36. Pergantian
Vlora menatap tak yakin pada sebutir pil di atas meja Lucas.
"Apa kau tahu pil apa itu?"
Vlora mengerjap sekali dan menggeleng. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu."
"Itu pil pencegah kehamilan."
Wajah Vlora terangkat dengan seberkas kaget yang berpijar di bola mata. Ia menatap sang bos dan Lucas mengangguk.
"Kau benar," ujar Lucas seperti bisa membaca pikiran Vlora. "Jadi kau tahu bukan apa yang harus kau lakukan? Aku ingin kau mencari pil penyubur kandungan yang bentuknya persis dengan pil ini."
Vlora mengerti apa yang diinginkan oleh Lucas.
"Atau paling tidak yang bentuknya kurang lebih sama. Dia tak akan menyadarinya."
"Saya perlu menyiapkan sebanyak apa, Pak?"
"Sebanyak yang bisa kau dapatkan dan secepat mungkin."
"Baik, Pak. Akan saya usahakan hari ini."
Lucas mengangguk puas. Seringainya langsung terbit tatkala Vlora keluar. Hening dan sunyi, ia tak segera melanjutkan pekerjaan. Melainkan mengisi benak dengan wajah cantik Velia.
Velia. Velia. Kau tak akan bisa melepaskan diri dariku. Sejak hari pertama kita bertemu kembali maka di hari itu aku telah berjanji. Aku tak akan melepaskanmu lagi.
*
Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagi karyawan setiap harinya selain jam istirahat. Setelah menjaga fokus dari pagi, sejenak waktu yang didapat di siang tak ubahnya berkah bagi mereka.
Begitu pula dengan Velia dan Metta. Keduanya penuh semangat beranjak dan keluar dari ruangan. Makan siang sudah membayang di benak, tapi sayang. Kehadiran seseorang membuat senyum dan semangat mereka terjeda.
"Pak."
Langkah Velia dan Metta kompak berhenti. Pun kompak menyapa Rino yang tiba-tiba muncul di hadapan dengan sedikit kaget.
Rino melihat mereka bergantian dan tatapannya lekat berhenti pada Velia. "Kalian mau makan siang?"
Velia dan Metta mengangguk bersamaan tanpa ada praduga sedikit pun. Namun, suasana menjadi tak nyaman tatkala tatapan Rino berubah makin liar. Senyumnya berubah dan ia tak malu untuk meneguk ludah berulang kali.
Metta melirik Velia. Ia segera memegang tangan Metta dan bergeser, mencoba bersembunyi di balik tubuhnya.
"A-ada apa, Pak?"
Metta mengambil alih percakapan tersebut seraya memberikan tepukan lembut pada tangan Velia, mencoba untuk menenangkannya. Ia yakin Rino tak mungkin nekat melakukan hal kurang ajar di tempat umum.
"Saya juga kebetulan mau makan siang," jawab Rino tanpa memindahkan tatapan dari Velia. Ia sekarang melihat betisnya yang tak tertutupi rok. "Apa kalian mau makan siang bersama saya?"
Velia dan Metta saling pandang. Tanpa bersuara, mereka pun sama yakin bahwa itu adalah tawaran buruk.
"Tenang. Biar aku yang traktir makan siang kalian."
Salah mengartikan sikap Velia dan Metta, Rino justru tertawa seraya menyombongkan diri dengan amat angkuh.
"Kalian mau makan di mana? Kita makan di luar saja. Makanan di kantor tidak enak. Bagaimana? Kita pergi dengan sekarang? Tenang, pakai mobilku."
Desakan Rino membuat Velia gemetaran. Bahkan bila Metta turut serta, itu tetap tidak akan menenangkan Velia. Ia sungguh tak ingin pergi bersama Rino.
Pun demikian dengan Metta. Seisi kantor jelas tahu perangai Rino yang terkenal mata keranjang. Apa jadinya kalau mereka sampai makan bersama? Tentu saja gosip akan berembus tak kira-kira.
"Maaf, Pak."
Satu kata yang diucapkan Metta membuat semangat berapi-api Rino redup seketika. Wanita itu menolak ajakannya.
"Sepertinya kami tidak bisa pergi makan siang bersama Bapak."
Sifat asli Rino seketika keluar karena penolakan Metta. Ekspresi bersahabat—memuakkan—di wajahnya tergantikan mimik asli. Ia jelas tersinggung.
"Hah?! Kalian menolak tawaranku?!"
Sekarang Metta yang gemetaran. "B-bukan seperti itu, Pak. Hanya sa—"
Suara riuh terdengar dari ruang kerja. Semakin lama suaranya terdengar semakin mendekat. Ucapan Metta terhenti dan satu pemikiran melintas cepat di benak.
"Sebenarnya kami hari ini mau makan bersama, Pak," lanjut Metta beralasan seraya melirik Velia. "Benar bukan, Ve?"
Velia langsung buru-buru mengangguk. Tepat ketika pintu membuka dan Metta segera menyapa seorang di antara mereka.
"Nova! Teman-teman yang lain sudah siap?"
Nova Saputri mengerjap bingung, tapi Metta dengan cepat memberi kedipan isyarat. Ia lanjut berkata.
"Aku dan Velia sudah siap. Kira-kira kita akan makan apa siang ini?"
Velia tak tinggal diam. Ia menambahkan. "Seperti janjiku kemarin. Hari ini aku akan mentraktir kalian semua makan siang."
Nova paham apa yang terjadi, tapi terlepas dari itu tentu saja ucapan Velia menarik riuh senang mereka.
"Wah!"
"Kau serius, Ve?"
"Tentu saja," angguk Velia yakin. "Aku serius."
"Kalau begitu, lebih baik kita pergi sekarang."
Nova bicara seraya terang-terangan mengajak Velia dan Metta. Begitu pula dengan yang lain, rasa senang karena akan ditraktir membuat mereka abai dengan wajah masam Rino.
"Sebelum kafetaria makin ramai."
Velia dan Metta tak membuang-buang waktu. Mereka dengan cepat memanfaatkan keadaan untuk permisi pada Rino.
"Kami duluan, Pak."
"Permisi."
Rino tak bisa menahan atau mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa mendengkus dengan wajah tertekuk melihat kepergian Velia.
Argh! Cuma mau makan siang saja susah seperti ini.
Berbeda dengan Velia dan Metta, tak terkira lagi kelegaan yang mereka rasa. Keduanya tak henti-henti bersyukur karena teman-teman datang di waktu tepat. Mereka bisa mendapatkan alasan tepat untuk menghindar.
"Kau yakin akan mentraktir mereka?" tanya Metta agak ngeri ketika mereka nyaris tiba di kafetaria. "Ini bukan jumlah sedikit."
Metta menghitung cepat. Setidaknya mereka berjumlah lima belas orang.
"Tenang saja, Met. Mudah-mudahan uangku cukup. Lagi pula ini tidak sebanding dengan kemungkinan harus makan siang bersama Pak Rino."
"Kau benar. Keselamatanmu tidak sebanding dengan uang."
*
Ada dua benda berbeda di atas meja kerja yang menarik perhatian Lucas. Seperti yang diharapkan, sang sekretaris melakukan perintahnya tanpa cela sama sekali.
"Seperti yang Bapak inginkan. Saya sudah menyiapkan seratus butir, tapi bila Bapak butuh lebih banyak maka saya bisa menyiapkannya."
Lucas tersenyum penuh arti dan menyambar botol pil. "Terima kasih. Sepertinya ini cukup untuk sekarang."
"Sama-sama, Pak."
"Bagaimana dengan rumah?" tanya Lucas seraya mengambil kunci rumah di atas meja. "Apakah sudah siap?"
Vlora mengangguk. "Semua yang Bapak inginkan sudah selesai dipersiapkan. Tak ada kurang sedikit pun."
"Baiklah. Kau boleh keluar."
"Permisi."
Lucas segera mengambil ponsel setelah Vlora menutup pintu. Kala itu sore telah menginjak pukul lima sore. Sudah sepatutnya Velia tiba di apartemen.
"Halo, Luc."
Panggilan Lucas hanya butuh waktu dua detik untuk diangkat. Suara lembut Velia terdengar dan Lucas tersenyum lebar tanpa sadar.
"Halo," balas Lucas. "Kau sudah sampai?"
"Sudah. Apa kau pulang terlambat hari ini? Mau kumasakkan sesuatu?"
"Tidak terlalu terlambat. Mungkin aku pulang sekitar pukul delapan nanti. Jadi kalau kau ingin memasakkanku sesuatu, tentu saja aku tak akan menolak."
"Apa yang kau inginkan?"
"Apa pun yang kau masak."
"Baiklah," ujar Velia terdengar penuh semangat di seberang sana. "Aku tunggu kau pulang."
Panggilan berakhir. Lucas seharusnya kembali melanjutkan pekerjaan, tapi bayang Velia mengisi benak untuk beberapa saat. Entah bagaimana bisa, ia seolah melihat wajah Velia tersenyum saat berbicara padanya di telepon tadi.
Sekarang agaknya bekerja menjadi hal sulit untuk Lucas lakukan. Ada banyak alasan mengapa ia harus pulang secepatnya. Termasuk di dalamnya dua benda yang diberikan Vlora padanya tadi.
Waktu berlalu. Lucas menuntaskan pertemuan lebih cepat dari yang dijadwalkan. Ia pulang setengah jam lebih cepat dari yang diperkirakan.
Lucas masuk dan menaruh asal tas kerja di ruang tamu. Ia terus berjalan menuju dapur, satu-satunya tempat yang ia yakini ada Velia di sana.
Tebakannya tepat. Velia ada di dapur dan tengah menyiapkan hidangan di meja makan. Ia menyadari kedatangan Lucas.
"Kau sudah pulang."
Lucas mengangguk dan mendekat. "Ya. Baru saja."
"Lebih cepat dari yang kau katakan tadi," ujar Velia seraya tenggelam dalam rengkuhan Lucas. "Untung saja semua telah selesai."
Lucas melihat sekilas pada hidangan di meja dan mengecup kepala Velia. Sekilas usapan yang ia beri di punggung membuat Velia mengangkat wajah.
"Kau ingin makan sekarang?"
"Sebenarnya ya," jawab Lucas. "Cuma sepertinya aku harus mandi dulu. Kau bisa menunggu sekitar lima belas menit?"
Velia mengulum senyum. "Tentu saja."
Lucas memberi satu usapan lembut di pipi Velia sebelum beranjak dari sana. Ia mengambil tas kerja dan segera ke kamar. Jelas, bukanlah mandi yang pertama kali ia lakukan setibanya di sana. Pun bukan kamar mandi yang menjadi tujuannya.
Adalah meja rias Velia yang menjadi tujuan Lucas. Ia memastikan pintu tertutup dan Velia tak akan masuk dalam waktu dekat.
Lucas bertindak cepat. Ia membuang semua pil pencegah kehamilan Velia di kloset dan menukar isinya.
Botol pil kembali berada di tempat semula, pojokan laci meja rias. Lucas memastikan keadaannya tak berubah dan senyum puas tersungging di wajah.
Aku menantikan kabar bahagia darimu, Ve.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top