22. Dimulai
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Dalam remang lampu nakas, mata Lucas mengerjap. Kesadaran datang dan ia kembali pada kenyataan. Fakta menyenangkan saat menyadari bahwa dirinya masih bersama Velia ketika bangun.
Lucas membuang napas panjang. Pelan dan perlahan, ia beringsut melepaskan diri dari rengkuhan Velia.
Lihat. Velia tampak begitu nyaman berbaring di atas dada dan memeluknya.
Lucas jelas butuh perjuangan untuk membebaskan diri dari kemelut intim tersebut. Pun termasuk di dalamnya agar tidak membangunkan Velia sebelum waktunya.
Velia letih. Wajahnya yang damai dalam lelap terlihat lelah.
Lucas melabuhkan kecupan lembut di dahi Velia sebagai penebus rasa bersalah. Barulah kemudian ia turun dari tempat tidur dalam kepolosan. Ia rapikan selimut di tubuh Velia dan beranjak demi mengambil ponsel di nakas.
Tak langsung bersiap, Lucas memeriksa satu dua hal terlebih dahulu. Ada surel dan pesan masuk. Ia membacanya cepat sebelum membalas.
Lucas menaruh kembali ponsel di tempat semula. Posisinya berdampingan dengan ponsel Velia. Ia tertegun dan menyadari sesuatu. Mereka belum bertukar nomor.
Perlukah?
Lucas mengambil ponsel Velia dan menimbang. Ia berpikir dalam waktu singkat sebelum berakhir pada keputusan bulat.
Tentu saja.
*
Rino datang dengan wajah kusut. Hari-hari berlalu dengan membawa gelisah. Ia tak bisa menikmati makan atau tidur. Pikirannya benar-benar tersita panik berkat ancaman Merita.
Tenang. Setidaknya ada hal bagus di sini. Walau Velia tak tahu tinggal di mana, yang penting sekarang adalah dia akan kembali bekerja.
Rino sigap. Ia yang hapal karakter Merita tak ingin mengambil risiko. Setidaknya ada dua rencana yang sudah tersusun di benak.
Pertama, Rino bisa memanfaatkan lingkungan tempat tinggal Velia. Mengetahui alamatnya adalah langkah besar yang bisa memberi Rino banyak pilihan. Ia bisa menyusun banyak jalan, salah satunya adalah perampokan.
Kedua, Rino bisa memanfaatkan proyek pembangunan tower. Kecelakaan kerja, itu adalah hal biasa yang sering terjadi.
Sayang, agaknya sekarang Rino hanya punya satu rencana pasti. Sejujurnya itu bukanlah hal menyenangkan. Ia jadi tak tenang tanpa ada rencana cadangan. Kegagalan masa lalu membuatnya tak ingin mengambil risiko lagi.
Tak apa. Semua pasti berjalan lancar. Boy pasti bisa mengatur semua.
Dering ponsel membuat Rino tersentak. Satu panggilan dari Indra membuatnya matanya membesar seketika.
"Halo, Pak Indra," sapa Rino buru-buru. "Bagaimana? Apa ada kabar baik untukku hari ini?"
Rino menahan napas. Ia dengarkan semua perkataan Indra dengan saksama. Lalu ia membuang napas panjang.
"Surat pemanggilan sudah dikirim ke alamat surel yang bersangkutan. Coba suruh dia cek dan Senin besok dia sudah bisa masuk kembali."
Tak terkira kelegaan itu menyeruak di dada Rino. Ia berulang kali mengucapkan terima kasih sebelum panggilan berakhir.
Rino bangkit. Ia keluar dan langsung memberi perintah pada sang wakil yang kebetulan sedang berkutat di balik komputer.
"Vonda, panggil Metta. Suruh dia menemuiku sekarang juga."
Tak sampai sepuluh menit, Metta sudah duduk di hadapan Rino. Ia menunggu dan bisa melihat ekspresi Rino yang berseri-seri.
"Jadi begini."
Rino mengusap kedua tangan satu sama lain. Ia tersenyum, tapi anehnya itu tak membuat Metta merasa tenang. Senyum Rino justru terlihat menyiratkan hal sebaliknya.
"Aku punya kabar bagus. Bagian kepegawaian sudah mengurus pemanggilan Velia. Surel sudah dikirim dan dia bisa langsung bekerja Senin besok."
Lupakan soal perasaan tak enak yang menyandera pikiran Metta. Berita yang dikatakan Rino membuat ia menganga tak percaya.
"B-benarkah, Pak?"
Rino mengangguk. "Tentu saja benar. Apa selama ini aku pernah berbohong? Oh, tentu saja tidak. Jadi lebih baik sekarang kau hubungi Velia secepatnya. Suruh dia cek surel dan persiapkan diri untuk kembali bekerja."
"Baik, Pak," angguk Metta berulang kali. "Terima kasih untuk bantuan Bapak."
Bak pahlawan, Rino membusungkan dada. Ia tersenyum pongah dan mengangguk layaknya penuh wibawa.
"Tentu saja."
Rino tersenyum penuh arti dan melepas kepergian Metta dengan perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya.
Sebentar lagi. Aku hanya perlu menunggu sebentar lagi.
Kembali ke meja kerja, Metta tak langsung melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Melainkan ia segera menghubungi Velia. Ia tak sabar ingin memberikan kabar tersebut.
Panggilan tersambung, tapi aneh. Adalah suara operator yang terdengar sedetik kemudian.
"Nomor yang anda tuju—"
Metta mengakhiri panggilan dan langsung memanggil ulang. Sayang, suara operator kembali terdengar.
"Aneh," lirih Metta seraya mengakhiri panggilan untuk kesekian kali. "Tak biasanya ponsel Velia tak aktif. Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?"
Metta berharap pikiran buruknya tidak terjadi. Bila itu berkenaan dengan pria yang sekarang berhubungan dengan Velia, tentu saja ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menarik napas dan menenangkan diri.
Aku akan menghubunginya lagi nanti.
*
Ada yang tak beres dengan ponsel Velia. Layarnya gelap pertanda tak aktif. Tak peduli seberapa kuat ia menekan tombol daya, percuma. Tetap saja tak menyala.
"Ehm aneh."
Lucas keluar dari ruang pakaian. Ia telah rapi dalam setelan pilihan Velia pagi itu.
"Ada apa?"
Velia tersentak. Embusan dan kecupan Lucas di sisi kepala membuatnya kaget. Namun, ia tetap menjawab.
"Ponselku, Luc. Tak mau menyala. Semalam aku sudah mengisi dayanya, tapi pagi ini mendadak tak mau menyala."
Lucas melihat ponsel di tangan Velia. "Rusak? Ehm padahal aku baru saja ingin kau menyimpan nomorku."
"Kau benar," kata Velia tergugu. Kebingungannya perihal ponsel teralihkan oleh hal lain yang lebih penting. "Aku belum menyimpan nomor ponselmu."
"Jika nanti kau kembali bekerja, aku yakin kau harus menghubungiku sekali atau dua kali. Juga sebaliknya."
Makna tersirat itu ditangkap jelas oleh Velia. Ia mengangguk. Sudah sepatutnya ia memberi kabar pada Lucas.
"Aku tahu, tapi sekarang bagaimana?" tanya Velia seraya menunjukkan ponselnya. "Jangankan menyimpan nomormu, aku bahkan tidak bisa menyalakannya."
Lucas mengambil alih ponsel Velia. "Lupakan ini. Lebih baik kau pakai yang baru. Kau tak keberatan menunggu sampai sore nanti? Aku yakin Vlora tahu kesukaan wanita zaman sekarang."
"Kurasa tak perlu sampai membeli yang baru. Sebenarnya ponsel ini masih bagus."
"Kalau ponselmu masih bagus, tentu saja keadaannya tak begini."
Velia merasa tak enak, tapi yang dikatakan Lucas memang masuk akal.
"Sepertinya kau benar."
"Tentu saja," imbuh Lucas tersenyum tipis. "Jadi apa sarapan kita hari ini?"
Sarapan berlangsung seperti yang sudah-sudah. Nikmat dan menyenangkan. Dua modal sempurna untuk melepaskan kepergian Lucas di pukul sembilan pagi.
Di waktu bersamaan, seorang wanita paruh baya datang. Ia menyapa sopan dan Velia menyilakannya untuk masuk.
Namanya adalah Siti Astuti. Sudah berusia 52 tahun dengan penampilan yang masih segar bugar. Ia adalah asisten rumah tangga yang selalu datang setiap hari.
"Selamat pagi, Bu."
"Selamat pagi, Nona," balas Siti tersenyum ramah. "Bagaimana kabarnya? Sehat?"
Siti selalu menanyakan kabar Velia setiap pagi. Dalam kehidupan yang sekarang terbatas, setidaknya ia bisa merasa senang dengan kepedulian itu. Sedikit banyak bisa mengisi kerinduan Velia untuk hangat perhatian dari orang tua.
"Sehat, Bu."
Seperti biasa, Siti langsung memulai pekerjaan. Ia mengurus pakaian kotor, bersih-bersih, dan juga merapikan. Sementara itu Velia bersantai di depan televisi yang menyala. Sesekali ia pun terlihat membaca majalah.
Betapa membosankan. Alhasil tak aneh bila setengah jam kemudian Velia bangkit dan memutuskan untuk memasak sesuatu. Ia perlu mencari kesibukan agar tak bosan walau sebenarnya itu pun termasuk ke dalam tugas Siti.
Waktu berlalu. Tanpa sadar Velia terus memandang jam ketika Siti telah pamit pulang. Sekarang ia benar-benar kesepian dan hanya berharap agar Lucas segera datang.
Tepat seperti yang diharapkan. Matahari belum benar-benar menghilang di ufuk barat ketika Lucas datang dan Velia merasa lega.
"Akhirnya kau pulang."
Lucas biarkan Velia mengambil alih tas kerja. "Kau menungguku?"
"A-aku ..."
Velia gelagapan. Ia salah tingkah.
"... membuatkanmu puding."
Lucas tak tersenyum, tapi ada bentuk lain dari senyum yang tersungging di wajahnya. Ketika Velia berniat beranjak ke ruang kerja Lucas, pria itu merengkuhnya sejenak demi melabuhkan kecupan sekilas di dahi.
"Ponsel barumu ada di dalam tas," kata Lucas setengah berbisik. "Aku mandi dulu dan kita bisa langsung menikmati makan malam."
Velia mengangguk kecil layaknya bocah kecil yang patuh dengan perintah orang tua. Selagi Lucas mandi, ia mendapatkan ponsel barunya.
Canggih, mewah, dan terkesan feminin. Perpaduan sempurna untuk seorang wanita seperti Velia.
Ponsel siap digunakan. Kartu seluler Velia sudah dipindahkan dan surel yang tertaut sudah terhubung. Berikut dengan nomor baru yang telah tersimpan di sana.
Velia tergerak pada beragam simbol notifikasi yang memenuhi layar atas. Dari sekian banyak, adalah pesan dari Metta yang segera ia buka. Pesan itu masuk tadi siang, tepatnya di pukul satu.
Metta:
Ve, kau baik-baik saja bukan?
Apa aku bisa menghubungimu?
Ada hal penting.
Velia:
Bagaimana nanti malam?
Sekitar jam sembilan.
Aku akan meneleponmu.
Tentunya ada alasan mengapa Velia memilih jam sembilan. Berkat kebiasaan Lucas, ia tahu bahwa setelah makan malam biasanya pria itu akan lanjut bekerja. Setidaknya ia punya waktu bebas sampai jam sepuluh malam.
"Halo, Met."
Seorang diri di kamar, Velia menghubungi Metta seperti janjinya. Ia tak menunggu lama. Praktis sekitar lima detik setelah terhubung, panggilan langsung diangkat.
"Halo, Ve. Akhirnya kau menghubungiku juga. Sungguh. Perasaanku tak tenang seharian ini karena nomormu tidak aktif."
"Maaf. Ponselku rusak dan ..."
Velia pikir tak ada gunanya menjelaskan perihal kerusakan ponsel. Pun berikut fakta bahwa ia memiliki yang baru.
"... ehm ada apa? Kau mengatakan ada hal penting. Apa?"
Jawaban Metta membuat Velia tertegun. Wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan dan ia terburu-buru menarik notifikasi yang belum dibuka seluruhnya.
Perkataan Metta benar. Ada surel masuk dan itu berasal dari perusahaan.
"Oh, astaga,"
Pikiran Velia langsung tertuju pada Lucas. Ia harus berterima kasih.
"Ve."
Sepertinya Velia harus menahan niatnya sejenak. Nada bicara Metta menyiratkan bahwa perbincangan mereka belum akan selesai dalam waktu dekat.
"Sejujurnya pemanggilanmu membuatku dilema. Di satu sisi, aku senang karena kau bisa mendapatkan pekerjaan lagi. Hanya saja aku tak bisa lupa untuk apa yang Pak Rino lakukan padamu."
Lucas menghilang dari benak Velia. Sekarang adalah ingatan mengerikan itu yang memenuhi benaknya.
"M-Metta."
"Maafkan aku, tapi kau tak lupa bukan apa yang nyaris dilakukan Pak Rino terhadapmu?"
Velia meneguk ludah. Ingatan mengerikan itu bukan hanya hadir kembali. Melainkan menghantarkan pula ketakutannya. Tubuh Velia sontak gemetar.
"A-aku tak akan lupa," jawab Velia dengan terbata. "Di hari pemecatanku, Pak Rino berusaha untuk memperkosaku. Dia berusaha memperdayaku dengan pemecatan itu."
Hening sesaat. Velia tertunduk dan mendapati jemarinya bergetar parah.
"Sebenarnya terkadang aku merasa aneh dengan sikap Pak Rino. Dia seperti terlalu berniat untuk memanggilmu kembali. Jadi aku harap kau berhati-hati. Bila ada apa-apa, kuharap kau tidak akan menemuinya seorang diri. Ajak aku atau siapa pun itu. Asalkan tidak sendirian, mengerti?"
"Tentu saja, Met. Aku akan mengingatnya. Terima kasih banyak."
Selang setelah panggilan berakhir, Velia butuh waktu untuk menenangkan sejenak dirinya. Rasa takut itu kembali datang dan terlalu sulit untuk dikendalikan. Hanya berkat nama Lucas-lah sehingga Velia memutuskan untuk keluar dari kamar.
Velia butuh sesuatu untuk menyingkirkan ingatan buruk itu dari benak. Alhasil ia buru-buru menyiapkan secangkir teh dan camilan. Tak lama kemudian ia mengetuk pintu ruang kerja Lucas dan memanggil.
"Luc?"
Lucas menutup laptop dan bangkit. Mereka layaknya saling menghampiri satu sama lain sehingga bertemu di tengah-tengah.
Velia menaruh nampan di meja. "Aku sudah si—Luc?"
Ucapan Velia terpotong kesiap kaget. Lucas tiba-tiba saja menubruk dan merengkuhnya erat.
"Luc."
Ada yang aneh di sana. Velia jelas bisa merasakan ketegangan dalam rengkuhan Lucas. Ia tak seperti biasa.
"Kau milikku, Ve. Aku tak akan membiarkan seorang pun menyentuhmu."
Velia tertegun. Jantungnya seolah tak berdetak lagi. Ketakutan dengan cepat hadir dan ia bertanya dengan terbata.
"Apa aku melakukan kesalahan?"
Rengkuhan Lucas mengendur. Ia ciptakan jarak seadanya demi menangkup wajah Velia.
"Tidak."
Sayang, sorot yang terpancar di mata Lucas membuat Velia kian merasa sebaliknya. Ada ancaman dan janji kematian di sana.
"Kau tak melakukan kesalahan apa pun," yakin Lucas seraya menatap lurus Velia. "Aku hanya ingin membunuh siapa saja yang berniat untuk menyakitimu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top