17. Rencana

Rino masuk terburu-buru dan menutup pintu keras. Suaranya yang kuat membuat sang wakil yang sedang berkutat dengan komputer, terkejut.

"Vonda," panggil Rino seraya menuju pintu ruangannya. "Panggil Metta. Suruh dia menemuiku sekarang juga."

"Baik, Pak."

Masuk ke ruang kerja, Rino segera mengambil segelas air dan menandaskannya dalam sekejap mata. Perintah Merita membuatnya tak bisa menarik napas dengan lapang.

Ketukan di pintu menarik perhatian Rino. Ia buru-buru duduk di balik meja kerja seraya berseru.

"Masuk."

Pintu membuka dan Metta masuk. Ia tersenyum sopan ketika Rino menyuruhnya duduk.

"Ada apa, Pak?"

Rino mengelap keringat di dahi dengan sehelai tisu dan meremasnya. Ia coba tersenyum demi menekan panik yang kian menjadi-jadi.

"Saya ingin menanyakan sesuatu," ujar Rino berharap agar tak mencurigakan. "Bagaimana kabar Velia?"

Dari sekian banyak kemungkinan Rino memanggilnya, ini adalah kemungkinan yang tak Metta duga. Alhasil kebingungan langsung tercetak di wajahnya ketika menjawab.

"Velia sepertinya baik-baik saja. Memangnya kenapa, Pak?"

"Oh, dia baik-baik saja. Syukurlah kalau begitu."

Ucapan dan ekspresi Rino tampak tak sejalan. Metta bisa merasakan ada yang aneh, tapi tak bisa menebak. Terlebih ketika Rino kembali bertanya.

"Apa dia sudah mendapatkan pekerjaan baru?"

Metta diam beberapa detik sebelum menggeleng. Terlepas dari kenyataan bahwa Velia telah bekerja, sesungguhnya itu bukanlah pekerjaan yang sepantasnya.

"Belum, Pak."

Cerah tampak bercahaya di wajah Rino. Ia menyiratkan kelegaan spontan. Layaknya baru menerima berita bagus.

"Oke," kata Rino seraya mengangguk berulang kali. "Kau hubungi dia secepatnya. Katakan padanya aku bisa mengatur semua kalau dia masih ingin bekerja di sini."

Kebingungan Metta akan sikap Rino terhempas oleh pernyataan tersebut. Ia syok dengan sekelumit senang yang spontan muncul.

"Maksud Bapak?"

Rino mengusap tangan satu sama lain. Sedikit, ia mencondongkan tubuh dengan senyum mengembang.

"Velia bisa bekerja lagi di sini. Besok pagi biar aku ajukan surat pemanggilan kembali ke perusahaan. Dalam waktu dekat dia akan kembali bekerja."

"B-benarkah, Pak? Velia bisa bekerja lagi di sini?"

"Tentu saja benar," jawab Rino mengangguk penuh arti. "Jadi kau segera hubungi Velia. Kabarkan berita ini padanya. Dia tak perlu mencari pekerjaan di tempat lain. Jangan sia-siakan kesempatan ini selagi aku masih berbaik hati. Kesempatan tak akan datang dua kali."

"Baik, Pak. Saya akan segera mengabarkannya pada Velia."

Sepeninggal Mettta, Rino segera memutar otak. Bisa dikatakan rencananya pasti akan berhasil. Velia tak mungkin menolak pekerjaan itu dan ia harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

Ah, tentu saja. Aku bisa mengajaknya pergi meninjau pembangunan kantor cabang atau tower. Kecelakaan di lokasi pembangunan? Benar! Itu ide yang sempurna.

Kepanikan Rino sedikit mereda. Velia akan datang kembali dan rencana sudah ia susun. Namun, tak urung satu tanya membuatnya tertegun.

Sebenarnya apa yang kau lakukan, Velia? Mengapa Bu Merita menginginkan kematianmu?

Sayang sebenarnya. Lebih dari sayang. Memikirkan kecantikan dan kemolekan Velia membuat Rino sedikit kasihan.

Sangat rugi bila kau harus mati dalam waktu cepat, tapi apa boleh buat. Daripada keluargaku yang menanggungnya.

*

Berkat perintah Rino, sore hari itu Metta mengunjungi kontrakan Velia selepas pulang kerja. Sengaja tidak menghubungi via ponsel, ia ingin menemui Velia. Sekalian memastikan keadaannya.

Metta tentu senang dengan berita yang diberikan Rino. Terlepas dari keanehan sikapnya, Metta pikir adalah hal bagus bila Velia bisa bekerja lagi. Namun, satu tanya membaut ia ragu. Apakah Velia akan diperbolehkan bekerja?

"Hei! Bukankah kau teman Velia?"

Pertanyaan itu menghentikan langkah kaki Metta. Ia baru saja akan menginjak teras kontrakan dan seorang wanita berol rambut menghampiri.

"I-iya, Bu," jawab Metta tergagap. "Saya teman Velia."

Sebagai pemilik kontrakan, tak sulit bagi Nia untuk mengingat beberapa wajah yang berhubungan dengan penyewanya. Apalagi tak banyak orang kantoran yang berkeliaran di kawasan itu.

"Kau mencari Velia? Ck. Dia sudah tidak tinggal di sini lagi."

Bola mata Metta membesar. "Sudah tidak tinggal di sini?"

Nia mengangguk dan Metta melihat pada pintu kontrakan. Gembok besar yang mengunci seolah memberatkan perkataan Nia.

"Dia sudah pindah di hari kau datang ke sini," kata Nia mencoba mengingat. Ia mengisap rokok dalam-dalam dan mengangguk. "Ya, sepertinya itu hari terakhirnya di sini. Tak lama setelah kau pergi, ada yang menjemputnya. Sejak itu dia tak pernah datang lagi. Bahkan barang-barangnya pun ditinggal begitu saja."

Metta tercengang dengan penjelasan Nia. Ia tak mengira bahwa Velia pindah. Pun lebih tak mengira lagi kalau Velia tak mengabarinya.

Malu. Metta tertegun saat satu kata itu melintas di benaknya. Mungkin itulah alasan mengapa Velia tak mengatakan apa pun soal kepindahannya.

"Oh ya. Apa Ibu tahu ke mana Velia pindah?"

Nia menyeringai. Asap rokok bermain-main di wajah dan ia hanya geleng-geleng.

"Siapa yang tahu ke mana dia pindah? Tentu saja ke tempat tersembunyi yang tak akan diketahui oleh siapa pun. Namanya jadi wanita simpanan, semua serba rahasia."

Wajah Metta memerah. Terlepas dari kebenaran perkataan Nia, tetap saja ia tak terima bila temannya dibicarakan demikian.

"Dia pasti tinggal di tempat yang tak diketahui oleh siapa pun. Agar dia tidak ketahuan oleh istri sah."

Tawa Nia meledak dan memberikan isyarat nyata bagi Metta bahwa tak ada gunanya berlama-lama di sana. Ia permisi, memutuskan bergegas pergi. Agaknya ia tak punya pilihan lain. Ia akan menelepon Velia.

*

Satu dering menghentikan aktivitas Velia di dapur. Dengan anggapan bahwa adalah Lucas yang menghubungi, ia tinggalkan wortel dan bergegas mengambil ponsel di kitchen island.

"Metta?"

Velia menekan rasa heran dan segera mengangkat panggilan tersebut. "Halo."

Sedetik setelah Velia menyapa, suara Metta terdengar. Cepat dan menyiratkan si empunya terengah-engah.

"Halo, Ve. Astaga."

Ada panik tersirat di suara Metta. Pun Velia tak akan salah menebak bahwa berulang kali Metta menarik napas lega. Seolah ia tengah bergelut dengan khawatir yang teramat besar.

"Met," lirih Velia tak yakin. "Kau baik-baik saja? Ada apa denganmu?"

"Ya Tuhan, Ve. Seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu, bukan sebaliknya."

Velia mengerutkan dahi. Suara Metta terdengar beda. Cenderung meninggi dengan kesan panik.

"Aku baru saja dari kontrakanmu."

Kebingungan Velia terjawab sudah. Ia memejamkan mata dan tak ada gunanya menutupi semua dari Metta.

"Kau tak lagi tinggal di sana dan aku mencemaskan keadaanmu."

"Maaf."

Hanya satu kata itu yang mampu Velia ucapkan. Untuk menjelaskan keadaan, ia tak mampu.

Pun Metta tak butuh penjelasan apa pun. Ia tak mendesak. Layaknya seorang teman, ia tentu mengerti.

"Tak apa. Aku hanya ingin tahu keadaanmu. Kau baik-baik saja bukan? Kau sehat?"

Samar, sekelumit senyum yang tak mampu dilihat Metta muncul di wajah Velia. Ia mengiyakan semua pertanyaan Metta.

"Aku baik-baik saja dan sehat. Kau tak perlu khawatir."

"Syukurlah kalau begitu. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu," ujar Metta seraya membuang napas panjang. "Ve, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan."

"Apa?"

"Aku dipesankan oleh Pak Rino."

Satu nama itu membuat Velia tertegun. Namun, belum begitu tertegun sampai Metta benar-benar menuntaskan perkataannya.

"Pak Rino mengatakan bahwa beliau ingin memanggilmu untuk bekerja kembali di sini. Besok beliau akan membuat permohonan ke perusahaan dan secepatnya kau bisa mengisi posisi dulu."

Itu adalah kabar tak terduga. Tak ayal, pikiran Velia langsung tertuju pada Lucas. Satu pertanyaan menggema di benak.

Jadi Lucas benar-benar mengabulkan permintaanku?

"Aku tahu Pak Rino hampir melecehkanmu, tapi ..."

Suara Metta membuyarkan lamunan Velia. Semua tergantikan dengan kilas mengerikan yang nyaris menimpanya.

"... kupikir semua akan aman selama kau tidak berdua saja dengannya. Aku akan selalu menemanimu dan oh, Tuhan. Aku yakin kau tidak ingin selamanya menjadi ...."

Ucapan Metta menggantung di sana. Hening sesaat dan Velia menyadari kebenaran perkataan Metta. Pun meragukannya pula.

Lucas tak akan pernah melepasku. Pun bila ia membiarkanku bekerja, itu pastilah demi menepati janji.

*

Lima menit berlalu tanpa ada yang bicara. Keadaan sunyi seolah tak ada orang di sana. Padahal jelas saja kedua orang itu duduk berhadapan dengan cangkir teh yang menjadi penengah.

Lucas membuang napas. Matanya berkedip sekali dan lantas melihat pada sosok wanita yang duduk anggun di depannya.

Sonya benar-benar datang. Persis seperti yang Merita katakan di telepon tadi.

Senyum melengkung cantik di wajahnya yang cantik. Agaknya Sonya sudah mengambil tekad untuk memulai percakapan. Sayang, Lucas mendahului dengan ucapan tak terduga.

"Saya pikir waktu bertemu kita cukup sampai di sini."

Kata-kata yang mengantre di ujung lidah Sonya langsung menghilang. Ia melongo. Bukan hanya karena ucapan Lucas yang terkesan resmi, melainkan apa yang ia katakan.

Lucas mengabaikan keterkejutan Sonya. Ia bangkit dan merapikan jas seraya kembali berkata.

"Saya permisi. Selamat sore."

Sudah. Setelahnya Lucas benar-benar beranjak keluar dari ruang kerjanya meninggalkan Sonya seorang diri. Ia syok dan hanya bisa menganga mendapati perlakuan itu.

"O-oh, Tuhan. Bagaimana bisa?"

Lucas tak ubahnya manusia tanpa hati. Ia pergi bahkan sebelum keduanya sempat terlibat sejenak perbincangan. Praktis tak ada yang mereka bicarakan, selain berkenalan singkat.

Hanya membuang-buang waktu saja.

Untuk seorang pebisnis, waktu memang segalanya. Pun untuk Lucas ada hal teramat penting yang membuatnya tak ingin kehilangan tiap detik.

Ada yang menunggunya di apartemen. Seorang wanita yang membuat Lucas tak berpikir dua kali untuk langsung pulang setelah pertemuannya dengan Sonya.

Lucas masuk dan instingnya menyala. Ia melangkah menuju dapur setelah menaruh asal tas kerja di sofa.

Aroma lezat menyambut kedatangan Lucas. Berikut dengan senandung merdu penuh irama.

Lucas tersenyum samar. Ia berjalan perlahan dan langsung merasakan kaget Velia dalam pelukannya.

"Luc."

Senyum Lucas mendarat di leher Velia. Di sana, ia berbisik.

"Aku pulang."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top