37. Dimulai
Malam telah menginjak pukul sebelas ketika Velia menguap untuk kesekian kali. Ia sisihkan ponsel di nakas seraya melihat pada pintu, mengira-ngira kapan Lucas akan datang.
Apa dia akan lembur lagi malam ini?
Pemikiran itu sempat melintas di benak tatkala Velia teringat kejadian selepas makan malam tadi. Ia ingin menemani Lucas bekerja seperti biasa, tapi pria itu justru melarang. Lucas menyuruhnya untuk beristirahat saja di kamar.
Mungkinkah Lucas berpikir kalau aku masih menstruasi dan sakit?
Bisa jadi. Pun terlepas kemungkinan tersebut, Velia melakukan apa yang dikatakan Lucas. Ia beristirahat di kamar setelah menikmati siaran televisi yang berujung bosan. Saking bosannya membuat Velia berpikir bahwa menemani Lucas bekerja adalah hal yang menyenangkan.
Velia memutuskan untuk menemui Lucas. Namun, pintu kamar membuka tepat sebelum ia benar-benar turun dari tempat tidur.
"Luc! Akhirnya kau datang juga."
Kedatangan Lucas membuat mata Velia membesar. Seberkas suntuk dan kantuk yang tadi menaungi wajahnya seketika menghilang.
Ucapan bernada setengah seruan Velia membuat Lucas mengernyitkan dahi. Ia hampiri Velia di tempat tidur dan berkata.
"Kau menungguku."
Velia tak menampik. Melainkan ia justru mengangguk ketika Lucas mengulurkan rengkuhan. Agaknya mereka belum akan tidur dalam waktu dekat. Setidaknya ada beberapa menit yang bisa dinikmati dengan duduk santai seraya bersandar di kepala tempat tidur.
"Pekerjaanmu sudah selesai?"
"Sudah walau ternyata lebih lama dari yang aku perkirakan. Mengapa?"
"Tak apa-apa," geleng Velia sembari sedikit beringsut demi mencari posisi nyaman dalam rengkuhan Lucas. "Aku pikir kau tertidur di ruang kerja."
Lucas tergelak sehingga tubuhnya berguncang samar. "Aku tak mungkin tidur di ruang kerja sementara ada kau di kamar."
Gelak Lucas semakin menjadi-jadi tatkala ia dapati rona merah di wajah Velia. Untungnya itu tidak sampai membuat Lucas melupakan hal penting.
"Ah, benar! Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
Velia mengangkat wajah. "Apa?"
Tak langsung menjawab, Lucas mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengusap layar ponsel tanpa berhenti membelai lengan atas Velia.
Velia menyandarkan kepala dengan nyaman di dada Lucas. Tatapannya tertuju pada ponsel Lucas di mana pria itu tengah membuka galeri foto, menampilkan beberapa gambar.
"Ini foto rumah yang sempat aku ceritakan padamu tempo hari."
Ucapan Lucas membuat kenyamanan Velia terjeda. Tubuhnya seketika kaku dan Lucas jelas menyadari hal tersebut sehingga tertawa lirih.
"Jangan berkomentar apa pun sebelum kau melihat semua fotonya."
Velia tercengang. "Luc, ah! Kau ini."
Syok Velia membuat Lucas tersenyum geli. Belaiannya berhenti sejenak dan tergantikan oleh cengkeraman gemas sekilas.
"Rumah ini memang jarang ditempati. Ketika pertama kali aku melihatnya, keadaannya benar-benar memprihatinkan."
Lucas menunjukkan foto pertama pada Velia berupa tampak depan rumah yang terlihat kusam dengan warna cat memudar. Pemilihan kata memprihatinkan tidak berlebihan untuk mendeskripsikan keadaan sebenarnya.
Rumah itu memiliki dua lantai dengan ukuran yang tidak megah untuk standar orang seperti Lucas. Terkesan biasa-biasa saja, tapi ia memiliki taman luas yang mengelilingi. Pepohonan menjulang dan kesan yang diberikan di luar dugaan Velia.
Ada hangat, bersahabat, dan kedamaian. Setidaknya itulah yang Velia rasakan ketika melihat foto-foto tersebut. Aneh, ia persis merasa tenang bahkan sebelum benar-benar menginjakkan kaki di sana.
"Aku tahu persis bagaimana kesukaanmu. Jadi aku tetap membelinya karena yakin kau pasti akan menyukainya."
Rasa percaya diri Lucas terdengar amat tinggi, tapi bukan tanpa alasan. Lucas yakin Velia akan sepakat dengan dirinya.
"Aku meminta Vlora untuk mengurusi perbaikan rumah ini. Semuanya dirombak total."
"Oh."
Respons singkat tersebut membuat dahi Lucas sedikit mengerut. Matanya menyorotkan geli.
"Hanya oh?"
Velia mengulum senyum seraya refleks memukul lembut dada Lucas. "Memangnya apa yang harus aku katakan?"
Ibu jari Lucas kembali bergelar. Foto bergulir dan berganti dengan gambar berikut.
"Aku ingin lihat apa sekarang hanya oh yang akan kau katakan?"
Velia mengerjap sekali. Tak ada lagi foto rumah bercat putih kusam yang dindingnya mulai mengelupas. Gambar tersebut tergantikan oleh potret sebuah hunian anggun nan cantik.
Putih bersih. Cokelat kayu. Setidaknya dua hal tersebut menampilkan penyatuan yang padu dan memberikan kesan klasik yang mewah. Pun dengan keberadaan empat pilar di teras mempertegas titik elegan rumah tersebut.
Lucas menunjukkan foto lain. Setelah puas memanjakan mata dengan tampak depan rumah yang telah direnovasi, sekarang ia menyasar pada bagian dalam.
Adalah ruang tamu yang menjadi fokus mata mereka selanjutnya. Diisi oleh sofa mahal, perpaduan antara kayu jati dan jok bermotif menciptakan maha karya teramat indah. Permukaannya mengilap berlapis warna emas. Juga ditunjang oleh ukiran dan ornamen klasik yang memberi kesan unik nan cantik.
Layar kembali bergulir. Secara bergantian, Lucas terus menunjukkan tiap perubahan yang terjadi pada rumah tersebut. Tak terkecuali di ruang keluarga, kamar, dan dapur—yang menjadi bagian terpenting di sana.
Ibu jari Lucas berhenti bergerak. Ia melirik dan sorotnya menyiratkan geli kembali tatkala ia justru tak mendapati respons apa pun.
"Ve?"
Velia diam seribu bahasa. Ia tak bisa mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Seolah dirinya tengah terhipnotis dan butuh waktu untuk sadar.
"Rumah ini cantik."
Kepercayadirian Lucas terbukti benar untuk kesekian kali. Sebongkah bangga muncul di dada sehingga membuatnya kian yakin. Bila itu berkenaan dengan Velia, agaknya ia tahu semuanya.
"Kau menyukainya."
Velia tak bisa mendebat kesimpulan Lucas ketika matanya telah memberikan kesepakatan serupa.
"Aku tahu kau pasti akan menyukainya, tapi ..."
Fokus mata Velia berpindah pada Lucas. Nada bicara pria itu berubah dan menerbitkan kesan misterius.
"... sebenarnya ada sesuatu yang belum aku tunjukkan padamu."
"Sesuatu?"
"Ya," angguk Lucas. "Kau sudah melihat nyaris 95 persen keadaan rumah ini, tapi ada satu tempat yang belum kau lihat."
Ekspresi Velia menunjukkan penasaran. "Apa?"
"Aku tidak akan memberi tahumu."
Mulut Velia membuka. Siap untuk mendebat keputusan Lucas, tapi pria itu keburu lanjut bicara.
"Aku ingin kau melihatnya sendiri."
Kata-kata yang siap terucap dari bibir Velia sontak menghilang. Ia mengerjap dengan penasaran yang ditambah sedikit ragu.
"Aku melihatnya sendiri?"
Lucas mengangguk. "Aku sudah menaruh kunci rumah itu di tas kerjamu. Mungkin kemarin atau beberapa hari yang lewat. Ehm aku tak yakin, tapi yang pasti kau bisa mengeceknya sendiri."
Rasa penasaran Velia akan satu tempat yang belum diketahuinya terjeda oleh penuturan Lucas. Tak heran bila sekarang fokusnya berpindah pada satu kenyataan lain.
"A-apa?" tanya Velia gelagapan. "Kunci rumahnya ada di tas kerjaku?"
"Ya. Kupikir saat itu kau sedang memasak atau—"
Lucas tampak tak yakin. Ia menggeleng dan menyadari bahwa itu bukanlah hal penting.
"Intinya adalah kau bisa mengecek rumah itu kapan pun kau mau."
Velia bangkit dari rengkuhan Lucas. Ia sedikit beringsut demi bisa menatap lurus pada mata pria itu dan bertanya.
"Kau serius?"
"Sangat," angguk Lucas penuh keyakinan. "Aku ingin kau melihat satu bagian ini dengan matamu sendiri."
Kesan misterius yang diberikan Lucas semakin menjadi-jadi. Terlebih lagi sorot matanya. Sontak membuat Velia kian penasaran.
"Aku akan melihatnya. Mungkin Jumat minggu depan. Aku akan meminta Iwan untuk mengantar."
Lucas mengangguk sekali. Ia catat hari itu di benak dan tak akan lupa memastikannya ketika Velia akan pergi.
"Jangan lupa hubungi aku."
"Tentu saja. Aku pasti akan mengabarimu dan sekarang aku jadi tak sabar," ujar Velia dengan sorot penuh arti. "Aku penasaran apakah rumah itu secantik foto-fotonya atau tidak."
Geli membuat sudut bibir Lucas berkedut. Ia tahu Velia menggoda dan hal tersebut menarik nalurinya bertindak.
"Kau selalu saja meragukanku."
Geli Lucas berubah menjadi tawa samar yang membungkam gelak kecil Velia. Seiring dengan tarikan lembut yang Lucas lakukan di pinggang Velia, dua bibir bertemu dalam kecupan lembut.
Velia memejamkan mata. Saat Lucas melabuhkan ciuman, bibirnya langsung membuka dan menyambut dengan segenap jiwa.
Tarikan di pinggang Velia semakin nyata. Pun berikut dengan sambutan Velia yang tak mengenal kata segan.
Velia beranjak. Mengikuti tarikan dan naluri, ia pindah menduduki pangkuan Lucas dengan kaki membuka.
Tangan Lucas merayap di punggung Velia sementara jemari lentik wanita itu menangkup pipinya. Ciuman semakin dalam dan menghanyutkan mereka.
Lucas bisa merasakan samar garukan gigi Velia di bibir bawahnya. Demikian pula dengan Velia yang menggelinjang berkat isapan Lucas di lidahnya.
Usapan tangan Lucas berpindah. Ia meraba tepian gaun tidur Velia dan menyusup ke dalam. Berhenti di bokong, ia lantas meremas untuk beberapa saat. Tepat sebelum satu pemikiran melintas untuk menghentikan pergerakan jarinya.
"Ve."
Bukan hanya remasan, melainkan Lucas pun menarik ciuman. Ia ciptakan jarak seadanya yang membuat Velia membuka mata dengan wajah merana.
Agaknya Velia tersiksa. Merasa tak terima dengan keputusan Lucas yang tiba-tiba menghentikan cumbuan. Ia ingin protes, tapi Lucas keburu bertanya.
"Menstruasimu sudah selesai?"
Velia mengangguk dengan napas terengah-engah. "A-aku sudah bersih dua hari yang lalu."
"Dua hari yang lalu?" tanya Lucas menyipitkan mata. "Selama itu dan kau tidak memberi tahuku?"
Tawa Velia pecah. "Kau tidak bertanya."
"O ho! Berarti kau harus membayar untuk dua hari itu."
Bola mata Velia melotot penuh irama. Tawanya menghilang sudah dan terganti kesiap tatkala Lucas membaringkan tubuhnya.
Kaki Velia bergerak. Ia langsung melingkari pinggang Lucas tatkala pria itu menindihnya.
Cumbuan berlanjut. Tanpa ada jeda, Lucas tak memberi ruang untuk Velia bahkan sekadar untuk menarik udara. Tak memungkinan Velia untuk melakukan hal lain. Kecuali mendesah dan terus melirihkan nama Lucas di sela-sela percintaan penuh gairah.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top