41. Kenyamanan

Lucas telah menekan ego. Sulit, tapi ia berhasil melepas Velia untuk menemani Herry yang sedang berjuang di meja operasi. Ia berbesar hati dan takdir memberikan hal di luar dugaan.

Mata Lucas membuka setelah terpenjara tidur lelap selama lima jam. Perasaan ringan menyapa dan ia tahu persis apa alasannya. Yaitu, Velia.

Lucas menoleh. Velia ada di dalam pelukannya. Ia tertidur lelap dan memutuskan untuk tidak pergi. Ia memutuskan untuk tetap bersama Lucas.

Panas. Getir. Pun sesak yang sempat memenuhi dada Lucas menghilang tanpa jejak. Tepat ketika Velia datang kembali, semua lenyap tak tersisa. Tergantikan bahagia tak terkira.

Lucas menarik tubuh Velia untuk kian tenggelam dalam pelukan. Ia kikis jarak tak seberapa demi melabuhkan kecupan lembut di kepalanya.

Sampai sejauh ini dan kau masih tak menyadari siapa yang sebenarnya kau cintai, Ve? Mengapa kau harus sekeras kepala itu untuk mengingkari kenyataan yang ada? Apa kau tak lelah?

Agaknya akan sulit untuk Lucas melanjutkan tidur tatkala kecupan yang dilakukan menarik keinginan diri untuk melakukan hal lain. Misalnya, membelai Velia.

Seandainya saja kau menerimaku seperti aku yang mengharapkanmu di awal pertemuan kita. Mungkin hubungan kita bisa lebih dari baik dari ini, tapi—

Lucas memejamkan mata sekilas. Ia membuang napas ketika banyak kilasan berputar di benak.

Tak jadi masalah. Aku benar-benar akan bisa memilikimu seutuhnya cepat atau lembat. Dengan kerelaanmu. Tanpa paksaan dari siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun.

Ada sorot berbeda di mata Lucas. Tepat ketika ia berjanji pada diri sendiri.

Termasuk gangguan dari orang-orang di sekitar kita.

*

Adalah sentuhan lembut yang menggugah kesadaran Velia. Sentuhan lembut yang amat familier di indranya.

Lembut. Halus. Pun ketenangan yang turut dirasakan, merupakan hal yang sama. Pertanda kuat bagi Velia bahwa sentuhan tersebut berasal dari pria yang sama pula.

Velia membuka mata. Sekarang ia bisa melihat jelas tangan yang tengah mengelus tangannya dengan irama teratur. Wajah terangkat dan Lucas tersenyum padanya.

"Selamat malam."

Butuh waktu untuk Velia memaknai sapaan Lucas. Tatapannya berpindah pada jam dinding dan langsung saja ia melotot.

"Pukul delapan malam?"

Syok, Velia seketika bangkit duduk dengan wajah penuh kaget. Lucas tertawa seraya memegang perut.

"Oh, astaga. Sekarang sudah pukul delapan malam?" tanya Velia tak percaya. "Kuharap jam itu rusak."

Harapan yang tak mungkin jadi kenyataan. Velia berdecak samar dan mengusap wajah sekilas.

"Aku benar-benar ketiduran. Ya ampun. Kau seharusnya membangunkanku, Luc. Sudah semalam ini dan kau belum makan. Sebentar. Aku akan memasakkan makan malammu."

Lucas menikmati kepanikan Velia, tapi tak membiarkannya berlanjut lebih lama. Ketika Velia akan turun dari tempat tidur, ia mencegah.

"Tak apa-apa. Sejujurnya aku masih ingin bermalas-malasan denganmu beberapa saat lagi."

"Kau harus makan dan minum obat."

Lucas meraih tangan Velia. "Sebentar saja."

Velia menyerah. Ia turuti keinginan Lucas dan kembali merebahkan tubuh di sebelahnya.

"Kau juga harus beristirahat, Ve. Kau pasti lelah merawatku dua hari ini."

Velia beringsut dalam pelukan Lucas, mencari posisi nyaman. "Aku sudah cukup beristirahat. Sekarang waktunya untukmu makan."

"Kita bisa pesan antar saja. Bagaimana?" tawar Lucas dengan alasan yang mengikuti. "Makan malam bisa aku dapatkan dari layanan pesan antar, tapi tidak dengan kebersamaan seperti ini."

"Baiklah. Jadi bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Silakan kau periksa sendiri."

Velia sedikit bangkit dari pelukan Lucas. Ia meraba dahinya dan merasakan suhu yang telah turun. Tidak lagi panas. Terasa lebih sejuk.

"Sepertinya kau sudah sembuh."

"Sudah sembuh dan badanku tidak terasa pegal lagi."

Dari cerah wajah dan cara bicara, Velia bisa yakin bahwa Lucas memang telah sembuh. Namun, ia tidak akan abai untuk satu hal penting.

"Walau begitu aku harap kau tetap beristirahat besok."

Lucas mengernyit dan Velia mengangguk. Ia tampak yakin pada keputusan.

"Lebih baik kau besok beristirahat sampai benar-benar pulih. Daripada kau sakit lagi bukan?"

"Benar sekali," jawab Lucas sepakat. "Jadi apa lagi yang harus aku lakukan, Ibu Perawat?"

Velia tergelak kecil. "Selanjutnya adalah kau harus melepaskanku agar aku bisa memesan makan malam. Merawat orang sakit sepertimu benar-benar menguras tenaga."

Dengan berat hati, Lucas melepaskan pelukannya. Ia biarkan Velia untuk beranjak dan meraih ponsel.

Tatapan Lucas tak putus tertuju pada Velia. Tatkala beragam menu ditawarkan padanya, ia justru tersenyum.

Jelas. Dari mata Lucas terjawab sudah. Ia bukan hanya sekadar sembuh. Ia tak ubah seperti terlahir kembali.

*

Langkah Merita terkesan mantap dan teratur. Ia berjalan dengan dagu cenderung naik yang menguarkan citra penuh rasa percaya diri. Sesekali bibirnya bergerak, dalam bentuk seulas senyum tipis ketika membalas sapaan sopan yang diterima.

"Selamat pagi, Bu."

Merita menghentikan langkah di meja Vlora. Sang sekretaris menyapa seraya bangkit dari duduk.

"Pagi," balas Merita. "Apa Lucas ada? Dia tidak sedang rapat atau bertemu klien bukan?"

"Maaf, Bu. Pak Lucas tidak masuk kantor hari ini."

Senyum tipis di wajah Merita langsung menghilang. Tergantikan oleh kerutan di dahi.

"Tidak masuk? Kenapa? Dia tidak sedang melakukan perjalanan bisnis bukan?"

Vlora menggeleng. "Tidak, Bu. Pak Lucas tidak masuk hari ini karena beliau sedang tidak sehat."

"Lucas sakit?"

"Benar, Bu. Beliau kurang sehat dari hari Jumat dan hari ini beliau memutuskan untuk tidak masuk kantor."

"Sakit apa?"

"Hanya demam karena terlalu letih bekerja, Bu. Belakangan Pak Lucas memang memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."

Masuk akal. Setidaknya Merita bisa lega karena Lucas hanya kelelahan, ia tidak sakit serius. Ia pasti sembuh hanya dengan istirahat yang cukup.

Tunggu.

Wajah Merita berubah berkat satu pemikiran yang melintas di benak. Ia mendapat kesempatan bagus sehingga memilih untuk duduk sejenak.

"Aku ingin bertanya satu hal padamu, Vlo. Aku tahu kau adalah orang yang dipercaya Lucas."

Vlora tersenyum. "Apa, Bu?"

"Apa kau tahu alamat rumah Lucas yang baru?" tanya Merita seraya menatap lekat Vlora. Tangannya tampak mengetuk meja tanpa suara. "Dia sudah lama tidak tinggal di rumahnya."

"Mohon maaf, Bu. Saya tidak mengetahui alamat rumah Pak Lucas yang baru."

Keramahan Merita menghilang dan tergantikan cemberut sekilas. Ia mendengkus kesal dan bangkit. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berlalu dari sana.

Vlora membuang napas panjang. Kepergian Merita membuatnya merasa lega. Setidaknya sekarang hanya tertinggal satu urusan di luar pekerjaan yang memiliki potensi menyita waktu.

Pintu ruang kerja Lucas terbuka. Seorang pria bersorot mata jahil menatap dirinya.

"Kau tidak bohong ketika mengatakan Lucas sakit?"

Vlora membuang napas panjang seraya menahan kesal. "Saya tidak pernah berbohong, Pak. Beliau memang tidak masuk hari ini karena sakit. Kalau Bapak tidak percaya maka Bapak bisa menunggu seharian di ruangan beliau."

Tawa Andreas berderai. Ia menghampiri dan menduduki kursi yang tadi ditempati Merita.

"Benarkah kau tak pernah berbohong?" tanya Andreas dengan kesan sangsi. "Bukankah kau tadi berbohong pada ibu Lucas?"

Vlora mengerjap sekali dan Andreas mengangkat bahu sekilas.

"Kau tentu tahu di mana rumah Lucas. Dia selalu menugaskan sekretarisnya untuk mengurus hal semacam itu."

Sebisa mungkin Vlora tetap menjaga sikap. Ia menarik napas dalam-dalam dan membalas perkataan Andreas dengan tenang.

"Pak Lucas sekarang tinggal di apartemen, bukan di rumah."

Kilat di mata Andreas berpijar. Vlora menuntaskan penjelasannya dengan satu kalimat pasti.

"Jadi saya memang tidak berbohong ketika mengatakan tidak mengetahui alamat rumah Pak Lucas yang baru."

Andreas menyeringai.

*

Lucas merasa benar-benar dirawat Velia. Bahkan ketika harus bekerja, Velia memastikan semua keperluan Lucas telah ia siapkan tanpa ada yang tertinggal.

Makanan, pakaian, hingga minum hangat telah Velia sediakan. Semuanya adalah bentuk perhatian yang membuat Lucas benar-benar merasa beruntung.

Keadaan Lucas sudah sangat membaik. Demam hilang dan tubuhnya terasa lebih segar. Jadi tak heran bila ia menyempatkan diri untuk bekerja di sela-sela istirahat yang masih dijalani.

Dering ponsel menarik perhatian Lucas. Ia menjeda pekerjaan dan mengangkat panggilan tersebut setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.

"Halo, Ma."

"Lucas. Kau sedang sakit?"

Dahi Lucas mengernyit. "Dari mana Mama tahu?"

"Mama pergi ke kantor dan kau tak ada," jawab Merita di seberang sana. "Vlora mengatakan kau sakit. Apa benar?"

Lucas menarik napas dalam-dalam. Ia menyadarkan punggung di kursi dan membenarkan pertanyaan sang ibu.

"Hanya demam biasa. Aku terlalu sering lembur akhir-akhir ini."

"Apa kau sudah berobat?"

"Mama tidak perlu cemas. Aku sudah membaik saat ini."

Berkat istirahat cukup, makan teratur, dan bantuan obat penurun panas. Lucas tersenyum kecil ketika mengingat Velia yang merawatnya.

"Sebenarnya aku sudah sehat hari ini, tapi aku memutuskan untuk istirahat."

"Syukurlah kalau bagitu. Mama jadi tenang. Oh ya, Luc. Apa kau sudah makan siang? Mama bisa mengantar makan siang ke tempatmu."

Lucas mendengkus samar. "Tak perlu mencemaskan makan siangku, Ma. Aku bisa pastikan kalau makanku terjamin. Tidak terlambat dan pastinya bergizi. Jadi Mama tidak perlu berusaha mencari cara untuk mengetahui keberadaanku sekarang. Aku tidak ingin justru Sonya yang datang dan membuat istirahatku terganggu."

Kesiap Merita terdengar nyata walau hanya lewati sambungan telepon. Respons yang menyiratkan kaget. Seharusnya Merita tak kaget bila Lucas bisa menebak maksudnya.

"Aku bisa pastikan sesuatu, Ma. Semenit aku melihat Sonya maka penyakitku akan datang lagi."

"Luc! Mama—"

"Terima kasih karena Mama mengkhawatirkan keadaanku, tapi aku benar-benar dirawat dengan baik di sini. Mama tak perlu cemas," potong Lucas cepat. "Jadi kalau Mama berniat memanfaatkan momen ini untuk menjadi kesempatan Sonya, maaf. Aku sungguh tidak tertarik padanya."

"Oh, astaga."

"Kita sambung pembicaraan ini lain waktu, Ma. Aku ada sedikit pekerjaan."

"Terserah padamu, Luc!"

Lucas memejamkan mata tatkala Merita berseru. Pun hanya bisa membuang napas panjang ketika panggilan berakhir di waktu tepat.

Tatapan Lucas tertuju pada jam di ponsel. Seberkas ketidaknyamanan di wajahnya yang timbul berkat perbincangan dengan Merita langsung menghilang ketika ia menyadari sesuatu.

Sekarang adalah jam istirahat kantor. Ada waktu bebas yang bisa dimanfaatkan Lucas dan itulah yang ia lakukan.

"Halo, Luc."

Velia mengangkat panggilan Lucas hanya dalam waktu dua detik yang singkat. Cepat dan dengan segera mengisi indra pendengaran Lucas dengan suara lembutnya yang terkesan berbisik di sana.

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Lucas tersenyum kecil. Kekhawatiran Velia membuat hatinya berbunga-bunga.

"Ya. Memang ada sesuatu yang terjadi."

"Apa?"

Kecemasan Velia semakin terasa. Suaranya menyiratkan khawatir tak main-main. Untuk itu, Lucas mengulum senyum dan memberikan jawaban yang bisa dipastikan membuat Velia terpaku di seberang sana. Jawaban tersebut adalah.

"Aku rindu."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top