43. Ketegasan

Hanya perlu waktu sebentar untuk Lucas mengumpulkan kembali keping-keping tenaga yang tersisa. Ketika tubuhnya mendapatkan kekuatan lagi, ia ciptakan jarak tak seberapa demi memastikan Velia baik-baik saja.

Lucas membelai dan merapikan rambut Velia. Tindakannya terkesan penuh kehati-hatian.

"Jadi bagaimana?"

Velia membuka mata. Napasnya berembus pelan dan sedikit cemberut menghiasi wajah.

"Sepertinya kau memang sudah sehat," jawab Velia lemah. "Sebagai ganti, mungkin sekarang adalah aku yang sakit."

Tawa Lucas berderai. Pundak berguncang dan dada bergemuruh. Ia terbahak sehingga kepala terangkat dan mata memejam.

"Yang terakhir tadi, itukah yang sakit?"

Mata Velia menyipit. "Sudahlah, Luc. Aku lelah dan tidak ingin berdebat denganmu."

Lucas berhenti tertawa. Sebagai gantinya, ia tersenyum penuh maklum. Ia kembali membelai seraya bertanya.

"Kau ingin istirahat? Bagaimana kalau kita ke kamar?"

Velia mengangguk dan kembali mendaratkan di pundak Lucas.

"Ya."

Tak membuang waktu, Lucas merespons cepat keinginan Velia. Ia segera bangkit dengan membawa serta Velia dalam gendongan. Tindakannya mengundang refleks Velia. Kaki jenjang Velia langsung melingkari pinggan Lucas.

Lucas beranjak menuju kamar dengan langkah teratur. Samar membuat tubuh polos Velia bergoyang lembut sebelum akhirnya mereka jatuh bersamaan di tempat tidur.

Keduanya segera mencari posisi yang nyaman. Saling mendekat dan Velia merebahkan kepala di lengan Lucas, meringkuk dalam pelukannya.

"Aku ingin tidur sebentar, Luc. Aku benar-benar lelah."

Lucas mendengkus geli. Tak perlu alasan, ia tahu persis bahwa bercinta selepas pulang kerja adalah pilihan yang tak bijak sebenarnya. Sayang, hasrat mengalahkan logika.

"Tidurlah."

Velia memejamkan mata. Ia tak butuh waktu lama untuk terlelap ketika lelah, kantuk, dan belaian Lucas datang bersamaan. Tiga godaan menyerang dan Velia kalah dalam ketidaksadaraan.

Nyenyak. Nyaman. Velia hanyut dalam dunia mimpi ketika Lucas justru sebaliknya. Pemandangan damai Velia menyadarkannya bahwa kenyataan sekarang lebih indah ketimbang bunga tidur mana pun.

Lucas puaskan diri demi menatap dan membelai Velia. Ia tersenyum dengan kebahagiaan yang berpijar di sepasang mata.

Sepertinya ini adalah kali pertama. Lucas yakin inilah masa di mana ia yakin bahagia itu benar-benar ada. Ketika Velia ada di dalam pelukannya.

*

Lucas menyambut pagi dengan segar bugar. Demam dan lelah tak meninggalkan sedikit pun jejak di wajah ataupun tubuh. Ia siap menjalani hari dan menuntaskan setumpuk pekerjaan dengan penuh semangat.

Tunggu. Ada satu hal yang ingin Lucas ketahui sebelum memulai pekerjaan.

"Apa ibuku datang kemarin?"

Vlora mengangguk. "Ya, Pak."

"Apa saja yang Mama tanyakan?"

Lucas duduk di balik meja kerja, menyalakan komputer, dan kembali melihat pada Vlora. Sang sekretaris menjawab pertanyaan tersebut dengan lugas seperti biasa.

"Alamat rumah Bapak dan saya tidak memberi tahu apa pun pada beliau."

"Tentu saja. Aku tahu itu, Vlo," timpal Lucas. "Terima kasih."

"Sama-sama, Pak. Selain itu Pak Andreas juga datang."

Nama Andreas membuat Lucas mengernyit samar. Yakin bahwa kedatangan sang sahabat lebih disebabkan Vlora, ia tetap bertanya walau kemungkinan instingnya meleset sangat kecil.

"Dia mengatakan sesuatu padamu?"

"Tidak, Pak."

Persis dugaan Lucas. Andreas hanya mencari-cari alasan agar bisa bertemu Vlora. Kemungkinan yang membuatnya bertanya-tanya, entah sampai kapan Andreas akan bertingkah kekanakan.

"Baiklah. Kau boleh keluar."

Vlora mengangguk dan mengucapkan permisi, lalu keluar. Pintu tertutup rapat dan sekarang hanya ada Lucas dengan setumpuk pekerjaan yang harus dituntaskan.

Lucas menarik napas. Ia hanya tak masuk kantor sehari dan akibatnya sudah di luar perkiraan. Agaknya tak aneh bila ia kembali lembur hari ini.

Mungkin tidak. Ide lembur setelah baru saja sembuh bukanlah hal tepat. Lucas teringat Velia dan beragam nasihatnya sebelum mereka berpisah tadi. Velia pasti tak akan suka bila dirinya pulang terlalu malam hari ini.

Sejam berlalu. Lucas yang mulai hanyut dalam keseriusan mendapatkan gangguan tatkala pintu terbuka. Tak mengira, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa ketika adalah Merita yang datang. Tentunya dengan Sonya.

"Lucas."

Lucas bangkit walau berat. Ia harus meninggalkan sejenak pekerjaan demi menyambut kedatangan sang ibu.

Merita mengembangkan kedua tangan. Pelukan singkat menyatukannya dan Lucas. Pun diiringi satu kecupan singkat yang mendarat di pipi Merita.

"Ma."

Merita mengurai pelukan dengan senyum di wajah. Ia menarik diri dan dengan sengaja menciptakan kesempatan untuk Sonya mendekati Lucas.

Sayangnya yang terjadi tak sesuai rencana. Lucas memilih langsung duduk tanpa melihat atau menyapa Sonya.

Merita melotot. Ia terburu-buru menghampiri Lucas sementara Sonya memilih duduk dengan wajah memerah.

"Luc," desis Merita seraya memberi isyarat melalui lirikan mata. "Sapa Sonya."

Lucas melihat sekilas pada Sonya. Ia tersenyum singkat sebagai bentuk sapaan. Tak bermaksud, tapi seberkas kasihan timbul di benak. Tak ada yang bisa dilakukan Lucas untuk Sonya yang harus menjadi ambisi buta ibu kandungnya.

"Aku dengar kau sakit, Luc," ujar Sonya mencoba membuka percakapan. Ia menaruh bingkisan di atas meja. "Jadi aku membawakanmu makanan sehat."

Merita bertepuk tangan sekali. Wajahnya terlihat amat antusias.

"Oh, Sonya! Kau benar-benar perhatian pada Lucas," ujar Merita seraya beralih pada sang putra. "Lihat, Luc? Sonya sangat perhatian dan wanita perhatian adalah hal langka sekarang. Kau sangat beruntung."

"Aku yakin akan lebih baik kalau Sonya memanfaatkan sifat perhatiannya pada pria lain."

Tegas dan lugas. Bahkan Lucas menatap mata Sonya tanpa kedip. Ia bicara dengan penuh keseriusan yang tak pernah dibayangkan Merita.

"Kau boleh menganggapku kejam dan tak berperasaan, tapi ini pun demi kebaikanmu. Kau tentunya tak ingin aku nikahi sementara aku mencintai wanita lain bukan?"

Bukan hanya Sonya, melainkan Merita pun terkejut dengan pertanyaan Lucas. Keduanya syok dan nyaris sama memucat. Ironisnya, Lucas tidak cukup sampai di sana.

"Apa kau ingin aku menikahimu, tapi aku justru menyebut nama wanita lain? Kalau ya, jangan salahkan aku kalau kau mendapatiku selingkuh. Dari awal aku tak mencintaimu dan ah!"

Lucas berdecak sekilas. Seolah ada yang nyaris ia lewatkan dan hal tersebut mendadak melintas di benak. Ia tersenyum, tapi Merita dan Sonya sama sekali tak senang dengan ekspresi tersebut.

"Kalau suatu saat nanti aku menemukan wanitaku maka sebaiknya kau harus rela aku madu. Untuk kau ingat, jangan pernah berpikir kalau kau benar-benar yang pertama karena dari awal aku tak mencintaimu."

Merita memegang kepala. Ia gelabakan antara ingin menumpahkan amarah pada Lucas atau justru menenangkan Sonya yang sudah pucat kesi. Wajahnya benar-benar membeku dalam syok. Darah seperti tak lagi mengalir di tubuhnya.

"S-Sonya," lirih Merita panik. "Dengarkan Tante. I-ini—"

Sonya menari napas dalam-dalam. "Apa kau menginginkan makanan ini?"

Rasa kasihan Lucas kembali tersentil. Suara Sonya terdengar bergetar dan matanya telah memerah, genangan air sudah memenuhi kelopak mata.

"Tidak."

"Baiklah," kata Sonya seraya bangkit dan meraih bingkisan. Ia berpaling pada Merita. "Aku pulang, Tante."

Sonya beranjak tanpa mengatakan apa-apa. Ia keluar dari ruangan Lucas dan suaranya sempat masih terdengar walau samar.

"Apa kau ingin makan siang?"

Agaknya makan siang sehat itu berjodoh pada sang sekretaris. Menurut Lucas, itu adalah keputusan bijak.

"Lucas!"

Merita tak lagi bisa menahan diri. Jeritannya pecah seiring dengan tangan yang mengepal kuat. Ia menatap berang pada Lucas.

"Kau sadar apa yang telah kau lakukan pada Sonya? Oh, Tuhan. Mama tidak pernah mengajarimu untuk berperilaku sekasar itu pada wanita!"

"Aku tidak akan bersikap demikian kalau Mama tidak mendesakku. Untuk apa Mama melakukan hal yang pasti percuma?"

Wajah Merita mengeras dengan kesimpulan yang tak perlu dipertanyakan. "Lagi-lagi Velia."

"Sebenarnya mengapa Mama tidak menyukainya? Apa yang dia lakukan sehingga Mama membencinya seperti ini?"

"Benci?"

Keras dan merah, itulah gambaran wajah Merita sekarang. Tak hanya itu, samar getar-getar menjalari tubuh. Sebisa mungkin ia tahan amarah yang terus menggelegak ketika sedikit akal sehat mengingatkan agar dirinya tak meledak di depan Lucas.

"Tidak. Mama tidak membencinya. Mama hanya mengatakan kebenarannya. Velia tidak pantas bersamamu. Apa kau lupa? Dia meninggalkanmu dulu dan sampai sekarang menghilang dari kehidupanmu. Mengapa kau masih menunggunya?!"

"Aku menunggunya karena aku yakin kami akan bertemu suatu saat nanti."

Merita meringis. "Velia hanya menginginkan hartamu, Luc."

"Kalau dia menginginkan hartaku maka dia tidak akan pernah pergi meninggalkanku."

Balasan cerdas nan telak yang Lucas layangkan membuat Merita terdiam. Mulutnya terkatup rapat dalam upaya menahan beragam rutukan.

"Ma."

Lucas membuang napas seraya beranjak demi menghampiri Merita. Ia raih kedua tangan sang ibu dan mengusapnya perlahan. Ekspresinya melembut demi menampilkan sisi seorang anak yang mengiba pada orang tua.

"Apa Mama tak bisa merestui hubungan kami? Aku akan melakukan apa pun agar Mama merestui kami. Apa pun itu akan aku lakukan. Aku hanya ingin Mama menerima Velia."

Lucas menunggu. Ia berharap dan berdoa di dalam hati. Sorot matanya memancarkan keinginan terdalam yang seharusnya mampu meluluhkan keras semua ibu di dunia.

"Jangan harap."

Mata Lucas terpejam dramatis. Permohonannya ditolak begitu saja.

"Mama lebih baik mati daripada harus melihat wanita itu menikah denganmu, Luc. Mama tidak akan pernah menerimanya menjadi menantu Mama."

Harapan Lucas pupus bahkan sebelum ia benar-benar tumbuh. Merita menginjak dan menghempaskan semua impian Lucas hanya dalam satu tarikan napas.

"Tak akan ada restu Mama untuk kalian. Selama Mama hidup, Mama tidak akan membiarkanmu menikahinya."

Lucas memaksa diri untuk tetap memejam. Mulut terkatup rapat demi menahan lidah yang berniat meluapkan semua. Ia mencoba bertahan dengan satu alasan.

Itu adalah Merita. Itu adalah ibu kandungnya.

Merita menarik tangannya tiba-tiba dan Lucas tersentak. Semua pemikiran buyar ketika sang ibu melepaskan diri dari genggaman Lucas. Ia bangkit dan Lucas tak melakukan untuk mencegah kepergiannya.

Lucas mengusap wajah. Ia buang napas panjang dan keadaan mendesak pada satu keputusan berat.

Aku benar-benar harus mengakhiri ini semua.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top