35. Tanpa Sadar
Lucas memutuskan untuk meninjau ulang keputusannya tempo hari. Mungkin meminta Velia menemaninya bekerja bukanlah hal tepat. Nyatanya konsentrasi Lucas mudah teralihkan dengan keberadaan Velia. Persis yang terjadi sekarang.
Untuk kesekian kali, Lucas layangkan pandangan ke seberang ruangan. Tepatnya pada sofa di mana Velia tengah berbaring santai. Dengan sepiring buah dan majalah, ia begitu santai. Berbeda jauh dengan Lucas yang harus bekerja.
Lucas melepas kacamata. Ia bangkit dengan satu pemikiran.
Sabtu termasuk akhir pekan bukan? Jadi sudah sewajarnya kalau aku ikut bersantai.
Keasyikan Velia terusik saat sofa melesak. Lucas duduk di sisinya dan melongok pada majalah.
"Apa yang kau baca dari tadi? Kau terlihat serius."
Velia tersenyum. "Hanya membaca artikel padu padan warna pakaian."
Artikel itu langsung menarik perhatian Velia tatkala melihat majalah H&H tergeletak di meja. Judul yang menghiasi sampul menyiratkan informasi terkini yang sepatutnya diketahui zaman sekarang. Terlebih bila Lucas selalu memintanya untuk menyiapkan pakaian dalam semua kesempatan. Tak terkecuali ke kantor, pertemuan di luar jam kerja atau sekadar temu teman-temannya.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Velia seraya melihat pada meja kerja. "Apa sudah selesai?"
"Selesai?"
Ada kesan geli ketika Lucas mengulang satu kata itu. Ia mengambil alih majalah dari tangan Velia dan menaruhnya ke meja. Seraya menunduk, ia berbisik di atas bibir Velia.
"Kuputuskan akhir pekan ini menjadi pengecualian."
Mata Velia terpejam penuh irama. Kecupan sekilas Lucas membuatnya berdesir.
"Kau membuatku tak bisa fokus."
Ucapan Lucas membuat Velia membuka mata. Desir di tubuhnya menghilang seketika dan tergantikan tegang tak biasa. Tatkala Lucas ingin kembali mengecup maka Velia menahan dadanya.
Lucas mengerjap. Ia lihat tangan Velia di dada dengan dahi mengerut.
Dia menolakku?
Tangan Velia bukan hanya sekadar menahan, melainkan mendorong Lucas. Ia ciptakan jarak demi berkata.
"M-maaf, Luc. Aku sedang tidak bisa."
Butuh waktu sedetik untuk Lucas mencerna maksud Velia.
"Kau menstruasi?"
Velia mengangguk muram. "Mungkin kau harus bersabar selama empat sampai lima hari ke depan. Maaf."
Lucas menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Ia harus segera memadamkan percikan yang mulai menyala. Berat, tapi ia melepaskan Velia.
Bangkit dari posisi santainya, Velia dapati Lucas tampak tersiksa walau tak lama. Ia langsung menguasai diri.
"Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk bekerja di akhir pekan."
Lucas berdiri dengan wajah geli sementara Velia mengulum senyum. Ia benar-benar melanjutkan pekerjaan.
Sungguh akhir pekan.
Sabtu dan Minggu berlalu tak ada beda dengan hari kerja biasa. Velia yang tak bisa disentuh membuat Lucas hanya memiliki satu pilihan tersisa. Yaitu, melewati dua hari libur dengan benar-benar bekerja.
Lucas hanya istirahat seadanya. Lagi pula istirahat apa yang ia harapkan ketika bersama Velia justru menjadi bumerang?
Senin pagi datang membawa napas baru untuk Lucas. Ia bersiap dan mendapati ada dampak artikel yang dibaca Velia pada penampilannya.
Lucas segera menuju dapur setelah bersiap. Ia penasaran menu apa yang akan menjadi sarapan pagi itu dan justru mendapati hal tak diharapkan.
"Kau sakit?"
Velia terlihat lesu. Sorot matanya tak bersemangat seperti biasa.
"Tidak," geleng Velia. "Aku hanya sedikit lemas. Hal biasa. Bawaan menstruasi."
"Mungkin kau harus ke dokter."
"Tidak. Biasanya memang seperti ini dan aku baik-baik saja."
Lucas menangkup satu pipi Velia. "Biasanya itu tanpa aku di sisimu. Sekarang keadaan berbeda. Aku tak ingin kau sakit."
Jengah muncul. Velia mengerjap dan tersenyum malu.
"Aku mungkin hanya perlu suplemen penambah darah."
"Aku akan menyiapkannya nanti."
Perhatian Lucas membuat Velia salah tingkah. Ia harus keluar dari situasi itu. Hormon tak stabil dan tatapan Lucas sudah cukup membuatnya kelimpungan, tak perlu ditambah hal lain.
"S-sebaiknya kita sarapan sekarang. Kita bisa terlambat ke kantor."
Lucas mengangguk. "Kau benar."
"Kalau kau datang terlambat, mungkin tidak akan ada yang memarahimu," tambah Velia seraya duduk. "Berbeda denganku. Kedudukan kita tak sama."
"Siapa yang berani memarahimu di kantor?"
Niat Velia untuk langsung sarapan urung sejenak. Ia tatap Lucas dengan geli. "Kau tidak bermaksud untuk memarahinya balik bukan?"
"Siapa yang tahu? Aku mungkin bisa mencari-cari alasan untuk menyuruh orang lain memarahinya."
Velia memulai sarapan seraya menggeleng tak percaya. "Kau pasti bercanda."
"Percaya padaku, Ve. Mencari kesalahan orang adalah hal mudah."
"Benarkah?"
"Tentu saja," yakin Lucas membenarkan. "Aku bisa memastikan bahwa aku tahu orang-orang yang melakukan kesalahan di sekitarku. Sekecil apa pun itu."
Senyum dan geli di wajah Velia perlahan meredup. Tubuhnya mendadak tegang dalam sekilas rasa tak enak. Ia bertanya-tanya apa maksud perkataan Lucas.
Apa dia tahu maksudku mendekatinya? Apa dia tahu alasan aku membutuhkan uang? Atau ucapannya sama sekali tak ada hubungannya denganku?
Velia merasa Lucas tengah menyinggung dirinya. Namun, ucapan Lucas selanjutnya membuat pemikiran tersebut menghilang seketika.
"Kau mungkin tidak tahu, tapi aku sering mendapati beberapa karyawan berbuat curang. Itu ..."
Lucas menatap Velia dengan sorot penuh arti. Menunjukkan keseriusan.
"... berbahaya sekali untuk perusahaan"
"Oh."
Velia membuang napas panjang. Ia merasa lega dan ketegangannya langsung menghilang tergantikan santai kembali. Ia melanjutkan sarapan tanpa mengetahui Lucas menyeringai tipis di balik sendok makan.
*
Bukan hanya Lucas yang merasa cemas dengan keadaan Velia hari itu. Nyatanya Metta juga. Ia yang melihat Velia lemas di awal hari menunjukkan kekhawatiran.
"Biasa, Met. Kau tahu bagaimana kalau aku sedang dapat menstruasi. Lesu, kram, dan pegal-pegal. Semua terasa melelahkan," ujar Velia seraya mengusap tengkuk. Ia merasai keadaan tubuh dan kemudian tersenyum kecil. "Selain itu aku baik-baik saja."
"Oh, syukurlah."
Metta membuang napas lega. Kekhawatirannya pergi dan tergantikan kelegaan. Tanpa sadar, ia pun refleks menyeletuk.
"Baguslah kalau kau menstruasi."
Itu terdengar sebagai kalimat tak biasa. Agaknya wajar bila Velia sedikit bingung.
"Bukankah itu artinya kau tidak hamil?"
Kebingungan Velia terjawab sudah. Sekarang ia jadi sedikit salah tingkah sementara Metta sebaliknya.
"Hidupmu sudah sangat berat sekarang. Aku tidak ingin kau tambah menderita. Apalagi dengan kehadiran anak yang tidak kau harapkan," lirih Metta dengan mimik penuh simpatik. "Aku hanya tak ingin kau semakin menderita."
Velia paham maksud Metta. "Terima kasih untuk perhatianmu, Met. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan hamil."
Ucapan Velia menyiratkan keyakinan. Metta menatapnya dengan dugaan.
"Dia mengenakan pengaman?" tebak Metta lumayan terkejut. "Aku tidak mengira."
"Bukan, tapi ..." Velia membuang napas dan tersenyum simpul. "... aku memakai pil pencegah kehamilan."
Mata Metta membesar seketika. Kenyataan itu ternyata membuatnya lebih kaget lagi.
"Kau serius?"
"Ya. Seperti yang kau bilang, jangan sampai ada bayi yang tak diinginkan hadir di dalam hubungan seperti ini."
Wajah Velia tertunduk. Sekilas, ia melihat pada perut dan senyumnya berubah sendu.
Anak selalu menjadi pelita. Cahaya. Pun penerang. Ia membawa kebahagiaan bagi semua orang. Sayang bukan itu yang Velia bayangkan akan terjadi bila ia sampai melahirkan seorang anak dari hubungannya dengan Lucas.
Tanpa ada pernikahan. Hubungan tanpa perasaan. Ikatan demi keuntungan dua belah pihak.
Ada banyak alasan mengapa anak bukanlah hal tepat untuk Velia. Salah satu yang terpenting adalah kenyataan di mana mereka tak akan bisa bersama selamanya.
"Memangnya ada anak yang ingin terlahir dari hubungan seperti ini? Tidak ada, Met. Tidak ada anak yang ingin lahir dari hubungan yang aku jalani sekarang. Aku juga tak ingin ada anak yang harus malu pada dunia karena terlahir dari hubungan ini."
Velia membuang napas dan wajahnya terangkat kembali. Ia tatap Metta dengan satu keyakinan pedih di hati.
"Aku tidak ingin."
Metta tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa merutuk di dalam hati. Seharusnya ia tak menyinggung soal sensitif itu. Ia merasa berdosa, tapi Velia menunjukkan sikap sebaliknya.
Velia berhasil menenangkan gejolak dan tersenyum. Seolah ingin meyakinkan Metta bahwa dirinya baik-baik saja. Ia sudah tiba di titik tak akan lagi berharap banyak. Masih bisa hidup, mendapatkan penghidupan layak, dan bisa mengurus Herry adalah hal yang mengingatkannya bahwa tetap ada hal baik di hidupnya.
Sayang itu tidak termasuk dengan sakit menstruasi yang semakin menjadi-jadi ketika sore menjelang. Velia merasa kakinya amat nyeri sehingga langkahnya tertarih.
Iwan yang menunggu di parkiran segera bertindak. Ia membantu Velia dan memastikannya duduk nyaman di mobil.
"Apa kita perlu ke rumah sakit?"
Velia menggeleng, yang ia butuhkan saat ini hanyalah tidur. "Aku hanya ingin pulang dan segera beristirahat."
"Baik."
Perintah tersirat yang Velia berikan ditangkap baik oleh Iwan. Ia segera melajukan kendaraan dan berusaha secepat mungkin tiba di apartemen.
Velia sampai dengan keadaan menyedihkan. Kram dan lemas membuatnya tak berdaya. Ia segera berbaring di tempat tidur. Tak butuh waktu lama, ia pun tertidur seraya menahan nyeri.
Satu jam berlalu. Sekarang bukan hanya Velia yang berada di kamar. Melainkan telah ada pula Lucas.
Pria itu memutuskan untuk pulang setelah pesan dan panggilannya tak mendapat respon. Perasaannya tak enak mengingat keadaan Velia di pagi hari. Ternyata, dugaannya benar.
Velia meringkuk seraya memeluk satu bantal. Wajahnya menyiratkan rasa tak nyaman. Pun dengan napasnya yang terdengar berat.
"Ve."
Panggilan Lucas tak mendapat jawaban. Velia benar-benar lelap dan itu menghadirkan satu pijar di benak Lucas. Berkenaan dengan satu kesempatan yang bisa ia manfaatkan.
Lucas beranjak. Ia menuju meja rias Velia dan memeriksa beberapa perlengkapan mekap di sana.
Semua tersusun rapi. Hal itu mempermudah Lucas ketika mencari sesuatu. Ia tak butuh waktu lama dan menemukannya di laci meja rias.
Posisinya sedikit tersembunyi. Tepatnya di sudut belakang laci. Lucas sedikit kesulitan menjangkau, tapi ia berhasil mendapatkannya. Sebuah botol bewarna putih dengan tulisan yang membuat Lucas menahan napas di dada.
Lucas mengambil sebutir pil pencegah kehamilan itu dan menyimpannya di saku celana. Tak lupa, ia menaruh kembali botol itu di tempat semula. Ia pastikan bahwa tidak ada yang perubahan di sana yang bisa menarik curiga Velia.
Semua aman. Terlihat biasa-biasa saja.
Lucas kembali menghampiri Velia. Ia duduk dengan senyum di wajah. Tatkala ia membelai rambut Velia dan menikmati wajah tidurnya, ia bergumam.
"Mengapa harus menghindari kehadiran bayi, Sayang?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top