2. Bertubi-Tubi
Hanya satu harapan Velia pagi itu. Semua akan berjalan baik-baik saja. Tanpa ada masalah baru ataupun kabar buruk lainnya. Namun, yang terjadi justru bertolak belakang dengan yang diinginkan.
Velia baru tiba. Bersiap untuk memulai pekerjaan, tapi Metta mendatanginya.
"Kau disuruh menghadap Pak Rino."
Velia tahu apa penyebabnya. Sempat mengira bahwa semua berakhir begitu saja, ternyata sekaranglah masa penghakimannya. Ia tak bisa mengelak dan memutuskan untuk segera menemui sang atasan. Sedikit harapan Velia, semoga dirinya hanya mendapat teguran.
Tiba di ruang ketua departemen, Velia menyapa singkat pada wakil ketua—Vonda Raveena. Mereka berpapasan ketika wanita itu akan keluar dari ruangan.
"Selamat siang, Bu."
"Selamat siang juga."
Vonda berlalu sementara Velia masuk. Ia menutup pintu dan menuju pada pintu lain yang mengarah ke ruangan Rino. Sekali, ia mengetuk. Hanya dibutuhkan waktu sedetik untuk dirinya mendapat izin masuk.
Lima menit berselang. Velia duduk di sofa dan Rino menatapnya tanpa belas kasihan. Pun tanpa tedeng aling-aling mengatakan sesuatu yang membuat Velia memucat seketika.
"A-apa, Pak?"
Bibir Velia yang kerap merah merona berubah putih. Keringat memercik di dahi dan tubuhnya seketika panas dingin. Ia berharap sang atasan meralat perkataannya, tapi tidak.
Rino bergeming. Ia menatap Velia tanpa kedip dan mengulang ucapannya.
"Kau dipecat, Ve."
Velia tidak percaya itu. "S-saya dipecat?"
"Ya," angguk Rino santai. "Kau dipecat."
Hanya satu kata, tapi memberikan banyak bayang menakutkan untuk Velia. Tidak. Ia tidak boleh dipecat. Ia tak bisa kehilangan pekerjaan.
"M-mengapa saya dipecat, Pak? Saya tidak melakukan kesalahan apa pun."
Rino melotot. "Apa kau bilang? Tidak melakukan kesalahan?!"
Suara Rino meninggi. Pun dengan wajahnya yang terlihat gusar.
"Bagaimana bisa kau mengatakan tidak melakukan kesalahan di saat kau berulang kali datang terlambat dan bahkan sering bolos di jam kerja?!"
Tudingan Rino membuat Velia tak berkutik. Semula Velia pikir itu hanya menyangkut masalah di ruang rapat, tapi ia kecele.
Velia tak bisa menampik tuduhan Rino. Ia memang melakukannya. Berulang kali datang terlambat dan seringkali bolos di jam kerja.
Tentu, itu dilakukan Velia bukan tanpa alasan. Ia harus ke rumah sakit tatkala Herry menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan.
"Lalu apa kau lupa yang terjadi kemarin?" lanjut Rino dengan mata yang kian nyalang. "Kau melakukan kesalahan paling fatal! Kau menabrak Pak Lucas!"
Velia meneguk ludah dengan tubuh bergetar. "A-apa Pak Lucas yang menyuruh untuk memecat saya?"
Rino mendengkus. Kali ini ia menatap Velia dengan sorot merendahkan. Nyaris mencemooh.
"Tidak. Memangnya dia mau menghabiskan waktunya yang berharga untuk memikirkan karyawan rendahan seperti dirimu? Tidak mungkin. Dia punya banyak pekerjaan lain yang lebih penting untuk diurus."
Velia terdiam. Apa yang dikatakan Rino memang benar.
"Walau demikian bukan berarti semua tindak tandukmu selama ini tidak aku perhatikan, Velia," lanjut Rino berdecak sekilas. "Kau pikir hanya kau yang ingin bekerja di sini? Kau pikir cuma kau manusia yang bisa bekerja di sini? Kau pikir kami tidak bisa mencari orang lain untuk menggantikan dirimu? Sampai-sampai kau seenak jidat datang dan pulang dengan jadwalmu sendiri?!"
Rino kian menuding Velia. Ia menampar dengan fakta tak terbantahkan yang membuat Velia menggeleng takut.
"Jangan Pak. Saya melakukannya karena terpaksa."
Tersenyum mencemooh, Rino membalas dengan enteng. "Oh, baiklah! Kalau begitu pemecatanmu pun aku lakukan karena terpaksa."
"Pak, saya mohon. Saya tidak ingin dipecat."
Rino tak goyah. "Ah, satu lagi. Jangan harap kau mendapat pesangon. Gaji dan pesangonmu akan langsung dipotong untuk melunasi utang!"
Velia kian memucat. Gelap makin pekat. Kehilangan pekerjaan saja adalah hal buruk untuknya, apalagi tanpa gaji terakhir dan pesangon?
"P-P-Pak, saya mohon."
Rino mengabaikan Velia yang mengiba. Ia justru bangkit berdiri, beranjak ingin keluar dari ruangan.
Ketakutan Velia semakin menjadi-jadi. Ia tak mungkin membiarkan Rino memecatnya begitu saja.
Velia turut bangkit. Akal sehat mendesak dan mengenyahkan sopan santun. Ia meraih tangan Rino.
"Saya mohon, Pak," pinta Velia memohon. "Saya butuh uang. Saya tidak tahu harus bekerja di mana kalau saya dipecat."
Kuat, Rino mengibaskan tangan. Tubuh Velia terhuyung, nyaris terjengkang ke belakang.
"Memangnya itu jadi urusanku?! Ingat, Velia. Perusahaan menggaji orang yang ingin bekerja!"
Velia tahu dirinya salah, tapi bukan berarti ia siap dengan keputusan tersebut. Kehilangan pekerjaan adalah bencana yang tak ingin ia dapatkan. Sebisa mungkin ia akan memohon dan mengiba. Berharap bisa menyentuh rasa kasihan Rino, sekali pun bila ia harus berlutut karenanya.
"Pak, saya mohon, Pak. Jangan pecat saya."
Langkah Rino tertahan. Ia menunduk dan melihat Velia yang menahan kakinya.
"Kau sudah dipecat dan bukan olehku, tapi langsung dari atas. Aku tidak bisa melakukan apa pun."
Ketakutan Velia menyublim menjadi isak. Air mata terbit dan ia tak bisa melakukan apa pun selain terus mengiba.
"Pak, saya mohon."
Tak butuh waktu lama, wajah jelita Velia sudah bersimbah air mata. Sayangnya itu tak menyentuh rasa kasihan Rino, alih-alih sebaliknya.
Seulas senyum timbul di wajah Rino. Pemandangan Velia menangis membuat ia merasa senang. Satu pemikiran dengan cepat memenuhi benak.
Rino perlahan turun berjongkok. Tangannya terulur dan mengangkat dagu Velia. Ia diam seraya menatap Velia beberapa saat.
Mata Velia berkaca-kaca. Bibirnya bergetar dalam warna pucat. Ia tampak putus asa. Anehnya itu justru membuat Rino menyeringai.
"Mungkin aku bisa membujuk perusahaan agar tidak memecatmu."
Suara Rino terdengar rendah, tapi Velia mendengarnya jelas. Bola mata Velia membesar. Harapannya kembali tumbuh.
"B-benarkah, Pak?"
Mata Rino berkilat-kilat melihat Velia. Ia menundukkan pandangan dan menuju pada kemeja yang dikenakan sang bawahan. Posisi mendongak Velia menjadikan kemeja itu mencetak lembut lekuk payudara.
Rino meneguk ludah. Satu tangannya yang bebas bergerak menuju ke kancing teratas kemeja Velia.
"Kalau kau mau melayaniku," kata Rino dengan suara bergetar. "Aku akan meminta agar perusahaan tidak memecatmu."
Ketakutan Velia menghilang. Tergantikan oleh kengerian yang tak mampu dibendung. Ia bergidik, menggeleng, dan tangannya melayang.
Dalam hitungan detik yang begitu cepat, Velia telah menampar wajah tua Rino. Pria paruh baya itu terkejut. Kaget dan sakit dalam waktu bersamaan.
"Kau!"
Geram, Rino dengan gelap mata meraup rambut Velia. Ia menyentak kepala Velia dan mengabaikan rintihan sakit wanita itu.
"Kau ingin pekerjaanmu bukan?" tanya Rino tersulut emosi. Ia menarik rambut Velia seraya berusaha mengeluarkan anak kancing kemejanya. "Ayo! Layani aku dan aku pastikan kau tak akan dipecat."
Velia mengatupkan mulut rapat-rapat. Ia menahan isak dan mengabaikan pusing yang melanda. Tak menyerah, ia meraih asbak rokok di atas meja dengan segenap tenaga yang masih tersisa.
Asbak rokok menghantam kepala Rino dengan telak. Jambakannya pada rambut Velia lepas. Ia meraung dan Velia tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Velia keluar dari ruangan Rino. Ia berlari menyusuri lorong seraya mendekap erat leher kemejanya yang tersingkap. Pandangan nyaris kabur tertutup air mata dan ia tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang melihat padanya.
Berasal dari lift khusus yang kebetulan berhenti. Pintunya membuka. Menampilkan seorang karyawan yang menundukkan wajah dengan sopan dan berkata sebelum keluar.
"Saya akan segera mengecek laporan bulanan seluruh Departemen dan mengadakan audit sesegera mungkin."
Hening sejenak. Tak ada respons yang didapat. Alhasil pria yang berstatus sebagai internal auditor itu kembali bersuara.
"Pak Lucas?"
Lucas tersentak. "Baiklah. Saya tunggu, Pak Amri."
Amri Idris mengangguk sebelum keluar dari lift. Vlora yang sedari tadi menahan pintu lift segera menarik tangan. Lift menutup dan perlahan bergerak kembali ke atas.
*
Velia menuju toilet wanita. Ia masuk ke salah satu bilik dan berusaha menenangkan diri. Namun, ketakutan itu membuatnya amat gemetaran.
Air mata merembes. Tak cukup dengan berita pemecatan, Velia bahkan nyaris mendapatkan tindak pelecehan. Kalut dan dalam tangis, ia berusaha untuk menguatkan diri.
Velia menarik udara sedalam mungkin. Mencoba untuk tetap berpikir jernih demi mendapatkan solusi dari masalah baru yang datang.
Tangis Velia terjeda suara ketukan. Ia mengusap air mata dan ketukan itu jelas tertuju untuknya.
"Ve, kau di dalam?"
Velia mengenal suara itu. "Ya, Met. Ada apa?"
Suara helaan napas lega terdengar jelas dari luar. Berikut dengan pertanyaan yang mengikutinya.
"Kau baik-baik saja bukan?"
Velia tidak baik-baik saja. Itulah mengapa Metta terkesiap tatkala mendapati keadaan Velia.
"Oh, Tuhan. Apa yang terjadi denganmu?"
Keluar dari bilik toilet dengan keadaan kacau, Velia tak lagi bisa menahan diri. Ia justru menghambur dan memeluk Metta erat, alih-alih menjawab pertanyaan tersebut.
Metta tertegun. "Velia."
Waktu berlalu. Metta tak bicara sepatah kata pun untuk beberapa saat. Ia diam, hanya memeluk Velia tatkala tangis kian menjadi-jadi.
Metta mengajak Velia beranjak pada sisi kosong toilet. Memanfaatkan dinding-dinding rendah pembatas taman mini, mereka duduk di sana. Metta merapikan rambut berantakan Velia seraya mendengarkan semua dengan saksama. Dari pemecatan hingga perbuatan tak senonoh yang dilakukan oleh Rino.
Andaikan bukan Velia yang bicara, agaknya Metta tak akan percaya. Ia tercengang dengan rasa geram tak terkira.
"Dasar tua bangka tak ada otak. Seharusnya dia malu dengan umur dan wajah tuanya itu!" hujat Metta emosi. Ia marah, tapi setidaknya bersyukur karena Velia masih selamat. "Jadi bagaimana sekarang, Ve? Apa rencanamu?"
Kelegaan Metta tak berlangsung lama. Ia mengkhawatirkan keadaan Velia selanjutnya.
Velia menggeleng dengan nelangsa. Kehilangan pekerjaan adalah bencana untuknya.
"Aku tidak ada rencana apa pun," jawab Velia getir. "Mencari pekerjaan zaman sekarang bukanlah hal mudah."
Bukan hanya mendapatkan pekerjaan yang sulit. Masalah gaji pun akan turut memperburuk keadaan nantinya.
Metta kasihan pada Velia. Sayangnya ia pun tak bisa membantu banyak. Ia hanya bisa menenangkan Velia sebisa mungkin.
"Aku harus pulang sekarang."
Velia mengusap jejak air mata yang tertinggal di pipi. Berusaha tersenyum, ia tak ingin membuat Metta khawatir berlebihan.
"Aku akan membereskan barangku dan pulang."
Metta meringis. "Maafkan aku, Ve. Aku tak bisa membantumu."
Mengangguk, Velia mengerti. Ia meraih tangan Metta dan meremasnya perlahan. Mengirimkan isyarat bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Velia berharap demikian. Ia berdoa di dalam hati, semoga saja ada satu dua orang tetangga kontrakannya yang mengetahui lowongan pekerjaan.
Semoga saja.
*
"Oh, astaga. Kau pikir cari pekerjaan zaman sekarang mudah? Ck."
Tak butuh waktu lama bagi Velia membereskan perlengkapannya di kantor. Ia segera pulang dan bertepatan dengan itu dirinya justru bertemu pemilik kontrakan. Seorang ibu bertubuh subur dengan beberapa rol rambut di atas kepala.
Nia Naima namanya. Wanita paruh baya yang kerap menyelipkan sebatang rokok di celah bibir. Ia mendengkus tatkala Velia bertanya mengenai lowongan pekerjaan padanya.
"Mencari pekerjaan zaman sekarang susah, Ve! Kalau mudah, mana mungkin ada pengangguran?" tukas Nia seraya mencabut sejenak rokok di bibir. "Tunggu!"
Sesuatu melintas di benak Nia. Ia menghampiri Velia dan melihat pada kardus yang dibawanya.
"Astaga! Kau dipecat?!"
Velia tak menjawab. Pun Nia tak butuh jawaban.
"Kau dipecat sialan! Bagaimana kau akan membayar sewa bulan ini hah?!"
Sewa kontrakan adalah hal kesekian yang harus dipikirkan Velia. Itu belum termasuk kebutuhan sehari-hari.
Nia menatap garang. "Lebih baik kau angkat kaki kalau kau tidak bisa membayar sewa bulan ini! Masih banyak orang-orang yang ingin tinggal di kontrakanku!"
Velia memucat. Secepat kilat ia memegang kedua tangan Nia. "Bu, aku mohon jangan mengusirku. Aku akan segera mencari pekerjaan."
"Hahaha. Secepat itu kau bisa mendapatkan pekerjaan baru?"
Wajah Velia terasa panas. Nia mencemooh dirinya dengan kenyataan tak terbantah.
"Aku katakan sekali lagi," ulang Nia mendengkus. "Mencari pekerjaan itu susah."
Velia gemetar. Ironis, tapi benaknya bertanya.
Mengapa aku harus menerima dua pengusiran dalam sehari, Tuhan?
Velia sempat berpikir bahwa hidupnya tak bisa lebih menyesakkan lagi sejak malapetaka yang terjadi di malam pertunangan, tapi ternyata tidak. Sekarang takdir kembali memberikan kenyataan buruk untuknya.
"Aku benar-benar akan mencari pekerjaan secepatnya, Bu. Aku mohon. Beri aku waktu. Aku pasti bisa membayar sewa bulan ini."
"Cih."
Nia meludah. Mengabaikan rokok yang terus terbakar, tatapannya lekat pada Velia. Ia mengamati penampilan gadis itu dari atas hingga bawah dan menyeringai penuh arti.
"Sepertinya kau memang bisa mencari pekerjaan secepatnya. Ehm tak akan sulit untukmu."
Mata Velia mengerjap. Dahinya mengerut, jelas bisa menangkap kesan aneh dari cara Nia bicara.
"Maksud Ibu?"
"Kau bisa memanfaatkan wajah cantik dan tubuh langsingmu untuk mendapatkan uang."
Darah berdesir di sepanjang pembuluh darah Velia. Ternyata bukan hanya pengusiran yang ia dapatkan sebanyak dua kali. Alih-alih pilihan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya pula.
"M-maaf, Bu," lirih Velia dengan suara bergetar. Ia menggeleng kaku. "Aku bukan pelacur."
Nia memutar-mutar bola mata. Berdecak dengan ekspresi malas dan ia membalas perkataan Velia.
"Kalau kau bukan pelacur, cari saja satu orang kaya untuk menjadikanmu wanita simpanan."
Wajah Velia mengelam. Itu adalah pilihan yang sama buruknya. Tak ada beda sama sekali. Intinya sama saja. Yaitu, sama-sama menjual diri.
"Memangnya untuk apa wajah cantik kalau tidak kau manfaatkan?!" tanya Nia menyeringai. "Itu satu-satunya pekerjaan yang bisa kau dapatkan dengan mudah. Jadi wanita simpanan!"
Jantung Velia serasa berhenti berdetak. Nia terkekeh tanpa beban dan melenggang pergi seraya kembali mengisap rokok.
Velia melangkah lunglai. Turut beranjak dan masuk ke kontrakan. Ia menaruh asal kardus di lantai dan terduduk lemas di tempat tidur.
Air mata tak lagi mengalir di pipi Velia. Kesedihan itu sudah melewati batas yang bisa ditahan. Takdir seakan menginginkan dirinya untuk terhempas hingga titik terendah.
Ketukan tak biasa di pintu menyentak Velia. Itu bukan berasal dari kepalan tangan, alih-alih tendangan.
"Velia! Buka pintu!"
Bentakan itu tak asing lagi di telinga Velia. Ia tahu pasti siapa yang datang.
"Buka pintunya atau aku dobrak sialan!"
Butuh waktu beberapa saat untuk Velia mengumpulkan keberanian. Ia membuka pintu dan mendapati sekelompok preman bertubuh besar menjulang di depan pintu kontrakan. Memiliki tato, mereka terlihat angker dan amat menakutkan.
"Nah! Akhirnya kau buka juga."
Menahan takut, Velia berusaha untuk menatap mereka. "A-ada apa?"
Mereka mendengkus. Tampak saling lirik seraya menyeringai sebelum seorang dari lima orang preman itu berkata.
"Kami hanya mengingatkan agar kau tidak lupa membayar angsuranmu bulan ini!"
Bibir Velia bergetar, tapi tak ada yang mampu ia ucapkan. Ia hanya mengangguk.
Preman yang dikenal dengan panggilan Sambo itu mendekati Velia. Tangan terangkat dan telunjuk menuding.
"Awas saja! Kalau sampai tanggal jatuh tempo kau tidak membayar angsuran," kata Sambo penuh penekanan. "Jangan salahkan siapa-siapa kalau kau akan kami seret ke kelab."
"A-apa maksudmu?"
Para preman menyeringai. Pun dengan Sambo yang meraih dagu Velia.
"Kalau kau tidak bisa membayar pinjaman itu dengan uang, kau bisa membayar dengan tubuhmu. Kau bisa melayani kami semua bergantian."
Tubuh Velia seketika melemas. Para preman tertawa-tawa seraya pergi.
Velia buru-buru menutup pintu. Terduduk di lantai dengan frustrasi yang kian menyergap. Ia terhimpit dari segala sisi.
Ironisnya itu belum seberapa. Ponsel berdering dan Velia mendapat satu berita buruk lainnya. Berasal dari rumah sakit.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top