49. Pancingan
Velia bergegas ketika mendengar suara pintu apartemen terbuka. Ia baru saja selesai menyiapkan makan makan. Beruntung dirinya tepat waktu untuk segera mandi dan mengenakan sehelai gaun malam bewarna merah.
"Luc!"
Sambutan dan seruan Velia membuat Lucas sedikit kaget. Namun, sedetik kemudian adalah keterpanaan yang memaku tatapan Lucas.
Velia terlihat cantik. Ia berdandan dengan amat apik malam itu.
"Kau sudah pulang."
Velia menghampiri dan mengambil alih tas kerja, berikut melepas jas Lucas. Sikapnya membuat Lucas mengerutkan dahi.
Ada yang aneh. Lucas merasakan sesuatu berbeda. Velia memang kerap menyambut kepulangannya, tapi ada kesan lain yang didapat.
"Ada sesuatu yang aku lewatkan?" tanya Lucas bingung, terlebih ketika dilihatnya Velia tersenyum. "Ada apa, Ve?"
Keduanya beranjak menuju kamar. Selama perjalanan singkat itu Lucas merasa kian penasaran. Sikap Velia sunggu membuatnya bertanya-tanya.
Velia menaruh tas kerja dan jas di tepi tempat tidur, lalu berdiri di depan Lucas. Ia melepas dasinya lembut dengan tatapan berbinar.
"Aku tadi pergi melihat rumah itu."
Rasa penasaran dan beragam tanda tanya menghilang seketika tadi benak Lucas. Seharusnnya ia tak merasa heran untuk sikap Velia. Sayang ada sesuatu yang menyita pikiran sehingga ia nyaris melewatkan hal tersebut.
"Lantas?"
Dasi mendarat di tempat tidur. Sekarang Velia menyasar pada kancing kemeja. Ia mengeluarkannya satu persatu.
"Itukah penyebab senyum tanpa henti ini? Kau terlihat sangat berseri-seri."
Senyum Velia langsung tergantikan kekehan kecil. Jemarinya yang sedang berjibaku pada kancing terhenti sejenak, tertahan di dada Lucas.
"Ehm," deham Velia penuh irama. "Rumah itu bagus."
Lucas menatap Velia dengan berbinar-binar. Tawanya sungguh menghipnotip sehingga Lucas kembali terpana.
"Benarkah?"
Velia mengangguk dan jemarinya kembali bekerja. "Persis seperti yang kau katakan. Kau tidak melebihkan apa pun ketika menceritakan keadaannya."
"Aku sudah mengatakannya. Kau saja yang tak percaya."
Pipi Velia memerah. Ia tersipu malu dan mengulum senyum.
"Semua asisten rumah tangga di sana ramah. Ah! Aku tak tahu kalau kau sudah mengabari mereka kalau aku akan datang."
"Tentu saja mereka harus tahu kalau kau akan datang. Jadi apa yang mereka lakukan?"
Velia menarik kemeja Lucas dari lingkaran pinggang celana. Ia mendorong kemeja dari bahu Lucas.
"Mereka menyiapkan hidangan untukku," jawab Velia antusias. "Ketika aku dan Iwan datang, mereka langsung mengajakku ke ruang makan. Ada banyak makanan enak yang mereka siapkan untukku."
Kemeja Lucas turut mendarat di tempat tidur. Sekarang Velia menarik ikat pinggang Lucas.
"Jadi kau ingin mengatakan kalau kau makan-makan bersama Iwan?"
Velia mengulum senyum. Nada suara Lucas menyiratkan bahwa semua baik-baik saja. Lucas tidak marah atau cemburu, melainkan sebaliknya. Ia justru menggoda.
"Tidak secara harfiah. Sebenarnya Iwan makan di dapur, tapi ..."
Senyum Velia berubah geli. Ekspresinya tampak lucu dan menggemaskan di mata Lucas.
"... mungkin ya. Aku dan Iwan memang makan bersama."
Lucas menyeringai. "Kau kejam sekali padaku."
Tawa Velia berderai. Mata menyipit Lucas memberikan kesan tambahan yang membuat perutnya tergelitik.
"Bukan hanya itu. Apa kau tahu? Mereka mengajakku berkeliling setelah makan, melihat seisi rumah."
"Jadi?"
Tawa dan geli berangsur pergi. Semua menghilang ketika Velia menatap Lucas lekat. Ada ketakjuban yang memancar di sana.
"Itu indah sekali, Luc."
Ingatan memenuhi benak Velia. Ia ingat persis dan tak melupakan setiap detail yang membuatnya terkesima.
"Semua persis seperti yang kau tunjukkan di foto. Banyak jendela yang terbuka. Cahaya matahari sore masuk dan membuat cerah seisi rumah. Selain itu," ujar Velia dengan satu ingatan yang paling berbekas. "Aku melihatnya."
Lucas memasuki bening manik Velia. Ia menyelam dan bersumpah bahwa ada kolam bunga yang menyambut di dalam sana.
"Apa yang kau lihat?"
"Satu tempat itu."
Lucas pernah mengatakannya ketika ia memamerkan foto-foto rumah itu pada Velia. Ada satu tempat yang tidak ditunjukkan Lucas. Ia ingin Velia melihatnya sendiri.
"Katakan padaku apa yang kau lihat."
Velia mengerjap. Bahkan ketika sudah berjam-jam berlalu, pemandangan itu terasa masih nyata ada di depan mata.
"Ada taman mawar di sisi rumah. Bunganya sedang bermekaran dan itu cantik sekali."
"Aku yakin mawar-mawar itu memang cantik."
Velia terdiam sejenak. Untuk sesaat, ia tak bicara. Agaknya tak ada kata yang bisa mewakili perasaan dan hanya tatapan yang bisa mewakili.
"Terima kasih, Luc."
Ada banyak ragam dan rupa rasa yang terpancar di mata Velia. Bahagia, haru, dan semua emosi yang tak pernah Lucas lihat sebelumnya.
"Kau selalu berusaha membahagiakanku."
Lucas tersenyum dan menangkup pipi Velia. "Alasannya sederhana. Melihatmu bahagia adalah hal membahagiakanku."
Velia menggigit bibir bawah. Ucapan Lucas meremas jantung dan menghadirkan gejolak tak terduga.
"Hanya saja."
Senyum lembut Lucas berganti kuluman geli. Ia menarik kernyitan timbul di dahi Velia.
"Ada apa?"
Lucas menunduk. Tatapannya tertuju pada satu titik di bawah sana. Ia bertanya.
"Kau tidak bermaksud untuk berterima kasih dengan mengajakku bercinta bukan?"
Velia mengerjap. "A-apa?"
"Bukannya apa, tapi kedua tanganmu masih di pinggang celanaku dan tidak pindah dari tadi."
Velia mendapati kebenaran ucapan Lucas. Ia sontak melepas tangan dengan wajah memerah. Persis semerah gaun malam yang dikenakannya.
"Ah, maaf."
Lucas tertawa dan memeluk Velia erat. Tangannya mengusap seraya mengecup puncak kepala Velia.
"Kau sudah menyiapkan makan malam? Atau kau tidak menyiapkannya karena sudah makan bersama Iwan tadi?"
Cubitan kecil di perut membuat tawa Lucas makin meledak. Velia cemberut dalam pelukan Lucas.
"Aku sudah menyiapkan makan malam."
"Oh, syukurlah," lirih Lucas geli seolah-olah merasa lega. "Pergilah duluan ke ruang makan. Aku akan mandi dan segera menyusul."
Pelukan terurai. Velia keluar tanpa lupa menutup pintu.
Lucas segera ke kamar mandi dan membersihkan diri dalam waktu terbilang singkat. Ia mengenakan celana santai dan kaus oblong.
Tak butuh waktu lama untuk Lucas selesai. Ia berniat segera ke ruang makan, tapi dering ponsel menghentikan langkahnya.
Lucas meraih ponsel dan mendapati bahwa itu adalah telepon yang telah ditunggunya sedari tadi. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Adnan. Bagaimana?"
"Semua sudah beres. Dia bersama kami sekarang."
Lucas membuang napas seraya becermin. Ia mengusap dagu dan merasakan kasar di sana.
Aku lupa bercukur.
Bakal cambang menunjukkan tanda-tanda akan tumbuh kembali. Lucas mengingatkan diri untuk bercukur esok pagi.
"Lakukan seperti yang kalian inginkan. Aku ingin mereka bisa reuni malam besok."
"Baik, Pak."
Lucas beranjak keluar kamar setelah panggilan berakhir. Ia menuju meja makan dan mendapati Velia telah menunggu.
Velia menyajikan piring Lucas. Mereka menikmati makan malam dengan atmosfer bagus yang mengelilingi. Pun percakapan ringan turun menghiasi.
"Ada yang ingin kau katakan, Luc? Aku melihatmu seperti ingin mengatakan sesuatu."
Lucas menggeleng. "Tidak ada."
Sayangnya Velia menangkap kesan sebaliknya dari mata Lucas. Ada sorot tak biasa yang membuat Velia menebak bahwa ada yang ingin dikatakannya.
"Aku hanya sangat senang karena masih melihatmu sampai sekarang?"
"Maksudmu?" tanya Velia sedikit bingung. "Aku tidak pergi ke mana pun. Terutama kalau ada Iwan."
Lucas berdeham sekilas dengan kesan tak yakin. "Kau mungkin memang tak pergi ke mana pun, tapi siapa yang tahu kalau ada orang-orang yang mungkin ingin membawamu pergi dariku."
"Membawaku pergi darimu? Kau membuatku bingung, Luc."
Lucas tertawa. Sendok dan garpu di tangan kembali bergerak.
"Mungkin itu tanda bahwa aku perlu tambahan porsi."
Velia mendengkus geli dan memberikan pada yang Lucas inginkan. Ia sama sekali tidak sadar bahwa dirinya baru saja lepas dari mara bahaya yang mengintai.
*
Boy mengerjap. Silau cahaya benderang membuat kesadarannya kembali. Ia membuka mata.
Setidaknya ada dua hal yang langsung Boy tangkap ketika sadar dari pingsan. Yang pertama adalah dirinya terikat kuat di sebuah kursi besi. Ia tak bisa berharap bisa melepaskan diri dengan mematahkannya seperti kursi kayu.
Hal kedua adalah Boy merasa nyeri di wajah. Itu pastilah berasal dari tulang hidungnya yang patah karena tonjokan.
Sial!
Boy ingat jelas bahwa dirinya ditonjok tiba-tiba. Pelakunya adalah pria yang sekarang duduk di hadapan. Ia menyiratkan kesan dingin tatkala menatap.
"Siapa kau?!"
Bentakan murka Boy tak berarti apa pun untuk pria itu. Ia tetap tenang bahkan ketika Boy berusaha melepaskan diri.
Boy kian murka, tapi sesuatu membuatnya tertegun. Ia terlambat menyadari hal ketiga. Yaitu, ia sekarang berada di rumah persembunyiannya.
Bangsat!
Boy menggertakkan rahang. Matanya menyiratkan amarah tak kira-kira.
"Matikan lampu itu, Wan."
Suara pria itu terdengar. Datar dan terkesan tanpa emosi sedikit pun.
"Terlalu silau. Lagi pula dia sudah sadar."
Lampu menyilaukan padam seketika. Ia sisakan penerangan normal sehingga Boy lebih mudah melihat kedua orang pria di hadapannya.
Bergantian. Tak akan salah mengingat.
Boy jelas mengetahui keduanya. Mereka adalah sopir Velia dan tukang ledeng.
"Tukang ledeng keparat kau!"
Dengkusan meluncur. Topi terangkat dan satu seringai tampak.
"Adnan. Namaku Adnan."
Seperti Boy masih peduli saja dengan nama pria itu. Ia mengumpat tak jelas dan menyentak kursi walau percuma. Tali menahan dirinya dengan amat kuat.
"Kita bisa melakukannya dengan cara mudah atau sulit," kata Adnan sembari menyandarkan punggung. "Tergantung kau ingin menjalani yang mana. Hanya saja aku pastikan bahwa kau akan menuruti perkataanku terlepas dari cara apa yang kau pilih."
Boy meludah dengan sikap menantang. "Menurutimu? Lepaskan aku dan kita lihat, apa kau masih bisa mengancamku seperti itu?"
Adnan tenang, sedikit pun tak terpengaruh oleh pancingan Boy. Pun umpatannya seolah angin lalu saja.
"Dasar kalian pengecut!"
"Jangan membicarakan diri sendiri, Boy."
Boy berpaling. Ia lihat sopir Velia yang membalas perkataannya.
"Apa yang kami lakukan belum sebanding dengan perbuatanmu," lanjut Iwan dengan ekspresi geli. "Bagaimana bisa kau selama ini berusaha menculik seorang wanita?"
Pertanyaan Iwan menohok Boy. Satu kemungkinan melintas dan membuatnya beringas.
"Siapa kalian sebenarnya? Apa kalian kaki tangan Velia?!"
Adnan menampilkan mimik penuh simpatik. "Ssst. Jangan membuang tenagamu sia-sia untuk hal percuma, Boy. Lebih baik kau ikuti perkataan kami."
Wajah mengeras. Boy menggertakkan rahang. Ia jelas sadar bahwa posisinya sekarang tak menguntungkan sama sekali.
"Apa yang kalian inginkan."
"Sederhana," jawab Adnan. "Kami tahu kalau kau hanyalah pesuruh. Kau melakukan apa pun demi uang. Sayangnya nasibmu sial karena harus berurusan dengan kami."
Ucapan Adnan benar sepenuhnya. Ia hanya seorang pesuruh dan bekerja sesuai permintaan penyewa jasa. Hanya uang yang penting.
"Kita selesaikan ini semua dengan mudah."
Adnan mengeluarkan ponsel dari saku dalam jaket dan mata Boy membelalak. Itu adalah ponselnya.
"Kau perlu tahu kalau tempatmu sudah kami bersihkan," sambung Iwan. Ia melihat sekeliling sebelum kembali pada Boy. "Ternyata kau termasuk pekerja yang berhati-hati. Semua rekaman percakapan dan riwayat pekerjaan tersimpan rapi."
"Kalian."
Geram Boy tak terkira lagi. Wajahnya telah kelam penuh amarah.
"Tenang. Kau tak perlu khawatir. Kami tidak mengusik yang tak dibutuhkan. Kami hanya mengambil yang kami butuhkan."
Ucapan Adnan sama sekali tidak menenangkan Boy, justru sebaliknya. Alarm peringatan menyala dan ia tahu bahwa itu bukanlah hal baik.
"Jadi aku ingin kau hubungi Rino sekarang juga kalau ingin selamat."
Mata merah Boy menatap bergantian pada Adnan dan Iwan. Sorotnya memancarkan kemarahan yang siap meledak. Ia tak terima dipecundangi.
"Jangan sampai kau menyesali pilihanmu, Boy. Kau tahu bukan? Manusia hanya memiliki satu nyawa."
Boy menggemeletukkan gigi. Berat, harga diri dipertaruhkan. Sayangnya desakan Adnan menyadarkan bahwa ia tak memiliki pilihan lain.
"Apa yang kau ingin aku katakan padanya?"
Adnan menyeringai seraya menekan kontak Rino. "Ternyata kau lebih pintar dari yang aku bayangkan. Aku ingin kau menyuruhnya ke sini."
Tatapan Boy tertuju pada Adnan tanpa kedip. Panggilan tersambung dan mereka sama menunggu.
"Halo, Boy. Kuharap kau ada kabar baik malam ini."
*
bersambung ....
Ga sabar mau baca lanjutannya? Tenang. Versi tamat sudah ada dalam bentuk PDF dan KaryaKarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top