29. Tersadar
Seorang wanita tanpa busana menggeliat tatkala tidurnya terusik. Berasal dari pria paruh baya yang bangun di sebelahnya.
Adalah Rino orangnya. Ia yang harus menelan kekecewaan malam itu tak punya pilihan lain selain menyewa jasa wanita tunasusila demi menyalurkan hasrat.
Rino berpaling. Wajah penuh keringat itu menyeringai. Tangan terulur dan ia tepuk bokong wanita itu berulang kali.
Sang wanita melenguh. Wajah terangkat dari bantal. Ia tampilkan mimik binal seraya menatap penuh goda pada Rino. Bibirnya yang berlipstik merah terang tersenyum nakal.
"Lagi, Pa? Ada diskon kalau Papa ambil all night."
Seringai Rino semakin lebar. Ia menunduk dan lantas menggigit gemas pada bokongnya.
"Siapa namamu tadi?" tanya Rino demi memastikan ingatan. "Angel?"
Angel mengangguk. "Ya, Pa. Angel. Bidadari yang siap menemani Papa sepanjang malam."
Bukan tanpa alasan mengapa Rino memilih Angel dari sekian banyak wanita yang ditawarkan. Itu berkaitan dengan Velia tentunya. Nama Angel mengingatkannya akan Velia Angelica.
Tentunya bidadari Velia tak bisa dibandingkan dengan yang satu ini.
Velia lebih dari segala-galanya ketimbang Angel. Halus dan lembut kulitnya. Wangi semerbak yang menguar dari tubuhnya. Pun hal lainnya.
Sayangnya Rino tak punya pilihan lain. Jadi selagi menunggu bidadari sesungguhnya datang ke pelukan, ia bisa memuaskan hasrat dengan bidadari komersial satu ini.
"All night?"
Angel menelentang dan Rino merayap di atas. Ia berhenti di payudara demi meremasnya.
Lenguhan Angel terdengar. Hasrat Rino bangkit kembali.
"Siapa takut? Papa ladeni kau malam ini, tapi tunggu sebentar. Ada yang harus Papa hubungi."
Angel mengangguk penuh semangat seraya menyugar rambut. Harus diakui, warna pirang hasil salon murahan itu tampak cocok dengan senyum manja yang menyungging di wajahnya.
Rino turun dari tempat tidur. Sekilas, ia sempat melihat Angel yang memilih duduk bersandar di kepala tempat tidur. Wanita itu menyulut sebatang rokok dan mengisapnya kuat-kuat.
Angel mengedipkan mata dan Rino mengingatkan diri untuk segera menghubungi Boy. Ada malam panjang yang ingin ia nikmati.
Rino memungut celana panjang yang tergeletak di lantai. Tanpa merasa perlu menutupi ketelanjangan diri, ia mengeluarkan ponsel dari saku. Ia menghubungi Boy.
"Boy."
"Ya, Pak?"
Rino menarik napas dalam-dalam seraya beranjak ke kamar mandi. Ia tak ingin Angel mendengar percakapan tersebut.
"Besok kau amati Velia pelan-pelan."
"Tentu, Pak. Jangan khawatir."
"Sekarang kita punya banyak waktu," terang Rino dengan lapang. "Jadi kau bisa bekerja dengan lebih tenang dan rapi. Apa pun yang terjadi, aku ingin kau bisa menculiknya. Bawa dia ke rumah kosong."
Suara Boy terdengar tak yakin di seberang sana. "Rumah kosong?"
"Ya, rumah kosong. Kau pasti tidak tahu, tapi Velia semakin terlihat cantik."
Agaknya pengaruh alkohol membuat Rino meracau. Ucapannya tak terarah dan mengatakan hal tak semestinya.
"Tubuh Velia sangat menggiurkan. Jadi aku ingin kau menculiknya tanpa luka. Kau tentu tahu apa maksudku bukan? Wanita seperti Velia itu sayang kalau harus langsung dibunuh. Aku ingin menikmati tubuhnya dulu. Aku ingin meremas payudara dan memerkosanya berkali-kali. Nanti kau juga boleh menikmatinya kalau aku sudah puas."
Bukan hanya mengatakan hal menjijikkan, Rino bahkan tertawa. Ada imajinasi menggairahkan yang bermain-main di benak Rino. Ia membayangkannya. Velia terbaring polos di bawah tubuhnya dan ia menggauli wanita itu sesuka hati.
"Jadi lakukan sebaik mungkin. Mengerti?"
"Baik, Pak."
Rino mengakhiri panggilan. Ia menyempatkan waktu untuk buang air kecil, barulah keluar.
Ponsel mendarat di meja. Bertepatan dengan Angel yang mematikan rokok di asbak.
Rino merentangkan tangan. "Angel, Papa datang."
Angel cekikikan. Namun, tak urung juga ia balas merentangkan tangan. Ia bersiap menyambut Rino, berikut dengan kakinya yang membuka amat lebar.
*
Aroma wangi membuat Lucas bangun. Matanya sempat mengerjap berulang kali sebelum membuka sempurna.
"Selamat pagi."
Nah! Ini baru awal pagi yang sempurna.
"Selamat pagi, Ve."
Wajah Velia adalah pemandangan pertama yang Lucas lihat di hari itu. Ia tersenyum dengan mekap yang sudah terpulas.
"Kau sudah siap?" tanya Lucas menggeliat bangun. Ia duduk dan mengusap kasar wajah. "Memangnya sekarang jam berapa?"
Lucas melihat jam dinding dan syok. Agaknya ia terlambat bangun.
"Sebaiknya kau segera mandi. Pakaianmu sudah aku siapkan. Aku tunggu di meja makan."
Ide bagus, tapi sebelumnya ada yang ingin Lucas pastikan. Ia menahan tangan Velia sebelum wanita itu beranjak.
"Ada apa?"
Lucas berdiri dan membelai pipi Velia. Bola matanya bergerak demi mengamati.
"Kau terlihat semakin membaik akhir-akhir ini."
"Membaik?"
Lucas mengernyit. Agaknya kata 'membaik' tidak cukup lugas mewakili apa yang ia rasakan.
"Kau terlihat lebih senang."
Masih belum tepat, tapi itu lebih baik. Setidaknya yang satu ini memberi Velia penjelasan untuk maksud Lucas.
"Mungkin pengaruh pekerjaan."
Lucas meraih dagu Velia. Ia angkat wajahnya dan memberikan kecupan tak seberapa di bibir berpoles warna merah muda itu.
Mungkin juga karena tanpa sadar kau telah menikmati kebersamaan kita.
"Tunggu aku," bisik Lucas seraya menatap lembut Velia. "Aku tak akan lama."
Lucas meninggalkan Velia setelah sukses membuatnya membeku. Tubuh Velia terasa tak bisa bergerak dengan jantung yang berdegup kencang.
Velia berusaha menarik napas panjang. Ia perlu mendamaikan gemuruh tak asing yang sekarang bermain-main di dada.
Tak akan keliru. Tak akan salah menebak. Velia jelas tahu riuh apa itu.
Tidak. Ini tak boleh terjadi lagi.
Velia memutuskan untuk segera menyiapkan sarapan. Ia harus menyibukkan diri dan pikiran demi mengenyahkan kemungkinan buruk di benak. Sedikit beruntung, setidaknya ia tak berlama-lama terjebak situasi. Ada pekerjaan yang benar-benar menanti di pukul delapan.
Hari kedua Velia kembali bekerja. Selain berhasil mengusir suntuk, ternyata perkerjaan memberinya hal lebih. Obrolan pagi dengan Metta adalah salah satunya.
Ada banyak hal yang mereka bicarakan. Perbincangan ringan. Obrolan menyenangkan sebelum ucapan Metta membuatnya Velia tertegun.
"Kau tak tahu sesenang apa aku bisa melihatmu lagi, Ve. Terlebih dengan keadaanmu sekarang. Jujur saja, kau terlihat membaik dan senang dengan kehidupanmu saat ini."
Wajah Velia berubah. Metta menyadari bagaimana ucapannya bisa disalahartikan.
"Maaf," ujar Metta cepat. "Aku tidak bermaksud sama sekali. Aku tidak berniat menyinggungmu, tapi kau sungguh terlihat membaik."
Velia paham maksud Metta. Ia tak bermaksud menyinggung jalan yang diambl Velia, tapi sebaliknya.
"Kau tahu bukan? Banyak berita yang mengabarkan sering terjadi kekerasan. Aku sempat khawatir bila kau mengalaminya."
Metta tak bisa berhenti mencemaskan keadaan Velia. Untungnya, semua ketakutannya tak terbukti. Lebih dari itu, ia bisa melihat sesuatu yang berbeda padanya.
Ini bukan berkenaan dengan barang mewah nan bermerek yang melekat di tubuh Velia. Pun tidak berhubungan dengan apiknya dandanan atau indahnya perhiasan yang dikenakan, melainkan lebih dari itu.
Ada satu dua hal yang tak biasa dari Velia. Matanya terlihat hidup dan aura di sekitarnya menyiratkan kedamaian.
Metta bukan pertama kali ini bertemu dengan wanita yang terpaksa hidup di jalan keliru layaknya Velia. Namun, ia tak pernah menemukan kasus di mana mereka benar-benar senang.
Pada umumnya selalu ada gurat luka dan beban yang terpancar dari mata mereka. Tampak cantik dalam kemewahan dan gemerlap, tapi setiap senyum manis selalu menyiratkan lara.
Velia berbeda. Ia bukan hanya tampak baik-baik saja. Ia persis seperti telah menemukan kembali kebahagiaan.
"Kau tak perlu khawatir," ujar Velia tersenyum pasti. "Dia tak akan menyakitiku."
Metta menatap dengan kesan ragu. "Kau tampak begitu yakin."
"Sebenarnya dia adalah pria yang baik."
Kalimat biasa yang bisa diucapkan siapa pun bukan? Namun, percayalah. Metta kembali menangkap kilat tak biasa di mata Velia.
"Aku bersyukur mengetahuinya. Terkadang aku terlalu khawatir. Apalagi kalau keberadaanmu ..."
Metta menggigit bibir bawah. Agak berat, tapi ia tetap menuntaskan kegundahan yang dirasa.
"... sampai diketahui keluarganya. Istri atau anak mungkin. Aku tak ingin kau mengalami hal buruk."
"Tenanglah. Dia belum bekeluarga."
Metta syok. "Dia masih lajang?"
"Ya."
"Dia masih muda?" tanya Metta tak yakin.
"Tahun ini dia berusia 33 tahun."
Syok yang dirasa Metta semakin menjadi-jadi. Normalnya pria di usia itu mencari wanita untuk dinikahi, bukan sebaliknya.
Metta menggeleng samar. Itu bukan urusannya. Ada hal lain yang lebih menarik untuk dibicarakan berkenaan dengan kembali Velia di kantor.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan sebentar setelah pulang kerja nanti? Sekadar untuk melepas rindu."
Tawaran menggiurkan. Senyum lebar seketika merekah di wajah Velia, tepat sebelum satu kilas percakapan melintas di benak. Ia teringat pada Iwan dan pesan Lucas.
Ekspresi senang menghilang. Velia muram ketika terpaksa menggeleng.
"Maaf, sepertinya tak bisa."
"Walau hanya sebentar?"
"Ya," angguk Velia berat. "Aku selalu diantar jemput olehnya. Aku tak bisa pergi ke mana pun tanpa dirinya. Aku tak ingin membuatnya marah."
Sedikit berbohong, tapi tak mengurangi kebenaran fakta yang terjadi. Setidaknya Metta menerima alasan itu.
"Tak apa. Aku mengerti."
Penerimaan tanpa keberataan Metta membuat Velia bersyukur. Pun untuk penerimaan tanpa penghakimannya membuat Velia amat sangat beryukur. Hanya saja ada satu hal yang sekarang menerbitkan tanya di benak Velia.
Benarkah?
Velia melihat pantulan wajah di cermin. Ia pergi ke toilet tatkala jam istirahat dan bertanya pada diri sendiri.
Apakah yang dikatakan Lucas dan Metta benar? Keadaanku sekarang lebih membaik?
Sementara itu di luar kantor, mobil Boy sudah berjaga. Sejam sebelum jam pulang kantor, ia telah mengambil posisi strategis. Ia berkonsentrasi penuh demi melihat dan mengamati keadaan sekitar.
Boy menunggu. Waktu bergulir. Jam pulang tiba dan ia segera bersiap.
Mata Boy melihat tanpa kedip. Ia bersiaga dengan tekad bulat. Ia tak akan lalai sedikit pun.
Boy mengubah posisi duduk. Metta terlihat keluar dari gerbang. Namun, lagi-lagi tanpa keberadaan Velia. Sama seperti hari sebelumnya.
Rasa penasaran mendera. Boy melajukan mobil dan mengikuti Metta. Sayang, Boy tidak menemukan tanda-tanda Velia bahkan sampai Metta tiba di rumah.
Boy meradang. Rasa penasaran mendesak dan membuat geram, tapi ia tak menyerah. Ia kembali berjaga di keesokan hari. Berulang kali. Sayang tak ada yang ia dapatkan hingga hari Jum'at berakhir.
Nihil. Tak ada hasil sama sekali. Rasa penasaran dan geram menyublim menjadi satu kemungkinan di benak Boy.
Sebaiknya aku berjaga dari pagi. Apakah dia ke kantor seperti biasa atau justru ada yang mengantar-jemput dirinya sehingga dia bisa lolos dari intaianku akhir-akhir ini?
Boy teringat satu hal penting di penghujung hari. Bahwa bila Velia benar-benar menjadi simpanan pria berpengaruh maka tentu saja kemungkinan itu bisa terjadi.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top