38. Terdesak

Velia melirik cepat demi memastikan Lucas belum keluar dari kamar mandi. Keadaan tampak aman dan tanpa ragu ia menarik laci meja rias.

Tangan meraba ke dalam. Velia mengambil satu botol yang selama ini selalu disembunyikan di sana. Satu-satunya hal yang mampu menenangkannya selama tinggal bersama Lucas.

Velia mengambil sebutir pil dan segera mengembalikan botol di tempat semula. Ia menutup laci, lalu meraih segelas air di nakas dan meminumnya cepat.

"Apa yang kau minum, Ve?"

Tiba-tiba dan tak terduga. Lucas keluar dari kamar mandi di waktu yang tepat.

Velia tersedak. Ia nyaris memuntahkan pil tersebut dan buru-buru meneguk air sebanyak mungkin. Pil yang semula tersangkut di tenggorokan berhasil tertelan sempurna.

"L-Luc."

Lucas mendekati Velia dengan handuk yang melingkari pinggang. Ia melihat pada gelas di tangan Velia dan mengulangi pertanyaan.

"Apa yang kau minum?"

Velia gelagapan. "A-aku tidak minum apa pun," jawabnya seraya mengusap sisa air di mulut. "Tidak ada."

"Benarkah? Sepertinya aku benar-benar melihatmu meminum sesuatu. Apa itu obat? Kau tidak sakit bukan?"

Velia menahan ringisan. Cepat, ia yakin adalah risiko bila terus membantah perkataan Lucas. Apalagi karena ia pun merasa Lucas pasti melihatnya dengan jelas.

"Sebenarnya bukan obat," ujar Velia menyerah. "Itu hanya semacam multivitamin. Ehm mungkin pil pasca menstruasi. Sebagai penambah darah."

Lucas melirih seraya manggut-manggut. "Pil pasca menstruasi."

"Ya."

Ketegangan Velia menghilang. Sempat khawatir bila Lucas mengetahui apa yang sebenarnya ia minum, sekarang Velia merasa lebih tenang.

"Agar aku lebih sehat dan tidak lesu lagi. Jadi aku bisa memasakkan sarapan spesial untukmu pagi ini."

Ucapan manis Velia membuat Lucas geli. Ia mengikis jarak dan kian mendekati Velia. Di waktu bersamaan, Velia mengangkat tangan demi menahan dada Lucas.

"Mungkin sebaiknya kau segera bersiap. Aku akan menunggumu di meja makan."

Velia langsung beranjak dari sana. Ekspresinya menyiratkan lucu ketika Lucas membuang napas dengan penuh irama, lantas geleng-geleng.

Lucas berpaling tepat ketika pintu kamar tertutup. Velia telah pergi dan tinggallah ia seorang diri di sana. Ia memutuskan segera bersiap dengan pakaian yang telah Velia sediakan seraya menggumam rendah.

"Kurasa itu memang pil pasca menstruasi yang paling tepat untukmu, Ve."

*

"Departemen Pemasaran telah menyurvei responden dari beberapa kalangan. Hasil survei akan keluar akhir bulan ini dan akan didiskusikan dengan Departemen Pengembangan dan Perencanaan."

Lucas mengusap dagu setelah mendengarkan kesimpulan dari Eko Gunawan selaku ketua Departemen Pemasaran. Setelahnya ia beralih.

"Bagaimana dengan Departemen Pengembangan dan Perencanaan, Pak?"

Pertanyaan Lucas disambut senyum percaya diri Rino. Pria paruh baya itu menegapkan punggung ketika menjawab.

"Pembangunan tower sedang dalam tahapan pengerjaan, Pak. Sekarang tim sedang menunggu pihak kontraktor untuk bergerak. Tak ada masalah sama sekali. Saya bisa memastikan semuanya aman terkendali."

Lucas menatap Rino. "Bapak pasti sudah bekerja sangat keras selama ini."

"Apa, Pak?"

"Tidak," lirih Lucas menggeleng. "Saya hanya memikirkan siapa yang kira-kira bisa mengisi kekosongan posisi Bapak kalau suatu saat nanti Bapak tak ada lagi di sini."

Rasa percaya diri Rino menghilang. Gugup datang dan menerbitkan bulir keringat di wajah. Air mukanya berubah seiring keriuhan yang samar langsung tercipta, para peserta rapat saling bertukar pandang.

"M-maksud Bapak?"

Lucas tertawa. "Saya hanya berpikir untuk memindahkan Bapak ke departemen lain. Jangan khawatir, saya tidak bermaksud memecat Bapak. Tak masuk akal bukan bila saya melepaskan orang kompeten seperti Bapak? Benar bukan?"

Rino tak menjawab, melainkan meneguk ludah. Tubuhnya menegang walau sekrang orang-orang turut tertawa pula bersama Lucas. Seolah itu adalah guyonan lucu yang menggelikan.

"S-saya berusaha akan melakukan yang terbaik, Pak."

Tawa Lucas berhenti di sana. Matanya mendadak tajam menatap Rino.

"Saya selalu menunggu usaha terbaik Bapak."

Rino membeku. Ia tak bisa mengatakan apa-apa lagi ketika lidahnya kelu.

"Silakan kalian teruskan rapat. Saya ingin ada usulan untuk pengembangan anti virus dan keamanan jaringan akhir bulan ini. Termasuk di dalamnya kelanjutan negosiasi kita dengan pengembang gim tempo hari," ujar Lucas seraya bangkit dan menoleh pada Vlora. "Kau urus rapat ini."

Vlora mengangguk. "Baik, Pak."

Lucas memutuskan untuk meninggalkan rapat. Ada hal lain yang harus dikerjakan sehingga langkahnya sedikit terburu menuju ruang kerja. Sayang, ada seseorang yang tengah menunggu kedatangannya dan membuat Lucas membuang napas panjang. Mungkin pekerjaannya harus menunggu sejenak.

"Mama."

Adalah Merita orangnya. Sang ibu duduk dengan santai di sofa. Tatkala pintu membuka, ia segera berpaling dan berkata.

"Mama menunggumu dari tadi."

Lucas menghampiri Merita. Ia berikan satu pelukan singkat sebelum duduk di hadapannya.

"Aku sedang rapat," ujar Lucas. "Jadi ada apa Mama ke kantor? Kalau ada perlu, seharusnya Mama hubungi saja aku. Nanti aku bisa ke rumah."

Bola mata Merita berputar dramatis. "Mama tidak bisa menunggu sampai kau datang ke rumah," kilahnya seraya menggeleng samar. "Jadi katakan pada Mama. Sejak kapan kau tidak lagi tinggal di rumahmu?"

Lucas melirih singkat. Pertanyaan Merita membuatnya tersenyum tipis.

"Sejak Mama berniat untuk mendekatkanku dengan Sonya."

Sedikit dusta yang Lucas katakan menarik kesiap syok Merita. Bola mata sang ibu membesar. Ia tercengang dengan ekspresi tak percaya.

"Aku tebak Mama tahu aku tidak tinggal di rumah karena Sonya datang dan tidak mendapati keberadaanku setelah mencerca semua asisten rumah tangga. Setelahnya dia mendatangi Mama dan mengadu."

Merita kian tercengang dan tak bisa bicara. Tak perlu dijelaskan, ekspresinya menunjukkan bahwa tebakan Lucas benar.

"Sonya bukannya mengadu."

"Kita bisa menggantinya dengan istilah melapor," timpal Lucas dengan mimik tak habis pikir. "Apa Mama dan Papa memutuskan untuk tinggal lebih lama di sini?"

"Bisa jadi. Lagi pula kami sudah lama tidak tinggal di sini. Mungkin sampai beberapa bulan ke depan. Kami belum tahu pasti."

Lucas mengangguk. Kemungkinan itu memberikan peringatan tersendiri untuknya. Mungkin ia harus bersabar lebih lama lagi. Sang ibu pasti tidak akan menyerah secepat itu.

"Jadi jawab pertanyaan Mama tadi dan jangan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan kita," ujar Merita fokus pada topik. "Di mana kau tinggal sekarang?"

"Aku tidak ingin Sonya mendadak datang ke rumahku dan membuat keributan. Jadi maaf, Ma. Aku tidak bisa memberi tahu Mama di mana aku tinggal sekarang."

"Ya Tuhan, Luc."

Kedua tangan Merita terhempas ke atas demi menahan kesal. Kesabarannya kian terkikis oleh rasa tak sabar.

"Sonya hanya berusaha untuk mendekatimu. Apa kau tidak sadar kalau kalian benar-benar cocok satu sama lain?"

"Tidak. Tidak sama sekali. Sampai kapan Mama menolak kenyataan bahwa wanita yang cocok untukku hanya seorang?"

Tangan Merita mendarat di lengan sofa dalam bentuk kepalan geram. Lucas telah mendesak dan kesabaran tak seberapa yang dimilikinya habis sudah.

"Lagi dan lagi Velia? Sampai kapan kau akan menyadari kalau wanita itu sudah tak ada lagi di hidupmu, Luc?"

Lucas tak menjawab. Ia hanya membuang napas panjang dan tak terlihat ingin menanggapi kekesalan Merita.

"Kau bahkan tidak berusaha untuk menyenangkan hati Mama, Luc? Dengan menerima Sonya?"

"Apa Mama ingin melihatku hidup dengan orang yang tidak aku sukai?" balas Lucas bertanya. Ia mendengkus sekilas dan menggeleng. "Jangankan untuk menikahinya, aku bahkan tidak tahan duduk lima menit dengannya."

"Kau belum mencobanya, Luc. Ketika kau menikahi nanti maka semua akan berbeda. Mama yakin itu."

"Perlukah kita membuat kesepakatan?"

Kesal Merita terjeda kebingungan. "Kesepakatan?"

"Ya," angguk Lucas seolah benar-benar menawarkan jalan tengah pada sang ibu. "Aku bisa saja menikahi Sonya, tapi kalau aku merasa tak cocok maka di hari yang sama aku bisa langsung mengajukan pembatalan pernikahan kami."

Merita melotot. "Kau gila?"

"Aku hanya menawarkan solusi."

Di mata Merita, itu bukanlah solusi. Melainkan sebaliknya. Merita menganggap itu sebagai bentuk halus penentangan Lucas.

"Bahkan kau sekarang berani menentang perkataan Mama dan itu semua karena Velia."

Penekanan di tiap kata yang Merita ucapkan membuat Lucas membuang napas panjang. Kepala terasa berdenyut dan ia terpaksa memijat pangkal hidung.

"Seandainya Mama tidak memaksaku. Mama tahu aku seperti apa. Apa pernah aku berpindah pilihan?"

Merita tak menjawab. Kemarahannya telah menggelegak di ubun-ubun. Ia segera menyambar tas dan berlalu dari sana. Sedikit akal sehat yang masih tersisa mencegahnya untuk tidak menumpahkan amarah.

Velia. Velia. Velia.

Tak terkira lagi geram Merita sehingga ia langsung menghubungi Rino tatkala mobil melaju di jalanan. Sayang teleponnya tak diangkat dan kemarahan Merita kian menjadi-jadi.

"Argh!"

Tiba di rumah, kemarahan Merita semakin tak terbendung. Prasetyo yang mendapati kedatangan sang istri dengan wajah merah penuh amarah mengernyitkan dahi.

"Ada apa, Ma?"

Merita menghenyakkan bokong di sofa. Ia duduk seraya memijat pelipis dengan wajah tertekan.

"Biasa, Pa," jawab Merita ketus. "Lucas."

Tak perlu penjelasan lebih jauh, Prasetyo bisa meraba apa yang terjadi. Akhirnya ia tahu alasan sang istri memutuskan untuk pergi setelah sarapan tadi. Sempat mengira bahwa Merita akan bertemu teman-teman sosialita, ternyata yang terjadi justru di luar dugaan.

"Anak itu selalu keras kepala. Mama hanya ingin dia hidup bahagia dengan Sonya, tapi apa yang dia lakukan? Dia menolak bahkan sebelum memberi Sonya kesempatan."

Prasetyo terpaksa meninggalkan pekerjaan dan menghampiri Merita. Ia raih tangan sang istri demi mengusapnya pelan, berusaha untuk menenangkannya.

"Kita sama tahu betapa keras kepalanya Lucas. Sifatnya memang begitu, tapi bukankah itu yang membuatnya bisa sukses sekarang?"

Merita menarik tangan dari genggaman Prasetyo. Ia tak butuh usapan penenang ketika kesalnya telah membuncah.

"Ini masalah yang berbeda. Mama hanya ingin dia hidup bahagia bersama Sonya. Bukannya justru menghabiskan waktu dengan terus-menerus memikirkan Velia sialan itu."

Prasetyo membuang napas seraya menyandarkan punggung di sofa. "Kita tidak bisa memaksa Lucas. Pernikahan adalah hak Lucas. Dia bebas memutuskan ingin menikahi siapa."

Seharusnya demikianlah yang terjadi. Hak mutlak berada di tangan sang putra. Namun, tidak bila adalah Velia yang menjadi pilihannya.

Merita akan melakukan apa pun. Ia akan mengupayakan apa pun demi mencegah hal tersebut.

"Menurut Papa tak ada salahnya kalau Lucas menikahi Velia. Papa lumayan menyukainya. Terlebih lagi karena dia juga anak dari teman Mama," ujar Prasetyo menarik perhatian sang istri. "Bukankah hal bagus kalau Lucas menikah dengan putri teman Mama?"

Udara tertahan di dada. Merita mengatupkan mulut rapat-rapat tanpa menjawab pertanyaan sang suami.

"Berbicara soal itu, Papa pikir sudah lama kita mendengar kabar Jayamarta. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia masih di Surabaya?"

Merita meneguk ludah beserta getir di pangkal tenggorokan. Tanpa terduga, ia bangkit dan berkata ketus sebelum beranjak dari sana.

"Untuk apa kita memikirkan pria sialan itu?"

Prasetyo mengusap kasar wajah saat mendapati kepergian sang istri. Sulit, tapi ia harus mengakui. Bahwa selalu ada hal yang tak akan pernah berubah walau tahun telah berganti.

Persis dengan apa yang sekarang berputar di benak Merita. Ia sungguh tak habis pikir bagaimana bisa Velia masih melekat di kepala Lucas setelah tahun-tahun berganti.

"Argh!"

Merita melempar tas di tempat tidur dan meremas tangan satu sama lain. Dadanya amat sesak oleh rasa marah yang tak terungkap. Ia ingin memaki, mencaci, dan melampiaskan semua emosi, tapi keadaan tak memungkinkan.

Dering ponsel menarik perhatian Merita. Ia segera membuka tas dan satu nama yang muncul di layar membuatnya mengangguk.

"Rino."

Merita mengangkat panggilan dan tak merasa perlu berbasa-basi sama sekali. Seraya duduk di kursi santai kesukaannya, ia berkata dengan penuh peringatan.

"Aku ingatkan kau. Waktumu hanya tinggal akhir bulan ini. Kau harus menyelesaikan semuanya atau kalau tidak, kau akan menyesal. Aku sudah muak menunggu!"

Tidak. Itu belum cukup untuk Merita. Ia menginginkan lebih dari sekadar itu. Bukan hanya kematian Velia yang ia inginkan, melainkan penderitaannya.

"Satu hal penting, Rino. Aku ingin kau menyiksa Velia sebelum membunuhnya. Buat agar kematiannya menjadi berita nasional yang menggemparkan. Aku ingin semua orang melihat kematiannya."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top