40. Dua Pilihan

Fyi. Semua cerita akan tamat di bulan ini.

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

Ada sesuatu yang membuat tidur Velia berubah tak nyaman. Ketenangan dan kedamaian yang merengkuhnya sepanjang malam menghilang. Tergantikan oleh deru napas tak beraturan, berikut dengan hawa tak biasa.

Velia mengernyit. Matanya membuka pelan dan tak merasa aneh ketika adalah dada Lucas yang menjadi hal pertama dilihatnya. Melainkan pelukan Lucas yang justru menyiratkan keanehan.

Ada panas menguar. Berasal dari tubuh Lucas. Panas yang tak biasa.

Velia mengumpulkan kesadaran. Ia mengangkat wajah dan mendapati keanehan lain.

Keringat memercik di wajah Lucas. Penuh dan bulirnya tampak besar-besar.

Velia mengulurkan tangan. Sekilas ia menyentuh sebulir keringat dan lantas berakhir pada dahi Lucas.

Bola mata Velia membesar bertepatan dengan lenguhan tak nyaman Lucas. Ia membuka mata dan lantas tersenyum.

"Selamat pagi."

Velia bangkit dengan wajah cemas. Bukannya balas menyapa, ia justru terlihat panik ketika berkata.

"Kau sakit, Luc."

Lucas turut bangkit seraya meringis pelan. "Tidak, tapi aku memang merasa sedikit letih."

Adalah wajar bila Lucas kelelahan. Belakangan ia kerap lembur dan pukul sebelas adalah waktu tercepat baginya untuk bergabung dengan Velia di kamar.

Tak hanya itu. Velia pun tak akan mengabaikan fakta bahwa berulang kali Lucas pulang terlambat.

"Kau memang sakit, Luc," ulang Velia dengan penekanan. "Tubuhmu panas. Sebaiknya kita panggil dokter dan kau jangan ke kantor dulu hari ini. Kau harus istirahat."

Bahkan dari cara mengedipkan mata saja Velia bisa yakin sepenuhnya bahwa Lucas sedang tidak sehat. Ia terlihat lesu dan tak bertenaga.

Lucas menangkup satu pipi Velia dan membelainya. "Tenang, Ve. Aku baik-baik saja. Lagi pula hari ini aku harus ke kantor. Ada janji temu yang sangat penting."

"Apa kau tak bisa menundanya?" tanya Velia penuh harap. Ia meraba jemari Lucas di pipi. "Menjadwal ulang? Kau benar-benar sakit."

"Bukan hal mudah menemukan jadwal kosong antara dua orang."

"Aku tahu, tapi—"

"Tenanglah. Aku baik-baik saja. Lagi pula besok Sabtu. Aku bisa beristirahat seharian."

Velia tampak keberatan dengan penawaran tersebut. Sayang, ia pun menyadari bahwa tak ada yang bisa dilakukannya. Lucas memiliki tanggung jawab dan ia tak bisa menggantikan atau sekadar membantu.

"Kau benar-benar harus beristirahat besok, Luc."

Kesepakatan didapat. Lucas mengangguk seraya tersenyum.

"Tentu saja. Jadi apa kau bisa menyiapkan sarapan hangat untuk pria yang kau diagnosis sakit ini?"

Lelucon Lucas tak berhasil. Kekhawatiran membuat wajah Velia tertekuk, tapi ia tetap mengiyakan.

Velia bergegas. Ia menyiapkan sarapan yang dirasa tepat untuk Lucas sebelum turut bersiap. Ketika mereka duduk di meja makan, Lucas menarik napas penuh arti.

"Bubur."

"Itu akan membuatmu hangat dari dalam," yakin Velia tanpa ragu. "Makanlah."

Lucas tak mendebat. Kekhawatiran yang terpancar di mata Velia membuatnya merasa tak enak. Jadi ia tetap menghabiskan sarapan terlepas dari ketidaksukaannya akan tekstur lembut bubur.

"Kau akan baik-baik saja, Luc?"

Bila tidak dalam keadaan kurang sehat, Lucas pasti akan tergelak untuk cemas yang selalu Velia tanyakan sedari tadi. Tak hanya di saat bangun tidur, bersiap, atau sarapan, bahkan ketika Velia sudah duduk di dalam mobil, ia tetap menanyakan hal serupa.

Lucas tersenyum geli seraya menahan pintu mobil. "Aku tidak terlihat seperti pria yang akan mati dalam waktu dekat bukan?"

Kembali, lelucon Lucas tak berhasil. Velia menatap datar pada pucat wajah Lucas. Sebenarnya sedikit lebih bewarna ketimbang bangun tidur, tapi itu tak bisa menenangkan Velia.

"Aku harap kau tak bekerja terlalu banyak hari ini."

"Aku akan mengingat itu," kata Lucas menenangkan seraya berpaling pada Iwan. "Hati-hati di jalan, Wan."

Velia dan Lucas berpisah pada kendaraan yang berbeda. Keduanya menuju kantor dengan beriringan dalam jarak tak seberapa. Setidaknya Velia masih bisa melihat mobil Lucas bila melongok ke belakang.

Apa dia akan baik-baik saja?

Berulang kali Velia melihat mobil yang membawa Lucas hanya untuk menenangkan diri. Rasa khawatirnya tak bisa didamaikan hanya dengan semangkuk bubur.

Velia telah mengenal Lucas dalam bilangan tahun yang tak sedikit, mungkin sepuluh atau sebelas tahun. Selama itu ia menyadari bahwa Lucas adalah tipe orang yang jarang sakit. Kekebalan tubuh dan pola hidupnya yang sehat turut berperan penting dalam kebugaran sehari-hari. Sayang, Lucas kurang istirahat.

Sebagai pimpinan perusahaan besar, memang adalah hal wajar bila Lucas memiliki jadwal dan pekerjaan yang padat. Ia memiliki tanggung jawab yang besar sehingga istirahat bisa menjadi hal yang terabaikan.

Tidak. Aku akan memastikan akhir pekan ini tak ada pekerjaan yang disentuh Lucas.

Velia membuang napas panjang. Setidaknya itu bisa sedikit menekan rasa cemasnya walau tak berarti banyak. Lantaran di malam hari, Lucas kembali pulang terlambat.

Gelisah membuat Velia mondar-mandir. Ia kerap melihat jam dinding ketika pesannya tak mendapatkan balasan.

Lucas tentunya masih bekerja sehingga tidak bisa balas menghubungi. Velia tahu dan itulah yang membuat kegelisahan semakin menjadi-jadi.

Pintu berbunyi. Velia tergesa menuju pintu dan mendapati Lucas pulang dengan napas terengah-engah.

"Luc!"

Velia berseru seraya meraih tubuh Lucas di depan pintu. Ia berjaga-jaga, takut bila Lucas mendadak ambruk. Di matanya, sungguh Lucas tampak tak bertenaga.

"Jarang sekali aku melihatmu menyambut kepulanganku seperti ini."

Velia mendelik seraya membawa Lucas ke kamar. "Ini tidak lucu sama sekali, Luc. Kau benar-benar sakit."

Gerutuan Velia menerbitkan senyum geli Lucas. Ia menatap Velia dan mendapati khawatir di matanya telah bercampur kesal. Lucas tak akan membela diri untuk itu.

Velia mendudukkan Lucas di sisi tempat tidur. Ia sisihkan tas kerja dan segera melepas jas serta dasi. Pun mengeluarkan kancing di pergelangan tangan kemeja, lalu beralih pada ikat pinggang.

Lucas menahan jari Velia. Matanya menyipit dengan pertanyaan menggoda.

"Kau tidak bermaksud untuk mengajakku bercinta bukan?"

Velia yakin seratus persen bahwa Lucas memang sakit. Seharian ini sudah tak terhitung lagi berapa kali Lucas mengajaknya bercanda. Tentu, lelucon dan Lucas bukanlah hal yang ditakdirkan bersama. Melainkan sebaliknya.

Itu adalah cara yang Lucas gunakan untuk meyakinkan Velia bahwa dirinya baik-baik saja. Sayang, Velia mengetahui strategi tersebut.

"Kita sudah bersama sekian lama."

Lucas mengerjap. Ucapan Velia terdengar familier.

"Jadi kau tak perlu berpura-pura, Luc," kata Velia seraya menggeleng sekali. "Kau sakit dan satu-satunya cara untuk menenangkanku adalah dengan segera sembuh."

Sekarang Lucas tak mengatakan apa-apa lagi. Ia mengangguk samar dan diam saja ketika Velia membantunya membersihkan diri. Pun termasuk tak menolak ketika Velia memintanya untuk beristirahat di tempat tidur.

"Kau istirahat dulu sementara aku memasakkanmu sesuatu. Apa kau ingin makanan tertentu?"

Lucas berbaring dan selimut bergerak menutupi tubuh. "Tidak ada. Aku tahu semua yang kau masak akan terasa sama enaknya di lidahku."

Velia menekankan tepi selimut di dada Lucas. Matanya menyipit dengan sorot ancaman.

"Tunggu sampai demam itu membuat lidahmu hambar. Baru kau akan menolak segala jenis masakan yang aku masak."

Kali ini bukan strategi. Lucas benar-benar refleks tertawa.

*

Velia bangun di tengah malam. Ia kembali mengompres dahi Lucas dan memperbaiki letak selimutnya yang sedikit bergeser. Juga tak lupa memastikan suhu kamar tidak terlalu rendah untuk Lucas.

Demam Lucas belum turun. Keringat masih terus memercik memenuhi wajah dan tubuh. Ia tampak tak nyaman dalam tidur.

Velia membuang napas panjang. Ia mencoba untuk sabar. Bila Lucas sakit karena kelelahan maka seharusnya ia akan segera sembuh setelah beristirahat penuh bukan?

Matahari menyingsing. Pagi datang dan membuat kesabaran Velia diuji. Demam Lucas belum menunjukkan perubahan sedikit pun.

"Mungkin sebaiknya kita memanggil dokter, Luc," usul Velia seraya mengambil handuk kompres dari dahi Lucas. "Demammu belum turun."

Lucas menggeleng dan semakin bersembunyi di balik selimut. Ia menggigil sehingga Velia buru-buru menaikkan kembali suhu kamar.

"Tidak perlu dokter. Aku hanya perlu istirahat. Sebentar lagi pasti panasnya turun."

Velia menyerah. Lucas tak akan bisa dibujuk dan ia tak akan menghabiskan waktu untuk itu. Lebih baik ia upayakan apa yang bisa diupayakan. Misalnya dengan memastikan Lucas tetap makan tepat waktu.

Lucas meringis melihat semangkuk bubur yang Velia bawa. Ekspresinya menunjukkan keberatan.

"Apa kita tak punya bahan makanan lagi di dapur? Mengapa akhir-akhir ini aku hanya makan bubur?"

Sendok di tangan Velia bergerak ke depan mulut Lucas. Aneka sayur yang biasanya menarik selera Lucas berganti oleh rasa mual.

"Hanya sampai kau sembuh. Setelah itu aku akan memasakkan apa pun yang kau mau."

Lucas membuka mulut dan menelan bubur dengan wajah tersiksa. "Apa pun?"

"Apa pun. Yang penting kau sehat dulu."

Senyum lesu mengembang di wajah Lucas. Tangannya terulur dan ia pegang pinggang Velia.

"Apa aku benar-benar menyedihkan kalau sedang sakit?"

Velia menyendok suapan bubur berikut. "Kau satu-satuya yang ada di sisiku sekarang, Luc. Aku tidak ingin kau sakit."

Sendok berhenti bergerak. Wajah Velia tertunduk dan ia perlu dua detik untuk memenangkan diri.

"Jadi aku harap kau segera sembuh."

Lucas tertegun. Ia tatap mata Velia dan tak ada apa-apa di sana, selain ketakutan yang nyata.

Rasanya benar-benar membuat Velia tak tenang. Ketidakberdayaan Lucas karena sakit sungguh bertolak belakang dengan kesehariannya selama ini. Ia tampak lemas dan menyedihkan. Tak jarang ia pun meringik dalam tidur.

Velia merasa sedih. Sakit membuat Lucas tersiksa dan ia melakukan apa pun untuk meringankannya. Pun termasuk dengan pijatan.

Lucas sempat menolak, tapi Velia bersikeras. Selain itu pijatan memberikan kesan nyaman tersendiri yang membuat Lucas akhirnya luluh.

Rasanya menyenangkan. Menenangkan. Jadi tak mengherankan bila Lucas bisa tertidur nyenyak setelahnya.

Velia bergabung sesaat kemudian. Ia beringsut di dekat Lucas dan turut tidur ketika letih mengundang kantuk tak tertahankan.

Nyatanya menjaga orang sakit menguras tenaga. Pun waktu. Untuk itu Velia harus turut beristirahat bila tak ingin jatuh sakit pula.

Sayangnya istirahat membuat Velia nyaris melupakan sesuatu penting di hari Minggu. Ia masih tertidur bersama Lucas ketika satu panggilan menggetarkan ponsel Velia di pukul sembilan.

Velia bangun dan segera mengangkat panggilan yang sudah bisa ditebak berasal dari mana. Ia hanya mengatakan 'ya' dan 'aku akan segera ke sana' sebelum mengakhiri telepon tersebut.

Herry akan dioperasi dan Lucas sedang sakit. Ini tidak seperti rencana Velia tempo hari. Bagaimana mungkin ia berbohong ketika Lucas juga dalam keadaan tak baik?

"Ve?"

Velia tersentak dari lamunan. Ia berpaling dan mendapati Lucas berusaha untuk bangkit dari tidur.

"Luc," lirih Velia membantu Lucas duduk bersandar di kepala tempat tidur. "Kau sudah bangun?"

Lucas mengangguk. "Ada apa? Siapa yang meneleponmu?"

Ponsel di tangan dan riwayat panggilan yang masih tertera di layar adalah bukti yang tak bisa dielak Velia. Ia tak bisa berbohong walau bukan berarti ia benar-benar jujur saat menjawab.

"Aku mendapat telepon dari rumah sakit."

"Rumah sakit?" ulang Lucas yang langsung mendapat anggukan Velia. "Ada apa? Siapa yang sakit?"

Inilah saatnya. Ini masa yang menentukan. Apakah Velia akan tetap pada rencana atau sebaliknya?

Lucas menunggu. Ia tatap mata Velia dengan sorot lesu yang membuat hati siapa pun akan terenyuh.

Velia menguatkan diri. "Metta."

"Oh."

Lucas membuang napas panjang dan matanya mengerjap sekali. Di waktu yang tepat, ia sembunyikan seberkas emosi di manik gelapnya.

"Dia teman kerjaku yang tempo hari pernah aku ceritakan."

"Aku ingat. Jadi ada apa dengannya?"

"Dia sedang sakit dan dirawat rumah sakit, tapi tak ada keluarga yang mendampinginya," jawab Velia dengan wajah tertunduk tanpa sadar. "Ia seorang diri di rumah sakit."

Velia menggigit bibir bawah. Ia memejamkan mata dan berusaha untuk tidak goyah ketika nyeri menyapa jantung. Tak bisa dibendung, ia merasa begitu jahat.

"Kau ingin menemani Metta di rumah sakit?"

Bukan hanya pertanyaan itu yang membuat mata Velia membuka, melainkan sentuhan lembut Lucas di tangan. Jemarinya diraih dan Lucas berikan remasan penuh perasaan.

"Pergilah," kata Lucas tersenyum. "Aku sudah merasa baikan dan sepertinya aku akan benar-benar sehat setelah tidur siang nanti."

"K-kau juga sedang sakit, Luc."

"Tak apa. Hubungi Iwan untuk mengantarmu."

Perasaan Velia bercampur aduk. Keinginannya untuk mendampingi Herry berperang dengan keinginan untuk menemani Lucas.

Lucas meremas jemari Velia sedikit lebih kuat. "Aku baik-baik saja. Lagi pula kau bisa menemaniku malam nanti."

Berat, tapi pada akhirnya Velia mengangguk. Ia bangkit dan Lucas menarik tangan, membiarkan Velia untuk segera bersiap.

Lucas menarik napas dalam-dalam. Ada bongkahan pahit yang mendadak hadir di pangkal tenggorokan. Getir dan ia paksa diri untuk menelan rasanya bulat-bulat.

"Aku akan usahakan untuk pulang secepatnya, Luc."

"Hati-hati di jalan dan jaga dirimu baik-baik."

Velia menundukkan wajah. Sebagai bentuk pamit, ia daratkan kecupan di pipi Lucas. Lantas berbisik.

"Aku pergi."

Lucas lepas kepergian Velia dengan tatapan kosong. Untuk beberapa saat, ia hanya termenung.

Dia menemanimu bukan karena dia memiliki perasaan padamu, Her. Velia hanya merasa berutang budi dan aku membiarkan dia pergi hanya untuk mengurangi rasa bersalahnya. Kita sama tahu siapa yang dia cintai selama ini.

Lucas menandaskan air di nakas demi meredakan panas tak nyaman di dada. Bukan berasal dari demam, melainkan gejolak rasa yang tak bisa ia tepis.

Air habis dan tak ada perubahan yang Lucas dapatkan. Justru sebaliknya, ia makin kehausan.

Lucas keluar dari kamar dengan langkah goyah. Berniat ke dapur dalam penuntasan dahaga, ia dapati dunia berputar dalam pandangan. Ia berpegang pada dinding. Mencoba untuk bertahan, tapi kakinya benar-benar lunglai.

Gaya gravitasi bertindak. Ia berencana untuk mengambil kuasa atas tubuh Lucas. Namun, satu tangan mengenyahkan kemungkinan Lucas jatuh.

Lucas tertegun. Ada rengkuhan yang meraih pinggang dan memeluknya erat. Berikut dengan suara lembut yang terdengar cemas berkata.

"Kau bilang kau sudah membaik dan lihat sekarang? Keadaanmu masih mengenaskan."

Lucas mengerjap sekali. Mungkin ia salah melihat, tapi mungkin juga tidak.

"Ve?" lirih Lucas tak percaya. "Kau tak jadi pergi."

Velia menatap Lucas lekat dengan beragam emosi. "Bagaimana bisa aku pergi kalau kau seperti ini?"

Lucas tersenyum dan entah kekuatan itu datang dari mana, tapi ia meraih tubuh Velia dan memeluknya erat.

*

bersambung ....

Sekadar info: yang mau versi lengkap bisa beli PDF atau buku. Juga bisa baca di KaryaKarsa. Makasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top