44. Perasaan Sebenarnya
"Baru selesai meminum vitaminmu?"
Velia nyaris tersedak ketika untuk kesekian kali Lucas keluar dari kamar mandi dengan tiba-tiba dan memergoki dirinya saat meminum pil. Ia terbatuk, lalu mengangguk seadanya.
Lucas menghampiri Velia masih dengan handuk yang membalut tubuh bagian bawah. Hanya sejenak, ia mendekati Velia demi melabuhkan kecupan sekilas.
"Baguslah. Aku senang kalau kau sehat. Jangan pernah lupa untuk meminumnya tiap pagi."
Kembali, Velia hanya mengangguk sementara Lucas beranjak. Ia menuju ke ruang pakaian dan Velia membuang napas panjang, merasa lega. Namun, tak urung ia mengusap kepalanya yang dicium Lucas dan tersenyum simpul tanpa sadar.
*
Velia memulai pekerjaan pagi dengan bersemangat. Bukan hanya fokus, melainkan ia tampak menikmatinya.
Sikap tenang dan suasana bagus Velia menarik perhatian Metta. Tak aneh bila di sela-sela jam kerja, Metta menyempatkan diri untuk menghampiri Velia dan menyeletuk.
"Sepertinya ada kabar bagus hari ini."
Velia mengerjap. Ia berpaling dan mendapati Metta tersenyum seraya mengedipkan satu mata.
"K-kabar bagus?" tanya Velia tak mengerti. "Kabar bagus apa maksudmu?"
"Itulah yang aku tunggu darimu. Kabar bagus. Kau terlihat bahagia hari ini. Wajahmu berseri-seri, tidak seperti biasa. Aku jarang melihatmu begini dan aku tebak."
Metta makin mengikis jarak. Sekilas, ia melihat ke kanan dan kiri berulang kali. Memastikan bahwa tak akan ada orang yang akan mendengar percakapan mereka.
"Ini pasti ada kaitannya dengan operasi Herry."
Velia tertegun. Ekspresi wajahnya berubah kaku.
"Bagaimana keadaannya? Operasinya pasti berhasil bukan?"
Velia terdiam. Pertanyaan Metta sukses membuat ekspresi wajahnya berubah seketika. Ia yang semula semringah seketika membeku.
Oh, Tuhan. Benar. Herry operasi kemarin.
"Ve?"
Rasa penasaran Metta akan kabar bahagia yang menjadi alasan berseri-serinya Velia berganti menjadi kebingungan. Ia tatap lekat Velia ketika wanita berparas ayu itu hanya bisa mengerjap salah tingkah.
"Ada apa, Ve?"
Velia menggigit bibir. Ia tergugu dengan mimik yang tak mampu dibaca Metta.
"Aku belum tahu keadaan Herry."
Sekarang bukan hanya wajah Velia yang berubah, melainkan Metta pula. Bahkan wanita itu tertegun sejenak seolah butuh waktu untuk mencermati perkataan Velia.
"B-belum tahu?"
Velia mengangguk enggan. "Aku tidak bisa ke rumah sakit kemarin. Ada sesuatu yang terjadi dan—"
Agaknya Metta mengerti dan Velia putuskan untuk tidak menjelaskan lebih jauh. Terlebih lagi Metta dengan amat bijak mencoba mencairkan suasana.
"Aku yakin keadaannya baik-baik saja," ujar Metta cepat. "Kau bisa melihat keadaannya nanti."
"Kau benar."
Percuma menyesali apa yang telah terjadi. Pun sebenarnya Velia tak bisa mengatakannya sebagai sebuah penyesalan. Velia tak menyesal karena memilih untuk menjaga Lucas ketimbang mendampingi operasi Herry. Walau demikian bukan berarti tak ada rasa bersalah yang timbul.
Benar. Itulah yang tepat. Yaitu, rasa bersalah.
Velia putuskan untuk menjenguk Herry hari itu. Bukan hanya untuk mendamaikan rasa bersalah, melainkan karena ia pun ingin mengetahui kabarnya. Beruntung, Iwan menyanggupi permintaannya tanpa bertanya sedikit pun. Mereka menuju rumah sakit selepas pulang kantor.
Velia harus menunggu nyaris satu jam sebelum akhirnya bisa bertemu dengan Suryanti. Mereka berkonsultasi dan Velia bisa menekan sedikit rasa bersalahnya, operasi Herry berjalan lancar.
Harapan Velia menyala. Sayangnya untuk satu hal teramat penting, Suryanti tetap tak bisa menebak. Bahkan setiap dokter terbaik pun memiliki batas kapasitasnya. Ada hal-hal yang berada di luar jangkauan. Termasuk di dalamnya mengetahui kapan pasien akan bangun dari koma.
Tak apa. Velia menabahkan hati. Setidaknya Herry sudah melewati bagian terburuk dan sekarang hanya tinggal menunggu.
"Aku tahu kau akan segera bangun. Aku akan menunggu. Selama apa pun itu, aku akan tetap menunggumu sampai kau bangun."
Bukan hanya karena Velia ingin Herry kembali sehat dan bisa melanjutkan hidup sebagaimana mesti, tapi lebih dari itu. Velia letih harus terus bergulat dengan rasa bersalah dan penyesalan yang kian lama kian beranak pinak. Ia pun tersiksa dengan tudingan yang terus tertuju pada diri sendiri.
"Seandainya."
Hanya satu kata itu yang bisa dengan pasti mewakili semua rasa bersalah dan penyesalan Velia. Satu kata yang sayangnya hanya bisa menjadi sebatas kata pengandaian saja.
"Seandainya kau dulu tak membantuku, mungkin kau tak akan mengalami ini semua. Lihat? Kau kehilangan keluarga dan hidupmu karena bersamaku."
Redup mata Velia menatap Herry. Cahaya yang memancar di sana menyiratkan beribu emosi yang tak terucap. Ia yakin, apa yang dikatakannya tak akan cukup untuk mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya.
"Seharusnya kau tak pernah mengulurkan tangan padaku. Membantuku untuk memulai kehidupan baru tanpa Lucas adalah hal yang tak sepatutnya kau lakukan. Apa kau lihat sekarang? Aku tidak mendampingi operasimu, Her. Kau tahu apa alasannya?"
Nyatanya keberhasilan operasi Herry tidak benar-benar mampu menekan rasa bersalah Velia. Tatkala ia teringat apa yang dilakukan maka rasa bersalah kembali muncul. Bahkan lebih besar dari sebelumnya.
"Benar," lirih Velia perih. "Aku menemani Lucas."
Getir muncul dan menyumpal pangkal tenggorokan Velia. Rasanya jangan ditanya. Teramat pahit sehingga ia merasa tak sanggup.
"Lucas sakit dan aku memilih untuk menemaninya. Tak hanya itu. Aku juga tetap memilih pulang secepatnya ketika kemarin aku punya kesempatan untuk menjengukmu. Aku benar-benar mengkhwatirkannya sehingga aku tak memikirkanmu sama sekali."
Sesuatu melintas di benak Velia. Ia tersentak dengan wajah terangkat. Samar kerutan hadir di dahi tatkala ia menggeleng seraya meremas jemari Herry.
"Jangan salahkan Lucas, Her," ujar Velia dengan suara tersendat. Agaknya getir tidak menghilang, melainkan tumpah ruah. "Dia mengizinkanku untuk pergi. Dia memperbolehkanku, tapi justru aku yang tetap memilih bersamanya. Untuk menjaganya."
Pun begitu pula dengan kejujuran yang Velia ucap. Ia tak mendapati hal tersebut bisa meringankan beban yang sekarang menaungi. Ia lelah. Menyerah. Pada akhirnya satu hal yang bisa dilakukan adalah melepas jemari Herry.
Velia keluar secepat mungkin. Ia bergegas menuju toilet ketika satu tarikan napas menyadarkannya akan sesuatu.
Ini bukan tentang Herry. Ini bukan tentang rasa bersalah atau dusta yang terpaksa ia cipta. Sama sekali bukan. Melainkan ini tentang satu nama yang ternyata mencetak diri semakin tebal.
Pertahanan Velia hancur. Ia bersembunyi di bilik toilet dan menumpahkan semua air mata yang sedari tadi terus mendobrak.
"Kau tahu kau tak akan pernah bisa memiliki Lucas. Kau tahu bagaimana keluarganya mengusirmu dan Lucas tak memercayaimu. Lalu sekarang? Kau dengan sukarela kembali menjatuhkan diri padanya?"
Adalah satu nama yang menjadi pangkal dan ujung. Awal dan akhir. Tempat di mana semua bermula dan berakhir.
"A-aku."
Air mata berderai. Rintihan tertahan dan sesak membuat Velia tersiksa. Ia mendekap diri, tapi rasa sakitnya benar-benar menohok.
"Aku mencintai Lucas, Tuhan."
Jemari mengepal. Velia memukul dada. Berusaha untuk mengenyahkan rasa. Sayang yang terjadi justru sebaliknya.
Wajah Lucas membayang. Ia penuhi pikiran Velia dengan rupa, senyum, dan juga tawa.
"Aku benar-benar mencintai Lucas."
*
Lucas mengambil pelantang suara nirkabel yang digunakan. Mengusap sekilas dan lalu memasukkannya kembali ke saku dalam jas.
Mata terpejam. Lucas menarik napas dalam-dalam. Di detik berikut ketika mata membuka maka terlihat merah mewarnai di sana.
Lucas butuh waktu untuk menenangkan diri. Ia harus meredam gejolak tak nyaman yang bergemuruh di dada.
Tak sebentar. Nyatanya Lucas memerlukan menit yang tak sedikit sehingga yakin untuk mengambil ponsel dan menghubungi Velia.
"Luc?"
Suara lembut Velia menerbitkan seulas senyum tipis di wajah Lucas. Tak ubah oase yang meredam bara yang sekarang tengah bergelora.
"Ya," sahut Lucas. "Ini aku. Apa kau sudah pulang?"
Velia terdengar menarik napas di seberang sana. "Sudah. Belum terlalu lama. Ada apa?"
"Sepertinya aku akan pulang terlambat. Aku akan pulang ke rumah sebentar. Ada yang harus kulakukan."
"Oh, baiklah."
"Kau tak apa sendirian di unit?"
"Tenang, Luc. Ini bukan pertama kali aku sendirian di sini. Lagi pula bukankah kau akan segera pulang?"
Lucas bisa membayangkan senyum di wajah dan binar di mata Velia. Itu membuat perasaannya damai.
"Tentu saja. Aku akan pulang secepatnya."
"Jadi pukul berapa tepatnya kau akan pulang? Apa kau akan makan di rumah?"
"Aku pasti akan memakan apa pun yang kau masak. Tak peduli jam berapa aku pulang," jawab Lucas dengan satu ingatan yang melintas di benak. "Aku lihat ada udang di kulkas. Mungkin udang goreng tepung sudah cukup."
"Baiklah. Aku akan memasaknya."
"Terima kasih dan—"
Lidah Lucas berhenti bergerak. Kata-kata yang sudah siap diucap mendadak justru menghilang.
"Luc?"
Lucas mengerjap. Ia jelas tahu apa yang ingin diucapkan, tapi ada bongkahan besar yang menyumbat pangkal tenggorokan. Jangankan untuk bicara, bahkan ia pun terasa susah untuk menarik udara.
"Aku tak sabar mencicipi udang gorengmu," kilah Lucas pada akhirnya. "Tunggu aku pulang."
"Tentu saja. Aku akan menunggumu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top