39. Penyebab

Rino meremas ponsel. Perintah Merita membuatnya tak berkutik. Cepat dan tuntas, itu adalah dua hal mutlak yang harus diprioritaskan saat ini juga.

"Boy."

Rino segera menghubungi Boy. Persis Merita yang tak berbasa-basi, ia pun melakukan hal serupa.

"Aku akan membayarmu dua kali lipat. Aku ingin kau segera membereskan Velia sebelum akhir bulan ini."

Hanya itu. Setelahnya Rino mengakhiri panggilan dengan geram panik.

*

Sekilas embusan napas Velia turut membawa kelegaan di dada. Samar, ada seulas senyum yang melengkung di wajah. Tepat setelah panggilan yang ia terima berakhir.

"Bagaimana?"

Metta tak bisa menahan rasa penasaran yang mendera tatkala mengetahui bahwa adalah pihak rumah sakit yang menghubungi Velia siang itu. Berkenaan dengan Herry dan operasi, agaknya itu adalah berita bagus mengingat Velia tersenyum.

Velia mengangguk. "Semua lancar dan Herry akan dioperasi Minggu besok."

Sekarang bukan hanya Velia yang tersenyum dengan rasa lega, melainkan Metta pula. Sebagai orang yang mengetahui pasti masalah dan malang tersebut, tak heran bila Metta merasa demikian. Setidaknya ia tahu bahwa satu langkah telah memberi harapan baru untuk keduanya.

"Aku mendoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga operasi Herry sukses dan dia bisa segera pulih kembali."

"Terima kasih, Met."

Rasa senang Velia tak berlangsung lama. Hanya berjarak beberapa menit dari kegembiraan akan operasi Herry yang sudah membayang di depan mata, satu pemikiran melintas di benak Velia. Amat cepat menukar kelegaannya dengan kebingungan lain.

"Hanya saja," lirih Velia tak yakin. "Aku tak tahu apakah aku bisa menemani operasi Herry nanti."

Metta mengerti kekhawatiran Velia. Tak perlu dijelaskan secara gamblang, ia jelas mengetahui apa pastinya yang membuat Velia ragu.

"Itu pasti operasi yang tak sebentar. Alasan apa yang harus aku katakan untuk mendapat izin keluar?"

Metta diam sejenak, berpikir. "Apa kau tidak bisa mengatakan kalau ada keluargamu yang sakit?"

"Dia tahu semua hal tentangku, Met. Termasuk keluargaku. Aku tak bisa membohonginya dengan alasan itu."

"Bagaimana kalau kau mengatakan ingin menjenguk dan menemaniku yang sedang sakit?" tanya Metta tak kehabisan akal. Sekarang ia tampak yakin dengan idenya. "Mungkin nanti dia akan percaya."

Velia ragu. Menilik dari sifat Lucas, ia tak yakin itu adalah alasan yang cukup. Namun, tak ada salahnya mencoba bukan?

"Akan kucoba."

Sayangnya semakin Velia memikirkan hal tersebut maka semakin tak yakin pula dirinya. Bukan tanpa sebab, melainkan sangat penuh risiko.

Di sisi lain, Velia pun menyadari bahwa tak mungkin dirinya mengabaikan operasi Herry. Ia tak mungkin sejahat itu dan membiarkan Herry berjuang seorang diri tatkala kilas masa lalu berputar-putar di benak.

Adalah Herry orangnya yang menemani Velia di masa terpuruk. Ialah yang menguatkan Velia tatkala ia ingin menyerah pada hidup. Herry yang menggenggam tangan dan mengajaknya untuk melangkah kembali dalam setapak yang tak bercahaya.

"Iwan."

Velia memejamkan mata tatkala lidahnya bergerak memanggil nama sang sopir. Iwan yang tengah serius pada jalanan di depan, melirik sekilas pada spion dalam.

"Ya, Non?"

Velia menyerah. Ia tak bisa mengabaikan rasa mengganjal di benak yang terus berperang dengan akal sehat.

"Bisakah kita mampir ke rumah sakit kemarin? Hanya sebentar saja."

"Baik."

Jawaban cepat Iwan membuat dahi Velia mengerut. Itu membuatnya sedikit tak nyaman.

"Iwan."

Kembali, Iwan melirik. "Ya, Non?"

"Kau tidak menanyakan keperluanku?" tanya Velia tak yakin. "Biasanya kau selalu bertanya."

Iwan tersenyum kecil. Ekspresinya menunjukkan keramahan yang menenangkan.

"Tuan Lucas mengatakan kalau Nona sedang tidak sehat. Jadi saya pikir karena itu Nona ingin ke rumah sakit."

"Lucas mengatakan itu?"

Iwan mengangguk. "Beberapa hari yang lalu dan beliau berpesan untuk menjaga Nona dengan baik. Beliau mengkhawatirkan kesehatan Nona."

Wajah Lucas seketika memenuhi benak Velia. Ia tertegun dalam perhatian yang tak diduga. Sejenak menimbulkan rasa bersalah yang membuat napasnya menjadi berat.

Maafkan aku, Luc.

Untuk alasan yang tak bisa dimengerti, Velia merasa gundah menggelayuti pundak. Ia yang semula tak sabar demi menjenguk Herry justru merasa tak nyaman ketika berada di kamar perawatan.

Velia meraih tangan Herry. Ia genggam jemari tak berdaya itu dengan lembut, terkesan penuh kehati-hatian. Untuk beberapa saat, ia tak mengatakan apa-apa. Terdiam dan ia hanya menatap wajah Herry yang tiap hari kian mengurus.

"Herry, aku membawa kabar baik untukmu. Sebentar lagi kau akan dioperasi."

Dua kalimat berhasil Velia ucapkan dan itu dibayar tunai oleh embusan napas panjang. Agaknya rasa berat yang membebani lebih besar ketimbang yang diperkirakannya.

"Sejujurnya aku tak yakin bisa menemanimu nanti, tapi aku akan mencoba," lanjut Velia lirih seraya menarik udara dalam-dalam. "Aku tak tahu apakah nanti Lucas akan memberiku izin untuk pergi atau tidak."

Sekali nama Lucas terucap dari bibir maka rasa tak nyaman seketika berdenyut di dada Velia. Udara yang ia hirup berubah panas dan terasa menusuk paru-paru.

"Aku harap kau tak menyalahkan Lucas, Her. Tidak sekarang ataupun nanti kalau kau sudah sembuh. Aku bukan membelanya, tapi—"

Velia kehilangan kekuatan untuk meneruskan perkataan. Ini bukan lagi rasa berat, melainkan rasa bersalah. Bukan hanya pada Herry, melainkan juga pada Lucas.

Dua orang pria. Kenyataan hanya memberi keadaan yang tak menguntungkan. Pada desakan akal sehat dan keinginan perasaan, Velia berada di antaranya.

Seandainya saja. Seandainya Velia bisa kembali ke masa lalu, hanya satu yang akan dilakukannya.

"Seharusnya aku langsung menjatuhkan hatiku padamu dari awal kita bertemu, tapi sayang bukan itu yang aku lakukan."

Aneh memang. Di mata Velia, dulu hanya ada Lucas. Betapa dunia mereka amat berbeda, keduanya seolah bisa bertemu di tengah-tengah.

Berhari-hari. Waktu terus berganti. Ternyata cinta membutuhkan lebih dari sekadar keinginan untuk salig menghampiri.

Cinta adalah perasaan yang kompleks. Butuh banyak hal yang merestui agar rasa bisa terjalin dan abadi. Sesuatu yang tak Velia miliki.

"Ada banyak alasan mengapa seharusnya aku memilihmu dan yang terjadi justru sebaliknya. Aku tak tahu mengapa, tapi ..."

Getir tersirat nyata pada suara Velia. Bukan hanya karena masa lalu, melainkan kenyataan yang sekarang tengah terjadi.

"... sepertinya aku kembali jatuh cinta padanya."

*

Untuk kesekian kali, Velia lupa waktu dan pulang terlambat. Ia merutuki diri seraya melihat pada ponsel.

Lucas tak menghubungi Velia. Pun tak mengiriminya pesan.

Velia tak tahu. Itu adalah hal bagus atau sebaliknya. Perasaannya menjadi tak tenang dengan beragam kemungkinan yang bisa terjadi.

Tiba di unit, Velia bergegas mencari keberadaan Lucas. Ia yakin pria itu sudah pulang, berkat keberadaan tas kerja yang ia dapati di ruang kerja.

Velia tertegun saat samar mendengar suara dari dapur. Ia beranjak dan lantas tertegun di ambang pintu. Satu pemandangan membuatnya terpaku.

Lucas ada di sana. Ia tersenyum seraya berkacak pinggang dan menatap Velia dengan penuh binar.

"Apa yang kau lakukan, Luc?"

Lucas tak menjawab. Melainkan kedua tangannya mengembang. Memberikan undangan pada Velia.

"Kemari."

Bahkan tanpa ada permintaan, Velia pastinya akan menghampiri Lucas. Pria berdiri di dekat meja makan dengan pakaian kantor tanpa jas dan dasi.

Kancing di pergelangan tangan lepas. Lengan kemeja digulung hingga ke siku, mempermudah Lucas untuk menyiapkan sajian di atas meja makan.

Velia mendekat dan tangan Lucas terulur. Ia merengkuh pinggang Velia dan melabuhkan kecupan di kepala.

Tangan Velia naik. Berpegang pada dada Lucas dan matanya memejam. Ia nikmati pelukan itu walau tak lama. Sedetik kemudian Lucas memutar tubuhnya demi bisa merengkuhnya dari belakang.

Lucas hadirkan pemandangan di atas meja makan untuk Velia sementara ia mendaratkan wajah di lekuk bahunya. Kedua tangan melingkari perut Velia dan ia berbisik.

"Iwan menghubungiku ketika aku pulang. Dia mengatakan padaku kalau kalian sedang ke rumah sakit."

Agaknya ada keuntungan dari posisi ini. Lucas tak akan bisa melihat perubahan air muka Velia. Ucapan Lucas yang menyinggung soal rumah sakit membuat jantungnya berdebar-debar.

"Lantas?"

Lucas tersenyum sembari mencium sekilas rambut Velia. "Aku jadi terpikir untuk menyiapkan makan malam kejutan selagi menunggumu pulang."

Velia tertegun. Bukan hanya hidangan yang tersaji di atas meja makan, melainkan suasana ruang makan yang terkesan berbeda.

Lampu tak menyala seterang biasa. Sebagai ganti ada dua lilin di tengah-tengah meja makan. Berikut dengan hidangan yang menguarkan aroma lezat.

Ada dua piring berisi potongan daging sapi. Ditemani oleh wortel, buncis, dan juga kentang. Pun dilengkapi oleh saus yang amat menggoda selera. Tak lupa, setangkai bunga mawar merah.

"Luc."

Wajah Lucas beringsut samar di pundak Velia. Ia sedikit meneleng demi bisa melihat keterpanaan yang memancar.

"Ini manis sekali."

Pujian Velia menyuap rasa percaya diri Lucas. Ia tertawa dan pelukannya mengerat.

"Kita sudah bersama sekian lama dan kau baru menyadarinya sekarang?"

Velia menggeleng samar dengan keterpanaan yang masih memaku. "Tidak. Aku sudah menyadarinya sejak lama."

"Itu adalah alasan paling tepat mengapa kau bisa jatuh cinta padamu."

Dahi Velia mengernyit dan ia berpaling. Perkataan Lucas memberikan kesan familier, tapi Velia tak yakin.

"Dulu aku sama sekali mengira kalau kau adalah pria manis. Kau terlihat dingin dan menakutkan. Kau tahu bukan? Orang-orang takut mendekatimu, terutama wanita," lanjut Velia dengan suara yang kian lirih. "Walau mereka juga diam-diam mengidolakanmu."

Lucas berdecak sekilas. "Sepertinya aku tidak berubah hingga sekarang. Tak pernah ada wanita yang benar-benar berani padaku. Sekadar dekat pun tidak."

"Ada yang mendekatimu?"

Ada kilat berbeda yang berpijar di mata Lucas. Respons yang membuat rengkuhannya berubah.

"Kau cemburu."

Tatapan dan ucapan Lucas menohok Velia tepat di jantung. Ia gelagapan, tapi menggeleng.

"Tidak."

Senyum penuh arti melengkung di wajah Lucas. Tentunya ia tak percaya dengan bantahan Velia. Untuk itu Lucas dengan senang hati sedikit menjelaskan.

"Sebenarnya tidak bisa dikatakan mendekatiku. Ada yang pernah sekali datang ke kantorku."

"Datang ke kantor?"

Penjelasan Lucas terjeda dan sudut bibirnya berkedut geli. Sekalipun Velia membantah, sikapnya menunjukkan hal yang bertentangan.

"Ya. Dia datang ke ruanganku dan mengajakku mengobrol, tapi aku langsung pergi lima menit kemudian. Hanya itu dan tak ada hal lain."

Velia mengerjap, agaknya baru sadar. "A-aku tidak meminta penjelasanmu."

"Aku tidak sedang menjelaskan apa pun padamu. Aku hanya sekadar bercerita dan meyakinkanmu kalau aku benar-benar masih Lucas yang dulu," dalih Lucas seraya menyatukan dahi mereka. "Yang kau bilang dingin dan menakutkan."

Jarak tak seberapa membuat napas keduanya saling membelai. Keduanya bertukar kehangatan bahkan tanpa melakukan kontak berarti. Hanya ada mata yang saling menatap tatkala Lucas mengungkapkan kejujuran.

"Seperti biasa, selalu ada pengecualian untuk semua hal."

*

bersambung ....

Haloha. Makasih banyak buat yang masih baca sampe bab hari ini. Sekadar info bab hari ini adalah bab terakhir di bulan Februari. Karena apa? Yup! Karena aku selalu libur dua hari di akhir bulan. Pas banget loh tanggal 27 dan 28 itu hari Senin Selasa besok.

Kita ketemu lagi di tanggal 1 Maret. Kalau kalian nggak tahan nunggu, boleh banget kok baca di KaryaKarsa atau pesan novel/PDF sama aku (^・ェ・^)

Makasih banyak (。・ω・。)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top