27. Sia-Sia
Ada satu mobil terparkir tak jauh dari gerbang Greatech sore itu. Seorang pengemudi dengan kacamata mata hitam duduk di dalam. Tak ada penumpang. Hanya dirinya seorang.
Mata pria itu menatap spion luar yang telah diatur sedemikian rupa sehingga terarah langsung pada gerbang kantor. Ia menatap serius dan lalu berpaling. Ingin memastikan kembali siapa saja yang masuk dan keluar dari sana.
Getar di saku jaket menjeda pengintaian. Ia mengambil ponsel dan tak heran melihat siapa adanya yang menghubungi.
"Halo, Pak."
"Boy."
Balas sapaan terdengar di seberang sana. Suaranya menyiratkan ketidaksabaran.
"Apa kau sudah di posisi sekarang?"
Adalah Boy orangnya. Pria suruhan Rino yang saat ini sudah menunggu demi mengintai Velia, persis seperti arahan yang diberikan.
"Sudah dari setengah jam yang lalu, Pak," jawab Boy tenang. Tatap matanya tetap fokus. "Bapak tak perlu khawatir. Ini bukan pertama kalinya Bapak memakai jasa saya. Velia tidak akan lepas."
"Tentu saja dan karena itulah aku mempercayakan pekerjaan ini padamu. Sekadar mempermudah pekerjaanmu, hari ini Velia mengenakan kemeja bewarna biru muda dan rok hitam. Sepatunya juga bewarna hitam."
Fokus mata Boy terusik. Ada samar yang beda di suara Rino. Bila ia tak salah mendengar, itu layaknya Rino yang tengah meneguk ludah kasar.
"Dia biasanya pulang bersama Metta. Kau sudah melihat foto Metta bukan?"
Boy kembali memfokuskan tatapan. "Sudah, Pak."
"Oke, semoga semua lancar. Sebentar lagi jam pulang kantor. Bersiaplah, Boy. Kalau kau bisa menculiknya malam ini juga, itu akan lebih baik. Tentu saja akan ada bonus untukmu."
"Baik, Pak."
Panggilan berakhir. Boy kembali fokus dengan pengintaian sementara Rino tak berhenti berdoa di ruang kerja.
"Semoga Boy benar-benar berhasil. Wah! Aku sungguh tak bisa bersabar. Oh, Ve. Bagaimana bisa kau—argh!"
Rino menggeram gemas. Ia mengusap tangan di paha atas. Ada desir tak asing yang berpusat di sekitar sana.
"Sepertinya desas-desus itu memang benar. Velia pasti sudah menjadi wanita simpanan. Dia terlihat semakin cantik. Tentu. Tentu saja dia hidup enak selama ini dengan menjual tubuh."
Panas dingin menjalari tubuh Rino. Ia meneguk ludah dengan sorot menjijikkan. Tak urung, tawa penuh arti pun berderai dari mulutnya.
"Jadi dia pasti sudah berpengalaman sekarang. Dulu kau sok suci, Ve. Ternyata akhirnya kau jual juga tubuh molekmu itu."
Rino tidak melebih-lebihkan. Nyatanya melihat Velia sebentar saja sudah membuat hasrat pria paruh baya itu menggelegak. Halus dan lembut tangan Velia membuatnya membayangkan hal kotor.
"Apakah kulitmu di tempat lain sama halusnya, Ve? Atau justru lebih halus?"
Rino pasti senang hati mencari tahu kebenaran pertanyaan tersebut. Untuk itu, harapan besarnya bergantung pada Boy.
"Sebaiknya Boy benar-benar bisa diandalkan untuk hari ini."
Sayang, sepertinya harapan Rino harus tertunda sementara waktu. Itu erat kaitannya dengan kerutan yang semakin lama semakin mengotori dahi Boy. Berikut dengan perasaan tak enak yang membuatnya sedikit cemas.
Boy mencoba bersikap tenang. Ia yakinkan diri bahwa ia tak mungkin silap. Matanya terus fokus dan ia tak teralihkan sejak dua puluh menit yang lalu. Setiap karyawan yang keluar dari gedung perkantoran itu, tak lepas dari bidikan tatapannya. Satu persatu dengan begitu teliti.
Rasa penasaran hadir. Berdasarkan informasi yang dimiliki, Boy bisa memperkirakan Velia dan Metta akan berjalan melewati mobilnya. Ia sudah memperhitungkan semua dengan amat cermit tatkala mengetahui kebiasaan mereka. Yaitu, keduanya akan menunggu angkutan umum di halte bus yang berjarak sekitar 20 meter dari Greatech.
Lalu mengapa hanya ada Metta?
Wajah Metta terpateri kuat di ingatan Boy. Pun ia tak akan salah melihat ketika Metta keluar dari gerbang kantor.
Metta tertawa-tawa bersama beberapa orang teman. Namun, aneh. Tanpa ada Velia di sana.
Boy memutar tubuh. Ia memilih untuk melihat langsung ketimbang melalui pantulan kaca spion.
Mata Boy tak salah melihat. Itu memang adalah Metta yang berjalan tanpa keberadaan Velia.
Metta dan rombongan berjalan di trotoar. Mereka melewati mobil Boy. Memberikan kesempatan terakhir untuk pria itu melihat lebih teliti.
Memang tak ada. Velia tak ada.
Boy mengendalikan diri. Ia berusaha tenang dengan satu pemikiran.
Mungkinkah ini ada kaitannya dengan hari pertama ia kembali bekerja? Apa dia lembur?
Boy memperbaiki duduk. Ia kembali menatap pada spion, tapi justru berdecak kesal sedetik kemudian. Ada satu mobil bewarna merah keluar dari Greatech dan sempat menutupi pandangannya sejenak.
Mobil merah berlalu. Boy kembali memfokuskan pandangan. Namun,tak ada hasil.
Matahari menghilang. Gelap malam datang. Kantor berubah sepi. Untuk itu, Velia tak terlihat sekali pun.
Boy memukul kemudi dengan kesal. "Sial!"
*
"Iwan."
Mobil baru saja meninggalkan Greatech tatkala suara Velia terdengar. Sopir muda yang agaknya masih berusia di kisaran angka 30-an itu melirik pada spion dalam.
"Ya, Non? Ada apa?"
"Apa kita bisa mampir sebentar ke supermarket? Ada beberapa sayuran yang ingin kubeli."
Iwan tersenyum. "Maaf, Non. Saya tidak bisa melakukannya."
Senyum dan penolakan Iwan bukanlah paket jawaban yang diharapkan Velia. Beragam sayuran dan bahan makanan yang sudah mengisi benaknya jadi hilang seketika.
"Tidak bisa?"
"Ya," angguk Iwan masih tersenyum. "Tuan berpesan untuk selalu mengantar Nona pulang tepat waktu. Beliau tidak ingin Nona capek sedikit pun setelah seharian bekerja."
Velia tidak bisa berkata-kata. Bila itu berkenaan dengan perintah Lucas, ia tak ingin mengambil risiko.
"Atau bagaimana kalau begini, Nona?"
Suara Iwan menarik perhatian Velia. Wajahnya yang sempat menunduk, sontak terangkat dan ia balas melihat sang sopir dari pantulan spion dalam.
"Silakan Nona catat apa yang yang ingin dibeli dan biar saya yang berbelanja?" tanya Iwan menawarkan solusi. "Ide bagus bukan?"
Velia menarik napas dalam-dalam. Ia jelas bisa menyadari posisi Iwan dan tak ada alasan baginya menolak tawaran tersebut.
"Baiklah. Aku akan mencatatnya. Tolong kau segera belanja setelah mengantarku."
Iwan mengangguk. "Baik, Nona."
Velia mengeluarkan satu buku catatan kecil dan pena dari dalam tas. Ia mencatat semua bahan yang ia butuhkan. Tepat ketika mobil berhenti di pelataran apartemen, ia menyobek kertas dan menyerahkannya pada Iwan, berikut dengan sejumpa uang.
"Tolong segera antarkan ke atas."
"Baik, Non."
Petugas gedung membuka pintu mobil. Velia turun dan memberi senyum ramah seraya melangkah masuk. Pun tak lupa membalas sapaan pada sang resepsionis yang berjaga.
Velia melangkah terburu. Pandangannya tertuju pada satu lift yang mulai menutup. Ia tak ingin kehilangan lift tersebut dan berseru.
"Tolong tahan."
Pintu lift tak jadi menutup, alih-alih kembali membuka. Velia segera masuk seraya berkata.
"Terima kasih."
Pintu menutup. Tangan Velia terulur, menekan tombol lift dan perhatiannya tertarik. Kali ini ia berpaling demi melihat siapa yang bersama dirinya.
"Mas Adnan?"
Pria bertopi itu melirik sekilas. Tanpa tersenyum, ia mengangguk. "Sore, Nona."
"Ingin memperbaiki pipa tersumbat lagi?"
"Ya."
Perbincangan canggung itu membuat Velia manggut-manggut. Agaknya perkataan Siti tempo hari memang benar. Adnan adalah orang pendiam. Pria tinggi yang selalu mengenakan topi itu agaknya memang tak suka bicara. Alhasil Velia pun memilih untuk tak melanjutkan usaha berbasa-basi."
Lift berhenti. Velia langsung keluar dan Adnan perlahan mengangkat wajah. Ia naikkan sedikit ujung topi layaknya ingin melihat Velia lebih lekat.
Velia berjalan. Ia susuri koridor dan berhenti di depan pintu. Berniat untuk memasukkan kata sandi, nalurinya justru terusik. Ia berpaling dan pandangannya terlempar ke seberang sana.
Adnan memperbaiki posisi topi dan menunduk kembali. Pintu lift menutup, melanjutkan perjalanan.
Masuk dan menutup pintu, Velia melepas sepatu. Ia langsung menuju kamar dan melempar tas ke atas tempat tidur. Pun ia berpaling pula.
Velia menatap langit-langit. Samar dan tanpa sadar, ia tersenyum. Kembali bekerja memberikan energi positif untuknya. Namun, tidak termasuk dengan pekerjaan mendadak yang terjadi di ruangan Lucas.
Samar panas masih tertinggal. Jejak yang mengingatkan Velia akan kenekatan mereka tatkala bercinta di kantor.
Aneh, tapi ada sensasi berbeda yang benar-benar membuat Velia tadi sungguh terpacu. Adrenalin melonjak dan menyisakan bayang yang memenuhi benak.
Velia membuang napas panjang. Ia bangkit dan melepas ikat rambut. Helaian hitam nan halus terurai. Jatuh dengan kesan sedikit berantakan.
Mandi setelah seharian bekerja adalah ide terbaik. Velia segera menuju kamar mandi dan melepas pakaian.
Hanya pakaian dalam yang masih melekat di tubuh Velia. Ia tak sempat melepasnya tatkala ada samar suara yang terdengar.
Velia buru-buru keluar dari kamar mandi tanpa sempat mengambil handuk. Firasat mengatakan bahwa pastilah Lucas yang menghubungi. Ia harus mengangkat panggilan itu secepat mungkin.
"Halo, Luc."
"Halo. Kau sudah sampai di apartemen?"
"Sudah," jawab Velia cepat. "Baru saja beberapa menit. Ada apa?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa Iwan melakukan tugasnya dengan benak."
Velia tertegun. Saat itu ia menyadari bahwa keputusan menyuruh Iwan berbelanja adalah hal tepat. Seperti yang diperkirakan, Lucas benar-benar memastikan Velia sungguh sudah pulang.
"Kalau kau sedang di unit ..."
Suara Lucas menyentak lamunan bernada kelegaan yang menyita pikiran Velia. Ia mengerjap dan selanjutnya justru melotot."
"... maka panggilan ini akan aku alihkan ke panggilan video. Aku benar-benar ingin melihat bahwa kau memang sudah sampai."
Velia tak bisa berpikir atau bertindak. Lucas benar-benar mengalihkan panggilan suara menjadi panggilan video.
Tak ada pilihan yang Velia punya. Ia tak bisa membuat Lucas menunggu. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah saat mengangkat panggilan video.
"Velia."
Suara Lucas terdengar dalam nada berbeda. Matanya menyipit seolah silau akan cahaya yang memancar.
Velia menggigit bibir. Wajah memerah dan ia berusaha menutup dada.
"Aku berencana untuk mandi ketika kau menelepon, Luc. Aku tak sempat memakai kembali bajuku."
"Bahkan untuk sekadar mengenakan handuk?"
"Kupikir tadi hanya telepon biasa," ujar Velia membela diri. Malu membias di pipinya. "Jadi kau ak akan melihatnya."
Lucas tersenyum miring. "Sekarang aku melihatnya."
"Aku tahu itu."
"Jadi turunkan tanganmu, Ve. Rasanya tak perlu menutupi apa pun lagi dariku."
Velia menuruti perkataan Lucas. Tangan turun dan pemandangan sensual itu terpampang nyata.
Ada bekas merah yang menarik perhatian Lucas. Tepatnya di payudara kiri. Jejak itu terlihat masih begitu segar. Layaknya baru saja ditinggalkan seseorang. Lucas jelas mengetahui pasti siapa yang meninggalkannya dan kapan tepatnya tertinggal.
Lucas tersenyum. Ia perbaiki posisi duduk, memperlihatkan fakta bahwa saat itu ia masih berada di kantor.
"Kau terlihat begitu seksi, Ve."
Velia menggigit bibir bawah. "Luc."
"Kau tidak sedang berusaha untuk menggodaku bukan?"
"Tidak, Luc. Aku benar-benar ingin mandi."
Lucas tertawa. Ia tarik napas dalam-dalam demi menenangkan diri. Kejutan yang didapat sore itu benar-benar di luar antisipasi.
"Baiklah. Aku tak akan mengganggumu lagi."
Velia sempat menangkap senyum tipis Lucas sebelum panggilan berakhir. Lega, akhirnya ia terbebas pula dari situasi memalukan itu. Sekarang yang ada di benaknya hanya mandi.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top