50. Tertangkap
"Halo, Boy. Kuharap kau ada kabar baik hari ini."
Boy diam. Ia tak langsung menyahut perkataan Rino, melainkan menatap lurus pada Adnan.
Sialan! Bajingan! Keparat kau!
Umpatan memenuhi benak Boy. Harga diri jatuh dan ia dipermalukan sedemikian rupa oleh Adnan.
Boy menggertakkan rahang. Sumpah serapah menggetarkan lidah menuntut untuk diucapkan. Sayangnya pergerakan tangan Adnan membuatnya menahan diri.
Adnan semakin menyodorkan ponsel pada Boy. Ia mendesak tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Boy? Halo, Boy? Kau di sana, Boy? Mengapa kau diam saja?"
Boy menarik napas dan bukan kelegaan yang didapat. Udara justru terasa panas membakar lubang hidung.
"Boy! Jawab aku! Sialan kau, Boy!"
Adnan sedikit menelengkan kepala. Wajah tanpa ekspresi itu seolah tengah memberikan keputusan akhir pada Boy.
"Pak."
"Astaga, Boy! Ada apa? Mengapa kau menghubungiku semalam ini? Aku harap kau benar-benar membawa kabar baik."
Tatapan Boy tak berpindah sedikit pun dari mata Adnan. Pun ketika ia menjawab pertanyaan tersebut.
"Saya sudah melakukan perintah yang Bapak suruh."
"Hah?! Perintah yang aku suruh? Apa maksudmu? Perintah yang mana?"
"Velia," jawab Boy cepat. "Saya sudah melaksanakannya."
"Sialan kau, Boy! Mengapa kau tidak mengabariku lebih cepat? Jadi bagaimana? Dia baik-baik saja bukan? Tidak ada luka?"
Adnan terus menatap Boy tanpa kedip. Matanya bukan lagi menyiratkan peringatan, melainkan ancaman.
"Keadaannya baik-baik saja, Pak. Seperti yang Bapak perintahkan. Tanpa ada luka sedikit pun."
"Bagus! Bagus! Di mana dia sekarang? Kebetulan aku sedang di luar, jadi aku akan segera ke sana."
Suara Rino memburu. Bahkan tarikan napasnya pun terdengar amat jelas.
"Dia bersama saya sekarang. Di rumah persembunyian saya."
"Di mana itu?"
"Saya akan mengirimkan lokasinya."
"Baiklah. Aku tunggu, Boy. Segera kirimkan lokasimu sekarang juga dan aku langsung ke sana."
Panggilan berakhir. Adnan memutuskan panggilan dan mengirim lokasi pada Rino. Setelahnya ia menyingkirkan ponsel.
Adnan bangkit. Ia pamerkan satu pisau lipat yang entah didapat dari mana.
Pisau lipat berputar di tangan Adnan sehingga membuat dada Boy naik turun gelisah. Namun, ia tak menunjukkan gentar sedikit pun.
Adnan beranjak dan memutari tubuh Boy yang sudah basah oleh keringat. Langkah berhenti tepat di belakang tubuh Boy dan pisau bergerak.
Boy menahan napas. Tanpa melihat ke belakang, ia bisa merasakan jelas dingin bilah pisau yang bergerak di tengkuk.
Tubuh Boy menegang dalam antisipasi untuk setiap kemungkinan yang bisa Adnan lakukan. Lalu yang terjadi adalah ikatannya melonggar.
Tangan Boy bebas. Ia meraba pergelangan tangan berulang kali sebelum melepas ikatan di kaki. Ketika ia terbebas sepenuhnya maka Adnan telah berdiri di hadapan.
"Kau bisa memilih antara aku dan Iwan."
Boy bangkit. "Aku sudah membantumu sialan!"
Seringai tipis muncul di wajah dingin itu. Adnan menatap Boy dengan mimik polos.
"Sayangnya aku tidak pernah berjanji untuk melepasmu begitu saja."
Suara tanpa emosi. Tak menyiratkan sedikit pun emosi. Adnan sukses membuat Boy menggertakkan rahang.
"Aku hanya menjalankan perintah Rino keparat itu dan aku sudah memancingnya ke sini!"
Boy tidak bodoh. Iwan atau Adnan adalah dua pilihan yang sama berbahaya. Ia bisa menilai keduanya bukanlah orang sembarangan. Berpura-pura lengah dan justru balik menjebak serta melumpuhkannya, tidak segampang itu untuk dilakukan.
"Maaf, Boy," ujar Adnan tenang. "Kau bisa mengatakan kalau kami juga hanya menjalankan perintah penyuruh kami. Kau hanya sedang bernasib sial karena perintah Rino membuatmu harus berhadapan dengan kami."
Situasi memang tak menguntungkan Boy. Ia tak punya pilihan dan memang harus melawan salah satunya.
Boy melirik Iwan cepat. Ia tampak lebih muda dari Adnan dan tengah tersenyum.
"Kali ini aku berjanji. Kalau kau bisa melewati satu di antara kami maka kau benar-benar akan lepas. Tidak ada dendam di masa depan karena kita sama-sama hanya orang sewaan."
Boy memandang Adnan penuh amarah. Ia bergeming dan bersiap. Kemarahannya benar-benar sudah menggelegak dan ia membentak garang, tepat sebelum tinjunya melayang menuju sopir Velia.
*
"Telepon dari siapa, Pa?"
Rino buru-buru melepas kedua tangan Angel dari tubuh telanjangnya. Ia bangkit dan meraih sehelai celana panjang di lantai.
Berniat untuk mengenakan celana, Rino justru merasakan ciuman Angel mendarat di pinggang. Ia refleks mendesah dan memutar tubuh.
Angel mengedipkan mata sekali. Ia berikan tatapan binal seraya merangkak telanjang di tempat tidur.
Rino menyambut godaan Angel. Ia meraup rambut Angel dan menyentak ke belakang sehingga kepala wanita itu terpaksa mendongak.
"Maafkan Papa, Angel," pinta Rino enggan. Tatapannya mengitari wajah cantik dengan sedikit sesal. "Papa ada urusan lain yang sangat mendesak."
Rino menuntaskan permintaan maaf dengan satu lumatan di bibir merah Angel. Ia menggeram. Kenikmatan menggema di dada Rino, terlebih ketika jemari Angel meraup kejantanannya yang telah melesu di bawah sana.
"Papa akan pergi sementara Papa sudah bayar all night malam ini?"
Rino menyeringai. "Tak apa. Anggap saja itu bonus untuk ini," ujarnya seraya menepuk bokong Angel. "Minggu depan Papa akan ke sini lagi."
Angel lantas duduk. Ia tersenyum sok manja seraya meremas kedua payudara dan menjulurkan lidah dengan menggoda.
"Angel akan berikan pelayanan ekstra untuk Papa minggu depan."
Tawa Rino berderai dan mulai berpakaian. Ia tak butuh waktu lama untuk bersiap, lantas langsung melajukan mobil sesuai dengan lokasi yang diberikan Boy.
"Oh, Velia. Akhirnya!"
Lidah Rino berulang kali membasahi bibir. Ia begitu gembira sehingga memukul kemudi sesekali.
"Akhirnya!"
Rino terbahak-bahak. Rasa tak sabar kian mendesak dan membuncah.
"Aku tidak peduli dia sudah jadi wanita simpanan siapa," ujar Rino menyeringai mesum. "Yang pasti adalah tubuhnya tetap menggiurkan."
Gelak Rino kian membahana. Tawanya terus menggema selama mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
"Kalau dia memang sudah menjadi wanita simpanan maka tentu saja sekarang dia sudah ahli memuaskan pria."
Bayangan erotis mengisi benak Rino. Hasilnya ada ngilu yang langsung melanda di bawah sana.
Rino meraba selangkangan. Gelenyar nafsu mulai menunjukkan tanda-tanda dan itu membuatnya tak sabaran.
"Aku sudah tidak tahan lagi ingin merasakan tubuh indah Velia."
Mobil Rino memasuki kawasan terpencil. Jalan kecil sehingga ia sedikit mengalami kesulitan. Sekeliling tampak gelap. Hanya ada pepohonan tinggi, suara binatang malam, angin dingin, dan langit gelap.
Rino menyipitkan mata tatkala melihat cahaya seadanya. Ia sedikit tak yakin bahwa itulah rumah tujuannya, tapi sayangnya tak ada bangunan lain di sana.
"Astaga! Rumah apa itu?" tanya Rino remeh seraya terus melajukan mobil. "Kelihatan menakutkan. Apa aku bisa membawa Velia keluar dari sana? Atau aku harus memperkosanya di sana?"
Mobil berhenti. Rino segera turun dan mengetuk sembari memanggil lirih.
"Boy, ini aku. Boy."
Pintu kayu sedikit berderit ketika terbuka. Rino mengerutkan dahi dalam pencahayaan seadaanya.
Satu wajah asing muncul. Ia tampak tersenyum ramah walau kaus putihnya terlihat kotor dengan bercak-bercak bewarna merah.
Rino tak menganggap penting akan keadaan. Ia berkata.
"Aku mencari Boy."
"Ah, mencari Boy," lirihnya dengan sikap hangat dan bisa menebak ke mana arah tatapan Rino. Ia mengusap kaus sekilas.
Rino mengangguk acuh tak acuh. "Di mana Boy?"
"Boy ada di dalam. Silakan masuk saja, Pak. Sepertinya dia terlalu lelah karena harus mengurusi seorang wanita."
Itu pasti Velia.
Semringah mekar di wajah Rino. Matanya pun berbinar-binar.
Aku datang, Veliaku.
"Silakan, Pak."
Rino masuk seraya mengelap kedua tangan yang berkeringat. Ia melewati satu ruang kosong dan terus melangkah sampai mendapati ruangan lain yang cenderung lebih luas. Sayangnya terlihat berantakan.
Apa aku harus menikmati tubuh indah Velia di tempat seperti ini?
Rino akan memikirkan hal tersebut nanti. Sekarang ada yang lebih penting dan membuatnya mengedarkan pandangan. Ia memanggil setengah berseru.
"Boy! Di mana kau?"
"Di sana!"
Rino terlonjak. Itu bukan suara Boy, melainkan suara seorang pria lain yang juga tak dikenalnya.
Mata Rino menyipit. Ia mencoba melihat sosok yang duduk di seberang sana. Dalam balutan pakaian yang berbeda dengan pria yang membuka pintu, yang satu ini justru mengenakan pakaian serba hitam.
Ada hal yang aneh yang membuat Rino bergeming. Sesuatu yang tak ia ketahui dan butuh waktu beberapa detik untuknya mampu mengabaikan tajam tatapan tersebut.
"Di mana tadi kau bilang Boy berada?"
Pria itu mengangkat tangan. Ia menunjuk satu titik di seberang ruangan dan Rino langsung mengikuti arah.
Sesosok tubuh terbaring di atas lantai. Ia tak bergerak dalam posisi menelungkup.
Perasaan tak enak hadir. Rino kembali melihat pada pria itu. Satu anggukan didapat Rino seakan mengatakan bahwa memang itulah sosok yang dicarinya.
Tubuh tegang. Kaki gemetar. Rino enggan, tapi entah mengapa ia justru mendekati tubuh tersebut.
Rino tekan rasa tak enak yang menyergap. Ia turun menjongkok dan membalik tubuh tersebut. Seketika matanya membelalak tak percaya.
"B-Boy."
Itu adalah Boy. Itu adalah orang yang ingin Rino temui. Sayangnya mereka tidak akan pernah benar-benar bertemu.
Sepasang mata Boy membuka tanpa ada sorot kehidupan. Ia menatap kosong dengan keadaan yang mengenaskan.
Hidung patah. Darah berceceran, sebagian ada yang mengering di wajah sementara ada pula yang mengalir keluar dari mulut.
Gemetar Rino memberontak. Ingatannya sontak tertarik ke belakang. Tepatnya beberapa menit yang lalu.
"Maafkan penampilan saya yang agak berantakan, Pak. Tadi ada sedikit urusan."
Pria berkaus putih dengan noda bewarna merah. Itu adalah darah.
Rasa tak enak Rino berganti cepat dengan kengerian. Dingin menjalari seluruh saraf. Ia berdiri takut-takut dan melihat pada kedua pria itu.
Mereka tak ubah gelap dan terang. Satu hitam sementara yang lain putih. Berwajah dingin tanpa ekspresi ketika yang lain justru tersenyum hangat.
"Bukankah Bapak ingin bertemu Boy?" tanya pria dengan senyum hangat. Ia mengelap kedua tangan satu sama lain. "Itu Boy."
Rino melangkah mundur, tapi kakinya berat. Kedua pria itu menghadirkan ketakutan tak kira-kira. Nyatanya sorot dingin dan senyum ramah itu sama mengerikan di mata Rino.
"S-siapa kalian?"
Suara bergetar. Keringat memercik dan bercucuran, mengalir deras sehingga tubuh Rino basah dalam sekejap mata.
"Ah, maaf. Kami memang tidak sopan. Seharusnya kami memperkenalkan diri terlebih dahulu," ujar pria berbaju putih. "Saya Iwan dan ini Adnan."
Rino meneguk ludah sementara berpikir. "A-aku tidak kenal kalian."
"Memang."
"A-aku sama sekali tidak ada hubungan dengan Boy."
Bicara cepat, jelas Rino tak ingin mengambil risiko. Sayangnya itu tak berguna.
Adnan mendengkus. Ia geli, tapi tak tertawa. Hanya Iwan yang tergelak seraya menyandarkan tubuh di dinding.
"Jadi mengapa kau datang ke sini kalau kau tak ada hubungan dengan Boy?" tanya Iwan lucu. "Bukankah kau sendiri yang mengatakan ingin bertemu Boy?"
Rino mengerjap. Keringat masuk ke mata dan menimbulkan perih.
"A-aku hanya menyewa jasa Boy. Tidak lebih. Hubungan kami hanya sebatas penyewa jasa. Jadi aku akan pergi."
Rino menguatkan diri dan memaksa kaki untuk melangkah. Ia berjalan tanpa berani melihat sedikit pun pada Iwan dan Adnan.
Langkah Rino terhalang. Iwan mengadang seraya memegang pundaknya.
"Kau tidak tahu? Boy mengalami itu karena menyewakan jasanya padamu."
Mata Rino membesar. "A-apa maksudmu?"
"Kau menyewa jasa Boy untuk mengganggu pekerjaan kami."
Rino panik. Ia sungguh tak menyukai aura menakutkan di balik senyum Iwan. Sesuatu di dalam senyuman itu membuatnya ketakutan setengah mati.
"S-siapa yang membayar kalian?"
Putus asa telah membayang. Satu-satunya jalan yang melintas di benak Rino adalah memberikan penawaran seharga keselamatan.
"Berapa dia membayar kalian? Aku akan membayar kalian dua kali lipat, tapi bebaskan aku. Aku benar-benar akan membayar kalian dua kali lipat!"
Kekehan berderai. Bukan berasal dari Iwan, melainkan Adnan. Ia yang sedari tadi selalu tenang dan terkesan datar menunjukkan ekspresi geli tak tertahan.
"Dua kali lipat dari yang Pak Lucas bayar pada kami?" tanya Adnan mendengkus remeh. "Memangnya kau sanggup?"
Rino tercengang. "Apa kau bilang? Lucas? Lucas siapa maksudmu?"
"Memangnya ada berapa Lucas yang kau kenal, Rino?"
Pertanyaan Iwan membuat dahi Rino mengerut. Ia mencoba mengingat.
"L-Lucas?" lirih Rino dengan suara amat samar berkat kengerian yang hadir telah menyiksa paru-paru. Ia sesak oleh rasa dingin mencekam. "Lucas Ferdinand?"
Iwan hadiahkan satu tonjokan ke perut Rino sebagai jawaban. Ia jatuh di lantai dengan tubuh menekuk menahan sakit.
Rintihan terlontar. Namun, tak lama. Selanjutnya Rino tak sadarkan diri.
*
bersambung ....
Hai! Sesuai dengan pengumuman aku di depan: cerita ini aku unpublish setelah tamat 1x24 jam
(*'∇')ノ
Jadi buat yang ga bisa baca endingnya, aku minta maaf. Walau demikian kalian bisa baca di KaryaKarsa, beli PDF atau novelnya (ノ*°▽°)ノ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top