19. Pencarian

Lucas yakin tak akan pernah bosan melihat pemandangan itu. Tepatnya di dapur. Di mana ada seorang wanita tengah berkutat dengan peralatan masak dan bahan-bahan makanan.

Velia tengah menyiapkan sarapan dengan penampilan ala kadar. Masih mengenakan gaun tidur semalam dan hanya mencuci muka. Aneh, tapi itu justru terlihat memesona di mata Lucas.

Kompor padam. Suara beradunya sutil dan wajan berhenti. Velia memutar tubuh demi mengambil piring dan tatapannya membentur Lucas di ambang pintu.

"Astaga, Luc."

Velia terkejut. Lucas justru menyeringai. Ia melangkah dan menghampiri Velia yang mengusap dada berulang kali.

"Aku mengejutkanmu."

"K-kau dari tadi di sana?" tanya Velia. "Apa yang kau lakukan?"

Lucas hanya mengangkat bahu sekilas sebagai jawaban. Fokus matanya pindah ke isi wajan. Ia perlu memastikan apa yang Velia masak walau aroma yang menguar sudah membuatnya menebak.

"Kau masak nasi goreng."

Velia mengangguk dan ucapan Lucas mengingatkannya akan piring yang harus diambil. Ia beranjak seraya berkata.

"Duduklah. Aku siapkan sarapanmu."

Lucas tak menunggu lama. Sepiring nasi goreng tersaji di hadapan. Penampilan dan wanginya yang lezat menggugah selera, tapi bukan itu yang membuatnya terpana. Melainkan parutan keju di atas nasi goreng.

"Apa kejunya kurang?"

Lucas mengerjap. Velia tampak ingin bangkit, tapi ia dengan cepat menahan tangannya.

"Sudah cukup," jawab Lucas sembari menggeleng. "Duduk dan kita nikmati sarapan."

Tak mengatakan apa-apa, Velia menyetujui perkataan Lucas. Ia mulai menikmati sarapan dengan tenang. Tanpa menyadari sedikit pun bahwa sesekali Lucas melihatnya dengan penuh arti.

Aku tahu persis kau wanita seperti apa, Ve. Mungkin kau bisa keras kepala, tapi aku bisa meluluhkanmu. Bukan hanya dulu, melainkan juga sekarang.

Rasa gurih dan rempah berpendar di lidah Lucas. Ia mengunyah dengan kesan benar-benar menikmati.

Semua hanya soal waktu. Pelan-pelan, sepenuhnya kau akan kembali menjadi milikku.

Velia menjeda sarapannya sejenak. Tampak sedikit ragu untuk bicara, ia tenangkan diri dengan tiga teguk air putih.

"Luc."

Pikiran Lucas buyar. "Ya?"

"Mengenai pekerjaanku," lirih Velia. "Mungkin nanti aku harus pergi ke kontrakanku sebentar. Untuk mengambil beberapa perlengkapan."

Sekelumit kernyitan di dahi Lucas menghilang. Ia paham, tapi sepertinya tidak setuju.

"Atau kita bisa mencari perlengkapan baru untukmu. Bagaimana?"

Lucas menuntaskan sarapannya dalam satu suapan besar. Piring bersih tanpa ada sebutir nasi pun yang tersisa.

"Aku bisa menemanimu belanja. Apa yang ingin kau beli? Tas? Sepatu? Kemeja?"

Velia tampak tak yakin. Bukan hanya ia merasa tak enak, tapi pergi dengan Lucas sepertinya bukan ide yang bagus.

"Kupikir kau tak ada waktu," ujar Velia demi menolak halus. "Aku tak ingin mengganggu pekerjaanmu."

"Ada hari Sabtu dan Minggu. Kurasa memang seharusnya akhir pekan digunakan untuk bersantai."

Velia tak bisa menolak. Ia pun mengangguk.

*

Tiba di kantor, Lucas nyaris tak bisa bersabar menghadapi rasa penasaran. Ia segera memanggil Vlora.

"Aku ingin kau mencari tahu sesuatu."

Vlora mengangguk. "Mengenai apa, Pak?"

Tak langsung menjawab, Lucas membuang napas panjang sejenak. Kedua tangan naik dan saling bertaut di atas meja. Agaknya ia perlu menjelaskan sedikit hal sebelum memberi perintah pada sang sekretaris.

"Kemarin Velia dihubungi oleh Metta, salah satu karyawan di Departemen Pengembangan dan Perencanaan. Dia mengatakan bahwa Rino memanggil Velia untuk kembali bekerja."

Sepertinya Vlora bisa meraba maksud Lucas. Terbukti, ekspresinya menunjukkan sangsi serupa dengan yang dirasakan Lucas.

"Aku tahu," angguk Lucas. "Ini aneh dan aku tidak tahu alasan Rino melakukannya. Terlebih lagi ia cenderung yakin bahwa Velia memang bisa dipanggil kembali."

"Saya akan mencari tahu kebenaran hal tersebut, Pak."

Memang itulah yang Lucas inginkan. Namun, ia tak akan mengabaikan satu hal terpenting.

"Lakukan dengan pelan dan halus. Aku tidak ingin ada yang tahu ataupun curiga. Kau tentu mengerti, Velia hanya karyawan biasa."

Bukan hanya satu hal itu yang harus Lucas tekankan. Melainkan ada hal lain yang tak kalah penting.

"Aku harap kau tak lupa, Vlo. Kau bekerja padaku. Kuharap kau mengingat hal itu sebaik mungkin."

Ada sedikit kaget yang berpijar di mata Vlora, tapi ia dengan cepat menguasai diri.

"Tentu, Pak," ujar Vlora mengangguk. "Saya mengerti."

Di tempat berbeda, Rino yang baru tiba di kantor tidak membuang-buang waktu. Ia memutuskan untuk mengurus satu hal penting sebelum jam kerja benar-benar dimulai.

Rino menuju bagian Kepegawaian. Menenteng tas kerja di satu tangan, ia mendorong pintu dengan terburu.

"Bagaimana, Yu? Sudah kau urus?"

Tanpa ada sopan santun sama sekali, Rino langsung menodong Wahyu Junaidi dengan pertanyaan. Bukan hanya dua pertanyaan, alih-alih ia layangkan pula pertanyaan ketiga.

"Kapan Velia bisa bekerja lagi?"

Wahyu membuang napas panjang. Ia baru saja menyeduh kopi dan Rino sudah datang mengacaukan awal harinya. Mungkin setidaknya Rino biarkan Wahyu menikmati sesapan pertama terlebih dahulu.

"Saya sudah katakan, Pak Rino. Itu bukan perkara gampang. Belum ada ceritanya kantor memanggil kembali karyawan yang sudah dipecat."

Agaknya Rino juga mengalami awal hari yang buruk. Jawaban logis Wahyu membuat kepalanya berdenyut.

"Aku salah," kata Rino cepat seraya menepuk dada. "Aku keliru bertindak. Anggap saja laporan kinerja waktu itu sebagai kekhilafanku."

"Bagaimana mungkin bisa?"

Denyut kepala Rino semakin menjadi-jadi. Ia tak bisa bersabar lebih lama lagi. Otaknya berputar dan mencari jalan lain.

"Di mana Pak Indra? Biar aku bicara langsung dengannya."

Itu tak akan memberi pengaruh nyata. Alhasil tak aneh bila Wahyu hanya berdecak sekilas. Namun, di waktu bersamaan pintu kembali membuka dan menampilkan sesosok pria paruh baya lainnya yang menjadi objek perbincangan.

Bola mata Rino membesar dan ia berseru. "Pak Indra."

Indra Sugeng Riyadi selaku ketua di sana nyaris terlonjak kaget. Namanya diserukan tiba-tiba dan mendadak saja Rino sudah berdiri di hadapannya.

"Pak, saya mohon. Bantu saya kali ini."

Indra geleng-geleng kepala. Berniat langsung ke meja pun rasanya percuma. Rino mengadang jalannya dan tak menunjukkan tanda-tanda untuk mundur.

"Sudahlah, Pak. Lagi pula untuk apa dipikirkan? Anggap saja itu nasib buruk untuknya. Saya rasa pun dia sudah mendapatkan pekerjaan lain."

Terkesan aneh memang bila ada orang yang bersikap seperti Rino. Mati-matian memanggil kembali karyawan yang sebelumnya sudah ia buang.

"S-saya tidak bisa tenang," ujar Rino mencari alasan. "Saya merasa bersalah. Bapak tentu tahu bukan? Mencari pekerjaan itu sulit."

Berbicara mengenai ketidaktenangan, tentu saja Indra bisa paham. Ada sisi kemanusiaan yang tersentil di sana. Sayang, mengurus hal tersebut bukan perkara mudah.

Rino kian bingung. Ekspresi Indra memberikan sinyal tak bagus. Ia terdesak dan benar-benar putus asa sehingga terpaksa menggunakan jalan terakhir.

"Pak Indra."

Rino menarik Indra untuk sedikit menyingkir ke sudut ruangan. Ia melihat sekeliling demi memastikan tak akan ada yang mendengar.

"Saya benar-benar terpaksa dan saya harap Bapak tidak akan membocorkannya pada siapa pun."

Indra menangkap kesan tak enak. "Apa maksud Bapak?"

"Saya diperintahkan Nyonya Merita untuk memanggil Velia bekerja kembali."

Mata Indra membelalak, kaget. Untuk itu Rino dengan senang hati menjawab keterkejutannya.

"Bapak tentu tahu bukan apa akibatnya bila kita tidak bisa memenuhi perintah Nyonya?"

"B-Bapak jangan bercanda. Apa karyawati itu ada hubungan dengan Nyonya?"

"Ada hubungan atau tidak, itu bukan urusan kita. Lagi pula bagaimana mungkin saya bercanda dengan nyawa saya sendiri?" tanya Rino tanpa menunggu jawaban Indra. "Jadi saya harap Velia dipanggil kembali dalam waktu dekat. Bila perlu Senin besok dia sudah bisa kembali bekerja."

Indra gentar. Wajahnya terlihat pucat seketika.

"B-Bapak serius?"

Rino mengangguk. "Saya lebih dari serius dan ..."

Sekilas menarik napas dalam-dalam, Rino perlu menekankan hal penting pada Indra. Ia tak ingin hal tersebut bocor.

"... jangan sampai ada yang tahu ini, Pak. Hanya kita berdua yang tahu. Saya benar-benar tidak ingin menerima kemarahan Nyonya Merita."

Indra meneguk ludah. Ketakutan yang terpancar di mata Rino jelas bukanlah sandiwara. Pria paruh baya itu serius dengan apa yang ia katakan.

"B-baiklah kalau begitu."

Secercah kelegaan langsung menyeruak di dada Rino. Ia membuang napas panjang dan buru-buru beranjak ke satu meja demi menarik tiga lembar tisu. Peluhnya telah terbit membasahi wajah.

Langkah pertama yang Rino susun berjalan lancar. Sekarang ia hanya perlu menunggu dan mencari kesempatan tepat.

Rino beranjak dan menuju ke ruangnya. Sesampainya di sana, ia memastikan pintu terkunci demi menghubungi seseorang. Memiliki nama kontak Boy, itu adalah langkah kedua dari rencana Rino.

"Halo, Pak."

Panggilan Rino diangkat dalam hitungan detik tak seberapa. Ia sempat menarik napas kasar sebelum bicara.

"Halo, Boy. Aku ada pekerjaan untukmu."

"Pekerjaan apa?"

"Kau ingat dengan kecelakaan sembilan bulan lalu?" tanya Rino tanpa basa-basi. "Aku ingin kau memata-matai Velia, wanita yang selamat dari insiden itu. Pantau gerak-geriknya dan bila kau menemukan celah, segera habisi dia. Ingat, jangan sampai meninggalkan bukti apa pun."

"Baik, Pak."

"Aku akan segera mengirim alamatnya padamu. Aku harap pekerjaan ini bisa cepat kau tuntaskan."

Panggilan berakhir. Rino mengirim alamat Velia dan setelahnya meremas kedua tangan.

Rino butuh waktu sebelum memulai pekerjaan. Ia harus tenang dan berusaha menyingkirkan umpatan yang sedari tadi menggema di benak.

Sialan! Gara-gara wanita jalang itu aku jadi tak tenang seperti ini!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top