4. Tawaran

Lucas membiarkan Velia menahan tangannya. Tak menampik, ia justru mendekatinya.

Wajah Lucas menunduk samar. Berusaha menatap mata Velia yang terangkat dan menuju padanya.

Sedetik, Lucas merasa pikirannya kosong. Lalu setelahnya sesuatu melintas di benak.

"Aku akan mengembalikan pekerjaanmu, tapi sebagai gantinya kau kembali padaku."

Persis seperti dugaan Lucas, ucapannya membuat Velia terhenyak. Lucas bertahan pada nyeri yang muncul meremas jantung. Velia bereaksi seolah memang tak ingin berdekatan lagi dengannya.

Apa yang sudah aku lakukan sehingga kau membenciku seperti ini, Ve?

Bibir berubah pucat dan Velia gemetar. Genggamannya pada tangan Lucas lepas. Ia mundur selangkah seraya menggeleng.

"Tidak mungkin."

Lucas melirik sekilas pada tangan Velia yang melepaskannya. Menimbulkan pahit di pangkal tenggorokan dan Lucas menelannya bulat-bulat.

"Mungkin saja. Kau menginginkan pekerjaanmu dan aku menginginkan dirimu. Kita bisa memanfaatkan ini untuk saling menguntungkan."

"Aku benar-benar sudah melupakanmu, Luc. Aku sama sekali tidak mencintaimu lagi."

Lucas menggertakkan rahang dengan keras. "Apa aku mengatakan bahwa aku menginginkan cintamu?"

"Maksudmu?"

Memanfaatkan tubuh Velia yang kaku membeku di tempatnya berdiri, Lucas mengikis jarak di antara mereka.

"Kita buat pertukaran yang realistis, Ve. Tak perlu melibatkan perasaan apa pun di sini."

"K-kau."

"Semua ada harga dan kupikir itu setimpal dengan pekerjaan yang akan kau dapatkan lagi."

Bila tadi wajah Velia mengelam merah karena malu maka sekarang berbeda. Wajah Velia memucat putih karena ngeri. Sementara Lucas? Ia justru menyeringai penuh arti.

"Kau menginginkanku?"

"Seperti yang aku katakan tadi," kata Lucas. "Kembali padaku. Aku bahkan tak peduli kau masih mencintaiku atau tidak. Itu tak masalah."

"Maksudmu?"

Kepala Lucas menunduk. Ia mengarah pada telinga Velia dan berbisik lirih di sana. "Aku akan memberikanmu pekerjaan, tapi sebagai gantinya ..." Mata Lucas melirik rasa panik yang muncul di wajah gadis itu. "... berikan dirimu padaku."

Jantung Velia bagai berhenti berdetak. Ia menoleh dan menatap Lucas. Ekspresinya menunjukkan syok tak terkira.

"Kau pikir aku pelacur?"

Mata Lucas menatap dalam-dalam pada mata Velia. "Aku tidak mengatakan itu. Lagi pula aku rasa kau pun tak bisa dikatakan pelacur seandainya kau hanya menyerahkan dirimu padaku."

Syok? Lebih dari itu yang Velia rasakan sekarang. Ia sungguh tak mengira Lucas akan mengatakan itu padanya.

"Aku pun tak ingin berbagi dirimu dengan pria lain," tegas Lucas. "Kalau kau menyerahkan dirimu padaku, kau harus memastikan bahwa tak ada orang lain yang menyentuhmu. Kau tahu sifatku, Ve. Aku tak suka milikku disentuh orang lain."

"Kau gila."

Desisan Velia membuat Lucas menyunggingkan senyum miring. "Berarti kau tidak seputus asa itu untuk meminta pekerjaanmu lagi."

Velia mengepalkan kuat kedua tangan. Rasa malu dan rendah diri yang dirasakan sedari tadi hilang berganti, menyisakan panas yang membakar dada.

Memang, Velia mengabaikan malu dan harga diri. Namun, bukan berarti Lucas bisa merendahkannya sedemikian rupa.

Velia tak terima. Pun tak siap tatkala Lucas mengulurkan tangan tanpa terduga.

Lucas meraih pinggang ramping itu sehingga Velia jatuh dalam pelukan. Ia mencoba mendorong, tapi Lucas bergeming.

"Setelah bertahun-tahun kita tak bertemu ..."

Lucas berbisik di telinga Velia. Embusan napas hangatnya membelai dan Velia bergidik.

"... kau semakin cantik, Ve."

Berat, tapi Lucas tak bisa menampiknya. Pertama kali mereka bertemu setelah tujuh tahun berpisah, Lucas menyadari betapa Velia kian memesona.

Lucas tak akan lupa. Velia di masa kuliah adalah gadis pemalu yang teramat lembut. Namun, lihatlah sekarang perubahannya. Ia menjelma jadi wanita dewasa yang menakjubkan.

Tatkala dulu Lucas memutuskan untuk menjadikan Velia sebagai kekasih, ia sudah mengetahuinya. Velia adalah gadis cantik lemah lembut yang membuatnya merasakan cinta gairah muda.

Itu adalah masa-masa indah yang tak pernah Lucas kira akan mewarnai kehidupan mudanya. Terlebih tak mengira bahwa akan ada masa di mana Velia meninggalkannya tanpa kata-kata.

Ironis, satu kenyataan menampar Lucas ketika mereka bertemu lagi. Ternyata ia tak melupakan Velia.

Naif dan memalukan bagi Lucas, tapi bagaimana bisa dirinya terdorong untuk mendapatkan Velia kembali? Apakah ini ego pria? Insting alamiah yang memberontak lantaran tak terima dengan kenyataan dirinya ditinggalkan tanpa sebab oleh seorang wanita?

Mungkin saja. Terdengar masuk akal.

Lucas adalah tokoh dominan. Sosok pengendali dan penuh kuasa. Ia tak terjamah sembarang orang.

Memasuki dunia Lucas adalah mustahil bagi sebagian orang. Pria atau wanita, tak semua memiliki kesempatan. Lantas bagaimana bisa ia justru dicampakkan seorang wanita?

Tidak. Lucas harus membuka mata lebar-lebar dan melihat jelas pada kenyataan. Ia bukan hanya dicampakkan di tujuh tahun lalu. Alih-alih sekarang ia pun ditolak pula oleh wanita yang sama.

Di mana muka Lucas? Di mana harga diri Lucas?

Lucas sudah merendahkan ego. Menekan harga diri dan sedikit meminta. Nahas, Velia justru menolaknya mentah-mentah.

Mata Lucas menggelap. Ia tersulut dan tak lagi berpikir jernih.

"Lepaskan aku, Luc."

Lucas justru kian mempererat rengkuhan. "Kembali padaku dan aku akan mengembalikan pekerjaanmu."

Mengesampingkan penolakan dan rasa rendah yang diterima, Lucas menyadari sesuatu. Bahwa melihat Velia memohon adalah hal yang cukup setimpal dengan rasa kecewa yang dirasakannya.

Velia berontak. Kedua tangan naik dan berusaha mendorong dada kokoh Lucas, tapi teramat susah. Pun menggeliat demi menciptakan sedikit celah terasa percuma.

Lucas menggeram samar. Geliat tubuh Velia dalam pelukannya berdampak lain. Jantungnya berdebar. Darahnya berdesir. Ada sesuatu yang bangkit dan kesadaran lagi-lagi menamparnya. Pesona yang Velia miliki berdampak tak main-main untuk Lucas.

Velia masih berusia 22 tahun saat mereka bersama dulu. Ia baru menginjak masa dewasa muda. Sekarang? Semua yang ada di diri wanita itu adalah pesona. Penuh daya pikat yang tak mampu Lucas tolak.

Kulit Velia putih bersih. Pipinya merona dalam malu dan marah. Pun bibirnya merah merekah. Semua ditunjang apik oleh sepasang kaki jenjang yang menopang godaan pinggulnya.

Namun, semua belum seberapa saat pelukan melenyapkan jarak antara mereka. Tubuh keduanya menempel dan kelembutan payudara Velia di dadanya membuat Lucas menggertakkan rahang.

Lucas mungkin memang merasakan sentilan pada ego dan harga diri laki-lakinya, tapi ia tak mampu memungkiri. Bahwa jauh di dalam lubuk hati, ada kerinduan yang tak mampu ia tahan.

Rasa rindu bangkit. Memberontak. Mendorong Lucas melakukan tindakan di luar nalar.

Lucas mencondongkan wajah. Menuju lekuk lembut di leher Velia. Ia mengecup lembut dan Velia seketika merinding.

"Luc! Lepaskan aku."

"Aku bisa memberikanmu lebih dari sekadar pekerjaan, Ve," bisik Lucas dengan suara berat. "Jadi milikku dan akan kuberikan semua yang kau inginkan. Apa pun itu. Jangankan sekadar pekerjaan, apa pun yang kau minta pasti akan kuberikan."

Velia meneguk ludah. Ia hirup napas dalam-dalam demi menenangkan diri, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Aroma Lucas turut serta memenuhi rongga paru-paru Velia. Menghantarkan beragam sensasi yang membuatnya meremang.

"Bagaimana, Ve?"

Suara Lucas kian berat, cenderung parau. Napasnya pun semakin hangat menderu.

"Aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kau tak perlu khawatir."

Velia menggeleng. Bila tak bisa melepaskan diri dengan rontaan maka ia akan melakukan hal lain. Ia akan memastikan Lucas sendiri yang melepasnya. Berkat kata-kata yang ia ucapkan.

"Aku tidak akan pernah kembali padamu, Luc. Tidak akan pernah."

Lucas membeku. Kerinduan yang sempat menutupi matanya sirna. Hilang tanpa sisa dan tergantikan panas membara di dada. Emosi bergolak, ia teramat murka ketika mendorong tubuh Velia.

"Pergi! Jangan pernah tunjukkan dirimu lagi di hadapanku."

*

Tubuh Velia masih bergetar parah ketika sampai di kontrakan. Setiap perkataan dan tindakan Lucas tadi membuatnya sangat gemetaran. Keringat dingin terbit dan membasahi nyaris seluruh tubuh.

Velia bergegas ke dapur demi melegakan tenggorokan dengan segelas air sejuk. Tidak. Ternyata belum cukup. Nyatanya ia butuh tiga gelas untuk benar-benar menenangkan diri.

Beranjak menuju tempat tidur, Velia mengusap wajah. Ia terduduk lunglai dengan pikiran menyedihkan. Agaknya menemui Lucas adalah tindakan paling bodoh yang pernah ia lakukan seumur hidup.

Velia merutuki diri sendiri yang sempat mengira bahwa Lucas bisa menjadi jalan keluar. Ia keliru. Bukannya membantu, tapi Lucas justru ingin memanfaatkan situasi demi keuntungan sendiri.

"Menyerahkan diriku padamu, Luc?" tanya Velia ironis. "Tidak mungkin."

Velia merebahkan tubuh di kasur. Matanya terpejam dan berusaha mengenyahkan semua dari pikiran. Ia tak bisa berlama-lama larut dalam kesedihan dan marah. Waktu terbatas dan satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah mencari pekerjaan baru.

Sayangnya mencari pekerjaan baru memang bukan sesuatu yang mudah. Tidak hanya soal level pendidikan, tapi ada banyak hal yang berperan penting di sana. Alhasil wajar bila Velia tidak mendapat titik terang walau telah berhari-hari ia berusaha.

Waktu berputar lebih cepat yang Velia duga. Hari berganti minggu dan ia kian putus asa.

"Kau sudah dapat pekerjaan baru?"

Velia tersentak kaget. Ia baru saja tiba di kontrakan dan sedang membuka pintu saat Nia menghampiri.

Persis seperti yang sudah-sudah, Nia datang dengan sebatang rokok yang berasap dan rol rambut yang menghiasi kepala. Ia melirik tas kerja Velia, lalu mengembuskan asap. Velia terbatuk dan ia tak peduli sama sekali.

"Sudah dapat atau belum?" tanya Nia menyentak dengan suara galak. "Aku bertanya, eh tidak kau jawab!"

Velia menggeleng takut-takut sementara Nia tak terkejut sama sekali. Ia mendengkus dan memutar bola mata sekali.

"Sudah kubilang, mencari pekerjaan zaman sekarang itu susah. Nah! Mengapa kau mencari yang susah kalau ada yang mudah? Kau tinggal jual saja wajah dan tubuhmu itu. Cari orang kaya yang ingin menjadikanmu sebagai simpanan. Ck. Disuruh kerja enak kok malah menolak?"

Nia berulang kali menggeleng kepala seraya melihat Velia. Sungguh! Ia tak habis pikir mengapa Velia tidak memanfaatkan kelebihan yang dimiliki? Rugi sekali.

"Kau tanya saja di luaran sana," lanjut Nia setelah mengisap sejenak rokok. "Banyak wanita yang berharap bisa memiliki wajah dan tubuh sepertimu. Karena apa? Agar mereka bisa menjual diri lebih mudah dan mahal."

Velia merinding. Mungkin itu adalah harapan wanita lain, tapi bukan dirinya. Jangankan menjalani hidup seperti itu, bahkan membayangkannya saja ia tak sanggup.

Agaknya Nia bisa meraba pemikiran Velia. Itu bukan hal sulit untuknya. Ia yakin bahwa nyaris seratus persen wanita tidak akan mau bekerja seperti itu. Namun, apa yang bisa dilakukan ketika kehidupan kian kejam?

Nia melangkah sekali. Kian mendekati Velia dengan decakan yang tak putus-putus.

"Kau harusnya berpikir logis saja, Ve. Di mana lagi ada pekerjaan enak selain menjadi pemuas nafsu orang kaya?"

Wajah Velia memerah. Nia tergelak dan mengisap sejenak rokoknya sebelum lanjut bicara.

"Yang perlu kau lakukan hanya membuka kakimu lebar-lebar. Biarkan kejantanan mereka masuk dan kau akan mendapat uang."

Tuntas mengatakan itu, Nia kian terbahak. Velia bergeming. Wajahnya sudah benar-benar kelam.

"Kau akan puas dan kau dapat uang. Bukankah itu enak?" tanya Nia menyeringai. "Percaya padaku, kau akan ketagihan. Sekali kau merasakan kejantanan itu menyodok-nyodok kewanitaanmu dan kenikmatan itu datang, kau akan lupa segala macam tentang rasa malu."

Tak ada kata-kata yang mampu Velia ucapkan. Di telinganya, Nia bukan sedang memberi jalan keluar. Alih-alih jalan menuju jurang.

Nia menepuk pundak Velia. "Kau tinggal cari saja pria yang mau memeliharamu. Kalau kau tak suka yang tua, tak jadi masalah. Banyak pria muda yang sudah terbiasa menyimpan wanita. Kau tak perlu malu. Harga diri tak bisa membuatmu kenyang."

Itulah hal terakhir yang Nia katakan sebelum beranjak. Ia pergi dan meninggalkan Velia yang segera menarik napas dalam-dalam.

Butuh beberapa detik bagi Velia mengumpulkan kembali tenaga. Ia masuk dan tak lupa mengunci pintu.

Velia letih dan pembicaraan dengan Nia kian melelahkannya. Ia memutuskan untuk beristirahat. Menyedihkan, tapi hanya saat tidurlah ia bisa melupakan semua masalah.

Hari terus berganti. Pagi itu Velia baru saja bersiap untuk pergi tatkala para preman sudah mendatanginya.

"Halo, Ve."

Velia tersurut ke belakang sehingga punggung tertahan pintu. Wajahnya menyiratkan kaget dan ngeri akan kehadiran sekumpulan pria menakutkan.

Adalah Sambo yang maju. Mengenakan kaus tanpa lengan yang bertujuan untuk memakerkan tato di sepanjang lengan, ia menghampiri Velia.

"Apa aku bisa meminta uang itu sekarang?"

Tangan Velia bergetar di balik punggung. Ia mencoba tak gentar ketika menjawab.

"A-akan segera aku bayar."

Mata Sambo menyipit dalam kesan sangsi. "Benarkah?"

"Benar. Aku akan membayarnya malam nanti."

Keraguan Sambo berubah menjadi gelak tawa. Pun dengan teman-temannya yang turut tergelak.

"Kau pikir kau bisa kabur dari kami?"

"Tidak," jawab Velia berusaha tetap bertahan. "Malam nanti aku pasti membayar angsuran bulan ini."

"Jam berapa kau akan membayarnya?"

"Jam sembilan."

"Kau tidak mengira kalau kami tak mungkin datang kalau sudah semalam itu bukan?" tanya Sambo menyeringai. "Atau kau berniat kabur?"

Velia menggeleng sekali. "Kalau kalian tidak datang pun aku tetap bisa mengirim angsuran itu melalui transfer bank."

Sambo mempertimbangkan kata-kata Velia. Tanpa diduga, ia menyambar dagu Velia dan mencengkeramnya.

"Jangan uji kesabaran kami, Ve. Kau tentu tak ingin diperkosa beramai-ramai bukan?"

Velia memucat sementara para preman tertawa. Sambo melepas dagu Velia kasar dan mengajak teman-temannya pergi.

Menunggu sejenak, kemudian Velia menghubungi Metta. Bermaksud meminta bantuan, tapi jawaban Metta membuat harapannya sirna.

"Maaf, Ve. Seandainya bisa aku pasti meminjamkanmu uang, tapi sungguh. Uangku sudah habis kukirimkan pada keluarga."

Velia mengembuskan napas panjang. Ia tak mendesak. "Terima kasih, Met."

Harapan terakhir Velia hilang. Ia terpekur dan tak berani membayangkan nasib apa yang akan menimpanya. Peringatan Sambo mengiang di benak. Kengerian hadir tak terperi dan memaksa Velia untuk memutar otak.

Nahas. Di saat itu, satu-satunya yang terbersit di benak Velia adalah ....

"Aku bisa memberikanmu lebih dari sekadar pekerjaan, Ve. Jadi milikku dan akan kuberikan semua yang kau inginkan. Apa pun itu. Jangankan sekadar pekerjaan, apa pun yang kau minta pasti akan kuberikan."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top