16. Pertemuan
Hari berlalu. Selama itu Velia menyadari sesuatu. Lucas selalu ada bersama dirinya. Tujuh hari dalam seminggu, tanpa terkecuali.
Velia selesai menyiapkan sarapan ketika Lucas datang dengan penampilan rapi. Keduanya duduk dan Velia tak bisa menduga pasti, entah itu sarapan keberapa yang mereka lalui bersama.
Lucas mengelap mulut. Ia menghabiskan segelas air putih dan bertanya acuh tak acuh.
"Ada yang ingin kau katakan?"
Velia tersentak dari lamunan dan Lucas menatapnya. Sorot matanya tampak menyudutkan.
"Kau melihatku sedari tadi," lanjut Lucas. "Kupikir ada yang ingin kau katakan."
Seharusnya Velia tidak kaget. Tampak abai, tapi sesungguhnya Lucas sangat peka sekitar. Tak ada satu hal pun luput dari matanya.
Pun berkenaan dengan kepekaan Lucas, Velia menyadari hal lain. Tak ada gunanya membohonginya. Mencoba tak jujur padanya adalah jalan tercepat mencari masalah.
"Aku ingat kau pernah mengatakan padaku bahwa kau memberiku unit apartemen ini untuk memudahkanmu."
Cukup sampai di sana. Velia tak perlu menjelaskan detailnya. Mereka sama paham.
"Lalu?"
"Aku merasa kau selalu di sini," jawab Velia menuntaskan janggal di benak. "Kau tak pernah pulang ke rumahmu."
"Untuk apa aku pulang ke rumah bila ada kau di sini?"
Tentu saja. Jawaban berbentuk pertanyaan itu berhasil membungkam Velia. Ia tak perlu penjelasan apa pun.
"Tidur sendirian sementara kau bisa menemaniku di sini?"
Velia kian tak berkutik. Bias merah dengan cepat hadir di pipi, merona dalam jengah.
"Kau tidak keberatan bukan?" tanya Lucas kemudian. "Atau sebaliknya?"
"Tidak sama sekali. Aku hanya sedikit ..."
Velia buru-buru menggeleng. Pun memutar otak demi menjawab tepat.
"... penasaran."
Lucas mengangguk seraya melihat jam tangan. "Sepertinya aku harus berangkat sekarang."
Bukan hanya Lucas yang bangkit dari duduk, melainkan Velia pula. Wanita itu bantu merapikan jas Lucas dan sepasang tangan bertahan di pinggangnya.
Lucas menunduk. Jemari Velia berhenti bergerak di dada Lucas. Ia mengerjap sekali ketika Lucas melabuhkan sepucuk ciuman.
"Aku pergi."
Velia menahan napas. Hanya mengangguk.
Hening dan sunyi. Selepas kepergian Lucas ke kantor, Velia seorang diri.
Velia tak tahu mana yang lebih buruk. Menjalani hari-hari seorang diri tanpa kegiatan atau bersama Lucas sepanjang hari dengan penuh kegiatan.
Mungkin aku harus bicara lagi pada Lucas.
Velia merapikan meja makan. Selagi memikirkan hal apa yang akan ia lakukan hari itu, ia tetap berharap. Setidaknya Lucas mau mengembalikan pekerjaannya. Persis dengan yang ia janjikan dahulu.
*
Lucas keluar dari ruang rapat bersama Vlora di belakang. Selagi ia melangkah, ada getar halus terasa. Berasal dari ponsel di saku dalam jasnya.
Nama kontak yang muncul di layar ponsel menarik embusan panjang napas Lucas. Tersirat kesan enggan, tapi nyatanya ia tetap mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Ma."
Adalah Merita yang menghubungi Lucas siang itu. Sang ibu serta merta menodongnya dengan satu pertanyaan.
"Lucas, kau ada di mana?"
"Di kantor," jawab Lucas seraya masuk ke ruang kerja. "Ada apa?"
"Tak ada apa-apa. Mama hanya ingin mengabarimu. Sebenarnya sudah seminggu ini Mama di Jakarta."
Langkah Lucas terjeda sedetik dengan informasi itu. "Apa ada sesuatu?"
"Tak ada hal penting. Hanya bertemu teman lama dan Mama terpikir sesuatu."
Lucas lanjut melangkah dengan perasaan yang sedikit tak enak. Ia mencoba mengabaikan sirine yang berbunyi, tapi instingnya jarang keliru.
"Mama ingin mengenalkanmu dengan seseorang."
Hanya butuh waktu sedetik dan Lucas kembali mendapatkan kebenaran dari alarm peringatannya. Tak perlu penjelasan lebih jauh, ia bisa menebak maksud sang ibu.
"Kau ada waktu siang ini? Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Kebetulan Mama sekarang sedang bersama dengannya."
Lucas duduk tanpa sempat melepas jas seperti biasa. "Aku sibuk, Ma. Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa bergabung. Pekerjaannku sedang banyak."
"Mama tidak mengambil jam kerjamu, Luc. Selalu ada jeda istirahat."
Agaknya Merita tak menyerah. Sayangnya Lucas pun demikian.
"Maaf, Ma."
"Baiklah. Bagaimana dengan makan malam? Kita bisa berbincang-bincang ringan. Ide yang bagus bukan?"
Makan malam? Belakangan ini di benak Lucas hanya ada Velia bila berkenaan dengan makan malam.
"Maaf, Ma."
Penolakan untuk yang kesekian kali tak melunturkan semangat Merita. Nyatanya ia tetap mencoba.
"Kau sibuk bekerja dan malam kau butuh istirahat. Oke, Mama mengerti. Kalau begitu bagaimana dengan minum teh selepas pulang kerja?"
Lucas kehabisan kata-kata. Harus dengan cara apa lagi ia menolak permintaan Merita?
"Hanya sebentar, Luc."
"Aku tidak menjanjikan apa-apa, Ma," ujar Lucas menyerah. "Aku hanya tidak ingin membuang waktu wanita itu."
"Mungkin saja kau akan berubah pikiran setelah bertemunya."
Lucas membalas ucapan sang ibu dengan penuh yakin. "Mungkin saja aku tak akan berubah pikiran."
"Oh, astaga. Luc!"
Suara Merita terdengar kesal sekarang. Agaknya ia tak lagi bisa menahan sabar. Emosinya lepas juga.
"Mama hanya ingin kau bisa melanjutkan hidup. Maksud Mama, ini sudah waktunya untukmu menikah."
Sayangnya demikian pula dengan Lucas. Didesak sedari tadi membuat kesabaran Lucas pun terancam.
"Tentu saja, Ma. Aku pun ingin menikah, tapi—"
"Jangan katakan kalau kau masih ingin menikahi Velia."
Lucas terdiam. Merita memotong ucapannya dengan perkataan telak yang tak mampu dielak.
"Ya Tuhan. Kau benar-benar keras kepala, Luc. Bagaimana mungkin kau masih berharap pada wanita yang entah sekarang berada di mana?"
Mata Lucas terpejam dramatis. Ia memilih tak membalas ketika Merita kembali mendesak.
"Apa jangan-jangan kau sudah bertemu dengannya? Ya?"
Lucas membuka mata dan memijat pangkal hidung. Jawabannya terdengar lemah.
"Belum. Aku belum menemukan Velia dan itulah satu-satunya alasan mengapa aku belum ingin menikah."
Memang sengaja berbohong, Lucas mendapati respon yang membuatnya mengerutkan dahi. Samar, tapi ia bertaruh bahwa sang ibu menghela napas di seberang sana.
"Sudah Mama katakan, Luc. Velia tidak pantas untukmu. Kau ingat bukan? Dia meninggalkanmu begitu saja. Mama bertaruh, dia pasti sudah menikah dengan pria lain yang lebih kaya."
Mulut Lucas mengatup rapat dalam upaya menahan pergerakan lidah. Rahang mengeras dan wajahnya memerah.
"Mungkin juga belum menikah dengan siapa pun," ucap Lucas menahan geram. "Ma, bisa kita hentikan pembicaraan ini?"
"Terserah, tapi Mama ingin kau menemui wanita itu."
Lucas menyerah demi mengakhiri topik tersebut. "Sesuka Mama."
"Bagus. Nanti sore dia akan datang ke kantormu."
"Sekali lagi. Aku tidak menjanjikan apa-apa."
Panggilan berakhir. Lucas meremas ponsel dengan pikiran yang tak mampu dikendalikan.
*
"Lucas memang begitu. Dia selalu menomorsatukan pekerjaan. Tante harap kau tidak tersinggung."
Merita menyisihkan ponsel di atas meja seraya melayangkan senyum manis pada lawan bicara sekaligus teman makan siangnya. Seorang wanita muda duduk tenang seraya mengangguk sekali.
"Tentu saja, Tante. Aku mengerti."
Namanya adalah Sonya Daniela. Berprofesi sebagai model profesional, tak heran mendapati kecantikannya amat memesona walau usianya tak lagi muda.
"Kau benar-benar pengertian," puji Merita. "Oh ya. Nanti kau bisa langsung menemui Lucas di kantor. Tante sudah mengurusnya."
Sonya sempat mendengar perbincangan Merita dan sang putra, tapi ia tak yakin. Wajahnya terlihat ragu dengan ide tersebut.
"Apa Lucas tak akan marah kalau aku mendatanginya tiba-tiba?"
Merita menggeleng mantap. "Tidak mungkin. Dia tak akan marah bila yang mendatanginya adalah wanita secantikmu."
Keraguan meninggalkan Sonya. Dukungan Merita menumbuhkan rasa percaya dirinya.
"Setelah makan siang ini kau bisa bersiap. Mungkin kau ingin ke salon."
"Tante memang pengertian."
Sekitar sepuluh menit setelah menuntaskan makan siang, Sonya berpamitan pada Merita. Ia tak lupa memberikan pelukan hangat sebelum beranjak dari sana, meninggalkan Merita seorang diri untuk beberapa saat.
Seorang pria menghampiri meja Merita. Ia duduk dengan wajah terkesan menunduk, seolah bersiap dengan pertanyaan yang langsung menyambut.
"Kau sudah menemukannya?"
"Maaf, Nyonya. Saya belum menemukan keberadaan Velia."
Tangan Merita yang semula ingin meraih cangkir teh sontak berhenti bergerak. Matanya mengedip sekali dan menatap tajam.
"Apa saja yang dilakukan oleh orang-orang suruhanmu, Rino? Mengapa kalian tidak becus?!"
Adalah Rino orangnya, sang atasan Velia di kantor. Ia tampak panik tatkala memohon.
"Maafkan saya, Nyonya."
"Aku sudah menyuruhmu untuk membunuhnya sembilan bulan lalu," desis Merita penuh penekanan. Sekilas, ia melirik sekitar. Memastikan bahwa tak akan ada yang mendengar pembicaraan tersebut. "Nyatanya sampai saat ini tak ada satu pun pekerjaanmu yang beres."
Keringat memercik di dahi Rino. Nada bicara Merita membuatnya ketar-ketir.
Argh! Seandainya saja aku tidak tergoda untuk memiliki Velia.
Umpatan menggema di benak Rino. Ironis, ditujukan untuk diri sendiri. Mungkin tugasnya bisa selesai cepat seandainya ia tidak goyah dengan kecantikan Velia. Sayangnya Rino tidak bisa menampik pesona wanita itu.
"Kau sudah mencari keberadaannya?"
"S-sudah, tapi belum ada hasil," jawab Rino gagap. "Dia sudah tidak tinggal di kontrakannya."
Mata Merita terpejam dramatis. Jari-jari yang semula berniat meraih cangkir teh berubah tujuan. Sekarang ia mengepal erat dalam upaya menahan geram.
"Kau harus mencari wanita itu secepatnya."
Rino mengangguk. "B-baik, Nyonya. Saya pasti akan segera menemukan keberadaan Velia, tapi sebelumnya apa boleh saya tahu? Mengapa Nyonya ingin Velia mati?"
Merita melotot. Geram kian tak tertahankan sehingga Rino tersentak.
"Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan. Jangan pernah bertanya apa pun."
"B-baik, Nyonya."
"Aku tidak ingin tahu menahu, Rino. Aku ingin kau segera mencari dan membereskan wanita itu," ujar Merita lagi penuh penekanan. "Bila kau tak bisa merancang kejadian seperti kecelakaan sembilan bulan lalu, kau bisa menggunakan cara lain. Apa pun itu asalkan dia mati."
Patuh, Rino kembali mengangguk. "Akan saya laksanakan, Nyonya."
Merita membuka tas dan mengeluarkan satu amplop bewarna cokelat. Ia melemparnya pada Rino.
"Cepat selesaikan semua, Rino. Aku ingin kabar baik dalam waktu dekat. Apa pun caranya, aku sudah tak bisa menunggu lagi."
Rino buru-buru mengambil amplop tersebut dan memasukkannya ke saku dalam jas.
"Baik, Nyonya. Kali ini saya benar-benar akan menemukan Velia. Saya akan menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisinya."
Emosi Merita sedikit teredam berkat sekali sesapan teh. Namun, ada hal lain yang mengganjal.
"Bagaimana dengan Herry? Beberapa hari yang lalu aku ke rumah sakit dan ternyata dia masih hidup."
"Dia tak akan bertahan dalam waktu lama, Nyonya," jawab Rino dengan penuh pertimbangan. "Kesehatannya kian menurun dan Velia tak akan bisa menyiapkan uang operasi lanjutan. Dia tetap akan mati tanpa campur tangan kita."
Merita menimbang perkataan Rino. Masuk akal. Tak perlu bersusah payah untuk hal yang pasti akan terjadi.
"Kalaupun dia sadar, saya bisa jamin. Dia pun tidak tahu apa-apa, Nyonya. Tak akan ada orang yang menyadari kejadian malam itu. Tak ada saksi mata."
Keyakinan Rino membuat Merita lega. Ia mengangguk dan suaranya datar ketika berkata.
"Kau boleh pergi."
Rino mengangguk. Tak membuang-buang waktu sedikit pun, ia segera bergegas meninggalkan tempat itu. Ia menuju mobil yang terparkir dan duduk sesaat tanpa berencana untuk segera kembali ke kantor.
"Ah!" geram Rino seraya memukul kemudi. "Seharusnya aku tidak mengajukan pemecatan dirinya."
Kepala Rino pusing. Menyesal sekarang tiada guna. Pemecatan tersebut tentu saja bukan tanpa maksud.
"Bagaimana bisa aku berpikir menjadikan Velia selingkuhanku dan menyembunyikannya dari Nyonya? Bodoh! Bodoh! Bodoh!"
Seandainya Rino tidak tergoda, tentulah perintah Merita sudah selesai sejak lama. Sayang, bisikan amoral untuk memiliki Velia berhasil menghasutnya.
Rino sudah menyusun rencana. Velia yang putus asa tak ada pekerjaan akan melakukan apa pun demi uang. Ia bisa memanfaatkan keadaan itu dan menjadikan Velia selingkuhannya.
Sungguh rencana yang bagus dan menguntungkan dua belah pihak bukan? Velia aman bersembunyi di tempatnya dan Rino mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, rencana itu gagal total. Bukan hanya Velia yang menolak dirinya, sekarang Rino pun kehilangan jejak.
Alhasil bukan hal aneh bila Rino terus menyalahkan diri sendiri. Merita sudah mengultimatum dan ia harus menyelesaikan semua secepat mungkin.
"Argh! Seandainya kecelakaan malam itu berhasil, aku tidak akan susah seperti ini!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top