25. Atur Ulang
Btw sebelum baca, aku mau ingatin semuanya ya. Buat yang udah baca, jangan komen yang menjurus. Jangan senggol-senggol Anu atau Ani atau Ana 😂
Ga usah komen itu bakal mati, ini bakal gitu, itu bakal gini. Jangan. Biarin yang belum baca jadi penasaran 🤣
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Lucas terpana. Dalam balutan setelan kantor dan penampilan formal, nyatanya Velia tetap mempesona.
"Kau cantik."
Velia melihat diri sendiri. Entah itu secara langsung dengan cara menunduk atau menatap pada pantulan cermin.
"Apa ini tidak berlebihan?"
Sedikit, Velia merasa canggung. Rasanya agak tak nyaman mengenakan pakaian bermerek untuk bekerja. Rekam jejaknya selama ini tidak memberi kesempatan itu untuk terjadi padanya. Apa yang akan orang-orang pikirkan nanti?
"Kurasa itu adalah hal yang tak perlu dibahas," ujar Lucas seraya beranjak mendekati Velia. Ia putar tubuhnya dan tersenyum. "Kau terlihat cocok dengan pakaian ini."
Tidak berlebihan. Kemeja, rok, dan sepatu melekat dengan begitu padu di tubuh Velia. Tak berlebihan, tapi sungguh amat apik.
Lucas puaskan matanya untuk merekam penampilan Velia pagi itu. Pun ia sesekali mengusap lengan atasnya.
"Bagaimana kalau kita sarapan sekarang? Kupikir kau tak ingin terlambat di hari pertamamu kembali bekerja bukan?"
Tak lebih dari dua puluh menit waktu yang dibutuhkan Velia dan Lucas untuk menikmati sarapan. Sesaat setelahnya, mereka langsung turun dan dua mobil berbeda sudah menunggu.
Lucas mengantar Velia hingga masuk ke dalam mobil. "Jaga dirimu baik-baik."
"Tenang, Luc," angguk Velia tersenyum. "Aku hanya bekerja."
Lucas tak mengatakan apa-apa lagi. Melainkan ia lempar tatapan pada Iwan. Sang sopir layaknya mengerti dan memberinya anggukan pasti.
*
Persis seperti yang Velia pikirkan. Orang-orang tercengang dengan penampilannya. Bukan hanya pakaian, melainkan aksesoris yang melekat di tubuhnya pun menarik perhatian.
"Selamat pagi."
Sapaan kaku Velia seperti tak ada arti ketika mata para karyawati justru tertarik pada sepatu dan tas yang melengkapi penampiannya. Tak hanya itu. Ada beberapa dari mereka yang terang-terangan ternganga melihat anting yang menggantung di daun telinganya.
Velia menggigit bibir bawah. Ia menguatkan diri dan menuju ke mejanya terdahulu. Sebisa mungkin, ia mencoba mengabaikan tatapan-tatapan itu walau sulit.
Astaga. Bahkan tanpa perhiasan, tas, dan sepatu, orang-orang pun tetap curiga dengan kemeja yang aku kenakan.
Tatapan mereka seolah berubah sinar menusuk yang menghunjam punggung Velia. Panas dan kaku. Mengabaikannya jelas adalah hal sulit untuk dilakukan.
"Ve!"
Satu seruan menarik perhatian Velia. Suaranya tak asing dan spontan membuat Velia berpaling.
Tepat seperti yang Velia tebak. Adalah Metta yang menghampirinya.
"Metta!"
Velia bangkit. Ia sambut kedatangan Metta dengan wajah semringah sementara sang teman sebaliknya.
Langkah Metta melambat. Semangat yang sempat membakar untuk segera bertemu terjeda seketika. Agaknya ia mengalami syok sama persis dengan yang dirasakan oleh para karyawan lainnya.
"Ve," lirih Metta dengan lidah kelu. Tatapannya menyusuri dari atas hingga bawah. "Kau terlihat begitu beda."
Tak ada beban pikiran. Masalah teratasi. Bebas teror preman dan ibu kos. Selain itu menjalani hidup terjamin dengan tempat tinggal mewah berikut semua fasilitas. Tentu saja memberikan dampak nyata bagi siapa pun. Terlebih lagi untuk Velia.
Lebih lanjut, Lucas tak main-main bila itu berkaitan dengan perawatan Velia. Apa gunanya tinggal di apartemen kelas elite bila tak memanfaatkan semua sarana dan prasarana yang tersedia?
Lucas memilih hunian mewah itu bukan tanpa alasan. Melainkan ia ingin turut memanjakan Velia sesuai dengan keinginan wanita pada umumnya.
Hasilnya? Seperti yang terlihat. Hanya sebulan Metta tak bertemu Velia dan ia takjub mendapati perubahannya.
Metta mengerjap. "M-maaf," ucapnya cepat. "Aku tak bermaksud. A-aku hanya senang melihatmu. Kau terlihat baik-baik saja."
"Ya. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu selama ini?"
Sikap Velia masih ramah seperti biasa. Ia tersenyum dan tampak tak tersinggung dengan respons refleks Metta walau yang terjadi justru sebaliknya.
Sedikit. Ada sekelumit remasan di jantung Velia. Namun, itu tak berarti apa-apa.
"Aku juga baik-baik saja. Ah, aku nyaris lupa."
Ada hal penting yang harus Velia lakukan di hari pertamanya kembali bekerja. Untuk itu, Metta sudah dipesankan oleh Rino.
"Kau disuruh menemui Pak Rino di ruangnya pagi ini."
Awal kerja yang tidak Velia suka. Metta tentunya bisa mengerti kekhawatiran Velia.
"Aku akan menemanimu. Seperti yang aku katakan bukan? Kau jangan pernah menemui Pak Rino seorang diri."
Setidaknya ada hal yang bisa menenangkan Velia.
"Terima kasih."
Mereka tiba di ruang Rino sekitar 15 menit sebelum pukul delapan. Velia mengetuk dan suara Rino terdengar.
"Masuk."
Velia membuka pintu. Ia masuk dan Rino seketika bangkit dari duduk ekspresi takjub.
"Velia."
Agaknya Rino tak merasa perlu menjaga air muka. Pun dengan sorot matanya ketika menatap kedatangan Velia.
Rino beranjak meninggalkan meja kerja. Dengan wajahnya yang berseri-seri dalam mimik menjijikkan, ia berjalan demi menghampiri Velia.
Sayang, kehadiran seseorang yang turut masuk bersama Velia membuat langkah penuh semangat Rino berhenti seketika. Ketakjubannya terjeda. Ia lihat Metta dengan penuh bingung.
"Metta? Mengapa kau datang juga?"
Metta langsung mengambil tempat di sebelah Velia. Sekilas, ia memegang tangan sang teman dan mendapati gemetar di sana.
"Saya khawatir ada yang ingin Bapak katakan pada saya terkait Velia."
Dahi Rino mengerut. "Kalau memang ada, sudah pasti aku akan memanggilmu juga."
Rino menunggu. Pun ia berikan isyarat pada Metta melalui lirikan mata yang berulang kali melihat pintu. Ia meminta Metta untuk pergi, tapi wanita itu justru bergeming. Akhirnya ia tak bisa berbuat apa-apa, selain mengajak mereka duduk bersama.
"Selamat datang kembali, Velia."
Rino tak hanya menyapa, melainkan mengulurkan tangan. Ia tawarkan jabat tangan yang ragu disambut Velia.
"Terima kasih, Pak."
Velia terpaksa menyambut jabat tangan tersebut. Tentunya tak lama. Ia segera menarik tangan ketika dirasa Rino mulai meremas jemarinya dengan tatapan yang berubah liar.
"Bagaimana kabarmu sekarang, Ve?"
"Baik, Pak."
"Tentu saja. Kau pasti baik-baik saja," angguk Rino tak bisa menahan hasrat untuk terus mengamati penampilan Velia. "Juga semakin cantik."
Bukan hanya Velia yang tersentak dengan ucapan Rino, melainkan Metta pula. Mereka sama tak mengira Rino akan bicara demikian sementara pria paruh baya itu justru bersikap sebaliknya. Terlihat santai tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Mulai sekarang kau bisa kembali bekerja, Ve. Aku sudah berusaha mati-matian untuk meyakinkan perusahaan, jadi jangan sia-siakan kesempatan ini."
Velia hanya mengangguk. Dalam hati, ia hanya berharap agar perbincangan itu bisa berakhir secepat mungkin. Bahkan dengan adanya Metta tak cukup membuat Rino menjaga sikap.
"Oh ya. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Kau tinggal di mana sekarang?"
Wajah Velia yang menunduk sontak terangkat seketika. Heran? Jangan ditanya. Untuk apa Rino menanyakan alamatnya?
"Kemarin Metta mengatakan bahwa kau sudah pindah dari kontrakan yang lama," jelas Rino dengan mata berkilat. "Jadi di mana kau tinggal sekarang?"
"S-saya tinggal bersama dengan keluarga, Pak."
Itu bukan jawaban yang Rino inginkan. Ia butuh jawaban yang lebih terperinci.
"Di mana?"
Velia mendeham sejenak. Saat itu ia teringat perkataan Lucas.
"Kau akan baik-baik saja di sini, Ve."
Velia menyadari hal tersebut. Apartemen yang Lucas sediakan adalah tempat teraman yang ia miliki. Terlebih bila itu berhubungan dengan Rino.
"Sebenarnya saya sekarang tinggal hanya beda gang dari kontrakan kemarin, Pak. Tak jauh dari sana."
Rino manggut-manggut. "Oh, begitu."
Tak ada lagi percakapan. Rino hanya melihat Velia sementara kedua wanita itu salah tingkah.
"Pak?"
Akhirnya Velia memberanikan diri untuk bersuara. Rino yang menatapnya dengan penuh liar, terlihat bersemangat.
"Ya? Ada apa, Ve?"
Velia meremas kedua tangan. "Apa kami bisa kembali ke ruangan? Kami harus mulai bekerja."
"Ah, benar! Tentu saja. Tentu. Silakan. Kalian harus bekerja dengan baik."
Rino mengerang. Kepergian Velia membuatnya mondar-mandir dengan ketakjuban tak tertahankan.
"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Velia jadi secantik itu?"
Tidak bisa tidak. Hasrat kelaki-lakian Rino menyala. Terlebih ketika ia meliat tangannya sendiri.
Rino meneguk ludah. Ia seolah masih bisa merasakan halus lembut kulit Velia saat berjabat tangan tadi.
"Argh!" geram Rino. "Velia!"
Hasrat kian mendesak. Akal sehat Rino bertarung dengan keinginan primitif. Pada akhirnya, ia tak bisa mengelak. Berat, tapi ia segera menghubungi Boy.
"Halo, Pak."
Sapaan itu tak berarti bagi Rino. Ia langsung mengutarakan maksud dan tujuan.
"Boy, sepertinya kita ubah sedikit rencana kemarin."
"Maksud Bapak?"
Rino menarik udara dalam-dalam. Sekilas, ia menurunkan suhu ruang. Agaknya pengaruh Velia membuat tubuhnya terasa panas.
"Hari ini Velia sudah mulai bekerja. Kau bisa menguntitnya setelah pulang kantor. Kau selidiki dan cari cara untuk menculiknya. Setelah itu barulah kita bereskan dia," terang Rino penuh semangat. "Tadi dia mengatakan bahwa sekarang dia tinggal bersama keluarganya. Tak jauh dari tempat kontrakannya yang lama. Hanya beda gang."
"Baiklah, Pak."
"Ingat, Boy. Aku tidak ingin kau lupa. Culik dia. Aku ingin dia hidup tanpa ada luka gores sedikit pun. Aku punya urusan lain dengannya sebelum kita membunuhnya."
Sekarang gejolak Rino mulai sedikit mereda. Perubahan rencana itu memberi ketenangan tersendiri untuk hasrat menjijikkan yang sudah mengisi benaknya sedari tadi.
Oh, astaga. Mengapa kau semakin cantik, Velia?
Itu adalah risiko. Rino tahu itu. Namun, sungguh. Ia tak bisa mengenyahkan bayang kenikmatan yang bisa ia dapatkan tatkala menggumuli Velia.
Tenang. Semua pasti akan berjala sesuai rencan.
Senyum licik tersungging di wajah Rino. Sorot matanya menyiratkan tekad tak terbantahkan.
Aku akan memperkosanya dan kemudian membunuhnya.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top