkanmu."

Ucapan Lucas menyentak jantung Velia. Detaknya tak karuan. Riuh dan kian menjadi-jadi.

"Kau juga menginginkannya bukan?"

Pertanyaan menyapa dalam bentuk parau di telinga Velia. Ia berusaha menggeleng, tapi Lucas membuatnya terkesiap.

Tanpa kata atau peringatan, tangan Lucas menyelinap di antara belahan jubah mandi Velia. Masuk dan sukses membuat Velia melotot ketika jemari Lucas membelai rambut-rambut kemaluannya di bawah sana.

Jari telunjuk Lucas menyusup. Teramat lincah menciptakan celah kecil sehingga ia bisa mengusap kewanitaan Velia. Ia menyeringai.

"Kau tak bisa berbohong, Ve. Kau basah ..."

Velia meremang. Ia membenci diri sendiri. Namun, tubuhnya bertindak di luar kendali. Ia bahkan tak mampu menahan lirihan dan remasan pada dada Lucas ketika mulut hangat pria itu meraup daun telinganya.

"... dan kau siap untukku."

Lucas melepas jubah mandi Velia. Ia pun dengan cekatan mengangkat tubuh ramping itu. Tangannya menahan bokong Velia saat menuntun agar kedua kakinya melingkar di pinggang.

Beranjak, Lucas segera menuju kamar dan membanting tubuh mereka di atas kasur. Ia tak memberi kesempatan untuk Velia meredakan rasa kaget, melainkan langsung melanjutkan cumbuan.

Remasan Lucas di payudaranya membuat Velia menggigit bibir. Ia berusaha menguatkan diri, mencoba bertahan di antara rasa sakit dan gelenyar yang mendera.

Berat dan kasar. Napas Lucas terus berubah seiring tiap detik yang dilalui dengan mencumbu.

Tak ada kelembutan. Tak ada belas kasih. Lucas merayu dalam sentuhan yang benar-benar memburu.

Velia mengerjap gamang. Ia menahan napas dan menatap langit-langit dalam sorot gayat.

Dunia seolah berputar. Dirinya seolah melayang. Terombang-ambing dalam sensasi yang membuatnya gelagapan.

Lucas tak ubahnya predator yang lepas di hutan rimba. Ia kelaparan dalam nafsu yang menutup mata. Bergerak. Menerkam. Ia mencengkeram hingga buruannya bungkam.

Udara lenyap. Rintihan teredam.

Tubuh Velia berontak. Ia terhimpit dalam sesak. Namun, Lucas mengabaikannya. Sama sekali tak peduli dan terus menggoda.

Lucas turun. Setelah terlebih dahulu menggigit daun telinga Velia, ia pindah pada payudara. Ia melahap salah satu puting dalam sambaran mengejutkan.

"Luc!"

Nama Lucas tertahan di tenggorokan Velia. Tangannya naik dan refleks meremas rambut Lucas.

Seringai timbul di wajah Lucas. Mungkin Velia tak bermaksud, tapi respons yang ia berikan justru menyulut.

Memercik semangat yang membuat Lucas kembali meremas. Jemarinya bermain. Mengusap dan memutir puting yang lain tatkala giginya turut bermain.

Rasanya sakit. Jangan ditanya. Velia ingin mendorong Lucas, tapi tenaga pria itu bukan tandingannya. Menyingkirkan Lucas berada di luar kemampuannya.

"L-Luc."

Velia mengerjap. Berusaha bernapas, tadi udara justru tertahan ketika Lucas kian menjadi-jadi.

Gigitan.

Cubitan.

Semua datang silih berganti menyerbu payudara dan puting Velia. Menciptakan nyeri dan juga sensasi.

Velia tak berdaya. Di satu sisi, ia merasa tersakiti. Sayangnya, ada sisi lain yang justru tergugah oleh serbuan rayuan itu.

Lucas jelas tahu. Ia bisa melihat dengan jelas buktinya. Dari merah yang membias di pipi Velia. Dari napasnya yang terengah-engah. Pun dari kakinya yang kian gelisah.

"Ve."

Lucas meninggalkan sejenak payudara Velia. Ia naik dan menciptakan sedikit celah demi membelai sisi wajah Velia dengan punggung tangan.

Belaian Lucas membuat Velia waspada. Matanya menatap Lucas dengan takut-takut. Anehnya, tak ada gentar di sana.

Velia berusaha meredam ngeri. Ia balas menatap Lucas dan pria itu tersenyum.

"Aku ingin bercinta denganmu selama mungkin."

Sama sekali tidak menenangkan. Nyatanya senyum Lucas membuat Velia justru berhati-hati.

Senyum dan Lucas adalah dua hal yang tak pernah ditakdirkan bersama. Tatkala senyum selalu diartikan bentuk keramahan maka sebaliknya untuk Lucas. Itu adalah sinyal mengerikan yang tak akan pernah ingin dilihat oleh siapa pun.

"Sayangnya aku tak punya banyak waktu," lanjut Lucas seraya meraup rambut Velia. "Jadi kau bisa anggap ini adalah utang yang akan aku lunasi secepatnya."

Tuntas mengatakan itu, Lucas menarik rambut Velia sehingga kepalanya terdongak. Wajah Lucas turun. Mulutnya membuka. Ia tak ubah seperti seekor hewan buas yang menyasar pada nadi Velia.

Gigitan Lucas membuat Velia meronta. Namun, itu belum seberapa ketika tangan Lucas menangkup bokongnya dan meremas sekuat tenaga. Pun menutupnya dengan satu tamparan di sana.

Nafsu sudah mendidihkan otak Lucas. Kesadarannya menguap. Ia yang selalu mengesankan khalayak umum dengan label tenang dan terkendali sekarang justru tak mampu bersabar.

Lucas menurunkan ritsleting. Ia tak bisa menjeda walau sekadar untuk melepas pakaian. Terburu-buru dan tak ingin membuang waktu, ia mengarahkan kejantanannya yang telah menegang sempurna menuju kewanitaan Velia.

Tubuh Velia tegang. Lucas membuka kakinya dan tanpa aba-aba langsung menghunjam.

Kejantanan Lucas meluncur. Masuk. Membentur.

Velia memekik. Lucas tertawa. Beragam euforia membuatnya tak menghiraukan suara kesakitan itu.

Lucas melenyapkan pekikan Velia dalam ciumannya. Ia meredam semua dalam pagutan dan lalu bergerak.

Berbeda dengan semalam di mana Lucas terkesan pelan-pelan untuk menikmati, sekarang ia justru membabi buta. Ia cenderung kasar, kuat, dan cepat.

Velia tersengal. Hunjaman Lucas masuk sedalam mungkin dan mendesak. Tubuh rampingnya terdorong keras berulang kali. Ia tak berdaya tatkala Lucas mendorong tanpa ampun.

Lucas menggeram. Ia kian menahan tubuh Velia. Memeluk begitu erat dengan mulut yang tak henti-hentinya meracau. Pun terkadang melumat bibir Velia atau menggigit daun telinganya. Tanpa lupa mengisap lehernya yang jenjang.

Desahan Velia menggema. Menggelapkan mata Lucas. Melecut dan ia mempercepat gempuran. Menghunjam bertubi-tubi tanpa memberi pilihan lain untuk Velia, selain pasrah.

Ketidakberdayaan Velia memupuk ego Lucas. Umpan nyata bagi rasa percaya diri. Menerbitkan gelegak yang mendidihkan aliran darah.

Lucas menegang. Wajahnya mengeras. Tubuhnya berontak dalam gairah yang ingin meledak.

"Ve."

Geraman itu menyentak jantung Velia. Membuat kaku sekujur tubuh. Ia diam. Bergeming tanpa berani bergerak sedikit pun.

Tidak. Bukan hanya tak berani. Melainkan Lucas pun memastikan Velia tak bisa bergerak.

Tangan Lucas memerangkap tubuh Velia. Ia mengurung, memeluk, dan merengkuh.

Lucas menahan Velia. Dengan bobot tubuhnya, ia menekan dan melesak.

Kejantanan Lucas menghunjam dalam. Merangsek. Terus menyerbu dan mengacau pertahanan Velia.

Semua berantakan. Tak berbentuk. Hancur lebur. Luluh tak terperi tatkala kewanitaan Velia balas menjerat.

Tak ubah seperti lubang hitam yang mengisap. Menelan semua yang ada. Begitulah ketika pada akhirnya kekuatan Lucas melenyapkan dirinya sendiri.

Lucas pecah. Ia meledak dan semua yang dimiliki terperah. Segala yang ia punya tercurah.

Tak ada yang tersisa. Semua lenyap dan Lucas ambruk. Ia mendarat di tubuh Velia dengan napas berantakan.

Lucas butuh waktu. Kepalanya terasa pusing. Dunia seolah goyang dalam pandangan. Euforia itu benar-benar memabukkan.

"Percuma untuk berdusta, Ve."

Suara berat Lucas terdengar. Diiringi oleh pergerakan samar ujung hidungnya di sela-sela rambut Velia. Ia mengendus, menghirup aroma rambut Velia. Perpaduan sempurna wangi bunga dan juga keringat.

"Kau jelas-jelas menikmatinya."

Velia membuka mata. Tatapan kosongnya tertuju pada langit-langit. Ia tak bersuara dan merasa jijik untuk membalas perkataan Lucas.

Waktu berlalu. Hening dan tak ada yang bergerak di antara keduanya. Seolah keduanya butuh jeda untuk mendamaikan gejolak yang masih tertinggal.

Suara bel menarik perhatian Lucas. Ia bangkit dan segera menarik kembali ritsleting celana. Lantas keluar dari kamar tanpa memedulikan keadaannya yang berantakan.

Velia membuang napas panjang. Ia bangun dan berencana untuk turun dari tempat tidur ketika Lucas kembali masuk.

"Kenakan ini."

Lucas memberi sehelai gaun. Velia menyambutnya tanpa penolakan sama sekali.

"Bersiaplah. Setelah itu aku antar kau pulang."

*

Mobil mewah itu agaknya tersasar. Jalanan sempit di pemukiman masyarakat kalangan bawah jelas bukan lintasan yang tepat untuknya. Terlebih dengan keadaan rumah yang berdempetan dan lingkungan kumuh, entah apa yang akan dipikirkan oleh sang pengemudi.

"Kau tinggal di sini?"

Mobil berhenti di satu kontrakan kecil. Penumpang di dalamnya bertanya seraya mengamati tempat tinggal itu dengan kernyitan.

"Ya."

Suara Velia terdengar datar. Ia melepas sabuk pengaman dan memulas seuntai senyum yang tak mampu diartikan Lucas.

"Mengapa?"

Lucas meraih tangan Velia. Menahan sejenak keinginan wanita itu untuk segera beranjak.

"Apa yang terjadi denganmu, Ve? Mengapa kau tinggal di sini? Di mana rumahmu?"

"Rumah?" tanya Velia getir. "Inilah tempat tinggalku. Aku tak memiliki rumah atau apa pun."

Lucas diam.

"Mengapa? Apa kau jadi menyesal karena telah membuat perjanjian denganku?"

Menggeleng, Lucas menjawab tegas. "Tidak sama sekali."

"Kau harus tahu, Luc. Aku melakukan ini semua karena terpaksa. Untuk itu aku ingin meyakinkan sesuatu," lanjut Velia. "Apakah kau akan mendapatkan kembali pekerjaanku?"

"Kalau aku bisa memberimu uang sebesar lima ratus juta tanpa berpikir dua kali, mengapa kau masih menginginkan pekerjaan?"

Velia tak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Apa yang sebenarnya kau butuhkan?" balas Lucas bertanya pula. "Uang atau pekerjaan?"

"Pekerjaan."

Lucas terkesan dengan ketegasan Velia. Sayangnya itu tak cukup mampu untuk menyembunyikan geli yang terbit di sudut bibir.

"Untuk apa pekerjaan? Aku bisa memberimu uang kapan pun kau mau."

"Untuk apa?"

Velia menguatkan hati dalam hantaman malu yang menerjang. Tudingan hadir dan ia menganggap dirinya tak lagi berharga. Namun, ia mencoba bertahan untuk setitik harapan yang tersisa.

"Karena aku tidak ingin selamanya menjadi menjadi simpananmu."

Geli yang Lucas rasakan hilang seketika. Wajahnya mengeras. Urat bertonjolan di dahi dan ia butuh dua detik untuk membuang napas.

"Apa kau sempat membaca surat perjanjian yang kau tandatangani tadi, Ve? Apa kau sempat memerhatikan klausal waktu yang akan kau habiskan untuk melayaniku?"

Velia membeku jiwa raga. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kelalaian fatal. Seharusnya ia tak terbawa emosi dan menyetujui tawaran Lucas tanpa teliti.

"Kau."

Lucas terkekeh samar. Bukti nyata yang menyadarkan Velia bahwa seharusnya ia tak abai. Ia jelas tahu karakter pria itu.

Diam, tapi menghanyutkan. Tak bergerak, tapi menenggelamkan. Kerap menampilkan kesan tak tahu apa-apa, tapi nyatanya menyusun pergerakan yang tak pernah terduga.

Itulah Lucas. Seseorang yang teramat senang melihat keterkejutan di mata lawan bicaranya.

"Itu bukan kesalahanku. Kau terbawa emosi dan sedang tidak stabil. Kau terburu-buru menyetujuinya tanpa membaca semua yang tertulis."

"Apa yang tertulis di sana, Luc?"

Lucas mendeham sejenak dengan kesan santai. "Sejujurnya aku pun tak terlalu ingat. Kecuali satu hal."

Tangan Lucas naik. Jari telunjuknya membelai Velia.

"Selamanya kau menjadi wanitaku sampai aku sendiri yang melepasmu."

Velia membeku dan permainan jari Lucas berhenti. Sorot mata Lucas menajam. Penuh kesan intimidasi dan tanpa kedip sama sekali.

"Jangan pernah berharap kau bisa melarikan diri dariku lagi, Ve."

"Kau bajingan, Luc."

Lucas tak tersinggung dengan geraman Velia. Pun hanya menyeringai kecil ketika Velia meraih tas dan segera turun dari mobil tanpa mengatakan apa pun. Ia menunggu sejenak hingga Velia menghilang dari pandangan, kemudian barulah menyuruh Trio kembali melajukan mobil.

Tak terkira umpatan yang Velia rutukkan di dalam hati. Dalam langkah terburu-buru menuju kontrakan, ia terus menghujat Lucas.

Velia mengeluarkan kunci kontrakan. Berniat untuk segera masuk dan menenangkan diri, tapi satu tangan menahan pintu.

Adalah Nia orangnya. Yang tak hanya menghalangi Velia, alih-alih justru masuk ke dalam kontrakan tersebut tanpa permisi.

Di dalam, Nia menyeringai penuh arti melihat Velia. Gaun mahal yang Velia kenakan tak akan lepas dari tatapan awasnya.

"Wah! Aku lihat ada yang pulang diantar mobil mewah."

Velia diam. Ia tak berkutik.

Tawa Nia meledak. Namun, ia tampak acuh tak acuh.

"Sudah! Tidak perlu malu. Kalau ada pekerjaan mudah, mengapa kita harus mencari yang susah? Benar bukan?"

Velia tidak akan menjawab pertanyaan itu, melainkan ia justru mengatakan hal lain.

"Uang bulanan sudah aku transfer semalam, Bu."

"Tentu saja sudah kau bayar," kata Nia tersenyum."Ngomong-ngomong, aku ingin tahu sesuatu. Itu pelangganmu semalam atau pelanggan tetapmu?"

Kembali, Velia tidak akan menjawab. Mulutnya terkatup rapat. Namun, Nia tidak bodoh. Ia sudah paham seluk-beluk dunia itu. Hanya dari warna merah wajah Velia pun ia bisa menebak.

"Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi aku mendengar dari Sambo kalau kau juga sudah membayar cicilanmu bulan ini. Tak hanya itu, dia mengatakan kalau kau akan melunasi semua utang dalam waktu dekat. Jadi karena itulah aku heran," ujar Nia panjang lebar. "Tidak mungkin kau bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam satu malam yang singkat. Itu mustahil, Ve. Sekalipun kau secantik bidadari, tetap saja kau hanya wanita biasa. Kau bukan artis."

Velia bergeming. Tetap pada pendiriannya untuk tidak membalas apa pun.

Decakan Nia terdengar. Ia geleng-geleng kepala seraya menghampiri Velia.

"Aku bertanya dengan maksud baik, Ve. Aku tahu, kau belum berpengalaman soal ini."

Tak ingin, tapi perkataan Nia menyentil rasa ingin tahu Velia. Ia refleks bertanya.

"Apa maksud Ibu?"

Nia menyambar respons Velia dengan amat apik. "Jadi yang mengantarmu tadi adalah pelanggan tetapmu, benar?"

Seringai Nia melebar. Sekarang ia tak menunggu jawaban Velia dengan anggapan bahwa tebakannya tak meleset.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu. Apa pria itu menggunakan kondom?"

Velia merenung sejenak. Ia mencoba mengingat dan lantas menggeleng. Bayangan Lucas yang melempar kondom saat mengetahui bahwa dirinya belum tersentuh, muncul di benak.

"Astaga!" kesiap Nia dengan mata melotot. "Dia tidak menggunakan kondom? Kau tahu risikonya, Ve? Kau bisa terkena penyakit!"

"Dia bersih."

Jawaban cepat dan penuh keyakinan Velia melenyapkan syok Nia. Namun, tak lama.

"Oh, baguslah kalau begitu. Cuma ada satu hal penting lainnya. Apakah dia mengeluarkan spermanya di dalam perutmu?"

Sedetik setelah ia bertanya, Nia langsung berdecak berulang kali. Ekspresi Velia sudah menjawab pertanyaannya. Ia mencemooh dan mengolok Velia.

"Velia. Velia. Bagaimana bisa kau sebodoh ini?" tanya Nia tak habis pikir. "Kau tidak ingin hamil bukan? Oh, ya ampun. Lagi pula anak mana yang mau lahir dari hubungan seperti itu?"

Ucapan Nia benar. Sayangnya itu adalah hal yang nyaris dilewatkan Velia.

"Lebih baik kau segera ke dokter."

Nia bertepuk tangan tepat di depan wajah Velia. Menyentak wanita itu dari pikirannya.

"Kau bisa mendapatkan obat pencegah kehamilan. Jangan ambil risiko. Ini pekerjaan. Bukan hubungan yang memerlukan anak."

Nia menyadarkan Velia akan satu hal penting. Entah sadar atau tidak, sekarang Velia mengangguk mendengar saran Nia.

Benar. Aku tidak ingin mengandung anak Lucas. Tidak. Tidak akan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top