48. Terjebak
Lucas berjalan mantap dengan punggung tegap. Ia lewati lorong dengan diikuti Vlora. Keduanya menuju pada ruang pertemuan Departemen Pengembangan dan Perencanaan.
Vlora mempercepat langkah ketika Lucas justru berhenti. Sang sekretaris membuka pintu dan menyilakan Lucas untuk melangkah masuk terlebih dahulu.
Kehadiran Lucas membuat keriuhan berubah hening seketika. Semua peserta rapat berhenti bicara. Demikian pula pemateri yang tak lain adalah Rino.
Semua mata menuju Lucas. Mereka bertanya-tanya perihal kedatangan pria itu. Rapat internal departemen tidak cukup mewah untuk dihadiri seorang direktur utama.
"Silakan dilanjutkan. Saya hanya ingin mampir sebentar melihat rapat kalian."
Rapat berlanjut. Rino kembali memberi presentasi walau rasa penasaran masih menggelayuti benak.
Lucas duduk dengan tenang. Tatap matanya tertuju lurus pada Rino. Nyaris tak berkedip, ia sukses mengubah rasa penasaran Rino menjadi rasa tak enak.
Bukan hanya Rino yang menyadari hal tersebut, melainkan semua peserta rapat. Sikap dan aura yang menguar dari Lucas menerbitkan rasa tak nyaman. Mereka gelisah dalam harapan agar rapat segera selesai.
"Seperti yang saya duga. Pak Rino memang salah satu karyawan saya yang potensial."
Pujian Lucas tak ubah angin segar yang membuat Rino menghela napas panjang. Ketegangannya berangsur menghilang. Ia coba tersenyum seraya mengedarkan pandangan pada peserta rapat.
"Hanya saja ..."
Senyum dan kelegaan Rino terjeda. Suara Lucas menyiratkan sesuatu.
"... saya ingin Bapak selalu ingat pada siapa Bapak bekerja sekarang."
Rino mengerjap bingung. Perasaan tak enak yang sempat hilang sontak hadir kembali.
"Kerjakan yang memang menjadi tanggung jawab pekerjaan Bapak," lanjut Lucas seraya menatap Rino tanpa kedip. "Jangan melakukan hal lain yang justru bisa berakibat fatal bagi Bapak."
Kengerian hadir. Rino gemetar dengan keringat dingin yang memercik di dahi.
"M-maaf, Pak. Apa saya ada melakukan kesalahan?"
Lucas menatap tanpa kedip. "Bapak tahu pasti kalau saya tidak pernah memberi kesempatan kedua dan sejujurnya saya malas harus mencari orang baru untuk mengisi posisi Bapak. Jadi saya harap Bapak perhatikan saja apa yang Bapak lakukan."
Keringat mengalir di sisi wajah Rino. Ia tak bisa bicara. Untuk sekadar bertanya alasan Lucas bicara demikian pun ia tak sanggup. Lidah kelu dan tubuhnya kehilangan tenaga.
Lucas bangkit dan Rino memanfaatkan kesempatan singkat untuk melayangkan tatapan tanda tanya pada Vlora. Sayangnya sang sekretaris hanya menyunggingkan senyum tipis.
Vlora segera membuka pintu untuk Lucas. Mereka berdua pergi dan meninggalkan keriuhan di ruang rapat. Bisik-bisik langsung muncul ke permukaan.
"Pak Rino! Apa kau ada melakukan sesuatu akhir-akhir ini?"
Rino menyambar sebotol air mineral dan meneguk isinya dengan rakus. Ia minum tergesa sehingga air justru berceceran di mulut.
"Tidak," geleng Rino. "Kalian tahu aku sangat berhati-hati dengan pekerjaanku. Tidak mungkin aku ingin melakukan kesalahan sedikit pun."
"Pak Lucas terlihat sangat serius."
"B-beliau marah."
Rino kembali meneguk minum. Kekhawatiran para rekan kerja membuatnya tak bisa tenang. Tak perlu diperjelas, ia pun merasakan kemarahan Lucas. Sang direktur utama seperti tengah memberi peringatan padanya.
Apa kesalahan yang telah aku lakukan? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun.
Sementara itu di luar, Lucas membuang napas panjang saat melintasi lorong. Ia dan Vlora masuk ke lift.
"Aku tidak ingin melakukannya, tapi sepertinya kau bisa bersiap dari sekarang."
Vlora melirik Lucas yang berdiri di depan. "Maaf, Pak. Apa yang perlu saya siapkan?"
"Beberapa nama yang tepat untuk menggantikan Rino."
Vlora mengerjap sekali. Syok, tapi bekerja nyaris dua tahun bersama Lucas membuatnya terbiasa menjaga ekspresi.
"Sepertinya tak lama lagi posisi itu akan segera kosong."
Lift berhenti bergerak. Vlora mengangguk sebelum pintunya membuka.
"Akan saya laksanakan, Pak."
*
Velia keluar dari lift khusus dan menuju ruangan Lucas siang itu. Tepat sesuai keinginan Lucas beberapa menit yang lalu melalui pesan singkat. Lucas ingin menikmati makan siang bersama dan ia tak keberatan sama sekali.
"Selamat siang."
Velia memberi sapaan sopan pada Vlora dan mendapatkan balasan serupa. Ia bergegas membuka pintu ketika sekelumit rasa malu hadir di wajah.
Selama ini Vlora bersikap sopan padanya, tapi Velia bisa menebak. Tentulah Vlora mengetahui hubungannya dan Lucas.
Velia masuk dan menutup pintu kembali. Matanya langsung menuju pada Lucas yang menunggu di sofa. Pria itu melepas jas dan membuka kancing di pergelangan tangan, lengan kemeja digulung hingga ke siku.
Lucas tersenyum seraya memisahkan dua batang sumpit yang masih menempal. Ia menyambut kedatangan Velia dengan satu harapan.
"Semoga kau tidak keberatan untuk makanan Jepang. Aku memesan nigiri dan sashimi."
Velia duduk di sebelah Lucas. Ia melihat hidangan yang telah tersaji dan menggeleng.
"Sama sekali tidak keberatan," ujar Velia sembari mengambil sumpit yang Lucas tawarkan. "Aku suka."
Adalah sepotong ikan salmon yang menjadi pilihan pembuka Velia. Ia mencelup ke saus dan menikmatinya.
Lucas memerhatikan saat potongan ikan salmon masuk ke mulut Velia. Ia diam dan menunggu hingga reaksi Velia membuatnya mendengkus geli.
"Tak perlu mengatakan bagaimana rasanya."
Lucas mengambil sumpit lain sementara Velia buru-buru menutup mulut, khawatir ikan salmon akan melompat keluar dari mulut.
"Aku sudah tahu dari wajahmu."
Makan siang terasa amat nikmat. Hidangan lezat, suasana nyaman, dan perbincangan ringan membuat keduanya merasa tidak sedang berada di kantor. Mereka santai melewati waktu istirahat.
"Kau jadi ingin melihat rumah itu sore nanti?"
Velia merapikan bekas makanan. "Sepertinya ya. Aku hanya punya waktu sore ini. Pekerjaanku agak sedikit sibuk minggu depan."
Semua bekas makanan telah terkumpul. Velia menarik dua lembar tisu dan mengelap tangan.
"Iwan tadi sudah menghubungiku. Dia akan menjemputku," lanjut Velia melihat Lucas. "Apa mobilku sudah selesai diperbaiki?"
"Belum, tapi tenanglah. Dia bisa menjemputmu dengan mobil lain. Kemarin aku menyuruhnya untuk mengambil mobil di rumah."
Velia mengangguk. "Oh."
"Itu terlewatkan olehku. Seharusnya kau tak perlu menggunakan taksi. Maaf. Kau tahu akhir-akhir ini aku begitu banyak pekerjaan."
"Tak apa. Lagi pula aku menikmatinya. Sesekali naik taksi juga menyenangkan."
Lucas menarik napas dalam-dalam. Pengertian itu membuatnya meraih tangan Velia dan meremasnya lembut. Tatap matanya lurus dan membidik Velia.
"Aku akan selalu menjagamu."
*
Iwan menghubungi Velia di waktu tepat. Jam pulang telah datang dan sebagian besar rekan kerjanya sudah pulang.
"Halo, Wan. Kau sekarang ada di mana?"
"Halo, Nona. Saya sudah di depan, tapi—"
Velia selesai membereskan meja. "Tapi apa? Apa ada masalah?"
"Masalahnya adalah saya sekarang membawa mobil berbeda. Sepertinya saya tidak bisa menjemput Nona di parkiran khusus seperti biasa. Plat mobil ini belum terdaftar."
"Baiklah," angguk Velia mengerti. "Kalau begitu kau tunggu saja di depan. Aku akan segera keluar."
"Siap, Nona."
Panggilan berakhir. Velia meraih tas seraya mengedarkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan. Keadaan telah sepi dan ia pun bergegas pergi.
Velia melewati gerbang Greatech dan menyusuri trotoar dengan ponsel di telinga. Ia menghubungi Iwan seraya melihat ke sana kemari.
"Di mana?"
"Mobil biru metalik, Non."
Velia menemukan kendaraan yang dimaksud. Mobil tersebut parkir sekitar sepuluh meter di depan. Ia memasukkan ponsel kembali ke tas kerja dan bergegas.
Keadaan trotoar cenderung ramai kala itu. Orang-orang pulang kerja memadati dan lalu lalang. Berikut dengan beberapa kendaraan yang terparkir di sisi jalan.
Velia tiba di mobil yang dituju. Pintu sopir terbuka dan Iwan segera keluar. Ia membuka pintu penumpang untuk Velia seraya mengucapkan maaf.
"Maaf, Nona. Tadi sangat ramai di depan kantor. Mungkin Nona tidak nyaman."
"Tak apa," ujar Velia seraya masuk. "Lagi pula jalan sebentar tidak akan melelahkan."
Iwan menutup pintu dan kembali duduk di balik kemudi. Ia memastikan jalanan aman sebelum mengemudikan mobil.
"Apa kita jadi pergi melihat rumah, Non?"
Velia menyamankan posisi duduk, bersandar. "Jadi. Mulai minggu depan aku agak sibuk. Aku harus melihatnya sekarang atau entah kapan aku ada waktu luang."
"Baik."
Iwan melirik pada spion dalam demi melihat kendaraan di belakang sebelum membelokkan kemudi ke sebelah kanan. Ia mengambil jalur laju cepat dan menaikkan kecepatan.
Mobil melaju. Ia mendahului beberapa kendaraan lain dengan aman tanpa menyadari bahwa ada mobil lain yang mengikuti sedari tadi. Tepatnya semenjak Iwan dan Velia meninggalkan kawasan Greatech.
"Sepertinya ada yang tidak langsung pulang ke apartemen hari ini."
Pengemudi di dalamnya tak lain adalah Boy. Ia tampak bersemangat mengikuti mobil yang membawa Velia.
"Ke mana kau akan pergi, Velia? Ingin bertemu pria lain?"
*
Memakan waktu lebih dari sejam hingga Iwan menghentikan laju mobil di depan satu rumah berpagar putih. Velia segera keluar dan menengadahkan kepala, melihat bentuk nyata dari foto yang Lucas tunjukkan beberapa waktu lalu.
"Di dalam sudah ada beberapa orang asisten rumah tangga, Non."
Velia menoleh dengan ekspresi tak percaya. "Benarkah? Aku pikir ini masih rumah kosong."
"Tuan sudah menyiapkan rumah ini sepenuhnya," ujar Iwan tersenyum. "Bagaimana kalau Nona masuk sekarang? Nona bisa melihat keadaannya dan bertemu dengan para asisten rumah tangga."
"Tentu."
Iwan menyilakan Velia. Keduanya segera masuk ke rumah dan itu tak lepas dari intaian sepasang mata.
Satu mobil hitam parkir tak jauh dari rumah tersebut. Di dalamnya ada Boy yang dengan jelas melihat Velia dan Iwan masuk. Ia mengusap dagu.
"Sepertinya sopir itu tidak akan jadi masalah serius," lirih Boy berpikir. "Sekarang atau nanti? Apa Velia akan lama di sana?"
Beberapa pertimbangan memenuhi benak Boy. Ia belum mengenal keadaan dan situasi di lingkungan tersebut. Namun, mengambil risiko untuk menunda pun rasanya bukan hal tepat. Ia sudah terdesak waktu.
Satu ketukan membuat pikiran Boy buyar. Ia menoleh dan mendapati seorang pria mengetuk kaca mobil.
Boy mengerutkan dahi. Penampilan pria itu sedikit familier—berpakaian serba hitam dengan topi bewarna senada yang nyaris menutupi wajah dan tas besar di pundak kiri. Ia mengetuk tiga kali sehingga Boy terpaksa menurunkan kaca mobil.
"Ada apa?"
Pria itu merogoh saku celana. "Maaf, Pak. Saya tukang ledeng. Ada panggilan untuk memperbaiki wastafel mampet, tapi saya bingung dengan alamatnya."
"Saya bukan warga sini. Jadi saya tidak tahu alamat sekitar."
"Coba dilihat dulu, Pak. Mungkin saja Bapak tahu."
Umpatan Boy meluncur. Ia ingin menyudahi percakapan tak penting itu dan fokus pada rencana, tapi keburu sehelai kertas tersodor padanya.
Boy terpaksa mengambil kertas itu. Ia melihat tulisan di sana, tapi tak ada satu alamat pun yang tertulis. Melainkan: Sudah cukup main petak umpetnya, Boy. Aku lelah mengurusimu.
Mata membelalak. Boy refleks menoleh. Sayangnya ia hanya bisa melihat sekilas mata tajam pria itu sebelum satu tonjokan mendarat telak di wajah. Pandangannya gelap seketika.
Boy pingsan dan pria itu segera membuka pintu mobil. Ia mendorong tubuh Boy ke kursi penumpang dan duduk di balik kemudi.
Kaca mobil naik dan menutup cepat. Ia menyentuh sesuatu di lubang telinga, lalu berkata.
"Iwan, semua aman."
Sedetik berselang, ada bisikan balasan yang diterimanya.
"Oke, Adnan. Kami keluar."
*
bersambung ....
Buat yang mau cepet-cepet tau kelanjutannya, bisa baca di KaryaKarsa atau beli PDF-nya. Makasih o(〃^▽^〃)o
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top