24. Hadiah

Tak seperti biasa, kepergian Lucas kali ini tidak ditemani oleh Trio. Ia mengemudi sendiri. Mungkin karena ada beberapa hal yang perlu ia lakukan sebelum mengunjungi rumah orang tua.

Lucas membuang napas panjang. Pada jeda yang diciptakan lampu lalu lintas, ia lihat kursi penumpang. Ada sebuah amplop cokelat dan kotak perhiasan di sana.

Wajah Lucas menyiratkan muram. Satu nama melintas di benak sehingga napasnya terasa berat.

Velia.

Satu klakson menyadarkan Lucas bahwa lampu lalu lintas sudah berganti hijau. Ia langsung melajukan kembali mobil.

Lucas tiba di rumah orang tua sekitar 45 menit kemudian. Tak langsung turun dari mobil, sekilas ia melihat jam tangan.

Waktu yang tepat.

Lucas turun dan segera masuk ke rumah dengan satu anggapan. Tak akan ada terlalu banyak waktu yang bisa dihabiskan dengan perbincangan tak penting.

Bukan ingin menuding, tapi Lucas agaknya bisa menerka maksud makan malam itu. Instingnya memberi peringatan tepat ketika sang ibu mengajaknya untuk makan bersama.

"Selamat datang, Tuan Muda."

Lucas hanya mengangguk acuh tak acuh. Ia terus berjalan seraya bertanya pada sang kepala pelayan yang menyambut.

"Di mana Mama dan Papa?"

Pinto Haryanto menjawab sopan. "Tuan ada di ruang kerja dan Nyonya mungkin di kamar. Apa Tuan Muda ingin minum?"

"Sepertinya tidak," jawab Lucas tanpa basa-basi. "Setengah jam lagi makan malam."

Pinto mengangguk. Ia tak mengatakan apa-apa lagi ketika Lucas berkata.

"Aku ke atas."

Lucas menaiki tangga dengan lincah. Cenderung berlari sehingga ia tak butuh waktu lama untuk sampai di kamar orang tua.

Sekali, Lucas mengetuk. Suara Merita terdengar memberi izin.

"Masuk."

Kedatangan Lucas membuat Merita langsung bangkit dari meja rias. Agaknya ia baru saja berdandan demi menyambut acara makan malam.

"Luc, kau datang."

Lucas hampiri Merita dan memberikan sekilas pelukan. "Tentu saja aku datang."

"Baguslah," ujar Merita semringah. "Sonya pasti senang."

Lucas harus menahan guncangan tak menyenangkan yang tiba-tiba datang. Ia hirup udara dalam-dalam dan tak berkomentar apa pun.

"Mama sudah selesai bersiap?" tanya Lucas sembari melihat pada telinga Merita yang kosong. "Kalau belum, akan kutunggu."

Merita tersenyum penuh arti. Ia jelas bisa melihat ke mana mata sang putra melihat. Lucas, memang akan selalu menjadi pria yang memerhatikan sekitar dengan saksama. Satu sifat yang menurutnya dan Prasetyo sebagai modal bagus dalam menjalankan GREATECH.

"Sebentar."

Di saat Merita kembali ke meja rias demi menuntaskan dandanan, Lucas duduk di sofa. Ia melihat beberapa majalah yang ada di sana.

Lucas mengambil satu majalah bersampul mencolok. Wajah cantik yang terpampang di sana membuat dahinya mengernyit. Ia tak akan salah mengingat. Itu adalah Sonya.

Sepertinya Merita menyukai Sonya lebih dari yang Lucas bayangkan. Ia hanya bisa membuang napas dan berniat untuk mengembalikan kembali majalah tersebut.

Lucas bangkit. Mungkin wajah Sonya di majalah membuat perasaannya berubah tak enak. Alhasil ia beranjak ke jendela dan menyibak tirai.

Di sana ada kursi malas Merita. Sengaja diposisikan di dekat jendela, sang ibu memang kerap menghabiskan waktu seraya melihat langit malam dan menghubungi teman-teman.

"Ayo, Luc."

Suara Merita menarik perhatian Lucas. Pria itu berpaling dan mendapati seuntai anting mutiara sudah menghiasi daun telinganya.

"Mama sudah siap."

Lucas mengangguk. Ia berjalan dan membiarkan tangannya untuk tergelincir meninggalkan kursi malas Merita. Bersama-sama, mereka langsung keluar dari sana.

Di waktu bersamaan, Sonya datang. Matanya terlihat berbinar-binar mendapati kehadiran Lucas. Suasana itu tentu membuat Merita tersenyum penuh arti. Mungkin ada hal baik yang bisa terjadi beberapa saat ke depan.

Mungkin juga tidak.

Nyatanya sepanjang makan malam, Lucas tak banyak bicara. Ia hanya bersuara ketika ditanya atau terlibat perbincangan dengan Prasetyo.

Kesenangan yang sempat Merita rasakan, menghilang. Apakah ia terlalu cepat mengambil kesimpulan? Agaknya menganggap kesediaan Lucas untuk datang dan makan malam bersama sebagai respon positif bukanlah hal bijak.

Merita melirik sang suami. Prasetyo mendeham dan meraih gelas minum. Ia perlu melegakan kerongkongan sejenak sebelum mengajak Lucas membicarakan masalah penting.

"Luc."

Nada suara Prasetyo terdengar berbeda. Lucas memutuskan untuk menjeda makan ketika sang ayah bertanya.

"Apa pendapatmu bila kau kembali ke MPR?"

Wajah Lucas berubah, samar. "Mendadak sekali? Lagi pula aku baru saja dua tahun di GREATECH."

Jawaban itu membuat Prasetyo berpaling pada Merita. Sorot matanya terlihat sedikit menuding dengan kemungkinan yang sebenarnya bisa mereka prediksi. Seharusnya mereka tidak perlu menanyakan hal yang sudah jelas apa jawabannya.

"Luc."

Merita turut bicara. Sempat, ia melirik pada Sonya sebelum menatap pada sang putra.

"Mama dan Papa hanya berpikir soal kehidupanmu ke depan."

"Kehidupanku ke depan?"

"Ya," angguk Merita. "Apalagi kalau itu menyangkut pernikahan maka kau dan Sonya se-"

"Pernikahan aku dan Sonya?"

Pertanyaan Lucas memotong ucapan Merita di waktu tepat. Pun memberikan efek ampuh untuk menerbitkan keheningan.

"Sebentar," ringis Lucas tak mengerti. "Apa aku melewatkan sesuatu di sini?"

Merita menatap Prasetyo, tapi sang suami hanya menggeleng samar. Ia tak ingin membuang tenaga dan waktu untuk hasil yang sudah bisa diprediksi.

"Mama dan Papa berencana untuk menjodohkanmu dengan Sonya."

Tatapan Lucas langsung berpindah pada Sonya. Sayangnya itu bukanlah tatapan yang diharapkan. Ada tajam yang menyiratkan penolakan dengan terang-terangan.

"Aku sama sekali tidak tertarik dengan Sonya."

Lugas dan tegas. Bukan hanya Sonya, melainkan kedua orang tua Lucas pun terhenyak.

"Jangan buang waktu Mama. Ini tak akan berhasil," yakin Lucas tanpa ragu sedikit pun. "Aku tidak akan menikah dengan Sonya atau wanita mana pun."

"Selain Velia?"

Wajah Lucas mengeras, tapi ia mengangguk. "Aku senang Mama masih mengingat hal tersebut."

"Ya Tuhan, Luc!"

Lucas segera menyambar serbet makan dan mengelap mulut. Ia bangkit ketika Merita berseru.

"Bagaimana bisa kau masih menunggu wanita itu?! Dia sudah pergi dari hidupmu!"

Lucas mengabaikan kemarahan Merita. Ia hampiri Prasetyo dan berpamitan singkat. Sang ayah tak bisa melakukan apa pun demi menahan.

Makan malam berakhir dengan suasana yang tak diharapkan. Untuk itu, Prasetyo hanya bisa berkata lirih pada Merita.

"Sudah kukatakan. Semua ini percuma."

Merita tak mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa mengepalkan tangan kuat-kuat demi menahan geram. Dalam benak, ia menuding.

Kau selalu saja meracuni Lucas, Velia.

*

Malam belum menginjak di pukul sembilan, tapi kantuk sudah bergelayutan di mata Velia. Penyebabnya tentu hanya ada satu. Yaitu, letih setelah berbelanja sehari penuh.

Suara samar menyentak Velia. Kantuk yang hampir membuat kelopak matanya lengket, hilang seketika. Ia bangkit dan melayangkan pandangan ke seberang sana.

Ada Lucas. Gesturnya yang mengendap-endap berhenti ketika Velia memergokinya.

"Kau ingin mengejutkanku?"

Tudingan dan sorot menuduh itu membuat Lucas tergelak. Sekarang ia melangkah seperti biasa, tapi ada sesuatu yang aneh.

"Apa yang kau bawa?"

Velia tertarik pada fakta di mana kedua tangan Lucas bersembunyi di balik punggung. Ia mencoba melihat, tapi Lucas menghalangi pandangannya.

"Kau berharap aku membawa sesuatu?" tanya Lucas geli. "Mengapa kau tak menghubungiku?"

Velia menggeleng. "Aku tidak ingin apa-apa. Hanya penasaran dengan apa yang kau bawa."

"Tak perlu hanya penasaran. Ini memang untukmu."

Lucas berhenti di depan Velia. Tangannya keluar dan memberikan satu kotak beludru.

Bola mata Velia seketika membesar. Refleks, ia menarik tangan. Mencoba menolak benda itu, tapi Lucas menahannya.

"Luc."

"Ini untukmu. Coba kau buka. Aku yakin kau suka."

Velia hanya bisa menatap Lucas untuk beberapa saat. Pria itu membalas dengan tatapan meyakinkan. Ia mengangguk sekali demi mengenyahkan ragu Velia.

Pelan-pelan dan terkesan masih tak yakin, Velia membuka perlahan kotak beludru mewah itu. Ia menahan napas dan ketika terbuka, agaknya udara terasa lenyap dari sekeliling.

Velia tertegun. Ia terpesona. Matanya berbinar-binar dalam keterpanaan.

"Luc."

Wajah Velia terangkat. Lucas tersenyum dan berkata.

"Aku tahu. Kau pasti suka."

Lucas beringsut. Ia mengambil alih perhiasan di dalam kotak itu dan dengan sigap menyisihkan rambut Velia. Tak butuh waktu lama, untaian berlian itu melingkahi jenjang lehernya.

Velia menunduk. Tangannya spontan meraba buah yang tergantung di bawah tulang selangka. Ia membelai dan tubuhnya terasa gemetar.

"Luc."

Lucas memutar tubuh Velia. Ia tatap indah kilau yang sekarang menyempurnakan kecantikan Velia tanpa lupa merapikan kembali rambutnya.

"Kau terlihat sangat cantik."

Layaknya setiap wanita, Velia tentu saja melayang dengan pemberian itu. Perasaannya lagi-lagi tersentuh tanpa bisa dikendalikan.

"I-ini ..."

Suara Velia seperti tercekik. Ia seolah benar-benar tak bisa bernapas.

"... sepertinya berlebihan."

Lucas menyipitkan mata. "Haruskah aku kembali ke toko dan meminta satu berliannya dikurangi?"

"Luc."

Erangan frustrasi Velia menerbitkan gelak Lucas. Pria itu mengusap lengan atas Velia dan meyakinkannya.

"Aku baru sadar setelah kita bersama akhir-akhir ini. Kau tidak mengenakan kalung."

"Aku tidak mengenakannya karena tidak memilikinya."

"Sekarang kau memilikinya," sambung Lucas. "Jadi aku ingin kau mengenakannya selalu."

"Selalu?"

Velia langsung teringat dengan pekerjaan yang kembali datang. Ia tak mungkin bekerja dengan seuntai kalung berlian bukan?

Jari Lucas naik dan mendarat di bibir Velia di waktu tepat. Ia cegah protes itu dengan memberikan dua pilihan tak terbantahkan.

"Kenakan atau kau tidak bekerja?"

Velia buru-buru menjawab. "Aku yakin bisa menyembunyikannya di balik kemeja."

"Atau kau bisa mengatakan itu imitasi," gurau Lucas. "Ide bagus bukan?"

"Tak akan ada yang percaya kalau ini imitasi."

Kilau. Berat. Potongannya yang tanpa cela. Setidaknya hal tersebut sudah menunjukkan keaslian.

"Kau benar. Apalagi karena kau adalah seorang pembohong yang buruk."

Velia agak tersentil dengan perkataan Lucas. Namun, ia tak bisa memikirkan hal tersebut berlarut-larut. Lucas memindahkan topik dengan hal yang tak kalah mengejutkan.

"Oh ya. Aku hampir melupakan satu hal penting."

Lucas meraih kedua tangan Velia. Duduk di sisi tempat tidur, ia menimang jemari Velia dan sesekali meremasnya lembut.

"Kau ingat dengan mobil merah tadi bukan?"

"Iya," angguk Velia. "Aku ingat. Ada a-"

Kata-kata yang siap Velia ucapkan, hilang seketika. Semua tergantikan syok yang bahkan tak mampu diucapkan oleh beragam bahasa.

Kalau tadi kalung berlian sukses membuat mata Velia besar maka sekarang lain lagi. Wajah Velia berubah pucat. Bibirnya pun bergetar parah.

"K-kau tidak mungkin bukan?"

"Tentu saja mungkin."

Velia berjingkat. Ia nyaris melompat dari duduk, tapi Lucas menggenggam tangan dan menahannya.

"Dengar, Ve. Kau tahu bagaimana sifat dan karakterku. Sungguh. Aku tidak ingin membayangkanmu harus berdesakan di angkutan kota dengan kemungkinan akan banyak mata pria yang melihatmu."

Berbicara mengenai sifat dan karakter Lucas, tentulah Velia paham sepenuhnya. Pria itu benar-benar protektif untuk semua yang dimiliki. Tak boleh ada yang menyentuh. Apalagi mengusik.

"Jadi kupikir ini adalah solusinya. Jalan tengah untuk keinginan kita berdua."

Velia melihat kenyataan dengan mata terbuka. Apa yang Lucas lakukan sejauh ini sudah melebihi batas toleransinya. Untuk itu, Velia hanya bisa menerima keputusan Lucas.

"Kaca mobil gelap, tak akan ada yang melihatmu. Iwan akan mengantar dan menjemputmu di tempat parkir khusus. Aku akan menyuruh Vlora untuk mengurus semua. Kau tak perlu khawatir."

"Terima kasih."

Lucas terdiam seketika. Ucapan panjang lebarnya hanya dibalas satu kalimat singkat, tapi itu terasa sungguh mendamaikan. Sama mendamaikannya dengan pelukan yang tiba-tiba mengikat mereka. Entah siapa yang memulai, nyatanya mereka saling merengkuh untuk beberapa saat.

Mata Velia terpejam. Di atas dada Lucas, ia bersandar. Degup jantungnya terdengar. Memberikan kesan teratur dalam ritme yang menenangkan.

"Luc."

Suara lembut Velia menghentikan usapan Lucas. Tangannya berhenti di lekuk pinggang Velia.

"Ya?"

Velia membuka mata. "Bagaimana dengan camilanmu?"

"Camilan?"

Bertanya bodoh, Lucas butuh sedetik untuk mengingat. Setelahnya ia tergelak.

"Camilan apa yang kau buat?"

Velia melepaskan diri dari pelukan Lucas. Dengan senang hati ia mengajak Lucas beranjak ke meja makan dan menunjukkannya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top