5. Keputusan
Lucas mengenakan jas dengan ringkas. Memasukkan satu anak kancing dan merapikan penampilan sejenak, kemudian ia meraih tas kantor di atas meja. Pada saat itu terdengar satu ketukan pelan di pintu dan Vlora masuk.
"Aku baru saja akan keluar, Vlo," ujar Lucas seraya menyerahkan tas pada sang sekretaris. "Bagaimana? Jadwal tidak berubah bukan?"
Vlora menyambut tas kerja Lucas dan menjawab. "Tidak, Pak. Menurut kabar, Pak Majid sudah berada di hotel beberapa jam yang lalu. Pertemuan tetap dilakukan pukul enam ini di restoran hotel Fullman Batavia Park."
"Oke," angguk Lucas seraya melihat jam tangan yang menunjukkan pukul lima sore. "Sebaiknya kita pergi sekarang."
Lucas melangkah. Namun, dehaman ragu Vlora membuat ia berhenti seketika.
"Ehm, Pak."
"Ada apa?"
Vlora tampak tak yakin. "Ada yang ingin bertemu Bapak."
"Aku harus pergi sekarang, Vlo. Lagi pula sepertinya aku tidak punya janji temu apa pun sore ini."
Untuk urusan jadwal kerja Lucas, tentulah Vlora yang lebih mengetahuinya dibanding siapa pun. Namun, yang satu ini benar-benar membuatnya serba salah.
"Wanita itu mengatakan ada hal penting dan dia meyakinkan saya bahwa Bapak pasti akan menerima kedatangannya."
Lucas mengerutkan dahi. "Siapa?"
"Nona Velia, Pak," jawab Vlora seraya memindai respons sang bos. "Karyawati yang beberapa hari lalu menemui Bapak. Apa Bapak mengingatnya?"
"Velia. Velia."
Tanpa sadar Lucas melirihkan nama Velia berulang kali. Wajahnya menyiratkan tanda tanya.
"Mengapa dia mendadak datang lagi?"
Vlora menunggu sejenak, tapi waktu terus bergulir. Alhasil ia memberanikan diri bertanya.
"Bagaimana, Pak? Apakah Bapak ingin menemuinya?"
Kebimbingan tampak berkelebat di mata Lucas. Ia geram pada diri sendiri. Seharusnya ia mengusir Velia, bukan sebaliknya.
"Suruh dia masuk."
Vlora mengangguk paham. "Baik, Pak."
Lucas memutar tubuh. Berencana untuk duduk di sofa dan menunggu, ia mendengar suara pintu terbuka.
Itu pasti Velia. Demikianlah benak Lucas berkata dan langkah terhenti seketika. Ia membalikkan badan ketika Velia menutup pintu di balik punggung.
Velia melangkah dan mendekati Lucas tanpa ekspresi. Ia tak bicara sepatah kata pun ketika berhenti tepat di hadapan Lucas.
Dalam serbuan rasa penasaran akan alasan kedatangan Velia, Lucas menunggu. Ia tak mengatakan apa pun dan yang terjadi adalah sesuatu tak terduga.
Tangan Velia naik. Jari-jari tangan yang panjang nan lentik bergerak menuju dada. Perlahan, tapi pasti ia mengeluarkan tiap kancing dari lubang. Satu persatu dengan gerakan yang begitu lamban. Seolah ingin menyiksa sepasang mata Lucas yang membelalak melihatnya.
Lucas bergeming. Matanya tak berkedip tatkala kemeja bewarna merah muda itu membuka. Pemandangan sepasang payudara berisi tersaji dengan begitu menggoda.
Velia membiarkan kemeja lepas dari tubuh. Jatuh teronggok di lantai dan tangannya kembali bergerak. Kali ini menuju punggung.
Lucas tak bisa bernapas. Payudara itu terbebas dari bra hitam berenda yang menopangnya hanya dalam dua detik. Memamerkan sepasang puting kecokelatan yang membusung indah.
Masih hening. Baik Lucas ataupun Velia sama-sama tak ada yang bicara. Namun, Lucas tahu pasti apa yang diinginkan Velia.
*
Udara sejuk membuat Velia menggigil. Namun, ia tak bisa mundur. Setelah menyingkirkan kemeja dan bra, adalah rok yang sekarang menjadi tujuannya.
Tangan Velia menuju pinggul. Ia berniat untuk menarik turun ritsleting rok dan Lucas menghampirinya.
Lucas menahan tangan Velia. "Apa yang kau lakukan?"
Suara Lucas parau. Ia menunduk dan pandangannya tertuju pada payudara Velia yang terpisah jarak tak berarti darinya.
"Aku benar-benar putus asa, Luc," jawab Velia tak berdaya. "Apa pun akan aku lakukan sekarang."
Rahang Lucas mengeras. Mata tajamnya menggelap seolah ingin mengiris tubuh Velia.
"Apa ini yang kau lakukan setelah sekian lama tidak bersamaku? Menjual dirimu?"
Terlepas dari penawaran yang pernah diberikannya tempo hari, Lucas tak percaya bila Velia benar-benar akan melakukan hal tersebut. Ironisnya, Velia pun demikian.
"Aku bisa memastikan kalau ini adalah pertama dan terakhir kalinya."
Suara Velia terdengar tak gentar. Ia sudah terdesak ke tepi jurang keputusasaan. Ketakutannya telah hilang tergantikan kenekatan.
"Asal kau tau, Luc. Aku melakukan ini semua karena terpaksa. Aku harus membayar utang."
Gelap di mata Lucas memudar. "Apa yang terjadi padamu?"
"Bukan urusanmu," jawab Velia langsung. "Intinya apakah kau akan melakukan yang kau katakan?"
Perhatian Lucas tersita sejenak tatkala Velia menarik napas dalam-dalam. Payudaranya bergerak lembut nan sensual dan itu godaan yang tak mampu ditampik Lucas.
"Apa?"
"Mengembalikan pekerjaanku bila aku memberikan diriku padamu."
Lucas tak langsung mengiyakan perkataan Velia. Alih-alih ia justru mengelus puting Velia dengan buku jari. Ia kirimkan gelenyar yang membuat Velia merinding, lantas menggeram.
"Kenakan pakaianmu."
Mata Velia membulat. Namun, Lucas kembali bersuara sebelum ia bicara.
"Ikut aku pergi."
Velia tahu. Lucas menerima tawarannya.
Selang sepuluh menit kemudian, Velia dan Lucas berada di dalam mobil yang melaju. Lucas memasang sekat pembatas demi menciptakan privasi untuknya dan Velia. Semua pembicaraan mereka tak akan didengar Vlora. Pun oleh Trio—sang sopir.
"Jadi ..."
Suara Lucas terdengar. Ia melirik dan melihat Velia yang meremas kedua tangan.
"... sekarang kau ingin menjadi pelacur?"
Velia meneguk ludah. "Kalau aku hanya melayanimu maka aku tak bisa dikatakan pelacur."
Lucas menyeringai. Velia membalikkan kalimatnya tempo hari.
"Kau ingin dibayar berapa?"
Pertanyaan Lucas membuat Velia refleks menoleh. Ia terlihat syok dan Lucas enteng saja bertanya.
"Kau tidak melakukannya gratis bukan? Atau hanya cukup dengan mengembalikan pekerjaanmu?"
Demikianlah niat awal Velia. Namun, ia tak bisa membiarkan kesempatan pergi begitu saja. Bila ia harus menanggalkan harga diri, setidaknya itu harus setimpal.
"Tentu saja," jawab Velia menguatkan hati. Dalam benak, ia menghitung cepat. "Aku ingin sepuluh juta, Luc."
Lucas melotot. "Sepuluh juta untuk wanita yang baru mencoba untuk melacur? Ck. Yang benar saja!"
Wajah Velia memerah. Itu jelas adalah penghinaan yang nyata.
"Aku hanya perlu menambahkan beberapa juta dan aku bisa menyewa artis!" tukas Lucas. "Kau pikir kau sehebat apa?" Ia berdecak dan geleng-geleng kepala. "Tidak. Lebih baik kau cari dan rayu orang lain saja."
"Luc!"
"Kau keterlaluan memasang hargamu! Aku juga tidak tahu kesehatanmu. Oh, ini terlalu berisiko. Kau harus tahu, Ve. Aku memang antusias melihat dirimu, tapi itu di awal. Setelah beberapa kejadian terakhir, aku justru merasa sebaliknya."
Penolakan berbalut cemoohan Lucas membuat Velia panik.
"Setibanya kita di hotel nanti, silakan kau langsung pergi saja," lanjut Lucas mendengkus. "Aku sudah tak berminat lagi."
Lucas membuang muka. Tak lagi melihat Velia dan ekspresinya menunjukkan ketidaktertarikan yang nyata.
Tidak.
Lucas adalah satu-satunya harapan Velia. Menyedihkan, tapi ia lebih baik menjual dirinya pada Lucas sekali dibandingkan harus berpindah dari satu pria ke pria lain di kelab malam.
Bayang mengerikan itu mengaburkan akal sehat Velia. Kian terdesak dan tak akan melepaskan kesempatan terakhir, ia menyambar tangan Lucas. Ia menarik Lucas dan meraih tengkuknya.
Lucas kaget. Nyaris terkesiap, tapi satu permukaan lembut jatuh tepat di bibirnya. Melenyapkan semua kemungkinan seruan kaget yang bisa saja ia lontarkan.
Mempertahankan Lucas sekuat tenaga, Velia memejamkan mata. Ia menekan bibir Lucas dan perlahan melumat.
Mata Lucas membola. Jantungnya tersentak.
Velia gemetaran. Lucas jelas merasakannya. Ada kesan takut-takut dan ciuman itu terasa kaku. Anehnya, sentuhan itu sukses membuat darahnya berdesir.
Sekali, Lucas mengerjap. Ia menarik napas dan menyambut ciuman tersebut.
Velia kaget. Bukan hanya balasan ciuman yang ia dapatkan, alih-alih lebih dari itu.
Tangan Lucas yang kokoh dan besar meraih lekuk feminin pinggang Velia. Menarik gadis itu sehingga merapa erat padanya.
Lucas balas menekan bibir Velia dengan penuh penuntutan. Ia melumat dan memagut hingga Velia kewalahan. Pun menggigit dan Velia menjerit kecil.
Jeritan lenyap tatkala Lucas menyusupkan lidah ke celah bibir Velia. Ia menerobos dan mencari-cari kehangatan di sana.
Lidah bertemu lidah. Menyapa. Membelai.
Velia gelagapan. Lucas mengisap lidahnya dan menyentak Velia dalam sensasi asing yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Hasrat bergolak. Lucas tak mampu menahan diri. Ia meraih pinggang Velia dan mengangkat tubuh ramping itu.
Lucas mendudukkan Velia di pangkuan. Tangannya bergerak menyusuri tiap kaki jenjang Velia. Menarik dan mempertahankannya agar tetap membuka di kedua sisi.
Posisi itu mengenyahkan tiap jarak. Lucas menahan punggung Velia dengan satu tangan sementara tangan lainnya meraih jemari Velia.
Lucas membawa tangan Velia menuju bukti gairahnya yang sudah menegang. Velia tersentak dan ciuman terputus.
Napas Velia tercekat. Perasaan asing hadir dan ia menyadari betapa intimnya mereka.
Bibir Lucas bergerilya. Lepas dari ciuman Velia tak jadi masalah tatkala Lucas bisa menikmati garis wajahnya.
Jejak basah tercipta berkat bibir Lucas yang membuka. Kehangatan berpindah. Melata pelan-pelan turun ke leher jenjang Velia.
Lucas berhenti. Ia menghirup aroma manis Velia dalam-dalam.
Tubuh Velia bereaksi. Jemarinya meremas lengan atas Lucas.
Sisi jantan Lucas terpicu. Gairahnya meletup dan ia hujani leher Velia dengan kecupan-kecupan hangat.
Velia sesak. Dadanya naik turun.
Lucas kian gelap mata. Satu tangannya naik, mendarat di atas payudara Velia. Ia meremas dan Velia pun mengerang.
Velia langsung menggigit bibir bawah kuat-kuat. Bertahan agar tidak kembali mendesah, tapi agaknya Lucas tak melewatkan suara sensual tersebut.
Remasan Lucas berhenti. Sekarang ia menyasar pada kancing kemeja. Melepasnya satu persatu dengan terburu.
Lucas hanya sanggup bersabar hingga kancing ketiga. Di saat kemeja cukup membuka demi menampilkan gundukan payudara lembut Velia, ia segera menundukkan wajah.
Jeritan tertahan Velia menggema tatkala Lucas menggigit payudaranya. Lucas menggeram dan ia menangkup bokong Velia.
Lucas menarik Velia untuk kian mendekat. Kian melekat sehingga Velia bisa merasakan nyata bukti gairahnya.
Dunia Lucas berputar-putar. Dirinya mengancam akan meledak. Akal sehat hilang dan tangannya menyusup ke balik rok Velia.
Velia melirih dengan suara rendah. "Luc."
"Astaga, Ve," bisik Lucas hangat seraya meraba paha Velia. "Aku bisa menelanjangimu di sini sekarang juga."
Velia meneguk ludah. Tubuhnya merinding, panas, dan gelisah dalam waktu bersamaan. Ia tegang dalam kesan asing tatkala jemari Lucas bergerak di dalam rok.
"Pak, kita sudah sampai."
Tangan Lucas berhenti. Suara itu menarik kembali kesadaran Lucas.
Lucas kembali pada kenyataan. Fakta menyadarkannya di mana mereka berada saat itu. Tempat yang sangat tidak tepat. Pun di waktu yang tak tepat pula.
"Sial."
Lucas tak mampu menahan umpatan. Kabut gairah benar-benar membutakan sehingga ia tak sadar bahwa mobil telah berhenti melaju sedari tadi.
Napas Lucas berantakan. Begitu pula dengan Velia. Ia kacau dan wajah putihnya merona.
Lucas menggertakkan rahang. Pemandangan Velia membuat selangkangannya terasa nyeri.
Mereka butuh waktu sejenak demi menenangkan diri. Ada gairah yang harus dipadamkan.
"Sepuluh juta?"
Lucas menarik tangan dari dalam rok Velia. Pindah, ia membelai rona malu di pipi Velia dan berkata.
"Berikan rekeningmu pada Vlora. Dia akan mentransfer uangnya."
Mata Velia membesar. "K-kau?"
"Aku akan meminta Vlora untuk memesan satu kamar," lanjut Lucas meneguk ludah. "Aku ingin kau siap ketika aku sampai. Sekitar jam delapan. Tanpa memakai apa pun lagi."
Velia membeku. Lucas menatap lekat dan menuntaskan semua dalam satu kalimat.
"Aku harus memastikan tubuh yang aku sewa malam ini."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top